3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 10

**

Baru beberapa saat aku berpisah dengan Rima dan Mbak Ita, handphoneku berdering. Ternyata Mamie yang nelepon. Mamie yang sudah sangat kurindukan. Lalu :

“Hallo Mamie tercinta… !”

“Lagi di mana Sayang?”

“Lagi di mall Mam.”

“Ngapain di mall?”

“Nyari baju kaus buat olah raga,” sahutku berbohong, “Pasti ada kabar baik nih. Mamie sudah bersih kan?”

“Iya sudah bersih sejak kemaren. Tapi terkadang suka ada flek sesudahnya. Jadi biar aman, mendingan besok aja ketemuannya ya Sayang.”

“Mamie mau datang ke Rumah Cinta?”

“Kayaknya mending di rumah mamie aja Sayang. Besok pagi Papa mau terbang ke Surabaya. Jadi kita bebas selama tiga hari.”

“Siap Mam. Besok siang aku akan merapat ke rumah Mamie.”

“Iya. Mamie udah sangat kangeeeen sama kamu.”

“Sama, aku juga kangen banget sama Mamie.”

“Ya udah. Sampai jumpa besok siang ya.”

“Iya Mam. Paginya aku kuliah dulu. Mungkin sekitar jam dua siang aku tiba di rumah Mamie.”

Dan… baru saja kututup hubungan seluler dengan Mamie, datang WA dari Rima yang mungkin sudah pisah dengan Mbak Ita. Isinya :

-Terima kasih buat keindahan yang sudah terjadi, yang akan kuingat sepanjang masa-

Kubalas*- Sama-sama. Udah pisah sama Mbak Ita?-*

-Udah. Btw kalau aku kangen nanti gimana?-

_

-Kirim WA aja seperti sekarang. Kalau gak sibuk pasti aku datang. Btw Mbak Ita mau diajak lagi nggak?-

-Jangan dulu. Aku ingin konsen berduaan aja denganmu. Ingin merasakan indahnya mendapatkan cowok ganteng dan macho seperti kamu-

-Ya udah. Mudah-mudahan aja aku bisa nyelip di antara kesibukanku nanti-

_

Aku tersenyum sendiri setelah memasukkan hape ke dalam saku jaket kulitku. Ada beberapa sosok yang akan membuatku “sibuk” di hari-hari mendatang. Ada Mamie, ada Tante Ken, ada Mbak Ayu, ada Mama, ada Tante Fenti, ada Mbak Ita dan kini ada pula Rima. Sosok baru yang kelihatannya sudah jatuh hati padaku.

Memang aku mulai kebanjiran perempuan… kebanjiran memek…!

Tapi kalau aku ditanya siapa yang paling wajib kuutamakan, jawabannya pasti Mamie. Karena Mamie bukan sekadar cantik dan kaya raya, tapi juga karena aku “mengemban tugas” dari Papa tercinta dan terhormat!

Karena itu, sekali pun dihampiri oleh bidadari dari kahyangan, aku tetap akan mengutamakan Mamie di atas segalanya.

Esoknya aku membekal tas pakaian di dalam mobilku. Takut kalau Mamie memintaku tidur di rumah utamanya. Lalu aku kuliah dulu sampai jam 13.30. Setelah selesai kuliah, dari kampus aku langsung menuju rumah Mamie.

Di depan pintu gerbang rumah utama Mamie, seorang satpam menghampiri mobilku. Mungkin dia belum kenal dengam mobilku, karena belum pernah dipakai ke rumha utama Mamie. Tapi setelah melihatku di samping jendela mobil yang kubuka, satpam itu terkejut. “Duh maaf Boss, Saya sangka siapa. Silakan…” ucapnya sambil membuka pintu gerbang yang terbuat dari besi.

Aku pun memasukkan mobilku, langsung ke depan garasi yang tertutup. Lalu turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah yang sangat megah tapi sunyi sekali itu. Meski ada beberapa orang pembantu, mereka bicaranya setengah berbisik. Mungkin karena Mamie tidak suka suara-suara yang keras, yang bisa memecahkan konsentrasi pemikiran bisnisnya.

Mamie menyambut kedatanganku dengan kedua tangan terbuka. Membuatku terlongong. Karena siang itu Mamie kelihatan cantik sekali. Andaikan aku harus menikahinya pun aku bersedia. Tapi menurut keterangan para ahli agama, aku takkan pernah bisa menikahi wanita yang pernah jadi istri ayahku. Jadi, seandainya Mamie bercerai dengan Papa pun, aku takkan pernah bisa menikahinya.

Seperti biasa, kucium tangan Mamie. Lalu cipika-cipiki. DIlanjutkan dengan saling peluk erat-erat dan saling lumat bibir dengan hangatnya.

Lalu terdengar suara Mamie di dekat telingaku. “Mamie sudah kangen sekali sama kamu, Sayang…”

“Sama Mam,” sahutku sambil merapatkan pipiku dengan pipi mamie yang hangat dan harum parfum import, “Bahkan di dalam mimpi-mimpi pun wajah Mamie sering hadir.”

Mamie menatapku dengan senyum manisnya yang menggetarkan batinku. Lalu mengajakku naik ke lantai dua.

Di lantai dua ini ada semacam suite room seperti di hotel-hotel five star. Di suite room itu terdapat chat room (ruang obrolan/cengkerama), meeting room ruang rapat), dining room (ruang makan), living room (ruang tamu), bedroom (ruang/kamar tidur) yang lengkap dan sebagainya.

Semuanya itu hanya bisa aktif kalau pemiliknya sudah memasukkan electronic keycard.

Seperti di hotel-hotel berbintang di kotaku, tak ada lagi yang namanya kunci logam. Semuanya sudah menggunakan electronic keycard. Karena itu kita boleh berbangga, karena sejak tahun 2000 hotel-hotel five star di negara kita sudah menggunakan electronic keycard. Sementara di Kamboja, sampai detik ini masih menggunakan kunci putar.

Mamie yang saat itu mengenakan blouse dan spanrok mini serba putih, tampak elegant sekali di mataku. Dan Mamie mengajakku duduk di chat room.

“Tante Ken sudah kamu gauli ya?” tanya Mamie sambil menepuk lututku.

Aku mengangguk salting, “Aku hanya mengikuti anjuran Mamie,” sahutku.

“Nggak apa-apa. Mamie justru merasa kasian pada satu-satunya kakak mamie itu. Sudah belasan tahun dia hidup menjanda. Pasti di dalam hatinya sih merindukan sentuhan pria. Karena itu mamie izinkan kamu untuk menggauli dia. Yang penting jangan sampai hamil. Bisa kacau di kemudian hari kalau dia hamil.

“Iya Mam,” sahutku, “Sekarang tante Ken sudah disuntik KB. Jadi selama enam bulan ke depan gak bisa hamil.”

“Iya. Dia sudah terbuka mengakui semuanya lewat telepon,” ucap Mamie, “Kamu juga pasti dimanjakan sama dia kan?”

“Iya Mam. Dia selalu masak yang enak-enak buatku.”

“Nah, itu salah satu unsur positifnya buatmu kan? Dia memang jago masak. Makanya selama tinggal di sana, kamu nggak usah nyari makan di luar. Dan mamie selalu mentransfer duit tiap bulan. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari kalian berdua. Sementara anaknya yang tinggal di Jakarta, juga selalu ditransfer duit sama mamie.

“Belum pernah Mam. Hanya dengar namanya saja dari Tante Ken.”

“Frida itu cantik sekali, Sam. Kalau sudah ketemu sama dia, pasti kamu bakal tergoda.”

“Di kampusku juga banyak mahasiswi yang cantik. Tapi hatiku ini udah telanjur Mamie miliki. Tak mungkin bisa beralih ke perempuan lain Mam,” sahutku diikuti dengan ciuman hangatku di leher Mamie yang jenjang dan selalu harum.

“Masa sih?!” cetus Mamie sambil menarik ritsleting celana jeansku. Lalu menyelinapkan tangan hangatnya ke balik celana dalamku. Dan menggenggam batang kemaluanku yang sudah mulai menegang ini.

Tak cuma itu. Mamie menurunkan celana jeans dan celana dalamku sampai lutut. Lalu mendorongku sampai terhempas ke sofa putih yang sandarannya sudah direbahkan sampai rata dengan tempat duduknya.

Tapi aku malas untuk menceritakan apa yang terjadoi selanjutnya. Karena Mamie sudah mendapatkan anjuran dokter supaya begini-begitu agar cepat hamil.

Kata dokter, Mamie boleh bersetubuh sehari atau dua hari sekali, tapi jangan bersetubuh dua kali sehari.

Lalu… banyak sekali syarat lainnya. Termasuk harus mencuci alat kelamin bersetubuh dan sebagainya.

Karena itu aku hanya menyetubuhi Mamie sekali saja dan berjanji akan datang lagi dua hari kemudian.

Tiada kesan indah seperti yang kubayangkan sejak dari kampus tadi.

Namun aku berusaha untuk positive thinking saja. Biar bagaimana, Mamie adalah sumber duitku sekarang. Bahkan sebelum meninggalkan rumah utama Mamie tadi, aku mendengar berita menggembirakan. Bahwa Mamie sudah membeli sebuah hotel yang harganya menggeledek. Sekarang hotel itu sedang direnovasi supaya tampak seperti baru lagi.

Dan kalau renovasinya sudah selesai kelak, aku akan ditempatkannya sebagai general manager di hotel itu. Tentu saja aku gembira sekali mendengar kabar baik itu. Tugasku mulai saat ini adalah mempersiapkan diri uintuk menjadi GM hotel itu, sementara kuliahku harus cepat selesai. Untuk itu aku harus membeli buku-buku tentang managemen hotel, membuka-buka internet dan mencari beberapa pengetahuan dari sana, sementara kuliahku harus kuhadapi dengan sangat serius agar cepat selesai.

Sebelum menuju Rumah Cinta, aku mengarahkan mobilku ke mall dulu. Hari pun sudah mulai malam ketika aku mengambil pesananku di sebuah counter jaket dalam mall langgananku. Pesananku adalah 50 buah jaket kulit asli dalam bermacam-macam warna dan ukuran. Semuanya itu bukan untukku, melainkan untuk dikirimkan ke teman-teman di grup WA yang pada umumnya berada di luar Jawa.

Kemudian pelayan counter mengangkut jaket-jaket itu ke mobilku di tempat parkir.

Pada saat itulah aku tidak menyadari bahwa sepasang mata mengawasiku dari dekat sedan yang terparkir di samping mobilku. Lalu setelah jaket-jaket itu dimasukkan semua ke dalam mobilku, terdengar suara wanita memanggilku, “Saaam… !”

Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Seorang wanita muda berdiri di dekat sedan yang pintunya sudah dibuka tapi wanita itu belum masuk ke dalamnya. Karena lampu di tempat parkir itu kurang terang, aku menghampirinya dan ingin jelas siapa yang memanggilku itu.

Seorang wanita cantik tersenyum padaku, “Sudah lupa?” tanyanya.

“Ya Tuhan… Tante Rae?!” sahutku sambil menghambur ke dalam pelukan wanita itu, yang tak lain dari adik bungsu Papa…!

Tante Rae memeluk dan menciumi pipiku sambil berkata, “Kamu kok sombong sekali Sam. Udah berapa tahun gak main ke rumahku?”

“Duh maaf Tante… memang aku belakangan ini sibuk sekali.”

“Sekarang ke rumahku ya.”

“Mmm… boleh deh, “aku mengangguk, “Tante bawa mobil itu?” tanyaku sambil menunjuk ke sedan merah maroon di samping Tante Rae.

“Iya. Kamu juga bawa mobil?”

“Iya.”

“Ya udah kita konvoi aja yuk.”

“Boleh. Silakan Tante duluan, aku akan ngikutin dari belakang.”

Beberapa saat kemudian sedan merah maroon metalic itu bergerak duluan. Aku pun mengikutinya dari belakang.

Aku jadi teringat masa kecilku. Tante Rae itu sangat baik padaku. Setiap kali aku main ke rumahnya yang agak jauh di luar kota, selalu saja dia ngasih duit buat jajan yang lumayan banyak buatku.

Tante Rae itu adik bungsu Papa, tapi ibunya berbeda dengan ibu Papa. Ayah Papa kawin lagi dengan wanita lain setelah isterinya meninggal. Lalu dari wanita itu lahirlah Tante Rae. Begitu penjelasan yang kudengar dari Papa.

Itulah sebabnya usia Papa jauh lebih tua daripada Tante Rae. Perbedaan usia mereka 26 tahun. Sekarang usia Papa sudah 53 tahun. Berarti usia Tante Rae 27 tahun.

Adik Papa bukan hanya Tante Rae. Ada lagi tiga orang adik Papa yang seayah dan seibu, yakni Tante Rose, Tante Salma dan Tante Mariah. Tapi mereka tinggal di luar Jawa semua. Ada yang di Makasar, di Samarinda dan di Ambon. Sehingga aku pun sudah lupa seperti apa bentuk mereka semua.

Lebih dari sejam aku mengikuti sedan Tante Rae dan sudah berada di luar kota. Dan akhirnya sedan itu berbelok ke pekarangan sebuah rumah jadul tapi besar sekali. Pekarangannya pun lumayan luas.

Menurut keterangan Papa, rumah itu adalah milik ibunya Tante rae (ibu tiri Papa). Waktu masih kecil aku sering main ke rumah ini. Dan bentuknya tetap sama seperti dahulu. Hanya catnya saja yang sudah berubah. Jadi serba biru langit.

Seingatku, terakhir aku main ke rumah Tante Rae ini waktu masih duduk di kelas tiga SMP. Berarti sudah lima tahunan aku baru menginjak rumah ini lagi.

Seorang wanita setengah baya menghampiri mobil Tante Rae. Lalu mengangkut belanjaan Tante Rae ke dalam rumah. Pasti wanita itu pembantu Tante Rae.

Aku duduk di kursi jati dengan jok yang menggunakan per. Kursi ini sering kududuki dahulu. Sehingga aku berkata, “Semuanya masih tetap seperti dahulu, Tante. Termasuk kursi yang kududuki ini, masih kursi yang dahulu. Hanya joknya saja yang diganti ya.”

“Iya. Perabotan di sini hampir semuanya terbuat dari kayu jati. Jadi tidak ada yang perlu diganti. Paling juga diganti pliturnya saja,” jawab Tante Rae.

“Iya… semuanya tetap seperti dahulu Tante.”

“Tapi kamu sudah berubah sekali Sam. Sekarang kamu jadi ganteng sekali sih?! “puji Tante Rae sambil duduk merapat ke sampingku, “Kamu ini jadi artis juga pantes Sam.”

“Mmm… Tante bisa aja. Justru Tante yang makin cantik aja. Tapi… itu foto siapa Tante?” tanyaku sambil menunjuk ke foto besar yang dilapisi kaca dan diberi bingkai ukir kayu jati. Di foto itu tampak Tante Rae berdampingan dengan lelaki yang usianya kira-kira sebaya dengan Papa.

“Itu aku dan suamiku Sam.”

“Haaa?! Kapan Tante menikah? Kok aku gak tau?!”

“Pernikahannya tiga tahun yang lalu. Memang acaranya diem-diem saja, gak ada yang diundang. Tapi papamu hadir, sebagai walinya.”

“Ohya? Kenapa pernikahannya diem-diem?”

“Aku cuma jadi istri muda Sam. Nikahnya juga cuma nikah siri. Karena kalau minta izin pada istri pertama, pasti tak akan diizinkan.”

“Asyik dong jadi istri muda. Pasti Tante dimanjain.”

“Kamu tau aja, “Tante rae menepuk lututku, “Tapi memang aku sangat dimanjakan oleh suamiku. Hanya saja.. tiap malam aku kesepian terus Sam.”

“Emangnya suami Tante jarang nginap di sini?”

“Dia hanya datang seminggu sekali. Itu pun hanya di jam kerjanya. Karena kalau malam dia harus pulang ke rumahnya.”

Aku terdiam. Membayangkan kesepiannya Tante Rae. Seperti kesepiannya Mama yang semakin jarang “ditengok” oleh Papa, namun duit Papa jadi mengalir ke tangan Mama sebagai kompensasinya.

“Kamu sudah kuliah sekarang ya?”

“Iya Tante.”

“Sudah semester berapa?”

“Semester empat.”

“Tapi sekarang kamu udah punya mobil segala Sam.”

“Mobil inventaris perusahaan Tante. Sekarang aku kan kuliah sambil magang di kantor Papa.”

“Ohya?!”

“Iya. Sekarang Papa kan udah jadi decision maker di perusahaan. Karena ownernya dijadikan istri muda Papa.”

“Ohya?! Papamu menikah lagi?!”

“Iya Tante.”

“Owh… owner perusahaan itu perempuan?”

“Betul.”

“Gadis apa janda?”

“Masih gadis tapi waktu menikah dengan Papa sudah tigapuluhdua tahun umurnya.”

“Hihihiii… pandai juga papamu menggaet hati gadis kaya raya ya? Tapi… papamu memang ganteng kok. Dan kegantengannya menurun padamu.”

“Kalau Tante bisa cantik begini menurun dari siapa?” tanyaku.

“Mmm… sebenarnya keluarga kita cantik-cantik dan ganteng-ganteng kok. Mungkin karena dari atasnya juga begitu. Kok kamu bisa bilang aku cantik sih?” Tante Rae menepuk lututku lagi.

Kutatap wajah Tante Rae yang memang cantik itu. Lalu menyahut, “Orang buta aja yang gak bilang Tante cantik sih.”

Tante Rae tersenyuim manis. Manis sekali. Lalu mencium pipi kiriku, disusul dengan bisikan, “Terus kamu suka melihat kecantikanku?”

“Sa… sangat suka Tante…”

“Apalagi kalau melihatku sudah telanjang, pasti kamu tergiur olehku.”

Aku terkejut mendengar ucapan tanteku itu. Dan langsung membuat batinku berdesir-desir.

“Mau dong lihat Tante telanjang,” sahutku nyeplos begitu saja.

Tante Rae tersenyum. Mencium pipi kiriku lagi. Lalu berkata, “Kalau mau lihat aku telanjang, kamu harus nginap di sini sekarang. Mau?”

“Sebenarnya aku harus ngepak barang-barang yang mau dipaketin malam ini. Tapi demi Tante… mau deh…!” sahutku.

“Demi tante apa demi ingin melihat sesuatu pada diriku?”

“Demi dua-duanya. Pertama, aku memang sudah lima tahun lebih gak ketemu sama Tante. Kedua… hehehe…”

“Kedua apa?” tanya Tante Rae sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

Kujawab dengan bisikan, “Ingin melihat Tante telanjang…”

Tante Rae pun menyahutnya dengan bisikan, “Terus… kalau sudah melihatku telanjang, mau ngapain?”

“Aku mau ikutin aja apa maunya Tante,” sahutku sambil memegang tangan Tante Rae yang sedang mengusap-usap lututku.

“Cowok itu harus tegas Sam. Jelaskan aja apa yang akan kamu lakukan.”

“Takut salah ngomong. Soalnya aku berhadapan dengan tanteku sendiri sih.”

“Siapa pun dirimu dan diriku, kamu harus tetap tegas menyatakannya.”

“Takut Tante marah.”

“Nggak. Aku takkan marah.”

“Oke, “aku mengangguk sambil membulatkan hatiku, “kalau aku melihat Tante telanjang, aku akan menciumi Tante dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.”

“Emwuaaah… “Tante Rae mencium pipiku, “Berarti aku harus telanjang sambil rebahan dong. Terus apa lagi yang akan kamu lakukan?”

“Mau ngemut mmm… toket Tante…”

“Hihihiii… emangnya kamu masih bayi? Tapi oke deh. Terus mau ngapain lagi?”

Aku membulatkan hatiku lagi. Dan menyahut, “Kalau boleh sih pengen jilatin yang di bawah perut Tante.”

Di luar dugaan, Tante Rae merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu mencium bibirku. Ini adalah untuk yang pertama kalinya Tante Rae mencium bibirku. “Kamu memang sudah gede dan sangat berubah kalau dibandingkan dengan waktu masih kecil dahulu.”

Semua ini di luar dugaanku. Semua ini membuat si dede bangun di balik celana dalam dan celana jeansku…!

Maka batinku bergejolak ketika Tante Rae meraih tanganku sambil berdiri dan melangkah ke arah pintu kamarnya. Dan aku yakin bahwa di dalam kamar adik bungsu Papa itu pasti akan terjadi sesuatu.

Setibanya di dalam kamar yang serba antik itu, Tante Rae meletakkan kedua tangannya di sepasang bahuku, sambil berkata, “Aku memang sedang membutuhkan sentuhan lelaki Sam. Jadi lupakanlah kalau aku ini adik papamu. Pikirkan saja bahwa aku dan kamu ini adalah dua orang yang berlainan jenis kelamin. Kamu lelaki dan aku perempuan.

Kutatap wajah cantik Tante Rae dengan matanya yang sayu seolah baru bangun tidur, dengan hidungnya yang mancung meruncing dan bibirnya yang tipis merekah. Lalu kataku, “Memang sejak melihat Tante di parkiran mall tadi, ada perasaan yang berbeda di dalam hatiku. Perasaan kagum pada Tante yang tampak lebih cantik daripada biasanya dan lebih…

“Kalau begitu… kamu yang harus melepaskan semua yang melekat di tubuhku sekarang,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum manis di bibir tipisnya.

Aku tak langsung melaksanakan permintaannya. Karena bibir tipis yang agak merekah itu seolah menantangku untuk memagutnya ke dalam lumatanku.

Tante Rae menyambut lumatanku dengan hal yang serupa. Melumat bibirku, lalu menjulurkan lidahnya yang lalu kusedot sampai tertarik ke dalam mulutku.

Lalu… diam-diam aku menurunkan ritsleting yang berada di bagian punggung gaun terusan Tante Rae. Gaun itu pun terjatuh di kaki Tante Rae.

Dan aku terpukau menyaksikan keindahan di depan mataku. Sebentuk tubuh yang mempesona. Tubuh yang tinggal dilekati bra dengan kancing rekat di depan dan celana dalam yang tipis transparan, sehingga bagian yang ditutupinya tampak jelas…!

Pada waktu masih kecil, aku sering dimandikan oleh Tante Rae. Terkadang dia juga ikutan mandi. Jadi ini bukan yang pertama aku melihatnya dalam keadaan seperti ini. Tapi pada waktu itu aku belum mengerti apa “fungsi” kedua bagian yang masih ditutupi bra dan CD itu. Sehingga berusaha menyentuhnya pun tidak.

Tapi kini setelah usiaku sembilanbelas tahun lebih ini, suasana perasaanku sudah jauh berbeda. Bahwa sekujur tubuh adik bungsu Papa itu luar biasa menggiurkannya… membuat nafasku mulai sulit diatur… membuat si dede mengeras di balik CD dan celana jeansku.

Ketika aku mau menyentuh kancing rekat yang berada di bagian depan bra putih bersih itu, Tante Rae mendorong dadaku sambil berkata, “Sebelum aku telanjang, kamu sendiri harus telanjang dong. Biar seperti waktu masih kecil dahulu. Masih ingat kan? Kamu sering kumandikan toh?”

“Iya Tante, “aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu kutanggalkan baju kaus, celana jeansku dan celana dalamku. Sementara Tante Rae sudah duduk di pinggiran tempat tidurnya yang terbuat dari kayu jati berukir, sambil melepaskan bra dan celana dalamnya.

Sambil menutupi kemaluan dengan kedua tangan, aku melangkah ke dekat Tante Rae yang sudah telanjang bulat.

“Kenapa kontolmu ditutupi? Waktu masih kecil kamu kan sering kumandiin. Coba lihat seperti apa kontolmu sekarang?” ucap Tante Rae sambil menyingkirkan tanganku dari yang sedang kututupi.

“Waaaw! Sammy… !” pekik Tante Rae tertahan. Lalu memegang batang kemaluanku dengan mata tak berkedip, “Kontolmu… panjang dan gede banget…! Ini diapain bisa sepanjang dan segede ini?”

“Gak diapa-apain Tante. Sudah dari sononya aja begini. Kenapa? Tante takut?”

“Bukan takut… justru aku ngebayangin enaknya disodok-sodok sama kontol sepanjang dan segede gini Sam… !” ujar Tante Ken sambil menarik tanganku, sehingga aku terjerembab ke atas tubuhnya yang hangat.

“Sekarang ganti aja acaranya Sam. Kamu tak usah menciumiku dari kaki sampai ke kepala. Langsung aja jilatin memekku ya. Soalnya aku sudah gak sabar, ingin merasakan enaknya dientot sama kontolmu yang gagah itu. Tapi kalau memekku gak dijilatin dulu, pasti sakit. Soalnya liang memekku sempit Sam…”

“Iya. Kan tadi juga aku sudah bilang, mau mengikuti apa kata Tante aja,” sahutku sambil melorot turun, sampai memek Tante Rae berada di depan wajahku.

Memang kemaluan Tante Rae tampak mungil mulutnya. Dan bersih dari jembut di sekitar vaginanya. Tapi di atas kelentitnya ada jembut yang dicukur rapi sampai membentuk segitiga, salah satu sudutnya berada di atas kelentitnya itu. Jadi aku takkan merasa terganggu waktu menjilati memek Tante Rae, karena jembutnya berada di atas, sementara mulut vagina dan clitorisnya bersih dari jembut.

Tante Rae merentangkan kedua belah pahanya, mungkin untuk memberiku keleluasaan untuk “ngerjain” memeknya.

Aku pun tak mau buang-buang waktu lagi. Kuciumi mulut memek mungilnya dengan nafsu yang mulai membara. Lalu kedua tanganku mengangakan mulut vagina Tante Rae, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu mulai tampak jelas.

Dan bagian yang berwarna itulah sasaran jilatanku pada awalnya.

Ketika jilatanku mulai intensif, Tante Rae mulai menggeliat-geliat sambil merintih perlahan, “Sam… ooooh… Saaam… kamu kok sudah pandai jilatin memek sih… ooooh… iya Sam… jilatanmu enak bangeeet… Saaam… ooooh…”

Terlebih lagi setelah aku mulai menjilati dan sesekali menyedot kelentitnya. Tante rae semakin menggeliat-geliat dibuatnya.

Sementara itu jari tengahku pun kuselundupkan ke dalam liang memeknya, dengan maksud menyelidik apakah benar liang memek Tante Rae ini sempit?

Ternyata benar. Jari tanganku sudah membuktikannya. Bahwa liang memek Tante Rae ini sempit sekali. Sehingga aku harus menjilatinya terus sampai liang sempitnya basah kuyup, supaya penisku bisa lancar menerobos dan mengentotnya.

Maka cukup lama aku menjilati memek dan clitoris Tante Rae ini.

Sampai akhirnya terdengar suara adik Papa itu, “Sudah cukup basah Sam. Masukkan aja kontolmu… !”

Kuikuti permintaan tanteku. Merayap ke atas perutnya sambil memegang penisku. Tante Rae membantuku, memegang penisku dan mengarah-arahkan moncongnya agar tepat sasaran.

Setelah ada “lampu hijau” aku pun mendorong penisku sekuatnya…

“Aaaaa… aaaahhhhh masuk Saaam… “lenguh Tante Rae sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya.

Memang penisku sudah membenam sedikit demi sedikit ke dalam liang memek Tante Rae yang super sempit ini. Kalau tidak dijilati dulu sampai basah, pasti aku akan menemui kesulitan membenamkan penisku, seperti waktu pertama kalinya aku meneroboskan penisku ke liang memek Mbak Ayu yang masih perawan.

“Ughhhh… gila… kontolmu luar biasa gedenya Sam…” ucap Tante Rae sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Dibandingkan dengan kontol negro di dalam bokep sih gak ada apa-apanya Tante.”

“Kontol negro kan mainnya dengan memek yang sudah compang camping… yang lubangnya sudah gede banget…”

“Iyaaa… memek perempuan barat sampai berjengger-jengger gitu ya. Bentuknya sudah amburadul. Maka prianya juga jadi seneng ke lubang anus yang tampak masih bundar… hihihiiii…”

Setelah penisku membenam lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayunnya perlahan-lahan. Bermaju-mundur di dalam liang memek yang sangat sempit ini.

Dan tiap kali aku mendorongnya aku berusaha agar penisku makin dalam membenamnya. Lama kelamaan aku berhasil mengayun penisku secara normal.

Tante Rae pun semakin kerap berceloteh histeris, “Saaam… dududuuuuh… kalau diibaratkan masakan, kontolmu ini terasa asam garamnya Saaam…”

“Emangnya punya suami Tante seperti apa?”

“Kecil punya dia sih. Kalau lemes cuma segede jempol tangan. Setelah ngaceng jadi segede jempol kaki.”

“Aku juga gak nyangka kalau liang memek Tante sempit gini. Terasa sekali enaknya,” sahutku sambil mempermainkan puting payudara tanteku, kemudian mencelucupinya. Sementara payudara satunya lagi kuremas dengan lembut.

Tante Rae tampak sangat menikmati semuanya ini. Berkali-kali ia mencium pipi dan bibirku sambil membelai rambutku yang agak gondrong ini. Pinggulnya pun bergoyang-goyang memutar dan menghempas-hempas. Sehingga penisku serasa dipelintir dan dibesot-besot oleh liang memek super sempitnya.

O, aku sangat beruntung menikmati semuanya ini. Padahal tadi, waktu meninggalkan rumah utama Mamie, aku agak bete. Karena tidak bisa menyetubuhi Mamie yang kedua kalinya. Padahal aku merasa belum “kenyang”.

Tapi aku bertemu dengan Tante Rae yang sudah lima tahun lebih tak berjumpa ini. Lalu aku bisa “mengenyangkan” apa yang belum kudapatkan di rumah Mamie tadi.

Jadi kalau dihitung, kali ini aku bersetubuh untuk kedua kalinya. Dengan sendirinya aku lebih lama bertahan di atas perut Tante Rae.

Padahal Tante Rae sudah klepek-klepek dua kali di puncak-puncak orgasmenya. Tapi aku masih tetap tangguh mengentotnya.

Bahkan ketika kuilihat leher Tante Rae mulai dibasahi oleh keringatnya, aku pun menjilati leher jenjang itu. Seperti biasa, kuiringi dengan gigitan-gigitan kecil, yang membuat Tante Rae merem melek.

Tubuhku sendiri mulai bersimbah keringat. Namun aku masih asyik mengentot liang memek yang super sempit tapi sudah basah kuyup ini.

Sampai pada suatu saat, aku bertanya setengah berbisik, “Lepasin di mana Tan?”

“Di dalam aja. Aku ingin merasakan enaknya disemprot sama air mani keponakanku yang ganteng ini,” sahut Tante Rae sambil menepuk-nepuk pipiku.

Begitulah. Setelah lebih dari sejam menyetubuhi Tante Rae, akhirnya aku membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin. Pada saat itulah aku mendengus-dengus, sementara moncong penisku menyemprot-nyemprotkan air maniku.

Crottt… crooottt… croooottttt… crotcrotttttt… croooootttt…!

Lalu tubuhku melemas di dalam dekapan tanteku yang cantik dan memiliki memek yang luar biasa sempitnya ini…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu