3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 8

Tante Ken mengulangi pertanyaannya seperti belum percaya pada jawabanku tadi, “Beneran mau nemenin tante tidur malam ini?”

“Beneran Tante,” sahutku, “Kalau Tante mau, tiap malam juga aku mau kok nemenin tidur.”

“Nemenin tidur doang?”

“Nidurin juga mau,” sahutku keceplosan. Karena pernah mendapatkan pertanyaan yang sama dari sosok lain.

“Mmmm… kebayang indahnya… bakal dapet sesuatu yang sudah belasan tahun tidak tante dapatkan,” kata Tante Ken sambil tersenyum.

“Sekarang tunggu dulu di sana ya., “katanya lagi sambil menunjuk ke sofa ruang keluarga, “Tante mau beresin piring-piring ini dulu.”

Aku gak enak juga kalau Tante Ken merapikan meja sendirian. Karena biar bagaimana pun dia itu kakak ipar Papa. Lalu aku berdiri dan ikut mengangkut piring dan mangkok ke bak cucian.

“Biar tante aja sendirian yang beresin piring-piring segini sih,” ucap Tante Ken yang melangkah duluan menuju dapur.

“Nggak apa-apa Tante,” sahutku sambil memperhatikan bentuk tubuh Tante Ken dari belakangnya. Tubuh yang malam itu mengenakan daster dari kain yang bergoyang dan mengkilap, berwarna abu-abu polos. Gerakan langkah Tante Ken membuat bentuk tubuhnya membayang. Bentuk yang tinggi montok dengan bokong gedenya yang menggemaskan.

Maka setelah aku sudah menyimpan piring-piring itu, tak kuasa lagi aku menahan nafsuku yang sudah beberapa hari tidak tersalurkan ini. Dan… kupeluk erat-erat Tante Ken dari belakang…!

Terasa tubuh Tante Ken agak mengejut. Dan berkata, “Tadinya tante mau nyuci piring dulu Sam.”

“Besok pagi aja nyucinya Tante,” sahutku sambil meremas daster pada bagian perutnya, sambil berusaha agar daster itu tertarik ke atas sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya aku menyentuh perutnya yang terasa kencang padat. Lalu kuturunkan tanganku sampai menyentuh lingkaran elastis celana dalamnya. Dan kuselundupkan tanganku ke balik celana dalamnya.

Diam-diam jemariku mencari celah di balik rimbunan jembut itu. Sampai akhirnya kutemukan, rasanya aku langsung menemukan kelentit Tante Ken. Maka langsung bagian terpeka itu kutekan dengan ujung jariku, dengan gerakan mendesak dan berputar-putar.

“Sam… oooh… kalau dibeginiin… tante langsung horny Saaam… “rintih Tante Ken sambil meletakkan kedua tangannya di bak cuci piring, sementara pantatnya dimundurkan. Mungkin agar aku lebih leluasa menggerayangi kemaluannya.

Melihat Tante Ken dalam posisi seperti itu, aku pun langsung berjongkok di dekat kakinya, untuk menurunkan celana dalamnya sampai terlepas dari kakinya. Kemudian aku berdiri lagi sambil menyingkapkan daster itu sampai bokong Tante Ken terbuka total. Hmmm… sungguh indah bokong kakak ipar Papa ini.

Kuelus dan kupijat-pijat bokong semok yang putih mulus itu. Lalu tanganku berada di antara kedua pangkal paha Tante Ken. Kuelus lagi jembut yang agak lebat itu sambil mencari-cari celahnya. Setelah kutemukan, jemari tangan kananku mulai menyodok-nyodok ke dalam liang yang mulai membasah itu.

“Sam… oooh… sudah belasan tahun memek tante gak pernah disentuh lelaki Sam. Ini untuk pertama kalinya disentuh lelaki lagi…” ucap tante Ken nyaris tak terdengar olehku.

“Heheeehee… rambutnya lebat sekali Tante…”

“Iya. Anak muda zaman sekarang seneng yang botak ya? Nanti Sam aja yang cukurin. Mau?”

“Iya Tante. Nyukurin memek sih lima menit juga selesai,” ucapku sambil menyelusupkan dua jari tangan kananku ke dalam celah kewanitaan Tante Ken.

Dalam tempo singkat saja liang kemaluan Tante Ken sudah basah. Mungkin libidonya langsung memuncak, karena sudah terlalu lama tidak disentuh oleh lelaki.

Pada saat itu aku mengenakan baju dan celana piyama, tanpa mengenakan celana dalam. Memang kalau sudah malam, aku suka bercelana piyama tanpa celana dalam.

Dan pada saat aku menggesek-gesekkan dua jari tanganku ke liang kemaluan yang sudah basah ini, diam-diam kupelorotkan celana piyamaku. Dan penisku yang sudah ngaceng berat ini tersembul di atas lingkaran karet celana piyamaku, tanpa disadari oleh Tante Ken. Karena aku berada di belakangnya, menghadap ke bokong semoknya.

Lalu ketika jari tangan kananku masih asyik menyodok-nyodok liang kemaluan Tante Ken, tangan kiriku sudah menggenggam batang kemaluanku yang sudah full erection ini.

Dan diam-diam kuangsurkan moncong penisku ke arah celah yang sedang kusodok-sodok dengan dua jari tangan kanan ini.

Dengan gerakan cepat kuganti “tugas” jari tanganku dengan penisku yang langsung kuselusupkan ke dalam liang yang sudah basah licin ini. Lepppp… masuk lebih dari setengahnya.

Aku pun mulai mengentotkan penisku, bermundur maju di dalam jepitan liang kewanitaan Tante Ken.

Awalnya Tante Ken seperti tidak menyadari bahwa yang sedang mengentotnya ini adalah batang kemaluanku. Tapi setelah kedua tanganku mulai mencengkram sepasang buah pantatnya yang gede dan padat ini, Tante Ken memegang tangan kananku, lalu juga memegang tangan kiriku, dengan pandangan tetap lurus ke arah bak cuci piring.

“Sam… ini apa yang di dalam memek tante?” tanyanya sambil berusaha menoleh ke belakang, “Ooooh… yang di dalam memek mtante ini kontolmu?”

“Iya Tante… aku tak sabaran lagi ingin merasakan liang memek Tante. Ternyata enak sekali Tante…”

“Tapi jangan dilepasin di dalam ya Sam.”

“Kenapa? Takut hamil?”

“Iya. Mana sekarang tante sedang berada di masa subur pula.”

“Tenang aja Tante… aku punya pil kontrasepsi kok. Dilepasin di dalam juga gak apa-apa,” sahutku sambil mempergencar entotanku.

“Haaa?! Cowok kok punya pil kontrasepsi segala?”

“Iya, takut kelepasan dan bikin hamil anak orang kan berabe tante.”

“Ooooh… Saaam… ooooh… tante udah lama banget gak diginiin… enak sekali Sam… tapi… ambil dulu pilnya gih. Kita lanjutin di kamar tante aja ya. Biar lebih enak.”

Meski agak kecewa, kucabut penisku dari liang kemaluan Tante Ken. “Mmmm… iya deh,” kataku sambil menaikkan lagi celana piyamaku. Lalu setengah berlari aku menuju lantai dua. Menuju kamarku.

Kuambil satu strip pil kontrasepsi dari ransel kuliahku. Tiba-tiba pandanganku tertumbuk ke pisau cukur yang masih baru. Sambil tersenyum sendiri kuambil pisau cukur itu, sekalian dengan shave cream-nya.

Lalu aku bergegas menuju kamar Tante Ken yang terletak paling belakang, berhadapan dengan ruang keluarga. Sementara kamar yang di sampingnya (kedua dari belakang) adalah kamar puterinya yang aku belum tahu seperti apa bentuknya.

Tante Ken tampak sudah duduk di sofa yang tak jauh dari tempat tidurnya. “Ini pil kontrasepsinya, Tante.”

“Luar biasa. Anak cowok nyimpan pil kontrasepsi segala,” kata Tante Ken sambil tersenyum.

“Nyimpan doang Tante. Tapi sampai sekarang belum pernah dipakai. Itu buktinya, masih utuh sepuluh pil kan?”

“Terus, itu apa?” tanyanya sambil menunjuk ke botol shave cream yang masih kupegang.

“Ini cream cukur,” sahutku, “Tante kan mau kucukurin memeknya. Nah ini pisau cukurnya juga masih baru.”

“Hihihi… kamu nanggapi serius ya? Ya udah kalau gitu lampu yang sangat terang harus dinyalain dulu,” kata Tante Ken sambil bangkit dari sofa lalu melangkah dan memijat sakelar untuk menghidupkan bola lampu watt tinggi. Sehingga keadaan di dalam kamar Tante Ken ini jadi terang benderang.

“Emang penting benar ya memek tante dicukur dulu?” tanya Tante Ken sambil duduk lagi di sofa.

“Sangat penting Tante. Biar gampang menjilatinya. Kalau gondrong kan nyusahin, bisa ada yang tertelan rambutnya nanti.”

“Emang kamu mau jilatin memek Tante?”

“Mau Tante.”

“Di sini aja cukurinnya ya.”

“Iya. Tapi sambil rebahan aja Tantenya. Biar gak kehalangin bayangan.”

Tante Ken mengangguk. Lalu menelentang di atas sofa sambil menyingkapkan dasternya tinggi-tinggi, sehingga dari perut ke bawah tak tertutup apa-apa lagi. Rupanya celana dalamnya tak dilenakn lagi sejak di dapur tadi.

Di bawah sorot lampu yang sangat terang itu, aku bisa melihat dengan jelas sampai ke pori-pori di permukaan kulit Tante Ken. Tapi pandanganku lalu terpusat ke jembut yang menyelimuti kemaluannya itu. Maka tanpa banyak bicara lagi kusemprotkan shave cream ke permukaan jembut Tante Ken. Lalu kuratakan dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku sudah memegang pisau cukur Gillette.

Dalam tempo singkat aku berhasil mencukur jembut Tante Ken sampai benar-benar bersih. Bahkan jembut di seputar pangkal pahanya yang hanya 2-3 lembar pun sudah kubersihkan. Begitu pula rambut yang tumbuh beberapa lembar di dekat anusnya, sudah kubersihkan semua.

Lalu tampillah sebentuk kemaluan yang tembem dan bersih plontos di depan mataku. Kemaluan yang sangat merangsang. Tapi aku masih berusaha menahan diri. Sambil menepuk-nepuk kemaluan Tante Ken yang sudah bersih dari rambut itu, aku berkata, “Silakan kalau mau dicuci dulu, Tante.”

Tante Ken bangkit sambil tersenyum. Lalu melangkah ke kamar mandi yang bersatu dengan kamar itu.

Beberapa saat kemudian Tante Ken muncul kembali, dalam keadaan telanjang bulat…!

Wow… tak salah kalau aku tergiur oleh kakak Mamie ini. Karena tubuh kakak ipar Papa ini benar-benar sexy… benar-benar menggiurkan. Kulitnya yang putih mulus, tiada noda setitik pun. Sepasang payudaranya yang gede dan bokongnya yang semok, sementara pinggangnya yang ramping… ooo… benar-benar ciptaan Tuhan yang luar biasa indahnya…

Maka aku pun melepaskan baju dan celana piyamaku, lalu menyambut Tante Ken dengan pelukan di lehernya, dalam keadaan sama-sama telanjang bulat.

Tante Ken pun mendekap pinggangku sambil mendaratkan ciuman hangatnya di bibirku. Yang kusambut dengan lumatan hangat, dibalas dengan lumatan pula.

Waktu slaing lumat ini kudesakkan Tante Ken ke pinggir tempat tidurnya. Sampai akhirnya ia terhempas celentang ke atas kasur, bersamaan denganku yang menghempas pula ke atas perutnya. Lalu kami bergumul di atas kasur, dengan nafsu yang semakin bergejolak.

Namun aku bukan pemula dalam aksi seksual. Aku sudah mengerti bahwa penetrasi hanya boleh dilakukan kalau pasangan seksualku benar-benar sudah siap untuk diterobos oleh tongkat kejantananku.

Karena itu aku mulai dengan menikmati wilayah dadanya dulu. Karena sepasang bukit kembar milik Tante Ken itu tergolong dahsyat. Gede dan sudah agak menurun, karena memang seperti itulah payudara berukuran besar yang natural (bukan fake breast yang menggunakan silicon). Ketika aku mengemut puting payudara kanannya, tangan kananku meremas payudara kirinya.

Namun aku sudah tak sabaran, ingin segera menjilati kemaluannya yang tembem dan sudah bersih dari rambut itu. Karena itu aku pun melorot turun. Untuk menjilati pusar perutnya sesaat. Lalu turun lagi, sehingga wajahku berhadapan dengan kemaluan tembem di antara sepasang paha gempalnya.

Tante Ken menyadari apa yang akan kulakukan. Maka ia pun merentangkan kedua pahanya, sehingga kemaluannya semakin nyata di mataku.

Kutepuk-tepuk kemaluan tembem itu sebentar. Lalu kuusap-usap dengan lembut sambil mendekatkan mulutku ke arah garis lipatan bibir luarnya yang tampak seolah tertutup rapat itu.

Sebelum bibir dan lidahku mendarat di bagian yang sangat erotis itu, kedua tanganku mengangakan bibir luarnya (labia mayora) selebar mungkin. Sampai tampak bagian dalamnya yang berwarna pink dan kelihatan basah itu.

Ujung lidahku mulai menyapu-nyapu bagian yang berwarna pink itu. Sehingga tubuh Tante Ken terasa agak mengejut. Lalu terdiam ketika mulutku seakan terbenam di kemaluan tembem itu.

Aku pun menjilati memek yang tembem dan bersih itu dengan lahapnya. Terlebih setelah kusadari bahwa kemaluan Tante Ken memancarkan aroma yang mewangi, membuatku semakin lahap menjilatinya.

Rintihan dan rengekan Tante Ken pun mulai terdengar, “Saaam… oooh… baru sekali ini memek tante dijilatin seperti ini… ternyata enak sekali Saaam… ooooh… Saaam… enak Saaam…”

Rasanya sulit dipercaya. Bahwa di zaman sekarang masih ada wanita yang belum pernah merasakan enaknya cunnilingus (jilat memek).

Tapi pengakuan Tante Ken itu membuatku semakin bersemangat untuk menjilati memeknya habis-habisan. Dan Tante Ken semakin menggeliat-geliat disertai desahan dan rengekan manjanya.

Terlebih setelah aku fokus menjilati kelentitnya, sementara jari tengahku diselundupkan ke dalam liang kemaluannya yang sudah mulai basah dan licin sekali. Semakin berkelojotanlah kakak ipar ayahku itu dibuatnya.

Aku menganggap liang kemaluan Tante Ken sudah basah sekali dan tiba waktunya untuk dieksekusi. Lagian penisku sudah menagih-nagih, ingin segera dijebloskan ke dalam liang kewanitaan Tante Ken.

Dan ketika puncak dan leher penisku sudah mulai menyelusup ke dalam liang memek Tante Ken, terdengar suara kakak Mamie itu terengah, “Kontolmu kok gede sekali Sam? Sampai susah gini masuknya…”

“Mungkin karena memek Tante sudah lama tidak dientot… jadi liangnya mengecil…” sahutku.

“Nggak ah… kontolmu memang gede banget Sam…”

Aku tidak menyahutnya lagi, karena sedang berusaha membenamkan penisku lebih dalam lagi.

Tapi diam-diam aku memikirkan ucapan Tante Ken itu. Karena Mamie pun pernah mengatakan hal yang sama. Sementara aku pun merasa bahwa ada perkembangan pada penisku dalam beberapa bulan terakhir ini. Bahwa penisku terasa makin gede dan makin panjang. Apakah ini karena seiring dengan bertambahnya umurku?

Yang jelas aku pernah membaca bahwa perkembangan fisik manusia itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada cewek yang baru kelas 6 SD, tapi payudaranya sudah mulai membesar. Ada pula cewek yang sudah duduk di SMA tapi payudaranya belum tumbuh secara maksimal.

Lalu apakah aku mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisikku, sementara Yoga sudah duluan “maksimal” sehingga penisnya lebih gede daripada penisku?

Entah juga. Hanya saja aku merasa sekarang ini penisku tidak lebih kecil daripada penis Yoga. Bahkan aku yakin kalau penisku lebih panjang daripada penis adikku itu.

Rasanya kalau ketemu dengan Yoga, aku ingin membandingkan ukuran penisku dengan penis adikku itu. Dan aku yakin, sekarang penisku lebih “gagah” daripada penis adikku. Aku pun punya kelebihan lain. Bahwa aku bisa bersetubuh dalam durasi yang lama, sementara Yoga hanya mampu bersetubuh dalam durasi biasa-biasa saja.

Tapi biarlah semuanya itu tak usah terlalu kupikirkan. Nanti sang waktu yang akan menjawabnya.

Dan kini aku sudah mulai mengayun penisku, bermaju-mundur di dalam liang kemaluan kakak Mamie yang memeknya terasa empuk tapi sangat legit dan menjepit ini…!

Tubuh Tante Ken mulai menggeliat-geliat lagi. Sementara memeknya mulai bergerak-gerak seiring dengan gerakan pinggulnya. Bukan goyang Karawang, melainkan gerakan melawan gerakan penisku. Pada waktu penisku maju, memek Tante Ken pun maju. Sementara kalau penisku ditarik mundur, memek Tante Ken pun menjauh.

Dekapan Tante Ken di pinggangku pun makin erat saja rasanya. Sementara aku mulai “melengkapi” aksiku dengan melumat bibirnya, menjilati lehernya yang mulai berkeringat dan menjilati ketiaknya disertai gigitan-gigitan kecil.

Sepasang tanganku pun ikut melengkapi, dengan remasan-remasan di payudara montoknya. Sementara tangan Tante Ken pun mulai meremas-remas bahuku dan terkadang meremas-remas rambutku yang agak gondrong ini.

Aku sadar bahwa liang kemaluan Tante Ken cukup dalam. Tapi puncak penisku selalu berhasil menyundul dasar liang kemaluan kakak Mamie ini. Dan ketika hal itu terjadi, kulihat mata Tante Ken terbelalak, lalu terpejam erat-erat ketika penisku ditarik kembali.

Tentu saja rengekan-rengekan manjanya berkumandang terus di dalam kamar ini, “Saaam… dudududuuuh… Saaaam… kontolmu enak sekali Saaaaam… iyaaaaa… entot terus Saaaam… enak sekali Saaaam… oooooooh… Saaaaam… Saaaam… Saaaam… oooooh…”

Terkadang aku pun membalasnya dengan bisikan, “Memek Tante legit sekali… enak sekali Tanteee…”

Di saat lain, aku mengentot Tante Ken sambil menepuk-nepuk toket gedenya yang terombang ambing ke kanan dan ke kiri. Plok… plok… plokkkk… plaaak… plooook…

Terkadang pentil toket itu kusedot kuat-kuat, seolah bayi yang sedang menyusu, sementara toket satunya lagi kuremas kuat-kuat… dan tante ken malah tampak menikmatinya. Bahkan sesekali ia berkata terengah, “Remas aja toketnya sekuat mungkin Sam… enak kok…”

Hal itu membuatku mengerti. Bahwa perempuan yang satu tidak sama dengan perempuan lainnya. Karena ada yang ingin agar remasan ke toketnya harus dilakukan secara lembut, namun ada juga yang ingin diremas sekuat mungkin seperti Tante Ken ini.

Keringatku mulai membasahi sekujur tubuhku. Bercampur aduk dengan keringat Tante Ken.

Sampai pada suatu saat, Tante Ken berkelojotan. Lalu terkejang-kejang dengan perut agak terangkat ke atas…

Aku menyadari hal itu sebagai pertanda bahwa Tante Ken akan mencapai orgasmenya. Dan aku tahu bagaimana cara untuk menanggapinya. Keugenjot penisku dengan gerakan cepat… cepat sekali… sampai pada suatu saat, kudorong penisku sedalam mungkin, lalu kudiamkan dan tidak kugerakkan sama sekali.

Pada saat itulah aku merasakan detik-detik indahnya pada waktu menghayati perempuan yang sedang menikmati orgasmenya. Tante Ken meremas bahuku kuat-kuat sambil menahan nafasnya. Lalu terdengar suaranya lirih, “Saaaaaam…”

Disusul dengan kedutan-kedutan erotis di liang kemaluannya.

Setelah Tante Ken melemas, aku mencium bibirnya. Dan berbisik di dekat telinganya, “Tante udah lepas?”

“Iya Sam… duuuuh nikmat sekali Sam… terima kasih yaaaa…” sahut tante Ken yang dilanjutkan dengan ciuman hangatnya di bibirku.

“Kamu belum ngecrot Sam?” tanyanya kemudian.

“Belum Tante,” sahutku sambil menggerakkan penisku perlahan-lahan tapi pasti. Sambil menikmati indahnya liang senggama yang baru mengalami orgasme.

Beberapa saat kemudian Tante Ken sudah bergairah kembali, untuk menikmati dan menanggapi entotanku…

Dan suasana di dalam kamar kakak Mamie itu terasa hangat kembali…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu