3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Ceu Inar seolah mau melakukan apa saja untukku. Mungkin hal itu karena aku jauh lebih muda darinya, mungkin karena tampang dan fisikku yang membuatnya kesengsem. Tapi yang pasti, dia mengejar duitku juga.

Tak apa, karena aku juga ingin hubungan “pribadi” atas dasar saling menguntungkan.

Soal kesetiaannya padaku, masih perlu diuji dan diawasi dengan caraku sendiri. Ini penting, karena Ceu Inar akan menjadi tangan kananku kelak. Kalau dia jujur dan setia, akan kupenuhi segala kebutuhannya yang real. Tapi kalau dia terbukti tak jujur, buang saja. Itu prinsipku buat semua perempuan yang selama ini kupelihara.

Namun sejauh ini tiada seorang pun yang pernah menghianatiku, baik dalam masalah pribadi mau pun dalam masalah bisnis.

Namun esok paginya, ketika Ceu Inar baru saja meninggalkan ruang pribadiku, hapeku berdering. Ternyata dari Merry tercinta…!

Setelah call itu kuterima, terdengar suara Merry tercinta, “Sayang… bisa ke rumah sekarang?”

“Bisa. Ada apa nih, kok tumben pagi - pagi bidadariku nelepon?”

“Kata dokter, aku mengalami hypertensi. Jadi aku harus melahirkan lebih cepat dua minggu dari perkiraan awal. Lewat operasi cesar. Karena akan menjadi bahaya kalau telat.”

“Haaa?! Oke… sekarang juga aku akan berangkat, Beib.”

Aku agak panik. Tapi tetap berusaha untuk menenangkan diri.

Nanang, sopir hotel yang sering nyetir mobilku dalam keadaan tergesa - gesa begini, kupanggil dan kusuruh memanaskan mesin mobilku. Kemudian buru - buru aku mandi sebersih mungkin

(takut tercium bau perempuan yang asing di penciuman Merry).

Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di seat belakang mobilku, yang dikemudikan oleh Nanang.

Beberapa bulan yang lalu aku sudah mendengar dari Merry bahwa bayi dalam kandungannya berjenis kelamin perempuan. Aku bahkan sudah menyiapkan nama untuk anakku itu, tapi belum dikatakan kepada Merry.

Hanya butuh waktu setengah jam untuk mencapai rumah Merry yang masih dirahasiakan ke publik itu.

Setibanya di rumah itu, aku bergegas menuju kamar Merry di lantai dua.

Merry tampak senang sekali melihat kedatanganku. Dengan hangatnya dia mencium bibirku, lalu berkata, “Untung Sam gak sedang di luar kota. Soalnya nanti kan ada surat yang harus ditandatangani oleh suamiku, sebelum operasi dimulai.”

“Iya. Tenang aja Beib. Di zaman sekarang, operasi cesar bukan hal yang aneh lagi. Bahkan lebih aman daripada melahirkan secara biasa.”

Beberapa saat kemudian Merry sudah duduk di seat belakang mobilku, berdampingan denganku. Zuster pribadi yang selalu menemani Merry duduk di depan.

Nanang pun mulai menjalankan mobilku di jalan aspal, menuju klinik bersalin langgananku.

Setelah menandatangani surat izin operasi, hanya setengah jam kami menunggu, kemudian Merry dibawa ke dalam ruang operasi. Sementara aku menunggu di luar. Bahkan lalu nongkrong di rumah makan yang tidak jauh dari klinik bersalin itu. Karena perutku sama sekali belum diisi apa - apa.

Memang ada ketegangan di dalam batinku. Namun aku pasrahkan semua ini kepada Tuhan.

Pada saat aku sedang menyantap sarapan pagiku, tiba - tiba terdengar suara seorang lelaki dari arah samping kananku, “Sammy?!”

Aku menoleh dan terbelalak melihat salah seorang teman lamaku itu.

“Bimo?!” seruku sambil berdiri dan memeluknya, laksana bertemu dengan saudara kandung yang sudah lama tidak berjumpa.

Lalu Bimo duduk di depanku, terbatas oleh meja makan.

Kemudian kulambaikan tanganku ke waiter yang sedang berdiri di dekat meja kasir.

Kusuruh waiter itu memberikan daftar menu yang dibawanya kepada Bimo. “Ayo pilih makanan yang lu suka, Bim. Sekalian temanin gue makan,” kataku.

“Emang gue lagi lapar makanya masuk ke sini juga,” sahut Bimo.

“Setau gue, lu kan kerja di kapal pesiar. Kok sekarang ada di sini?” tanyaku sambil melanjutkan makan.

“Lagi istirahat dulu. Sudah enam tahun gue kerja di kapal. Lama - lama bosen juga hidup di laut terus.”

“Tapi penghasilan lu selama enam tahun kitu dikumpulin kan?”

“Iya. Buat modal usaha di negara sendiri.”

“Usaha apa sekarang?”

“Bisnis online.”

“Bagus itu. Bisnis online menjanjikan masa depan yang cemerlang. Asalkan tekun mengelolanya.”

“Bini gue yang ngurus. Biar lebih telaten.”

“Ohya?! Terus… sudah berapa orang anak lu?”

“Baru seorang. Gak mau banyak - banyak dulu. Lu sendiri udah punya anak berapa Sam?”

“Banyak. Hahahaaa… bini resmi aja empat orang. Belum lagi bini simpanan.”

“Serius Sam. Bini lu empat?”

“Iya. Yang pertama keturunan chinese. Yang kedua dan ketiga wanita bule. Yang keempat, sekarang sedang dicesar di klinik bersalin itu,” kataku sambil menunjuk ke klinik bersalin tempat Merry sedang dicesar.

“Wow… klinik bersalin itu sih paling mahal di kota ini Bro.”

“Gak apa. Yang penting aman dan nyaman. Kan gak tiap tahun masukin bini ke situ.”

“Emang sih. By the way, lu masih ingat kelompok kita di SMA dulu kan?”

“The Seven Magnificent maksud lu?”

“Iya. Kita rencananya mau ngadain reuni.”

“Bagus! Gue setuju,” ucapku dengan benak menerawang ke masa laluku.

Sebenarnya temanku banyak. Banyak sekali. Ada teman sepermainan sejak kecil, ada teman seSMP dan seSMA, ada teman kuliah sefakultas, teman bisnis dan sebagainya.

Tapi aku belum pernah menceritakan mereka di sini. Karena aku mengkhususkan catatan pribadi ini dalam masalah seksual semata. Lagian kalau aku menceritakan mereka, tentu aku harus minta izin dulu walau nama mereka disamarkan sekali pun.

“Ini suatu kebetulan Sam,” ucap Bimo, membuyarkan terawangan masa laluku, “Lu masih ingat siapa aja yang jadi anggota The Seven Magnificent dahulu kan?”

“Tentu aja aku masih ingat. Angotanya kan Paul, Krisna, Galih, Tomi, Beni, lu dan gue. Pada di mana mereka semua sekarang?”

“Yang jelas, semuanya sudah punya istri. Paul tinggal di Semarang. Krisna, Tomi dan Beni tinggal di Jakarta. Yang masih menetap di kota ini tinggal Galih, gue dan lu. Nah gue dan Tomi sudah sepakat untuk mengadakan reuni The Seven Magnificent.”

“Hmmm… boleh juga tuh. Kita sudah sama - sama menjadi kepala rumah tangga, lalu reunian sekaligus bernostalgia…”

Makanan pesanan Bimo sudah dihidangkan di depannya. Lalu ia mulai menyantapnya sambil berkata, “Karena kita sudah berpencar dengan karier yang berbeda - beda.. kita harus menentukan dulu tanggal dan bulan reuni, sekaligus tempatnya di mana gitu.”

“Nomor handphone mereka sudah lu dapetin?”

“Sudah. Tinggal lu aja yang belum ada.”

“Ya udah, sekarang aja kita tukaran nomor hape. Sekaligus gue minta nomor - nomor kelima teman lainnya.”

Aku dan Bimo tukaran nomor hape. Kemudian dia kirimkan juga nomor - nomor hape kelima teman lainnya ke hapeku.

“Nanti acaranya cuma untuk ngobrol dan bercanda doang?” tanyaku.

“Justru itu… Tomi punya usul yang sangat menarik. Dia ingin kita akrab kembali seperti masa ABG dahulu. Karena itu… dia mengusulkan untuk melakukan wife swap… !”

“Haaa?! Apa gue gak salah denger nie?”

“Gue serius Sam. Keempat teman lain sudah sepakat dengan usul Tomi. Mereka hanya usul agar setiap pasangan yang datang di acara reuni itu harus membawa buku nikah masing - masing. Karena takut ada yang curang.”

“Curang gimana?”

“Kan bisa aja di antara teman kita ada yang membawa perempuan yang bukan istrinya. Itulah kecurangan yang gue maksud.”

“Kalau wife swap itu dilaksanakan langsung seminggu, misalnya, pasti ada yang memble di tengah jalan.”

“Maksud lu?”

“Kalau pesertanya tujuh pasang, lalu tiap malam ganti pasangan, kan pasti ada yang lepoh di tengah jalan.”

“Bener juga ya. Apalagi kalau pihak cowok habis - habisan ngentot istri teman… besoknya pasti tidak berdaya untuk menggauli pasangan barunya.”

“Makanya itu… sebaiknya wife swapnya secara bertahap aja. Lakukan wife swap pertama, lalu rehat dulu seminggu. Biar semua pihak pulih dulu staminanya. Bahkan lebih bagus kalau sebulan sekali wife swapnya. Misalnya gue dapat istri lu, laksanakan aja wife swapnya selama tiga malam. Lalu kita semua istirahat dulu.

“Iyas. Gue setuju usul lu itu. Nanti gue mau rundingkan dulu dengan teman - teman lain.”

Aku termenung sesaat. Memikirkan reuni yang sudah direncanakan oleh teman - teman lamaku itu. Memang rencana mereka sangat menarik. Tapi siapa di antara keempat istriku yang harus kupilih. Merry tak mungkin bisa, karena kehadirannya masih sangat dirahasiakan. Aleksandra dan Halina juga takkan kuajak dalam acara seperti itu.

Satu - satunya yang bisa kupilih hanya Frida seorang. Tapi apakah Frida akan mau mengikuti rencana itu? Rencana yang mungkin dianggapnya gila - gilaan itu?

Entahlah. Mungkin aku harus membujuknya berhari -hari untuk mendapatkan persetujuan terhadap rencana wife swap itu.

Tapi biar bagaimana pun juga Frida harus mengikuti langkahku. Harus.

“Begini,” kataku, “hitung - hitung testing, gimana kalau kita bertiga aja dulu yang reuniannya. Maksud gue, wife swapnya gue, lu dan Galih aja dulu. Dari situ nanti kita punya pengalaman untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pelaksanaan reuni The Seven Magnificent secara lengkap.”

“Boleh juga usul lu tu. Terus kalau bini lu ada empat orang, bini mana yang mau lu ajak dalam acara itu?”

“Bini pertama. Kalau yang lain pasti pada nolak. Apalagi bini keempat, kan sekarang juga baru mau melahirkan. Ohya, hubungi Galih dulu. Kita matengin dulu konsepnya. ”

“Oke. Tapi sebelum kita laksanakan wife swapnya, mendingan kita bertiga berunding dulu, untuk mematangkan teknis pelaksanaannya.”

“Boleh, “aku mengangguk, “Gak usah jauh - jauh, kumpulnya di hotel gue aja.”

“Haaa?! Lu punya hotel segala?”

“Hotel kecil. Ini alamatnya. Nomor handphone gue juga tertera di sini,” sahutku sambil menyerahkan selembar kartu namaku.

Bimo membaca kartu namaku. “Sam! Gue tau hotel ini. Ternyata punya lu?”

“Iya, “aku mengangguk sambil tersenyum.

“Ini sih bukan hotel kecil. Hotel bintang tiga kan?”

“Begitulah. Waktu pertama gue miliki, cuma hotel melati tiga. Terus gue kembangin sampai jadi bintang tiga.”

“Terus… wife swapnya mau dilaksanakan di hotel lu?”

“Jangan. Kalau sekadar tiga pasangan, mendingan di villa gue aja. Kalau di hotel, takut jadi sorotan karyawan gue.”

“Oh iya… memang memilih waktunya juga harus tepat Sam. SIapoa tau salah di antara bini kita ada yang sedang menstruasi.”

“Iya… masalah itu juga perlu diperhitungkan. Supaya gak ada yang terhalang datang bulan. Hahahaaa…”

Bimo sudah selesai makan. Lalu berkata, “Gue bukan SMP alias sudah makan pulang. Kebetulan gue sudah ditunggu rekan -rekan yang mau meeting. Jadi gue pulang duluan ya Sam.”

“Oke Bim. Sampai ketemu lagi ya, sekalian bersama Galih.”

“Iya. Gue ikut doakan semoga bini lu melahirkan dengan selamat dan lancar, Sam.”

“Amiin. Thanks Bim.”

“Mmm… makanannya lu yang traktir?”

“Iya udah. Tinggalin aja.”

“Terima kasih Sam. See you… !” ucap Bimo sambil menepuk bahuku. Kemudian meninggalkan rumah makan dekat klinik bersalin ini.

Sesaat kemudian hapeku berdering. Ternyata dari Zuster Yoan, perawat pribadi Merry itu.

“Ada apa Zus?” tanyaku.

“Operasinya sudah selesai Boss. Bayinya sudah mau dimasukan ke incubator.”

“Ohya udah… aku segera naik ke lantai tiga,” sahutku sambil bergegas menuju kasir, untuk membayar makananku dan makanan Bimo tadi.

Lalu setengah berlari aku menuju klinik bersalin dan naik ke lantai tiga lewat lift.

Zuster Yoan mengantarkanku ke ruang bayi. Dan perawat klinik bersalin itu mendekatkan bayi perempuan yang baru lahir itu padaku. “Barangkali Mas mau adzan buat anaknya ini,” kata perawat itu.

Hmm… aku yang banyak dosa ini memang merasa tak berharga untuk mengumandangkan adzan di dekat telinga anakku yang baru lahir. Tapi kulakukan juga, daripada tidak sama sekali.

Sejam kemudian barulah aku bisa menjumpai Merry yang sudah disimpan di kamar VVIP Spesial. Sudah VVIP, spesial pula. Yah, sesuai dengan level Merry sendiri.

Merry menatapku dengan pasrah. Mungkin dia masih dalam pengaruh anastesi.

Kucium dahi istri keempatku sambil membisiki telinganya, “Selamat ya Sayang. Anak kita cantik sekali, seperti ibunya.”

“Sudah diadzani?” tanyanya lirih.

“Sudah,” sahutku.

“Mau dikasih nama apa?” tanyanya lagi.

“Tami Aulia,” sahutku, “Tami singkatan dari cinTA kaMI. Aulia artinya orang suci.”

“Bagus sekali namanya,” ucap Merry sambil tersenyum.

“Mungkin bayinya dua jam lagi baru dibawa ke sini.”

“Iya Sayang.”

Lalu aku berbisik ke telinga Merry, “Aku semakin cinta padamu, bidadariku… !”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu