3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Petualangan Tak Kunjung Usai

**

Bagian 01

Sepulangnya berbulan madu dari Thailand, Merry kuanjurkan mengenakan busana muslim, berhijab dan bercadar. Mengenakan kacamata hitam pula. Itu dilakukannya pada saat keluar rumah. Sehingga dia jadi sulit dikenali oleh orang luar, terutama awak media.

Alternatif kedua, Merry bisa mengenakan mantel panjang yang dilengkapi ponco untuk menutupi sebagian kepalanya. Lalu mulut dan hidungnya ditutupi masker yang mudah dibeli di apotek atau di toko obat. Lengkapi lagi dengan menggunakan kacamata hitam. Sama sulitnya untuk dikenali orang luar, seperti kalau ia mengenakan jilbab dan cadar.

Tapi Merry tidak senang keluyuran tanpa tujuan penting. Ia lebih senang tinggal di rumah yangdijaga oleh dua orang satpam dan dilayani oleh dua orang pembantu.

Terlebih lagi setelah dua bulan menjadi istri keempatku, Merry dinyatakan hamil oleh dokter Rianti, spesialis kandungan yang secara rutin memeriksa Merry di rumah.

Dalam keadaan hamil begitu, Merry lebih suka tinggal di rumah, dengan hiburan seadanya. Hiburannya hanya mendengarkan musik dari audio system atau menjelajah internet dari laptopnya.

Pada waktu kandungan Merry sudah empat bulan, Merry minta aku menjemputnya untuk dibawa ke ruang kerja di hotelku. Ternyata dia sudah mengundang notaris langganannya di Jakarta, untuk datang ke hotelku, karena alamat rumahnya tetap dirahasiakan.

Aku pun mendatangi rumah Merry yang dirahasiakan itu. Saat itu Merry sudah mengenakan busana muslimah serba hitam, termasuk hijab dan cadarnya. Kemudian kubawa istri keempatku itu menuju hotelku.

Hanya belasan menit setelah Merry berada di ruang kerjaku, notaris langganan Merry pun datang.

Ternyata Merry mau menghibahkan beberapa perusahaan yang terletak di Surabaya. Termasuk sebuah hotel bintang empat yang telah dimiliki oleh suaminya sejak beberapa tahun yang lalu.

“Perusahaan - perusahaan di Surabaya itu mulai sekarang menjadi milikmu Sayang,” bisik Merry ketika sang Notaris sedang mengetik di laptopnya, “Termasuk sebuah hotel bintang empat, yang aku juga baru tau setelah suamiku tiada. Semua itu sebagai tanda sukacitaku karena Sam benar - benar berhasil menghamiliku, sekaligus sebagai tanda cintaku padamu, Honey.

Tak peduli dengan kehadiran notaris itu, kucium bibir Merry dengan mesra sambil membisikinya, “Aku sebenarnya tak pernah mengharapkan semua ini. Tapi… terima kasih atas kebaikan dan kepercayaanmu padaku, Sayang.”

Atas saran Merry, seminggu kemudian aku terbang ke Surabaya bersama Utami, gadis yang sudah lama kutaksir tapi belum pernah kutembak, karena aku ingin agar dia konsen pada tugasnya di hotelku sebagai manager marketing.

Berkali - kali aku ingin merayunya sedikit demi sedikit. Tapi aku teringat pada janjiku kepada Frida waktu minta izinnya untuk menikahi Merry. Bahwa salah satu syaratnya, adalah aku tidak boleh bertualang lagi, kecuali dengan Mamie, Mama Ken dan keempat istriku.

Tapi mungkinkah aku bisa menghentikan petualanganku di usia semuda ini? Mungkinkah aku menghentikan kebiasaanku setiap kali menemukan sosok yang sangat menarik tapi tak pernah kusentuh seperti Utami ini?

Utami memang satu - satunya sosok yang membuatku masih penasaran. Karena aku belum pernah mengarahkannya ke puncak petualanganku. Selama ini aku selalu bersikap formal padanya. Tapi tahukah Utami bahwa diam - diam sudut mataku sering mengincar sudut - sudut “penting” pada dirinya?

Utami memang manis. Bentuk tubuhnya seperti biola. Dadanya tegap, pinggangnya ramping, boklongnya gede. Kulitnya agak gelap, tapi tampak mulus.

Sudut positif lainnya adalah, sikap dan perilakunya senantiasa menyenangkan. Utami itu humble dan murah senyum. Dia juga seorang pendengar yang baik.

Dan yang paling jelas, Utami itu punya preastasi yang gemilang selama bekerja di hotelku.

Dan kini dia duduk di sampingku, dalam pesawat terbang yang sedang menuju Surabaya, lebih tepatnya menuju Sidoarjo (karena Bandara Juanda terletak di Sidoarjo). Kami duduk di barisan seat sebelah kiri. Utami duduk di samping jendela kaca, sementara aku duduk di sebelah kanannya, di samping lorong.

Dalam penerbangan menuju Bandara Juanda itu, kami nyaris tidak berbicara sama sekali. Aku memang kurang suka ngobrol di dalam pesawat. Tapi batinku sedang berbicara sendiri terus. Bahwa kali ini aku harus mendapatkannya. Minimal harus mulai “menanamkan patok” pada manager marketingku itu.

Setelah mendarat di Bandara Juanda, kami bisa langsung keluar dari pintu kedatangan, karena kami hanya membawa tas yang tidak besar dan tidak disimpan di bagasi pesawat.

Kami langsung melihat seorang lelaki setengah baya yang membawa kertas bertuliskan Big Boss Sammy. Pasti itu utusan dari hotel yang sudah Merry hibahkan padaku. Karena Merry sudah menjelaskan, bahwa aku akan dijemput oleh pihak hotel di bandara.

Maka kuhampiri lelaki itu sambil berkata, “Saya Sammy.”

“Oh, selamat sore Big Boss. Selamat datang di Sidoarjo,” sahut lelaki itu sambil membungkuk sopan.

Aku mengangguk dan berkata, “Sebelum ke hotel, bawa dulu kami ke rumah makan seafood yang paling enak di Surabaya.”

“Siap Big Boss. Maaf… adakah barang yang perlu saya pindahkan ke dalam mobil?”

“Nggak ada. Kami nggak bawa apa - apa kecuali tas kecil ini.”

“Siap Big Boss.”

Tak lama kemudian, aku dan Utami sudah duduk di seat belakang sebuah sedan built up Eropa, yang sudah mulai meluncur meninggalkan area parkir bandara.

Beberapa saat berikutnya, sedan hitam itu sudah berhenti di parkiran sebuah restoran sea food yang paling terkenal di Surabaya, katanya.

Pada waktu aku dan Utami memasuki restoran itu, kami berhenti dulu di depan sebuah aquarium air laut yang besar sekali. Ada yang sangat kusukai, meski mahal harganya, yakni ikan kerapu macan yang sedang berenang anggun di dalam aquarium itu.

Kupilih ikan kerapu macan yang paling besar, sementara Utami memilih ikan kakap merah.

Setelah kedua ikan itu ditangkap oleh pelayan restoran, aku mengajak Utami duduk berdampingan di pojokan yang suasananya paling lengang.

Di meja itu sudah disediakan daftar menu lainnya. Aku hanya memilih salad dan udang goreng tepung sebagai tambahannya.

Setelah waiter berlalu untuk menyampaikan pesananku ke bagian kitchen, aku mulai membuka pembicaraan dengan manager marketingku. “Tami… kamu sudah punya calon suami?” tanyaku.

“Cuma teman dekat aja Boss. Belum ada kesepakatan serius. Sekarang malah jarang berkomunikasi, karena dia jadi TKI di Taiwan,” sahut Utami.

“Jadi belum ada perjanjian serius dengan cowok itu?”

“Belum Boss.”

“Begini… nanti kamu akan kuajak melihat - lihat kegiatan hotelku yang di kota ini. Kuharap kamu bisa melakukan study banding. Hal - hal positifnya boleh ditiru di hotel kita. Tentu saja hal - hal negatifnya jangan ditiru.”

“Siap Boss.”

“Sekarang kamu sudah menjadi manager marketing kan?”

“Iya Boss.”

“Apakah kamu tertarik untuk diangkat menjadi general manager?”

“A… apakah itu mungkin Boss?”

“Sangat mungkin. Tapi ada syaratnya.”

“Maaf… apa syaratnya Boss?”

Sebagai jawaban, kupegang tangan Utami yang berada di pinggiran meja makan. “Syaratnya… kamu harus menjadi cewekku,” sahutku.

Utami tertunduk. Tangan yang kupegang pun terasa bergetar halus.

“Ma… maksud Boss… saya akan dijadikan cewek simpanan?”

“Apa pun istilahnya, jangan dijadikan masalah. Yang jelas, kamu akan kujadikan milik yang sangat berharga nanti. Jadi kamu bisa berprestasi di hotel, sementara aku akan mendukungmu terus. Tapi tentu saja hal itu harus dirahasiakan. Jangan sampai karyawan heboh kelak.”

Utami mengangguk perlahan.

“Anggukanmu itu pertanda apa? Setuju pada tawaran dariku?”

Utami menoleh padaku. Tersenyum malu - malu. Lalu mengangguk lagi.

“Wooow…! Gak nyangka aku bakal merasakan kebahagiaan di kota ini,” ucapku sambil meremas - remas tangan hangat Utami dengan lembut, “Pokoknya nanti kamu akan kusayang dan kucintai, Tam.”

“Tapi istri - istri Boss yang tiga orang itu bagaimana?” tanyanya hampir tak terdengar.

“Tenang aja. Nanti aku yang akan mengatur segalanya. Yang penting kita harus rapi menjalankan hubungan. Di hotel, kita harus sama - sama profesional. Tapi di tempat rahasia kita, kamu akan kuperlakukan seperti istriku sendiri.”

“Istri - istri Boss cantik - cantik gitu. Ada bulenya juga dua orang… hhhh… saya tidak sebanding dengan mereka Boss.”

Utami memang sudah mengetahui latar belakangku pada waktu reuni keluarga besar ibuku dilaksanakan di convention hall hotelku. Pada saat itu istriku “baru” tiga orang. Sementara Merry tak pernah kumunculkan di depan karyawan - karyawatiku.

“Tami… kamu ini istimewa di mataku. Kalau tidak ada kelebihan, tak mungkin aku menawarkan hubungan khusus di antara kita berdua.”

“Saya masih merasa seperti bermimpi,” ucap Utami perlahan dan bergetar, “Soalnya saya nggak pernah melamun bahwa seorang big boss yang terkenal ganteng dan menjadi idola para karyawati hotel… sekarang mau memiliki saya…”

“Sebenarnya sudah lama aku naksir kamu Tam. Tapi aku menunggu saatnya yang tepat untuk menyatakannya. Tadi di dalam pesawat aku hampir - hampir tak kuat lagi untuk membuka isi hatiku. Tapi aku merasa kurang tepat menyatakannya di sana. Maka saat inilah aku merasa sudah saatnya untuk mengungkapkan perasaanku padamu selama ini.

“Saya… saya merasa bahagia sekali saat ini…”

“Syukurlah kalau hati kita sudah nyambung,” ucapku sambil mengusap - usap rambut Utami yang tergerai sampai bahunya.

Tak lama kemudian, dua orang pelayan mengantarkan dan menghidangkan pesanan kami di atas meja makan.

Kami pun menyantap masakan yang masih pada panas itu dengan lahapnya.

Selesai makan, kami meninggalkan restoran seafood itu menuju hotel bintang empat yang sudah menjadi milikku itu.

Setibanya di depan pintu lobby hotel, aku dan Utami turun dari sedan hitam itu, lalu melangkah menuju lobby. Karyawan dan karyawati hotel berderet di kanan kiriku sambil menyanyikan lagu Welcome tou your castle.

Aku tidak banyak bicara, hanya mengangguk - angguk sambil tersenyum. Seorang karyawati FO yang paling senior mendampingi di samping kiriku, sambil memperkenalkan para manager dan stafnya. Menurut keterangan karyawati FO itu, saat ini kedudukan general manager sedang kosong. Karena yang menjabat GM dahulu sudah pulang ke negaranya, Perancis.

Aku tahu bahwa hotel - hotel bintang lima banyak yang merekurt orang bule untuk menjadi general manager. Tapi kurasa kalau untuk hotel bintang empat ke bawah, belum perlu merekrut tenaga asing untuk GM-nya.

Lalu aku minta agar semua manager beserta stafnya untuk menerima briefing dariku di meeting room. Di meeting room aku memperkenalkan diri sebagai owner baru hotel itu. Aku tidak akan merombak kepegawaian. Dengan kata lain, aku takkan mengganti manager mana pun. Hanya saja kedudukan general manager kuminta tetap dikosongkan, karena aku punya rencana untuk merekrut seseorang sebagai general manager baru.

Keceriaan tampak di wajah para manager dan stafnya masing - masing. Mungkin mereka pikir owner baru akan mengadakan reshufle besar - basaran. Namun ternyata aku tidak mengganggu tatanan yang sudah ada. Aku hanya berpesan agar para manager bekerja all out, demi kemajuan hotel itu.

Setelah selesai melakukan briefing, aku dan Utami menuju lantai tujuh, lantai tertinggi di hotel itu. Di situlah aku disediakan suite room untuk tempatku selama berada di Surabaya.

Suite room itu bernafaskan suite room hotel bintang lima, terdiri dari bedroom, dining room, family room, meeting room, kitchen dan living room*(ruang tidur, ruang makan, ruang keluarga, ruang rapat, dapur dan ruang tamu).* Segala fasilitasnya serba mewah dan layak untuk suite room hotel bintang lima.

Mungkin hotel ini kualitas bintang lima dengan tarif bintang empat.

Setelah berada di dalam suite room ini, aku langsung mendekap pinggang Utami dari belakang, sambil membisikinya, “Bagaimana keadaan hotel ini? Lebih bagus daripada hotel di kota kita kan?”

“Iya Boss,” sahut Utami, “Tapi… apakah Boss mau mengangkat saya sebagai GM di hotel ini nanti?”

“O, tidak. Kamu harus selalu sekota denganku. Biar segala kebutuhanmu terpantau dan terpenuhi. Kalau berjauhan kan seribusatu kemungkinan bisa terjadi. Dan yang paling kutakutkan, kalau kamu berselingkuh di belakangku…”

“Itu bukan watak saya Boss. Percayalah, saya akan total setia kepada Boss kelak.”

Aku memutar tubuh Utami supaya berhadapan denganku. Dan bibir sensualnya itu… seolah menantang untuk kupagut dan kulumat. Lalu itulah yang kulakukan. Kupagut bibir sensualnya sambil merengkuh lehernya ke dalam pelukanku.

Utami bersikap pasrah sambil memejamkan matanya. Entah apa yang sedang dirasakannya saat aku melumat bibir sensualnya ini. Yang jelas kedua lengannya mendekap pinggangku. Sambil sesekali membuka kelopak matanya, menatapku dengan sorot teduh.

Setelah melepaskan ciumanku, Utami kuajak masuk ke dalam bedroom. Dan menunjuk ke arah bed berkasur tebal bertilamkan kain seprai putih bersih itu. “Nanti kita tidur berdua di situ ya,” kataku.

Utami mengangguk perlahan sambil menyahut, “Lahir batin saya sudah milik Boss. Karena itu apa pun yang Boss inginkan, akan saya terima dengan ikhlas.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu