3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Apakah aku sudah menjadi seorang petualang yang sejati? Banggakah aku aku telah bertualang dengan sekian banyak perempuan yang nilainya di atas rata-rata semua?

Tidak. Aku tidak bangga karena semua perempuan itu ada kaitannya dengan Papa. Bahkan Tante Fenti pun ada kaitannya dengan Mama. Dan Mama ada kaitannya dengan Papa!

Jadi semuanya ada kaitannya dengan Papa. Lalu perempuan mana yang bisa kudapatkan dari kalangan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Papa? Belum ada seorang pun. Bahkan istriku sendiri ada kaitannya dengan Papa. Karena Frida itu keponakan Mamie. Dan Mamie itu istri muda Papa…!

Hal itulah yang membuatku berpikir mendalam di sebuah café.

Ya, semuanya itu terpikirkan olehku setelah mendapatkan call dari Mama bahwa dia takkan bisa datang hari Minggu lusa, karena Mama mendadak datang bulan.

Aku tidak terlalu mempermasalahkan Mama. Karena tadinya pun aku sedang berusaha untuk melupakan Mama.

Yang kupikirkan sekarang adalah semua perempuan yang jadi pasangan seksualku itu. Kenapa aku tidak bisa mencari perempuan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Papa?

Ketika aku sedang tercenung sendirian sambil menikmati secangkir black coffee, tiba-tiba bahuku ditepuk orang. Berbarengan dengan terdengarnya suara perempuan, “Hallo Sammy… !”

Aku terkejut dan menoleh ke arah orang itu. Ternyata dia cewek bule yang sangat kukenal sebagai Aleksandra (bukan Alexandra). Mahasiswi asal Eropa Timur (maaf, aku tak bisa menyebutkan nama negaranya). Aleksandra teman kuliahku dulu, tapi mungkin sekarang dia masih kuliah, karena aku memang sangat cepat menyelesaikan kuliahku.

“Aleksandra…! “seruku sambil menjabat tangan cewek bule itu, “Apa kabar?”

“Aku baik-baik saja,” sahutnya sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku terbatas meja café, “Hanya saja… kuliahku masih lama selesainya, tidak bisa cepat seperti kamu, Sam.”

“Mungkin kamu sengaja ingin lambat selesainya, supaya bisa tinggal lebih lama di Indonesia kan?”

“Iya juga sih… hihihiii…” sahutnya diiringi ketawa kecil.

“Sebenarnya aku heran, kenapa kamu betah banget tinggal di Indonesia?”

“Karena aku jatuh cinta pada Indonesia. Jauh lebih nyaman daripada tinggal di negaraku sendiri.”

“Apa sih yang membuatmu nyaman tinggal di sini?”

“Orang-orangnya… ramah sekali. Bahkan mungkin paling ramah di dunia.”

“Terus apa lagi yang membuatmu kerasaan tinggal di sini?”

“Makanannya, pemandangan alamnya dan banyak lagi. Semua itu membuatku kerasan tinggal di negara yang sudah sangat kucintai ini. Bahkan aku ingin jadi warganegara Indonesia, agar tidak perlu lagi mengurus visa tiap tahun. Tapi ternyata tidak mudah untuk mengurus kewarganegaraan di negara ini. Kecuali…

“Kecuali apa?”

“Kecuali kalau aku menikah dengan orang Indonesia asli.”

“Nah… gampang kan? Cari aja cowok Indonesia dan ajak nikah. Beres kan?”

“Itulah masalahnya. Aku tidak pernah menemukan cowok yang kucintai di sini. Semuanya hanya bisa kuanggap teman baik… itu saja.”

“Masa di antara sekian banyak temanmu yang asli Indonesia tak ada seorang pun yang kamu senangi dan bisa kamu cintai?”

“Ada sih seorang… tapi sudah jauh dari jangkauan.”

“Siapa dia? Apakah aku mengenalnya?” tanyaku penasaran. Ingin tahu siapa sebenarnya yang diinginkan oleh cewek bule berambut pirang dan sangat cantik itu.

Tiba-tiba Aleksandra menunjukkan telunjuknya ke dadaku.

“Aku?!” aku kaget juga dibuatnya.

“Iya, “Aleksandra mengangguk sambil tersenyum, “Tapi kamu kan sudah meninggalkan kampus, sehingga aku gak bisa pedekate lagi padamu. Selain daripada itu, aku juga dengar berita bahwa kamu sudah menikah dengan gadis pilihanmu. Karena itu aku menganggapmu sudah jauh dari jangkauan.”

Kupegang kedua tgangan Aleksandra yang tergeletak di atas meja, “Kamu serius?” tanyaku.

Aleksandra mengangguk sambil tersenyum. O, betapa manisnya senyum bule pirang itu.

“Kenapa tidak dari dulu mengatakannya padaku?”

“Aku sudah ketularan adat wanita di negara ini. Mereka seolah tabu untuk duluan menyampaikan perasaan cintanya kepada pria. Jadi… aku juga gak berani mengatakannya padamu. Tapi sekarang… aku nekad menyampaikannya, meski pintu hatimu pasti sudah tertutup.”

Aku menghela napas panjang. Menatap wajah cantik Aleksandra sesaat. Lalu tertunduk dengan perasaan terhanyut atas pengakuan cewek bule itu.

Aku berpikir beberapa saat. Sementara Aleksandra sedang menikmati minuman yang dipesannya.

Tak lama kemudian aku memegang kedua tangannya lagi sambil berkata, “Kalau memang seperti itu, aku siap untuk menikah denganmu.”

“Haaa?! Serius?” Aleksandra menatapku dengan sorot sungguh-sungguh.

Aku menjawabnya dengan anggukan.

“Kalau nggak salah, kamu sudah menjadi mualaf kan?” tanyaku.

“Iya,” sahut Aleksandra sambil tersenyum.

“Bagaimana kalau kamu pulang nanti, apakah kedua orang tuamu takkan marah?”

“Kedua orang tua sudah meninggal dalam suatu kecelakaan. Jadi aku sekarang ini hidup sebatangkaya…”

“Sebatangkara. Bukan sebatangkaya.”

“Hehee… iya. Sebatangkara.”

“Mungkin ada beberapa tahap untuk perkawinan kita. Kamu harus mengurus surat-surat dari negaramu dulu, sementara aku pun harus mengurusnya di sini. Hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama.”

“Tapi kamu kan sudah punya istri. Bisakah kamu mengurus surat-suratnya di sini?”

“Di dalam agama kita, laki-laki kan boleh punya istri lebih dari seorang. Tapi maksimal hanya empat orang.”

“Oh iya ya…”

“Setelah kita resmi menikah, kita urus masalah kewarganegaraanmu. Dan itu membutuhkan waktu lebih lama lagi.”

“Iya. Nggak apa-apa. Yang penting aku ingin menjadi WNI. Ingin hidup di negara ini sampai mati. Karena aku sudah terlalu mencintai negara ini.”

“Ohya… kecelakaan apa yang dialami oleh kedua orang tuamu?”

“Kecelakaan di kapal pesiar,” sahutnya. Kemudian ia menuturkan bahwa beberapa tahun yang silam, kedua orangtuanya berada di dalam kapal pesiar yang mengalami kebakaran di bagian restorannya. Api berhasil dipadamkan, tapi kedua orang tuanya kebetulan sedang berada di restoran itu bersama beberapa penumpang lain.

Asuransi membayar Aleksandra dengan santunan yang besar sekali. Namun apalah arti uang sebanyak itu pada saat Aleksandra masih membutuhkan kedua orang tua yang sangat menyayanginya sebagai putri tunggalnya?

Hal itulah yang membuat Aleksandra ingin meninggalkan negaranya, karena merasa benar-benar sedih dan kesepian di negaranya sendiri. Sementara di Indonesia ia merasa banyak teman yang bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Padahal di negaranya sendiri Aleksandra merasa sulit mencari teman, karena orang-orang di sekitarnya terbiasa hidup dengan suasana individualis semua.

Sementara di Indonesia Aleksandra merasa pergaulannya sangat hangat. Jauh sekali perbedaannya kalau dibandingkan dengan pergaulan di negaranya yang hanya mementingkan pribadi masing-masing.

Terlebih lagi setelah menjadi mualaf, temannya makin banyak saja.

“Begitulah,” ucap Aleksandra di akhir penuturannya, “Banyak hal positif yang membuatku ingin tinggal di negara ini seumur hidupku. Bahkan aku ingin menikah dengan orang Indonesia. Selain terbayang bakal menyenangkan, aku pun sudah telanjur mencintai negara ini.”

“Tapi, “lanjutnya, “mencari calon pasangan yang benar-benar sesuai dengan kriteriaku memang masih sulit. Lalu… diam-diam aku merasa kagum padamu. Tapi aku belum berani mengucapkan kekaguman dan perasaan suka ini. Dan… tiba-tiba kamu meninggalkan kampus kita. Bahkan kudengar pula kabar bahwa kamu sudah menikah.

Aiu terdiam lagi.

Sebenarnya dahulu aku pernah naksir juga pada Aleksandra yang bule dan cantik pula. Tapi saat itu aku bertekad ingin cepat menyelsaikan kuliahku. Sehingga pikiran tentang cewek ingin kubuang jauh-jauh. Apalagi cewek bule secantik Aleksandra, pasti sulit mendapatkannya, pikirku saat itu.

Terawanganku buyar ketika handphoneku berdering. Ternyata dari Papa.

“Sebentar ya… call dari Papa,” kataku sambil berdiri dan menjauh dari Aleksandra, untuk membuka hubungan selulerku dengan Papa. Lalu… :

“Hallo Pap…”

“Sam… lagi di mana sekarang?”

“Di café. Ada apa Pap?”

“Mamie baru saja melahirkan Sam. Bayinya laki-laki. Sehat dan sangat mirip kamu.”

“Alhamdulillah… melahirkannya di mana Pap?”

Papa mengatakan nama sebuah klinik bersalin yang termahal di kotaku.

“Baik Pap… aku segera menuju ke sana,” kataku sebelum menutup hubungan seluler dengan Papa.

Kemudian aku bergegas menghampiri Aleksandra.

“Sandra… aku harus menemui Papa, karena ada sesuatu yang sangat penting. Masalah rencana kita nanti kita lanjutkan by phone aja ya.”

Sandra memegang kedua tanganku dengan sorot wajah yang tampak berharap. “Iya Sam. Kalau bisa sih ketemuan lagi aja di sini. Kapan ada waktu?”

“Nanti kalau aku sudah merasa sedang santai, aku akan call dan ketemuan di mana saja yang terasa nyaman,” ucapku yang kuikuti dengan cipika-cipiki. Membuat pegangan Aleksandra makin erat.

“Janji ya Sam.”

“Yap… be patient please…” sahutku sambil menepuk pipinya perlahan.

Sebenarnya aku ingin sekali mencium bibirnya yang tampak agak terbuka dan bergetar itu. Tapi suasana di dalam café tidak memungkinkanku untuk melakukan hal itu.

Beberapa saat kemudian…

Hanya butuh waktu setengah jam saja untuk mencapai rumah bersalin itu. Setelah tanya ke bagian penerangan, aku pun bergegas menuju lift. Memijat angka 3. Lalu tiba di lantai 3. Bertanya lagi pada zuster yang bertugas di lantai 3, karena tadi aku lupa bertanya kepada Papa di ruang nomor berapa Mamie dirawat.

Ternyata Mamie dirawat di salah satu ruang VVIP. Lalu aku menuju ke salah satu pintu yang ada di lantai 3 itu.

Ketika kubuka pintu itu, ternyata Papa sedang berdiri di dekat bed Mamie.

“Nah… itu Sam,” kata Papa.

Mamie menoleh ke arahku sambil tersenyum.

Aku pun melangkah mendekati bed Mamie. Dengan perasaan terharu bercampur bahagia.

“Papa mau keluar dulu ya,” kata Papa sambil menepuk bahuku dari belakang, “Dari tadi pengen merokok.”

“Iya Pap,” sahutku.

Setelah Papa berlalu, kutatap wajah cantik Mamie. Lalu kukecup bibirnya dengan mesra dan hangat.

“Harusnya Papa ngasih tau sebelum Mamie masuk ke sini. Biar aku bisa ikut nungguin bayinya lahir. Ohya… mana bayinya Mam?”

“Masih diurus di ruang bayi dulu. Mungkin sebentar lagi juga diantarkan ke sini. Kata Papa, bayinya mirip kamu, Sayang.”

“Ogitu ya. Mmm… Mamie melahirkannya dicesar atau lahiran normal?”

“Secara normal. Mamie gak mau dicesar… takut bekas operasinya tertinggal di perut mamie,” sahut Mamie sambil memegang tanganku dengan tangan kiri, karena lengan kanannya sedang diinfus.

“Setelah anak kita lahir… apakah tugasku dianggap selesai?”

“Nggak,” sahut Mamie sambil meremas tanganku, “Sampai kapan pun kamu harus jadi kekasih Mamie.”

“Nanti kalau hamil lagi gimana?”

“Biarin aja. Mamie malah seneng punya anak banyak. Mau punya anak sepuluh juga gak apa-apa.”

“Hahahaaa… jangan dong Mam. Emangnya mau bikin kesebelasan sepakbola?! Lagian kalau terus-terusan hamil, mana waktu buat kita pacaran di atas ranjang?”

“Sekarang harus puasa dulu, ya Sayang. Kata orang-orang sih empatpuluh hari setelah melahirkan, baru boleh digauli lagi.”

Aku mengangguk-angguk. Lalu berbisik ke dekat telinga Mamie,” Kata orang-orang juga, empatpuluh hari setelah melahirkan, memek perempuan sedang enak-enaknya ya Mam.”

Mamie mencubit pipiku sambil tersenyum manis.

“Sekarang Mamie kelihatannya lebih cantik daripada biasanya, “pujiku.

“Masa sih?! Padahal mamie gak sempat pakai make up.”

“Tanpa make up pun Mamie tetap cantik. Bahkan aku paling suka melihat Mamie waktu baru bangun tidur.”

“Masa?! Syukurlah kalau gitu sih. Ohya… Frida udah mulai hamil belum?”

“Belum Mam. Gak tau kenapa.”

“Sabar aja ya.”

“Iya Mam. Sekarang sih aku sudah bahagia, karena Mamie sudah melahirkan anakku.”

“Mau dikasih nama apa anaknya?”

“Ah… sebaiknya kita serahkan kepada Papa aja untuk memberikan namanya. Untuk menjaga perasaan Papa.”

Sesaat kemudian dua orang zuster datang. Salah seorang di antara mereka membopong bayi… anakku yang baru lahir. Kemudian mereka meletakkannya di ranjang bayi yang berdampingan dengan ranjang Mamie.

Dengan penuh penasaran kuperhatikan bayi yang belum diberi nama itu dari jarak dekat. Memang asda kemiripan denganku, tapi mirip Papa juga. Karena aku sering disebut sangat mirip Papa.

“Nanti kalau infusnya sudah dicabut, baru bayinya boleh disusui, ya Bu,” ucap salah seorang zuster kepada Mamie.

Suasana perasaanku jadi bercampur aduk. Antara terharu, bahagia dan terawangan masa depan anakku itu.

Tapi kenapa wajah Aleksandra terbayang-bayang terus di dalam terawanganku?

Apa yang harus kulakukan seandainya rencana itu diwujudkan kelak?

Aaah… biarlah semuanya mengalir sendiri, seperti air yang mengalir dari hulu ke muara.

Semua yang harus terjadi, terjadilah.

Bukankah perempuan bisa kujadikan penyemangat yang positif bagiku?

Bukankah tujuan utamaku ingin menolong Aleksandra juga supaya dipermudah untuk menjadi warganegara Indonesia?

Aku tidak mau munafik. Memang tujuan utamaku ingin menolong Aleksandra. Tapi tujuan lainnya tentu saja yang satu itu. Ingin tau seperti apa rasanya memek bule…!

Hahahaaaaa…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu