3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 33

Tante Salma merintih dan merintih terus dengan kedua tangan mengepak-ngeppak kain seprai. “Saaaam… kontolmu edaaan… terasa banget menggesek-gesek liang memekku Saaaam… aaaaaa… aaaahhh… entot terus Saaaam… jangan brenti-brenti… iyaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaaaa… entooooooot… entoooot terussss..

iyaaaaaaaaa… ini luar biasa enaknya Saaaaammmmm… !”

Aku pun semakin gencar mengentot tanteku. Tak cuma mengentot, aku pun mulai terangsang melihat bulu ketiak Tante Salma yang dibiarkan tumbuh gondrong. Maka dengan lahap kujilati ketiak berambut gondrong itu tanpa ragu sedikit pun.

Kalau sudah lama menjilati ketiaknya, mulutku pun pindah sasaran ke sampingnya. Ke pentil toketnya. Di situ aku mengulum sambil menjilati puncak pentilnya. Terkadang aku menyedot-nyedot badan toketnya disertai dengan gigitan-gigitan kecil. Bahkan aku pun mulai mencupangnya berkali-kali, sehingga meninggalkan bekas merah menghitam di badan toket Tante Salma.

Tapi Tante Salma justru senang toketnya dicupangin. Senang juga lehernya dijilatin. Leher yang sudah basah oleh keringatnya.

Dabn akhirnya ia berkelojotan… pasti menuju orgasme pertamanya…!

Aku pun menggenjot batang kemaluanku, mengaduk-aduk liang belut tanteku. Untuk menyambut datangnya Sang Orgasme…!

Ya… dugaanku tidak salah. Tante Salma akhirnya mnggeliat dan mengejang. Sambil meremas kedua pangkal lenganku, diiringi erangan erotisnya, “Saaaaam… oooooo… oooohhhhh… !”

Nafasnya tertahan. Matanya terpejam erat-erat. Lalu terasa liang sanggamanya berkedut-kedut kencang. Sementara penisku sengaja kubenamkan dalam - dalam. Untuk ikut menikmati indahnya liang memek yang sedang orgasme. Kedua gunung kembarnya pun sengaja kuremas lebih kuat dari biasanya.

Wow… terasa sekali liang memek Tante Salma jadi basah sekali. Kebanjiran lendir libidonya. Lendir yang telah sekian tahun tak pernah menghiasi lorong surgawinya.

“Aaaaaaah …” Tante Salma melepaskan nafasnya yang barusan lama tertahan. Mata indahnya pun terbuka sayu. Menatapku dengan senyum di bibirnya. Senyum kepuasan seorang wanita yang baru mencapai puncak kenikmatannya. “Terima kasih, Sayang… sudah lama sekali aku tidak merasakan nikmatnya disetubuhi lelaki…

Aku hanya menanggapinya dengan senyum, sambil membiarkan penisku tertancap di dalam liang memeknya. Penis yang belum meletupkan lahar putih kentalnya.

“Kamu belum ngecrot?” tanyanya sambilmengusap-usap tambutku yang acak-acakan.

“Belum,” sahutku, “santai aja. Aku bisa menunggu sampai Tante pulih lagi fisiknya.”

“Mau ganti posisi?”

“Boleh. Ganti ke posisi doggy aja ya.”

“Ayo,” sahut Tante Salma terdengar bersemangat kembali. Berarti dia sudah bergairah lagi untuk menikmati genjotan kontola - kontoleku.

Lalu kucabut batang kejantananku dari liang kewanitaan Tante Salma. Diikuti dengan gulingan tubuh Tante Salma. Jadi menelungkup dan menungging. Seperti pacet yang mau melompat dari pohon ke pohon lain. Aku pun berlutut di depan bokong yang sedang ditungggingkan itu, sambil memegang kontolku yang belum ejakulasi dan masih sangat ngaceng ini.

Kemudian, dengan mudahnya batang kemaluanku membenam ke dalam liang memek Tante Salma yang masih sangat becek ini. Kutepuk-tepuk sepasang buah pantat yang bentuknya sangat indah ini… plok… plok… plok… plooook…!

Dan mulailah aku mengentotnya sambil berpegangan ke bokong tanteku.

Sementara Tante Salma tetap menungging sambil memeluk dua bantal sekaligus untuk tumpuan dagunya.

“Sam… !“

“Ya?”

“Tanganmu pasti bisa mencapai itilku. Biar entotanmu dibarengi elusan jarimu ke itilku seperti waktu jilatin memekku tadi.”

Memang tanganku bisa mencapai bagian atas memek Tante Salma. Kucari-cari sebentar, sampai akhirnya kutemukan itil tanteku itu. Lalu kulanjutkan entotanku sambil mengelus-elus kelentit tanteku yang masih tegang ini.

Dan Tante Salma mulai ngoceh lagi, “Iya Sam… oooh… enak sekali Sam… entot terus Sam… sambil elus - elus terus itilku Saaam… ooooh… Saaam… ini enak sekali Saaam… itilnyaaa gesek… iiitiiiiiilllnyaaaaa… !”

Cukup lama berlangsungnya persetubuhan dalam posisi doggy ini.

Sehingga tubuhku sudah bersimbah keringat. Tante Salma pun minta untuk melanjutkannya dalam posisi missionaris kembali. Posisi yang paling sempurna di antara sekian banyak posisi.

Sebelum melanjutkan persetubuhan dalam posisi konvensional ini, Tante Salma berkata, “Jangan dilepaskan di dalam ya Sam.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Nanti kalau aku hamil gimana?”

“Ya rawat aja bayinya dengan sebaik mungkin. Aku siap untuk menanggung biayanya.”

Tapi kalau ketahuan keluarga besar, bisa dikucilkan aku nanti…”

“Biarin aja…”

“Yahhh… terserah kamu aja deh…”

“Tenang aja Tante… segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya…” ucapku sambil mulai mengentotnya kembali. Dibarengi dengan remasan di toket kanannya, sementara pentil toket kirinya berada dalam kuluman dan jilatan ujung lidahku.

Tante Salma pun mulai memperlihatkan kebolehannya dalam menggoyang pinggulnya. Memutar-mutar, meliuk-liuk dan menghempas-hempas. Terlebih pada waktu aku mulai menjilati lehernya yang sudah basah oleh keringatnya, disertai dengan gigitan-gigitan kecil… semakin edan-edanan pula goyangan pinggul Tante Salma itu.

Aku pun semakin bergairah untuk menggenjot batang kemaluanku dalam gerakan yang semakin kencang dan keras. Sehingga berkali-kali aku merasakan moncong penisku mentok di dasar liang memek Tante Salma.

Gak nyangka, liang memek tanteku ini ternyata enak sekali. Membuatku lupa pada segalanya.

Ketika mulutku sudah berada dekat ketiaknya yang berbulu lebat itu, Tante Salma sengaja mnengangkat tangannya ke dekat kepalanya. Seolah ingin memberiku keleluasaan untuk menjilati ketiak gondrongnya itu.

Keringat pun semakin membanjir di tubuh kami.

Sampai pada suatu saat… Tante Salma berkelojotan lagi. Mungkin dia mau orgasme lagi. Sedangkan aku pun merasa sedang berada dalam dertik-detik yang krusial. Detik-detik menuju ejakulasi…!

Maka kupercepat ayunan penisku. Sementara Tante Salma msudah terkejang - kejang.

Lalu pada suatu saat kubenamkan penisku sedalam mungkin, kemudian kudiamkan tanpa digerakkan lagi. Pada saat itulah kurasakan liang kemaluan Tante Salma menggeliat dan berkedut-kedut kencang… bersamaan dengan penisku yang sedang mengejut-ngejut sambil memuntahkan lahar putih kental hangat…

Crooootttt… croooottt… crooottttttt… crotcrot… croooooooottttttt… croooooootttt…!!

Lalu kami sama-sama terkapar di pantai kepuasan.

Semua itu baru awalnya. Karena setelah malam tiba, kami bersetubuh lagi. Menjelang pagi pun kami bersetubuh lagi dengan sepenuh gairah yang menagih-bnagih di jiwa kami.

Dua hari kemudian anak Tante Salma yang bernama Sisi itu pun datang. Membuatku terpana setelah melihat bentuk adik sepupuku itu…

Rasanya tidak berlebihan kalau Tante Salma mengatakan anaknya yang bernama Sisi itu cantik. Bahkan setelah berjumpa denganku, aku bisa bilang Sisi itu cantik sekali…!

Ini perempuan kedua yang tercantik di dalam lingkunganku.

Kalau aku memberi nilai 95 buat Merry, maka Sisi pun mendapat nilai yang sama, 95. Karena baik Merry maupun Sisi nyaris sempurna di mataku.

Sisi memiliki mata yang bundar bening, bulu mata yang lentik, alis yang tebal tanpa bantuan penghitam, hidung yang mancung meruncing, pipi yang tirus, sepasang bibir yang seolah bibir boneka barbie, dagu yang lancip dan… lesung pipitnya senantiasa menghiasi pipinya pada waktu ia tertawa atau tersenyum.

Perawakan SIsi pun nyaris sempurna. Pinggang yang ramping dengan bokong yang semok. Sementara kulitnya putih bersih, laksana kulit bidadari yang baru turun dari kahyangan.

Semua itu kuperhatikan secara diam-diam. Tanpa memperlihatkan rasa kagumku pada adik sepupuku itu. Padahal hatiku benar-benar mengaguminya…!

“Kamu akan kujadikan asisten pribadiku merangkap sebagai sekretaris pribadi juga,” ucapku sebagai awal pembicaraan mengenai job yang akan dipikul oleh Sisi.

“Siap Bang,” ucap adik sepupuku yang luar biasa ccantiknya itu.

“Kamu akan menjadi orang yang paling kupercayai di hotel ini nanti. Tadinya aku akan menyekolahkanmu di akademi sekretaris. Tapi setelah dipikir-pikir, hal itu tidak perlu. Besok aku akan membelikan buku-buku mengenai perhotelan, job sekretaris dan asisten pribadi. Pelajari aja semua buku yang kuberikan besok.

“Siap Bang.”

Kemudian kupanggil dua orang karyawan hotel. Kusuruh mereka membenahi meeting room untuk dijadikan kamar Sisi. Meja rapat dan kursi-kursinya dikeluarkan. Kemudian bed cadangan yang masih baru dimasukkan dan ditata di meeting room yang sudah kosong itu. Berikut meja rias dan satu stel sofa.

Aku memang tidak membutuhkan meeting room segala. Kalau mau mengumpulkan karyawan-karyawati untuk memberikan briefing, bukankah aku sudah punya convention hall itu?

Tante Salma pun pulang ke Makassar setelah berkali-kali mengucapkan kalimat “Titip Sisi ya”. Yang selalu kujawab dengan anggukan.

Setelah Tante Salma berlalu, tentu saja aku membekalinya sejumlah uang yang cukup berarti baginya, aku mengajak Sisi ke FO (factory outlet langganan Frida). Di situ kusuruh Sisi memilih pakaian yang cocok menurut seleranya. Karena dia akan menjadi tangan kananku di hotel. Dengan sendirinya semua pakaian yang dikenakannya harus selalu pantas dan berwibawa, meski usianya baru 18 tahun.

“Pilih sepuluh atau selusin stel pakaian. Supaya penampilanmu lebih cantik dan berwibawa nanti,” kataku.

Meski bersikap malu-malu, akhirnya Sisi mau juga mengikuti perintahku. Dipilihnya 10 helai gaun yang lumayan bagus dan cocok untuk ukuran tubuhnya yang tinggi semampai dengan bokong yang semok.

Semua yang dipilihnya itu gaun sopan. Sedangkan aku ingin juga membelikannya gaun seksi. Gaun mini dengan belahan dada yang lebih terbuka, tanpa lengan pula. Kuambil dua helai gaun yang sesuai dengan keinginanku. Dan kugabungkan dua helai gaun itu dengan gaun pilihan Sisi sendiri. “Gaun ini bukan untuk dipakai di hotel pada jam kerja.

Sisi hanya menatapku dengan sorot heran. Tapi tidak membantah sepatah kata pun.

Setelah meninggalkan FO itu, kubawa Sisi ke sebuah toko buku yang paling lengkap di kotaku. DI situlah kubelikan bermacam-macam buku yang perlu dibaca dan dipelajari oleh Sisi. Buku-buku tentang ilmu perhotelandan kesekretarisan. Bahkan buku-buku managemen dan marketing pun kubelikan.

“Pelajari semua buku itu nanti ya. Baca dan pelajari sedikit-sedikit saja, sampai hafal kesimpulan - kesimpulannya,” kataku setelah berada di dalam mobil yang sudah kularikan di jalan aspal menuju sebuah rumah makan langgananku pada waktu masih jadi mahasiswa dahulu.

“Iya Bang,” sahutnya dengan nada bersemangat.

“Di Makassar kamu punya pacar?” tanyaku tiba-tiba, yang mungkin mengagetkannya.

“Nggak punya Bang,” sahutnya, “Dulu pernah punya pacar, tapi cuma cinta monyet. Lalu putus begitu aja. Sampai sekarang belum pernah pacaran lagi.”

“Kamu ini cantik Sis… jadi jangan sembarangan menerima cowok sebagai pacarmu. Harus jelas dulu masa depannya ke mana.”

“Iya Bang. Mama malah bilang, aku hanya boleh pacaran sama Bang Sam.”

“Haaa?! Mamamu bilang gitu?”

“Iya Bang.”

“Hahahaaa… kita kan saudara sepupuan. Tapi gak masalah juga sih. Emangnya kamu mau dijadikan pacarku?”

“Mmmm… mau Bang.”

“Karena patuh pada anjuran mamamu?”

“Bukan.”

“Karena aku dianggap banyak duit?”

“Bukan juga.”

“Lantas apa sebabnya?”

“Karena… hihihi… malu nyebutinnya.”

“Kok malu segala. Jawab dong terus terang. Kenapa kamu mau dijadikan pacarku?”

“Karena Bang Sam ganteng dan… sejak awal pun aku sudah terpesona melihat kharisma Bang Sam.”

Tangan kiriku memegang tangan kanan Sisi, sambil berkata, “Kamu juga cantik dan penuh pesona, Sisi…”

Sisi terdiam. Tapi tiba-tiba dia mengecup pipi kiriku. Membuatku tersentak kaget.

“Hihihi… maaf ya Bang. Aku gak kuat nahan gemes… ingin mencium Bang Sam dari kemaren… !” ucapnya malu-malu. Wah… Sisi ini laksana air tenang menghanyutkan.

“Kalau mencium harus ke bibir dong,” kataku sambil meremas tangannya yang masih kupegang.

“Kan bahaya, Abang sedang nyetir.”

Dan hari mulai gelap ketika kami tiba di depan rumah makan langganan lamaku itu.

“Rumah makan ini langgananku pada waktu aku masih mahasiswa dahulu. Kebanyakan yang makan di sini mahasiswa, karena dekat kampus,” kataku pada waktu kami sudah berada di dalam rumah makan yang menggunakan system buffet (prasmanan) ini.

“Iya,” sahut Sisi sambil mengambil piring dan sendok garpu, lalu mengambil nasinya juga, “jenis makanannya banyak ya Bang.”

“Iya… semua makanan di sini murah tapi enak.”

Setelah mengambil lauk pauknya, kami perlihatkan makan di piring kami di depan kasir yang lalu menghitung berapa rupiah kami harus membayarnya. Kemudian kami mengambil meja di sudut yang tampak sepi, setelah membayar semua makanan kami.

Setelah sama-sama duduk, Sisi berkata, “Bang Sam hebat. Sudah jadi big boss masih mau makan di tempat makan mahasiswa gini.”

“Hmm… sebenarnya aku lebih sering makan di tempat seperti ini. Bukan pelit, tapi memang lebih nikmat makannya. Daripada makan di restoran - restoran yang penuh kepalsuan dengan keramahan pelayannya, tentang aneka ragam masakan Eropa dan Amerika. Padahal mereka hanya ingin mengeduk keuntungan sebanyak mungkin.

“Iya Bang. Di Makassar juga begitu. Banyak restoran yang biasa disinggahi oleh boss -boss tambang dan tengkulak ikan… harganya selangit semua.”

“Yang penting makanan itu sehat untuk kita. Jangan pikirkan penampilannya.”

Lalu kami makan tanpa banyak bicara lagi.

Sementara pikiranku melayang-layang tak menentu. Tentang segala hal. Terutama tentang Sisi yang sangat cantik ini. Mampukah aku menahan perasaan setibanya di hotelku nanti?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu