3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

“Sayang… ooooh… kalau bisa barengin aja lepasinnya sama Mamie… biar langsung jadi anak… amiiin…” bisik Mamie pada saat aku masih asyik mengentotnya.

“Emangnya Mamie udah maju lepas?” tanyaku sambil melambatkan entotanku.

“Iya Sayang… ayo barengin… mudah-mudahan langsung jadi anak…” sahut Mamie sambil memejamkan matanya.

Kuikuti saja keinginan Mamie, meski sebenarnya aku belum “kenyang” menggaulinya. Aku memang punya trik khusus bagaimana caranya agar bisa cepat ejakulasi, jauh lebih mudah daripada trik untuk “mengulur” durasi entotanku.

Kupercepat entotanku seedan mungkin… yang Mamie sambut dengan goyang pinggulnya yang aduhai.

Sampai akhirnya Mamie menggeliat… lalu berkelojotan dan akhirnya mengejang tegang.

Pada saat yang sama aku sudah membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, lalu kutancapkan dalam posisi ini… tidak kugerakkan lagi. Pada saat itulah kurasakan indahnya kedutan-kedutan liang memek Mamie, sementara batang kemaluaanku pun mengejut-ngejut sambil “menembak-nembakkan” air mani di dalam liang sanggama Mamie.

Pada saat itulah Mamie mencengkram sepasang bahuku kuat-kuat seolah ingin meremukkan tulang bahuku. Kemudian kami sama-sama terkulai di pantai kepuasan.

“Oooh… disetubuhi olehmu, selalu saja mamie cepat orgasme,” kata Mamie ketika batang kemaluanku masih menancap di liang memeknya.

“Emangnya kalau sama Papa gimana?”

“Jangan ngomongin Papa ah. Biar gimana Papa itu kan suami Mamie.”

“Tapi Papa masih normal-normal aja kan?”

“Normal. Tapi jangan dibandingkan dengan anak muda seperti kamu dong Sayang.”

“Syukurlah kalau masih normal sih.”

“Ohya… kata dokter, kalau ingin jadi anak, bersetubuhnya jangan terlalu habis-habisan. Sjupaya telurnya dibuahi secara santai… secara normal… tidak terlalu banyak guncangan, gitu. Makanya barusan mamie minta kamu cepetan ejakulasi.”

Lalu kucabut batang kemaluanku dari liang memek ibu tririku. Mamie spontan menutup memek dengan telapak tangannya. Mungkin agar air maniku tetap mendekam di dalam liang memeknya.

“Pembangunan hotel barumu sudah sampai di mana?”

“Sudah dicor lantai-lantainya Mam. Tapi belum dipasang sekat untuk kamar-kamarnya nanti.”

“Mamie senang melihat pemberian mami dikembangkan seperti itu. Tapi dana untuk membangun hotel baru itu dari mana? Hasil dari hotel lama kan takkan sebanyak itu.”

“Dari hasil hotel lama Mam. Tapi ditambah dengan duit Aleksandra.”

“Aleksandra banyak duit ya?”

“Banyak sekali sih tidak. Uang yang kupakai pun tidak seberapa. Hanya beberapa milyar saja.”

“Tapi Firda bisa rukun terus dengan Aleksandra kan?”

“Rukun terus Mam. Malah Frida sering main ke rumah Aleksandra, begitu juga sebaliknya. Mereka seperti dua orang sahabat.”

“Kok Frida belum hamil-hamil juga Sam?”

“Belum Mam. Dokternya malah bilang bahwa istrinya juga sampai tujuh tahun belum bisa hamil. Sekarang dokter itu malah sudah punya anak tiga orang. Makanya Frida dianjurkan agar bersabar saja. Jangan panik, katanya.”

“Hamili aja Mama Ken. Lalu anaknya kasihkan sama Frida.”

“Sekarang Mama Ken memang sudah hamil Mam. Baru dua bulan hamilnya.”

“Haaa?! Kamu memang cespleng, Sam !” ucap Mamie sambil menepuk-nepuk pipiku. “Ohya… mamie mau beli mobil yang terbaru. Jadi kalau kamu mau, ambil aja mobil mamie itu, setelah mobil barunya datang.”

“Aku sudah enjoy dengan mobil SUV itu, Mam. Aku jadi malu hati kalau disuapin terus sama Mamie.”

“Kalau kamu gak suka mobil mamie, kasihkan aja sama Frida.”

“Terlalu mewah Mam. Nanti malah jadi sorotan orang-orang.”

“Tanya dulu Fridanya… mau apa nggak? Jangan mutusin sendiri.”

“Iya Mam. Nanti aku tanya Frida. Kalau dia mau, nanti aku suruh ngambil sendiri mobilnya ke sini.”

“Iya. Terus… bagaimana Frida kuliahnya? Lancar?”

“Kelihatannya sih lancar. Dia malah ingin berusaha agar bisa lulus secepatnya. Ingin mengikuti aku Mam.”

“Bagus lah. Kalau bisa dipercepat ngapain diperlambat?”

Esoknya, hari masih subuh ketika aku tiba di rumah Aleksandra. Disambut oleh teriakan Feo yang berada dalam bopongan babysitternya, “Papaaa… !”

Feo diturunkan oleh Ima dan langsung memburuku sambil ketawa cekikikan. Aku pun berjongkok sambil memberikan bungkusan berisi beberapa batang coklat impor (karena coklat lokal tidak baik untuk anak-anak, katanya).

“Totat… totat! Hiiihihihiiii… Feo cayang Papaaa… “Feo menyambut oleh-oleh dariku sambil menyodorkan pipinya untuk kucium.

“Masih gelap sudah mau berangkat?” tanya Aleksandra yang muncul di belakang Ima.

“Biar jangan keburu macet jalannya,” sahutku, “Feo aja udah bangun kan?”

Aleksandra tersenyum, “Feo memang kebiasaan bangun jam empat subuh,” sahutnya.

“Halina sudah bangun?” tanyaku.

“Udah. Lagi dandan tuh,” sahut Aleksandra sambil menarik tanganku ke ruang keluarga. Di situ dia berbisik padaku, “Nanti di Jakarta, buktikan aja apakah dia benar-benar masih perawan atau tidak. Kalau gak perawan lagi, gak dinikahi juga gak apa-apa.”

“Berarti aku harus ML dong sama dia,” ucapku sambil menggelitik pinggang Aleksandra.

“Ya iyalah. Masa cuma pegangan tangan buat buktiinnya?”

“Lets me think about it,” sahutku sambil ngeloyor ke kamar.

Ternyata Halina sudah selesai berdandan di dalam kamar Aleksandra. Mengenakan gaun span terusan putih dengan corak garis-garis hitam, yang cukup anggun di mataku.

“Sudah siap?” tanyaku.

“Sudah, “Halina mengangguk, “Mau berangkat sekarang?”

“Iya. Lebih pagi lebih baik. Kalau terlambat, jalanan mulai macet.”

Halina menjinjing tas pakaiannya. Lalu mengikuti langkahku ke depan.

Sebelum meninggalkan rumah Aleksandra, aku menyempatkan diri untuk mencium dahi Feo sambil berkata, “Jangan nakal ya Feo… papa mau ke Jakarta dulu.”

Feo cuma mengangguk-angguk, entah mengerti ucapanku entah tidak. Lalu kuhampiri Aleksandra untuk mengecup bibirnya.

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Halina duduk di samping kiriku.

Sebenarnya aku sudah punya sopir pribadi yang trampil. Daud namanya. Tapi kalau mau menempuh perjalanan yang rahasia sifatnya, aku lebih suka nyetir sendiri.

“Halina nama kecilnya apa?” tanyaku membuka pembicaraan.

Halina tampak berpikir, mungkin karena belum mengerti arti pertanyaanku. Tapi lalu ia menjawab, “Mmm… nama kecilku Inna.”

“Inna? Kayak nama penyanyi Romania.”

“Ya… mm… nama orang Romania… mmm… banyak yang mirip dengan nama di negaraku. Kan sama-sama Eropa Timur. Tapi negaraku… mmm sering juga disebut bagian… mmm dari Eropa Tengah.”

“Kamu sudah lancar berbahasa Indonesia?”

“Bisa… tapi belum selancar Aleksandra.”

“Bahasa Inggris bisa?”

“Kalau bahasa Inggris, hampir semua orang di negaraku lancar berbahasa Inggris.”

“Kalau begitu mmm… let us speak in English. Okay?”

“Okay, “Halina mengangguk.

Lalu kami melanjutkan pembicaraan dalam bahasa Inggris*(akan diterjemahkan di sini, agar bisa dinikmati oleh yang belum menguasai Bahasa Inggris juga)*.

“Inna… apakah kamu benar-benar sudah siap untuk menjadi milikku?” tanyaku pada suatu saat.

“Menjadi istri ketigamu, bukan sekadar menjadi milikmu.”

“Ya… istilah sebenarnya memang seperti itu. Sudah siap kah?”

“Siap untuk menjadi istri ketigamu. Tapi… bisakah Sam mencintaiku seperti mencintai Aleksandra?”

“Tentu saja. Aku akan mencintaimu seperti mencintai Aleksandra dan istri pertamaku.”

“Kata Sandra, untuk menikahiku, Sam harus minta izin pada istri pertama dulu ya?”

“Iya. Begitu undang-undang yang berlaku di negara ini.”

“Apakah istri pertama Sam akan mengizinkan?”

“Pasti mengizinkan,” sahutku. Padahal aku juga belum yakin apakah Frida akan mengizinkan atau tidak.

“Ohya… orang tuamu masih ada?” tanyaku.

“Tinggal ibu yang masih hidup. Ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu.”

“Punya saudara berapa orang?”

“Punya kakak tiga orang. Semuanya perempuan. Aku anak terkecil.”

“Anak paling kecil di Indonesia disebut anak bungsu.”

Halina seperti menghafal. Menyebut istilah bungsu sampai tiga kali.

“Kakak-kakakmu sudah kawin semua?” tanyaku.

“Ya. Mereka sudah kawin semua. Tinggal aku yang belum kawin.”

“Usiamu dengan Aleksandra, siapa yang lebih tua?”

“Aleksandra lebih tua setahun dari aku.”

Aku mengangguk-angguk, sambil membelokkan mobilku ke arah rest area. “Kita breakfast dulu ya. Senang masakan Indonesia kan?”

“Senang sekali. Terutama masakan Padang, aku suka sekali.”

“Oke kalau begitu kita makan di rumah makan Padang saja ya. “ Halina mengangguk sambil tersenyum manis. Maaak… manis sekali senyum Halina itu. Ada lesung pipitnya pula…!

Ketika kami duduk berhadapan dibatasi meja rumah makan, aku semakin sering mengamati kecantikan Halina. Dia bukan hanya cantik, tapi juga anggun. Rasanya aku jadi orang paling beruntung di dunia ini. Karena aku memiliki perempuan-perempuan cantik untuk kupelihara di dalam istana cintaku, tanpa harus bersusah payah mendapatkannya.

Seperti biasa, di dalam rumah makan Padang, jenis makanan yang mereka miliki dihidangkan semua di meja kami. Dan Halina langsung mengambil rendang sambil berkata, “Ini makanan yang paling kusukai.”

“Wajar,” sahutku, “karena rendang Indonesia sudah dinilai sebagai makanan paling lezat di dunia. Nasi goreng Indonesia menempati peringkat kedua.”

“Ya… nasi goreng Indonesia juga aku suka. Aku sudah merasakan nasi goreng Thailand, Malaysia, Korea dan sebagainya. Tapi yang paling enak memang nasi goreng Indonesia. Ada puluhan macam pula nasi goreng di Indonesia. Bahkan mungkin lebih dari seratus macam nasi goreng di negara ini.”

“Bagaimana dengan makanan di negaramu?”

“Banyak juga jenisnya. Pangsit dan pastel juga ada. Tapi rasanya tetap enakan di sini.”

Aku terdiam. Jangankan di Eropa Timur, di Singapore juga makanannya tak ada yang enak. Mungkin hanya fish cake yang aku suka. Yang lainnya gak enak. Apakah hal ini karena monosodium glutamate (micin) dilarang di Singapore? Entahlah. Yang jelas, mie dalam cup yang disediakan hotel untuk breakfast, juga gak enak.

Di Eropa apalagi. Penggunaan garam saja sangat dibatasi. Hasilnya, semua makanan di Eropa tawar rasanya. Bahkan KFC saja berbeda rasanya dengan KFC di Indonesia. Servicenya pun tidak seramah di Indonesia.

Sebelum jam sepuluh pagi, aku sudah tiba di Jakarta. Dan cek in di sebuah hotel five star. Karena di meeting room hotel itu pula aku akan menghadiri meeting nanti malam.

Setelah mendapatkan kamar di lantai lima, kuberikan uang tip kepada bellboy yang membawakan tas pakaianku dan tas pakaian Halina.

Halina tampak keringatan. Padahal sudah berada di kamar yang berAC cukup dingin.

“Meetingku jam delapan malam nanti. Jadi kita punya waktu untuk beristirahat dulu,” kataku.

“Iya, tapi aku mau mandi dulu Sam. Badanku penuh keringat,” sahut Halina.

Aku menyahut, “Aku juga mau mandi. Dan mungkin perlu juga menyabuni punggungmu kan?”

Halina menatapku dengan senyum manisnya. Lagi-lagi lesung pipitnya terpamerkan. “Aku juga harus menyabuni punggungmu?” tanyanya.

“Ya… supaya romantis, kita harus saling menyabuni. Kan kita bakal jadi suami-istri.”

“Aku mau ikut caramu saja, Sam.”

Lalu kami melangkah ke kamar mandi, sambil membawa alat mandi masing-masing.

Di dalam kamar mandi Halina melepaskan gaunnya. Lalu bra putihnya juga. Hanya celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.

Dalam keadaan tinggal bercelana dalam seperti itu, aku mulai menyaksikan bentuk tubuh Halina yang sebenarnya. Tinggi dan agak montok. Dengan toket yang lumayan gede, tapi tampak masih kencang sekali.

Aku pun melepaskan segala yang melekat di tubuhku, hanya celana dalam saja yang kubiarkan masih melekat di tubuhku, agar “seimbang” dengan Halina.

“Apakah kamu biasa mandi dengan mengenakan celana dalam?” tanyaku sambil memeluk Halina dari belakang. Dengan kedua telapak tangan memegang sepasang toketnya yang benar-benar masih kencang ini.

“Tentu tidak. Tapi… aku masih malu memperlihatkan vaginaku padamu…” sahut Halina tanpa rontaan, meski kedua toket gedenya sedang kupegang.

“Kan penisku juga akan kamu lihat nanti.”

“Iya.. tapi apakah Sam percaya kalau aku belum pernah mandi bareng dengan cowok seperti ini?”

“Memangnya kamu belum pernah pacaran di negaramu?”

“Pacaran sih pernah. Tapi tidak mandi bareng begini.”

“Berarti kamu masih virgin ya?”

“Tentu saja. Aku masih seratus persen original.”

“Mungkin sesuatu yang ;langka. Bahwa cewek dari Eropa yang usianya sudah di atas duapuluh tahun ternyata masih perawan.”

“Budaya Eropa Timur tidak sama dengan budaya di Eropa Barat, Sam. Kami masih banyak yang memegang teguh nilai-nilai moral. Ada juga sih yang sudah kebablasan. Tapi tidak sebanyak di Eropa Barat.”

“Baguslah. Aleksandra juga masih perawan sebelum menikah denganku.”

“Kamu akan mendapatkan hal yang sama pada diriku. Nanti bisa kamu buktikan sendiri.”

“Kapan pembuktiannya?”

“Terserah Sam,” sahutnya, “Sam kan bakal menjadi nakhoda di dalam perkawinan kita nanti.”

“Aleksandra ingin agar setelah pulang dari Jakarta nanti, aku sudah membuktikan bawa Inna benar-benar masih perawan. Supaya tiada keraguan lagi di antara kita berdua.”

“Berarti aku harus membuktikannya di hotel ini sekarang?”

“Ya… sekarang aku ingin melihat kemaluanmu… boleh kan?” tanyaku sambil mempererat pelukanku.

“Buka dulu celana dalam Sam,” sahut Halina.

Tanpa ragu, kulepaskan celana dalamku. Lalu memegang penisku di depan Halina sambil berkata, “This is my dick and I want to see your pussy…! “(ini kontolku dan aku ingin melihat memekmu).

Halina terbelalak melihat penisku. Lalu ketawa kecil sambil menurunkan celana dalamnya sampai terlepas dari kedua kakinya.

“O my God! Memekmu indah sekali Inna…! “seruku sambil memperhatikan kemaluan Halina yang tembem dan bersih dari jembut itu.

Lalu aku berjongkok di depan Halina, dengan mata sejajar dengan kemaluan ahabat Aleksandra itu.

Lagi-lagi aku menemukan memek yang seolah garis lurus dari atas ke bawah. Bagian dalamnya tidak nampak sama sekali. Bahkan kelentitnya juga tertutup rapat…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu