3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 14

Tanpa terasa 4 bulan sudah berlalu.

Tanpa kendala yang berarti, akhirnya aku dan Frida melaksanakan akad nikah. Kemudian resepsinya dilaksanakan di convention hall yang sudah selesai dibangun di depan hotelku itu. Sebagai wali dari fihak Frida, hadir adik kandung ayahnya yang dikenalkan padaku sebagai Oom Wisnu beserta istrinya yang tampak centil, yang kelak kukenal sebagai Tante Rika.

Aku memang merasa ada kekurangan, karena Mama, Yoga, Mbak Ayu dan Mbak Ita sama sekali tidak diberitahu. Kata Papa, “Supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada batin Mama.”

Ya… karena Papa telah membohongi Mama. Papa tetap mengatakan bahwa Mamie itu lebih tua daripada Mama. Padahal yang benar sebaliknya. Bukan saja Mamie jauh lebih muda daripada Mama, juga jauh lebih cantik.

Dalam hal itu aku pun tidak bisa menyalahkan Papa. Karena Papa ingin menjaga perasaan Mama, agar tidak cemburu dan tidak sakit hati.

Seandainya Mama dan saudara-saudaraku diundang, pasti Mama akan sakit hati. Karena Mama pasti bertemu dengan Mamie. Sementara aku ini menikah dengan keponakan Mamie pula.

Pada waktu resepsi pernikahanku dengan Frida, ada pula yang membuatku salah tingkah. Karena pada waktu aku berjabatan tangan dengan Eleonora, jari telunjuknya menggelitik telapak tanganku. Pada waktu cipika-cipiki pun Eleonora sempat membisiki tleingaku, “Setelah santai… kita ketemuan ya.”

Dan aku hanya mengangguk canggung. Untung Frida sedang berjabatan tangan dengan tamu lain, sehingga dia tidak sempat memperhatikan gerak-gerik Eleonora.

Setelah resepsi pernikahan selesai, Mama berkata kepada Frida, “Mulai saat ini, kamu harus memanggil Mamie padaku ya. Jangan pakai sebutan tante lagi.”

“Iya Mam, “Frida mengangguk sambil tersenyum kepada Mamie yang perutnya mulai agak membuncit.

Tante Ken juga berkata padaku, “Mulai saat ini kamu harus memanggil Mama padaku, ya Sam.”

“Iya Mam,” sahutku. Berarti aku punya dua sosok yang harus kupanggil Mama kini. Ibu tiriku dan ibu mertuaku. Hanya sekadar untuk membedakan di dalam catatan pribadi ini, aku akan menyebut Mama Ken kepada ibu mertuaku. Kemudian aku akan menyebut Mama Mien untuk istri pertama Papa itu.

Mamie kelihatan sangat mendukung perkawinanku dengan keponakannya ini. Bukan sekadar mendukung penuh pada biayanya, tapi dalam hal lainnya pula. Seperti yang dikatakannya poada saat resepsi pernikah sudah selesai, “Mau pada bulan madu ke mana? Ke Singapore, ke Bangkok, ke Hongkong atau mau ke mana?

“Nggak Mam. Kami mau berbulan madu di kota ini saja. Soalnya aku harus siap-siap untuk diwisuda belasan hari lagi. Lagian aku gak mau buang-buang duit untuk hal yang kurang penting,” sahutku. Yang disambung dengan ucapan Frida, “Iya Mam. Main ke luar negeri sih nanti aja kalau sudah punya anak. Biar lebih hangat suasananya.

“Ogitu. Ya udah… mamie doakan semoga kalian cepat dikaruniai keturunan yaaa…”

“Amiiin…”

“Selain daripada itu,” kata Mamie lagi, “sekarang mamie ikrarkan, rumah yang kalian tempati sekarang itu, menjadi milik kalian berdua. Nanti penyerahannya kita lakukan di notaris saja.”

“Iya Mam. Terima kasih,” sahutku, tanpa ragu kucium tangan Mamie, lalu kucium pula pipi kanan dan pipi kirinya, meski Frida menyaksikan semuanya ini.

Belasan hari kemudian aku diwisuda. Lagi-lagi Mama dan saudara-saudaraku tidak diberitahu. Masalahnya Papa, Mamie dan Frida mau hadir. Kalau Mama dan saudara-saudaraku diundang pasti menghadirkan masalah di kemudian hari.

Papa, Mamie dan Fridsa tampak bangga karena aku lulus cum laude, walau pun nilai IPK-ku hanya 3.85… Bukan 4.00… Hahahaaa… dapet segitu juga sudah untung. Karena otak dan energiku dibikin pontang-panting ke sana-sini. Bukan cuma pendidikan yang sedang kugeluti, tapi juga bisnis kecil-kecilanku, persiapan untuk membuka hotel dan perempuan-perempuan yang harus kugeluti memeknya…

Namun harus kuakui bahwa pergelutan di samping kuliahku itu memacu motivasiku juga untuk menyelesaikan kuliahku secepat mungkin. Bukan sekadar ngabisin waktu di atas perut mereka.

Seperti yang sudah direncanakan semula, grand opening hotelku dilaksanakan dua minggu setelah aku diwisuda.

Untuk itu pun aku sudah mempersiapkan sejak awal. Bahwa para mantan karyawan-karyawati di hotel lama, kurekrut untuk bekerja kembali di hotelku yang oleh Mamie sudah direnovasi seolah menjadi hotel baru itu.

Pada grand opening itu mereka diberi seragam baru, seragam tradisional. Karyawannya harus mengenakan baju tradisional Sunda termasuk menggunakan “bendo” di kepala mereka. Sementara karyawatinya diberi seragam kebaya dan kain batik. Kelak mereka harus mengenakan pakaian itu juga tiap hari, kecuali para staf yang bertugas di kantor.

Musik live-nya juga sengaja menyuguhkan gamelan degung yang suaranya mendayu-dayu, seolah sedang beraksi di dalam resepsi pernikahan. Kelak musik tradisional itu akan tetap dikumandangkan, tapi mungkin live-nya tidak setiap hari. Pada hari-hari biasa, cukup dengan musik dari fasilitas audio system saja.

Sementara itu Frida belum mau mendaftarkan diri untuk kuliah di tahun ajaran ini. Dia lebih suka untuk aktif di hotel, terutama di kitchen-nya.

Frida memang punya alasan tersendiri kenapa ingin aktif bersama chef di dapur. “Pada umumnya masakan di resto hotel kurang enak, sehingga banyak tamu yang lebih suka makan di luar,” kata Frida, “Lalu apa salahnya kalau kita hidangkan masakan yang enak-enak untuk para tamu, sebagai salah satu nilai plus hotel kita?

Aku setuju dengan pendapat dan keinginan Frida itu. Karena menurut pengalamanku juga begitu. Menginap di hotel five star yang nyaman, tapi makanan di restonya hampir selalu mengecewakan. Dan “kebiasaan” itu ingin di-improved oleh Frida. Kebetulan pula hotelku jauh dari restoran-restoran.

Lalu dengan punya istri yang cantik dan kesibukan yang meletihkan itu, apakah aku tidak tergerak untuk bertualang lagi dari bawah perut perempuan yang satu ke bawah perut perempuan yang lain?

Tidak. Aku justru menganggap petualanganku laksana “bahan bakar” yang sangat mujarab untuk menyalakan api semangat hidupku. Sangat ampuh untuk mengusir kemalasanku dalam menghadapi aktivitas yang mulai beragam ini.

Apakah aku tidak puas dengan memiliki istri yang begitu cantik dan sangtat mencintaiku? Inilah anehnya. Menggauli istri kuanggap biasa-biasa saja. Meski Frida mau diapakan juga, rasanya tidak ada greget seperti yang sering kudapatkan pada waktu bertualang.

Pengalamanku dengan Frida tidak ada yang layak diekspose. Meski pun Frida secantik bidadari, kuanggap hubungan sex dengannya merupakan hal yang wajar. Sekadar menunaikan kewajiban untuk memuasi batinnya. Mungkin Frida juga begitu. Bahwa setiap kali meladeniku, dia hanya merasa wajib untuk meladeni kebutuhan batin suami.

Seperti anak yang sedang makan buah jambu hasil mencuri dari pohon milik tetangganya, mungkin rasanya lebih nikmat daripada jambu yang dibelinya dari tukang buah.

Itulah sebabnya, aku langsung tergerak ketika kuterima WA dari Eleonora, sebulan setelah pembukaan hotelku. WA itu berisi :

-Aku sedang berada di rumah yang dulu suka dipakai belajar bareng itu. Maunya sih kamu datang ke sini-

Lalu kubalas*, -Lho… bukankah rumah itu sudah dijual?-*

-Gak jadi. Saat itu Papa sedang butuh duit untuk membeli rumah di Jakarta. Tapi keburu ada lelaki yang menolongnya. Lelaki itulah yang sekarang menjadi suamiku. Dia yang menghadiahkan uang yang Papa butuhkan untuk membeli rumah di Jakarta itu. Jadi rumah lama itu tidak jadi dijual-

_

-Sekarang kamu ada di rumah yang suka dipakai belajar bersama itu?-

-Iya-

-Ada urusan apa kamu berada di kota ini?-

-Urusanku cuma satu. Ingin ketemu denganmu-

-Ohya?! Sebegitu pentingkah diriku bagimu?-

-Sangat penting. Ke sini dong sekarang-

-Oke. Dua jam lagi aku merapat ke rumahmu-

-Sip! Kutunggu ya-

_

Kurampungkan dulu pekerjaanku di hotel. membuat program di komputer. Sejam kemudian aku siap untuk menuju rumah Eleonora. Dengan benak penuh tanda tanya. Kenapa sebegitu pentingnya diriku ini sehingga Eleonora jauh-jauh dari Jakarta menuju kotaku ini, hanya karena ingin berjumpa dengan diriku?

Beberapa menit sebelum waktu yang dijanjikan, mobilku sudah berada di depan rumah Eleonora. Rumah yang sudah sangat berubah. Karena seingatku, dahulu rumah Eleonora tergolong rumah jadul, namun tampak kokoh. Sedangkan sekarang rumah jadul itu sudah berubah menjadi rumah minimalis yang terdiri dari tiga lantai…

Ini membuatku ragu untuk membelokkan mobilku ke pekarangan rumah itu. Takut salah masuk. Karena itu aku mengeluarkan handphoneku. Dan memanggil nomor Eleonora. Lalu :

“Nor! Aku udah di depan rumahmu nih. Tapi mau ragu belokin mobilku ke pekarangan rumah yang sudah jauh berubah gini. Takut salah masuk.”

“Haa?! Ya udah… aku mau keluar nih.”

Tak lama kemudian, pintu depan rumah mentereng itu terbuka. Seorang perempuan muda… berdiri di teras sambil melambaikan tangannya padaku. Perempuan bergaun ketat dan berwarna coklat muda itu memang Eleonora. Sehingga aku pun tak ragu lagi untuk memasukkan mobilku ke pekarangan rumah yang pintu gerbangnya dibukakan oleh seorang satpam.

“Aku sudah lama nggak lewat jalan ini. Makanya gak ngeh kalau rumahmu ini sudah dirombak jadi keren gini,” kataku setelah turun dari mobilku.

Eleonora cuma tersenyum sambil meraih tanganku masuk ke dalam rumahnya. Begitu kami masuk ke ruang tamu, Eleonora menutupkan kembali pintu depan dan langsung menyergapku dengan pelukan hangat sambil menciumi sepasang pipiku, yang dilanjutkan dengan ciuman hot di bibirku…!

Kebiasaanku pun langsung menanggapi secara rahasia. Bahwa begitu aku mendapatkan ciuman sehangat ini, si dede di balik celana jeans dan celana dalamku, langsung bangun…!

Memang begitu kebiasaanku. Nafsuku suka spontan bangkit kalau suasananya sudah seperti ini. Terlebih lagi gaun coklat muda yang Eleonora kenakan saat itu sangat ketat. Bagian dadanya terbuka lebar, sehingga pertemuan dua bukit indahnya tampak jelas. Lebih montok dari waktu kami masih sama-sama di SMA dahulu, meski aku belum pernah melihat bentuk toketnya.

Kemudian Eleonora mempersilakanku duduk di sofa ruang tamu. Lalu bertanya, mau minum apa? Dia pun menyebutkan beberapa jenis minuman yang dia miliki. Akhirnya aku memilih red wine saja.

Eleonora masuk ke dalam sebentar. Lalu muncul lagi dengan sebotol wine import dengan dua buah slpoki yang berukuran sedang, mungkin sama isinya dengan gelas belimbing.

Eleonora menuangkan wine ke dua sloki yang sudah diletakkan di meja kaca depan sofa yang kududuki. Lalu ia duduk di sampingku sambil memegang tangkai slokinya dan didekatkan ke sloki yang sedang kupegang. Lalu ia berkata, “Untuk cinta kita yang belum kesampaian… !”

Aku agak tersentak mendengar kalimat yang diucapkannya itu. Karena sejauh ini aku dan Eleonora belum pernah punya hubungan cinta. Tapi kuikuti saja kalimat yang diucapkannya, kemudian sloki kami disentuhkan… triiiing…!

Lalu kami teguk isi sloki kami, sampai habis. Hawa hangat pun menjalar dari tenggorokanku ke sekjujur badanku.

Lalu Eleonora membuka pembicaraan dengan nada serius, “Masih ingat gak waktu aku nembak kamu dahulu?”

Kutatap wajah manis Eleonora sesaat. Lalu mengangguk perlahan.

“Nah… seandainya kamu menjawab secara jelas saat itu, pasti aku takkan menikah dengan orang lain. Tapi saat itu kamu tidak menjawabnya secara pasti. Kamu hanya bilang ingin menyelesaikan pendidikan dulu sampai tuntas.”

“Yah… kamu kan sudah tau latar belakangku. Hidup bersama ibu tiri, membuatku harus serius menghadapi pendidikanku. Dan sekarang aku sudah diwisuda. Berarti pendidikanku sudah selesai. Bahkan sudah diwisuda. Tapi kita sudah sama-sama memiliki pasangan.”

“Ntar dulu… kamu sudah diwisuda?”

“Sudah.”

“Gila… begitu cepat kamu menyelesaikan kuliahmu!”

“Kalau bisa dipercepat kenapa harus diperlambat?” ucapku sambil tersenyum.

“Otakmu memang encer. Sejak di SMA juga aku sudah menilai kamu anak terpandai di kelas kita. Makanya heran mendengar kamu melanjutkan ke fakultas ekonomi. Bukannya ke kedokteran, teknik industri dan sebagainya.”

“Mayoritas orang-orang yang populer di negara kita ini adalah orang-orang IPS. Bukan orang-orang IPA. Para penasehat hukum yang kaya raya, pengusaha yang sukses dan sebagainya, bukan orang-orang IPA. Sementara orang-orang IPA cuma sibuk, di belakang layar. Dan hanya menjadi bawahan. Ada sih satu-dua yang menjadi pemimpin.

“Iya sih. Dirut yang diangkat oleh suamiku juga S2-nya dari managemen.”

Aku terdiam sambil memperhatikan sosok Eleonora yang sekarang, yang agak berbeda dengan masa remajanya dahulu. Kalau dibandingkan dengan Frida, ada dua hal yang menyolok sebagai perbedaannya. Bahwa mata Frida bundar, sementara mata Eleonora sangat mirip mata amoy. Karena dia memang ada campuran darah Chinesenya.

Selain daripada itu, sepasang toket Eleonora jauh lebih gede daripada toket istriku. Meski belum melihat bentuk toket Eleonora, namun gaun yang dikenakannya itu sudah menggambarkan “isi” bagian dadanya. Terlebih lagi setelah kuperhatikan secara cermat, bisa kupastikan Eleonora tidak memakai beha di balik gaunnya.

“Terus sekarang kita harus bagaimana?” tanyaku.

“Begini,” ujar Leonara sambil menarik nafas sejenak, “Kita sudah telanjur punya pasangan masing-masing. Terlebih lagi kamu menikah dengan saudara sepupuku sendiri. Jadi… kita harus merahasiakan pertemuan kita seperti sekarang ini.”

“Kalau sekadar bertemu sebagai taman atau sahabat lama, di depan mata Frida juga gak apa-apa.”

“Justru aku ingin pertemuan kita ini laksana dua orang kekasih yang tidak bisa melanjutkan cintanya ke jenjang perkawinan, lalu berjumpa lagi setelah sekian lamanya berpisah.”

“Karena kita sudah sama-sama dewasa, berarti setiap kali ketemuan harus ML, gitu?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke paha Eleonora di bawah gaunnya yang terbuat dari kain lentur.

Leonora malah merenggangkan jarak sepasang pahanya. Seolah “welcome” untuk dirayapi lebih jauh… ke balik gaun ketat elastisnya.

“Pacaran orang dewasa gak kayak anak ABG kan?” ucapku sambil mengamati wajahnya yang semakin mendekati wajahku, sementara tanganku sudah tiba di celana dalamnya…!

Sebagai jawaban, Eleonara memagut bibirku ke dalam lumatannya. Tanpa mencegah tanganku yang sudah menyelinap ke balik celana dalamnya.

Kubalas lumatan itu dengan lumatan lagi, sementara jemariku sudah mulai menggerayangi kemaluan Eleonora, sampai menemukan celahnya… lalu kuselusupkan jari tengahku ke dalamnya yang hangat dan basah licin.

Setelah ciuman kami terlepas, jemariku masih bermain di antara permukaan dan liang memek Eleonara yang bersih dari jembut.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu