3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Melihat barang - barang keperluan bayi yang sedang diangkut satu persatu oleh pembantunya itu, Bu Emi terlongong dan berkata, “Waduuuh… banyak sekali oleh -olehnya Sam. Ada stroller segala. Itu sih mungkin baru akan dipakai setelah bayinya berumur setahun lebih.”

“Kan sebagai tanda sayang buat darah dagingku yang sedang berada di dalam kandungan Ibu,” sahutku.

Tiba - tiba Bu Emi berkata, “Mulai sekarang panggil aku Bunda aja. Dan aku akan memanggil Ayah kepada Sam. Oke?”

Aku spontan mengangguk, “Setuju Bun. Supaya anak kita juga ikut memanggil Ayah dan Bunda kepada kita.”

Bu Emi yang mulai hari ini akan kupanggil Bunda, melingkarkan lengannya di leherku, lalu mengecup bibirku disusul dengan ucapan setengah berbisik, “Jangan cepat -cepat pulang ya. Aku kangen banget padamu, Ayah…”

Entah kenapa, aku senang sekali mendengar Bunda memanggil Ayah padaku itu. “Iya Bunda sayang,” sahutku, “kalau perlu aku akan menginap di sini. Untuk menemani Bunda, karena aku juga sudah kangen berat padamu, Bun. Besok aku memang mau ke luar kota, tapi malamnya sudah pulang lagi.”

“Lalu, “lanjutku, “bagaimana ceritanya sehingga Bunda ada di sini lagio? Bukankah Bunda ngajar di Surabaya?”

“Uang hasil penjualan tanah dan rumah yang kujual kepada Ayah, sebagian kubelikan rumah ini. Biar bagaimana pun juga kota ini adalah kampung halamanku. Jadi sekali - sekali kalau aku sedang ingin istirahat, ya di sini tempatnya yang paling ideal.”

“Terus sekarang kampusnya ditinggalkan?”

“Aku sedang cuti hamil. Bukan ditinggalkan. Masalahnya, aku tidak mau kelihatan buncit sama para dosen dan mahasiswa - mahasiswaku di Surabaya. Takut banyak pertanyaan yang sulit jawabnya. Ya diambil aja cuti bersalin selama sembilanpuluh hari. Kalau setelah tiga bulan belum melahirkan juga, bolos atau minta izin aja sisanya.

“Yang dimaksud pertanyaan yang sulit jawabnya itu apa? Kalau ada yang nanya siapa suami Bunda?” tanyaku.

“Iya… antara lain soal itu.”

“Jual aja namaku. Lagian aku sekarang sudah punya hotel juga di Surabaya.”

“Hotel apa?”

Lalu kusebutkan nama hotel “hadiah” dari Merry itu.

“Ooo… itu sih hotel besar. Berarti kalau Ayah sedang ada di Surabaya, bisa ngajak aku dong ke hotel Ayah.”

“Gampang soal itu sih. Yang penting sekarang fokus untuk menjaga kesehatan kandungan Bunda aja. Lalu apakah sekarang kangennya sudah terobati dengan hanya ngobrol begini?”

Bunda Emi tersenyum manis. Lalu memegang pergelangan tanganku sambil berdiri, “Di kamar aja yuk. Biar lebih leluasa saling curahkan perasaan rindu kita.”

Aku pun berdiri dan mengikuti langkah Bunda Emi ke dalam kamarnya.

Setelah berada di dalam kamar yang pintunya sudah ditutupkan kembali sekaligus dikunci itu, Bunda Emi memegang sepasang bahuku sambil bertanya, “Gak pengen nengok anaknya sekarang?”

Aku ketawa kecil, karena aku tahu apa yang dimaksud dengan “nengok anaknya” itu. Maka sahutku, “Tentu aja. Orang bilang, kalau wanita sedang hamil, memang harus sering - sering ditengok, supaya bayinya kuat dan tidak lemes. Apalagi kalau sudah tau bayinya laki - laki gitu.”

“Tapi jangan terlalu menggencet perutku ya. Kasian bayinya,” ucapnya.

“Santai aja. Aku sudah tau kok cara menyetubuhi wanita hamil.”

“Tentu aja udah berpengalaman. Istri empat dan keempat - empatnya sudah pada punya anak kan?” cetusnya sambil melepaskan baju hamilnya.

“Hehehe… iyaaa…” sahutku sambil menanggalkan baju kaus dan celana panjangku. Lalu mengikuti Bunda Emi, naik ke atas bed.

Kuusap usap perut mantan dosenku yang tinggal mengenakan celana dalam saja itu (karena ternyata dia tidak mengenakan beha di balik baju hamilnya tadi). Kemudian kuciumi pusar perut yang sudah agak membesar itu sambil berkata, “Tetap sehat di dalam perut Bunda dan semoga lancar lahirannya nanti ya anakku…

“Amiiin… “tanggap Bunda Emi sambil tersenyum senang.

Ketika menoleh ke arah sepasang payudara Bunda Emi yang sudah lain dari biasanya, kuusap - usap juga payudara mantan dosenku itu sambil berkata, “Seperti sudah ada ASInya ya?”

“Belum ada. Tapi memang toketku membesar belakangan ini,” sahutnya.

Aku mengalihkan perhatianku ke bagian di bawah perut Bunda Emi. Lalu kuselundupkan tanganku ke balik celana dalam yang belum ditanggalkan itu sambil berkata, “Memek wanita hamil itu enak lho… rasanya unik… pokoknya beda dengan memek wanita yang tidak sedang hamil.”

“Masa sih?!” cetusnya sambil membiarkan tanganku menggerayangi kemaluannya.

“Tapi kalau mau menyetubuhi wanita hamil, gak boleh dijilatin memeknya.”

“Kenapa?”

“Karena dikuatirkan ada bakteri dari air liur, lalu mengganggu kesehatan bayinya.”

“Ogitu. Ya udah jangan pakai cunnilingus. Tapi fingering sih perlu, biar basah. Soalnya kontol Sam kan gede banget, kalau langsung dimasukkan bisa sakit memekku.”

“Kan ini juga sedang fingering,” sahutku sambil memutar - mutarkan ujung jari tengahku yang sedang menekan kelentit Bunda Emi.

“Iya… tolong lepasin dulu dong celana dalamku. Biar leluasa fingeringnya.”

“Iya… seperti apa bentuk memek Bunda dalam keadaan sedang hamil gini ya?” ucapku sambil menurunkan celana dalam Bunda Emi, sampai terlepas dari kakinya.

Lalu aku menelungkup di antara kledua kaki Bunda Emi yang sudah mengangkang. Bukan untuk menjilati memeknya, tapi untuk mengelus - elus kelentitnya dengan jempol kiriku, sementara jari tengah dan telunjuk kananku dibenamkan ke dalam liang memeknya…!

Kedua tanganku aktif. Yang kiri untuk mengelus - elus kelentitnya dengan agak ditekan supaya lebih terasa, sementara dua jari tangan kananku digerak -gerakkan seperti penis sedang mengentot.

“Ayaaah… ooooh… Bunda udah lama banget merindukan sentuhan Ayah… “rintih Bunda Emi sambil menggeliat -geliat.

Agak lama aku melakukan semuanya ini. Sampai akhirnya aku merasa sudah tiba saatnya untuk melakukan penetrasi.

Maka kulepaskan celana dalamku. Lalu kupegang penis ngacengku, yang moncongnya kuarahkan ke mulut memek Bunda Emi yang tampoak agak melongo kemerahan itu.

Bunda Emi pun memegang leher penisku, sambil membimbing agar moncongnya tepat sasaran.

Lalu kudorong penisku sekuatnya. dan… blessssss… masuk sedikit. Dorong lagi… blessss masuk lagi sedikit. Dorong lagi… blesss… masuk lagi sampai lebih dari setengahnya.

Lalu aku menelungkup di atas perut mantan dosenku. Dengan sikut menahan tubuhku agar perutku tidak menggencet perut Bunda Emi yang sudah agak buncit itu.

“Tuh… nggak ngegencet perut Bunda kan?!” kataku sambil mencolek pipi Bunda Emi.

“Iya… Ayah kan udah pengalaman ML sama istri hamil,” sahut Bunda Emi sambil tersenyum, “Ayo entotin. Jangan direndem terus. Entar keburu jadi es batu lho.”

Aku pun mulai mengentot memek wanita yang sudah hamil ini.

Meski nafsuku sudah menguasai jiwa, namun aku mengentot Bunda Emi dengan hati - hati. Karena tak mau pewrutku menggencet perutnya.

Rasa memek wanita hamil memang lain dari memek wanita tidak hamil. Memang lebih maknyus rasanya. Mungkin semuanya itu diciptakan Tuhan, agar wanita yang sedang hamil jangan sering - sering ditinggal pergi. Maka diciptakanlah rasa yang lebih joss… agar sang Suami selalu pulang ke rumah.

“Memek Bunda lebih enak daripada biasanya…” ucapku ketika entotanku masih berjalan perlahan.

“Kontol Ayah juga terasa jauh lebih enak daripada biasanya… percepat dikit entotannya Ayaaah… iyaaaaaaaa… iyaaaa… kok ada ya kontol seenak inmi di dunia… iyaaaaaa… enak Sayang… kiyaaaaaaaa… iyaaaa… oooohhhhh… enak sekali Sayaaaang… aaaaaa… aaaaaah …

Meski menahan tubuhku dengan meletakkan kedua sikutku di kasur, namun dengan sikut sebelah saja aku bisa menahan tubuhku. Jadi tangan yang lain bisa digunakan untuk meremas toket mantan dosenku yang jadi lebih gede daripada biasanya itu.

Pada saat Bunda Emi sedang hamil, aku pun jadi kreatif. Persetubuhan ini kulanjutkan dengan menjuntaikan kedua kaki Bunda, sehingga bokongnya berada di pinggiran bed. Lalu kugenjot memek Bunda sambil berdiri membungkuk di lantai. Malah dalam posisi ini aku bisa habis - habisan “menghajar” memek mantan dosenku yang seolah sudah menjadi istriku itu.

Bunda Emi pun tampak lebih enjoy dalam posisi ini.

Desah dan celoteh mantan dosenku semakin berhamburan dari mulutnya, “Ooooo… oooooh… oooooo… oooooh… Sayaaaaang… aku… sayang padamu… oooooh… aaaaah… aaaa… aaaah… enak banget Sayaaaaang… aaaaa… aaaah… entot terus Yaaaaang… entooooootttttt… entooooooot …

Kedua kaki Bunda semakin mengangkang, seolah disengaja agar penisku semakin leluasa mengentotnya.

Namun pada suatu saat Bunda Emi merengek, “Sayaaaang… lepasin bareng yuk…”

“Emangnya Bunda sudah mau lepas?” tanyaku sambil memperlambat entotanku.

“Iya Sayang…”

“Ayo deh,” ucapku sambil mempercepat entotanku. Makin lama makin cepat. Sementara mantan dosenku mulai klepek - klepek. Dan akhirnya kedua kakinya terjulur lurus dalam keadaan kejang -kejang…!

Pada saat itulah kubenamkan penisku sedalam mungkin, lalu kubiarkan menancap di dalam liang memek yang sedang menggeliat dan mengejut - ngejut ini. Lalu penisku mengejut - ngejut kencang, diiringi dengus - dengus nafasku yang tertahan - tahan…!

Air maniku pun bersemprotan dari moncong penisku… creeeeeet… cret… croooooot… croooottt… cretcret… crooootttt…!

Waktu penisku dicabut, kulihat mulut memek Bunda Emi melelehkan spermaku yang lumayan banyak… lalu berjatuhan ke pinggiran bed.

“Terima kasih Ayah,” ucap Bunda Emi sambil tersenyum manis. Aura kecantikannya pun memancar dari wajahnya. Aura wanita yang baru mengalami orgasme.

Aku pun naik ke atas bed lagi. Lalu berkata, “Bunda tau apa yang sudah terjadi pada rumah dan tanah yang dijual padaku itu?”

“Sedang dibangun untuk supermarket besar ya,” sahutnya, “Punya siapa bangunan untuk supermarket itu?”

“Punyaku. Mmm… sebaiknya Bunda gak usah ngajar lagi.”

“Lalu dari mana aku punya uang untuk kebutuhan hidup?”

“Bunda akan kuangkat jadi direktur supermarket itu. Gajinya akan jauh lebih besar daripada gaji dosen.”

Bunda Emi duduk dan menatapku dengan sungguh - sungguh. “Serius?!”

“Tentu aja serius. Soalnya aku ingin menikahi Bunda setelah anak kita lahir. Tapi nikah siri aja, karena jumlah istriku sudah maksimal.”

“Mau Sayang… mauuu…”

“Berarti sekitar empat atau lima bulan lagi, Bunda akan kuangkat menjadi direktur supermarket itu ya.”

“Siap Big Boss… !”

“Hush… jangan manggil Boss gitu ah. Gak enak dengarnya.”

“Kayaknya managemen supermarket sih gak rumit ya.”

“Iya. Sama aja dengan orang buka toko, tapi dalam skala lebih besar. Yang penting selalu teliti dan… aaaah… sebagai dosen managemen Bunda pasti mampu menjalankan dan mengembangkan supermarket itu. Masalah modal, sudah kusediakan secukupnya.”

“Kapan supermarket itu dibuka?”

“Dua bulan lagi. Siap - siap aja untuk menjadi Ibu Direktur.”

Lalu kusebutkan gaji yang bakal diterimanya setelah menjadi direktur supermarket itu nanti.

“Lebih besar daripada gaji dosen kan?”

“Iya… jauh lebih besar, Sayang. Terima kasih sebelumnya yaaa…” ucap Bunda Emi sambil mengecup bibirku dengan mesranya.

“Soal biaya anak kita dan masa depannya, seratus persen menjadi tanggung jawabku,” kataku.

“Iya… aku percaya…”

“Tapi masalah nikah siri kita harus dirahasiakan ya. Di depan orang lain, kita harus bersikap sebagai owner dengan direktur saja.”

“Iya Sayang. Percayalah… aku pasti bisa bersikap dan berperilaku secara profesional. Aku juga akan serius mengurus dan mengembangkan supermarket itu.”

“Memang harus profesional. Karena setelah supermarket itu dipegang oleh Bunda, aku akan sibuk untuk mengurus hotel dan perusahaan - perusahaanku yang di Surabaya.”

“Iya. Hmmm… hatiku yang tadinya agak sumpek, sekarang jadi lega… lega sekali.”

“Jangan lupa, kalau anak kita sudah lahir, sebaiknya cari babysitter yang bisa dipercaya. Supaya Bunda bisa konsen ke supermarket itu.”

“Gak usah pakai babysitter. Aku akan bawa adik kandungku aja dari kampung. Dia baru tamat SMA, tapi kelihatannya tidak berminat untuk melanjutkan pendidikannya. Daripada nganggur di kampung terus, mendingan dibawa ke sini, sekalian dilatih untuk merawat bayi.”

“Itu bvagus. Sembarangan pilih babysitter di zaman sekarang, banyak juga bahayanya. Nanti adik Bunda itu kasih uang jajan yang kira - kira sama dengan gaji babysitter.”

“Iya, iya Sayang.”

Menjelang malam tiba, kutinggalkan rumah mantan dosenku itu. Dengan dada yang terasa plong. Karena akju sudah bertekad, bahwa semua perempuan yang pernah kugauli, akan kutempatkan di perusahaan - perusahaanku. Supaya mereka bisa menjadi tgangan kananku semua.

Ya, aku tak mau perempuan - perempuan yang sudah kugauli itu hidup dalam kesusahan. Derajat mereka harus tetap kujaga agar jangan sampai ngedrop. Memek mereka pun harus tetap menjadi “wadah” penyaluran hasrat birahiku…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu