3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Pelampiasan hasrat birahiku pada Renata berlangsung sampai tiga babak. Sehingga menjelang jam tujuh malam barulah kami menuntaskannya. Lalu mandi bersama dan ngobrol dulu beberapa saat.

Pada saat itulah aku berkata serius pada Renata, “Mulai saat ini, kamu harus bisa menjadi tangan kananku di semua perusahaanku yang di Surabaya ini. Termasuk hotelnya juga.”

“Siap Sam.”

“Kalau ada yang menjadi benalu di perusahaan, jangan segan - segan untuk memecat dan menggantinya dengan sosok baru.”

“Siap,” sahut Renata sambil mengacungkan jempolnya, “tapi sejauh ini semuanya berjalan dengan normal dan sehat.

“Ohya, keempat cabang itu apakah perlu kudatangi semua? Atau cukup dengan memberikan pengarahan padamu aja?”

“Kalau secara hirarkis, memang cukup Sam berjumpa denganku saja. Karena keempat cabang itu kan berada di bawah kekuasaanku. Tapi kalau Sam mau temu muka dengan direktur cabang dan stafnya, gak ada salahnya kalau Sam mendatangi keempat cabang itu satu persatu.”

“Mmm… nantilah kupikirkan dulu. Begitu - begininya besok akan kutelepon aja ya.”

“Siap Sam.”

“Ohya… suamimu kan jauh di Jakarta sana. Kenapa gak bisa nginap aja di sini?”

“Soalnya di rumah ada adik suamiku Sam. Kalau hilang semalam suntuk, takut laporan kepada suamiku.”

“Oooh… suamimu nyimpan mata - mata segala ya?”

“Begitulah kira - kira.”

“Memang punya istri secantik kamu sih patut diwaspadai. Hahahaaaa… !”

“Makanya aku mau minta cerai. Sudah jenuh berumah tangga begini - begini aja. Seolah jalan di tempat.”

“Lho… penghasilanmu sebagai dirut kan cukup besar?!”

“Iya. Yang kupersoalkan penghasilan suamiku. Seenaknya aja dia menaroh adiknya di rumahku. Lalu aku harus membiayai uang kuliahnya, uang jajannya dan sebagainya. Sementara gaji suamiku habis untuk dia aja sendiri. Tak pernah ada sisa.”

“Ohya?!”

“Betul Sam. Meski gajinya jauh di bawah penghasilanku, sebagai seorang istri aku kan mau juga dikasih sesuatu sebagai pertanda cintanya padaku. Gak usah yang mahal - mahal… beliin gaun kek barang sehelai, mungkin aku sudah merasa senang.”

“Kamu tinggal di rumah inventaris dirut kan?”

“Iya. Segalanya ngandalin aku. Sehingga aku merasa seperti sapi perah saja. Makanya aku mau minta ceraki saja. Tapi aku mohon Sam mau menerimaku sebagai apa saja. Sebagai wanita simpanan juga gak apa-apa.”

“Santai aja Ren,” ucapku sambil mengelus pipi Renata yang kemerahan, “Aku ini bukan lelaki kejam. Meski kita belum jadi suami istri, kita sudah saling memiliki. Aku takkan menganjurkanmu menuntut perceraian kepada suamimu. Tapi melarang pun aku tak mau. Namun seandainya kamu benar - benar bercerai dengan suamimu, maka akulah yang akan bertanggung jawab terhadap masa depanmu.

“Apa tuh syarat - syaratnya?”

“Syarat pertama, kamu harus xsetia padaku. Syarat kedua, begitu bercerai dengan suamimu, kamu harus melepas alat KBmu.”

“SIaaap! Kedua syarat itu akan kulaksanakan. Demi impian masa kecilku yang baru kutemukan di usia sedewasa ini.”

Renata kuantarkan ke kantornya lagi. Karena mobilnya ditinggal di situ tadi. Setelah meninggalkan Renata di kantornya, aku berkata kepada sopir yang disediakan oleh pihak hotel itu, “Kalau malam ini ke Batu - Malang, capek nggak?”

“Nggak Big Boss. Batu kan tidak terlalu jauh dari Surabaya.”

Sebelum kembali ke hotel, aku membeli brownies dulu di Jln. Raya Darmo, yang katanya paling enak di Surabaya.

Brownies itu kuberikan kepada Utami setelah aku tiba di suiteroom hotelku.

Utami tampak senang sekali. Ternyata dia sangat menyukai brownies bakar dan sudah bosan dengan brownies kukus.

“Sudah makan malam?” tanyaku.

“Sudah. Tadi ada yang nganterin makanan ke sini,” sahut Utami yang sedang menikmati browniesnya.

”Kalau sudah kenyang makan browniesnya. Siap - siap ya. Kita akan ke luar kota malam ini,” kataku.

“Iya, “Utami mengangguk, “Berarti saya harus ganti pakaian dulu ya Boss.”

“Nggak usah. Pake kimono gitu aja juga gak apa - apa. Kita mau menuju villa sih. Bukan mau ke hotel.”

“Nggak apa - apa saya pakai kimono gini Boss?”

“Nggak apa - apa. Nggak pake celana dalam juga nggak apa - apa.”

“Hihihiii… nanti kalau kimononya ketiup angin gimana?”

“Paling juga memekmu masuk angin. Hahahaaa… !”

Utami tersipu.

“Tapi sekarang pakai celana dalam kan?”

“Pake Boss.”

“Ya udah. Kalau gitu kita berangkat aja sekarang. Browniesnya bekal aja buat dimakan di villa nanti.”

“Jadi gak apa - apa saya pakai kimono gini Boss?”

“Nggak apa - apa. Malah bagus, biar gampang megangin memekmu di jalan nanti.”

Utami tersipu lagi.

“Bawa pakaian gantinya satu aja. Yang lain tinggalkan aja di sini. Besok atau lusa kita balik lagi ke sini.”

“Siap Boss.”

Beberapa saat kemudian aku dan Utami sudah berada di dalam sedan hitam itu. Sedan yang mulai bergerak meninggalkan area parkir hotel.

Hanya sebentar sedan ini berada di dalam kota, lalu mulai menginjak batas kota menuju Malang. Dan mulai menyeruak di tengah kegelapan malam.

“Sudah ngantuk?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke balik kimono Utami.

“Belum,” sahut Utami, “Sekarang kan baru jam sembilan lebih sedikit Boss.”

Tadi malam aku sempat mandi bareng dengan Utami. Tapi pada saat mandi itu aku belum mau menyentuh kemaluannya. Kemudian kami tidur bareng, dalam keadaan sama - sama telanjang di balik satu selimut. Juga aku masih bertahan untuk tidak menyentuh kemaluannya dulu.

Tapi kini, di perjalanan menuju Malang ini, tanganku mulai kuselinapkan ke balik celana dalamnya. Mulai menyentuh memeknya yang bersih dari bulu. Hangat pula.

Di kegelapan malam itu aku mencari - cari letak mkelentitnya, karena aku tak mau memasukkan jariku ke dalam celah memeknya. Setelah menemukan yang kucari, jari tengahku mulai mengelus - elus kelentit Utami.

Utami malah merapatkan duduknya ke samping kiriku.

“Kalau mau bobo, rebahkan aja kepalamu di sini,” bisikku sambil menepuk pahaku dengan tangan kiri, sementara tangan kanan masih berada di balik celana dalam Utami. Bahkan mulai asyik mengelus - elus kelentitnya…!

Utami menatapku sesaat. Lalu mengikuti saranku. Merebahkan kepalanya di atas pahaku.

Dan tangan kiriku jadi ada “kerjaan”. Ketika jari tangan kananku masih asyik mengelus - elus kelentitnya, tangan kiriku menyelinap ke balik behanya… untuk mempermainkan pentil toketnya. Menjepit pentil toket itu dengan jempot dan jari tengahku, sementara ujung telunjukku mengelus - elus puncak pentil itu.

Badan Utami mulai menghangat. Pasti dia sudah mulai horny berat, akibat permainan kedua tanganku yang sudah mengelus - elus dua titik sensitif itu.

Ketika jemariku menyentuh mulut memeknya… hmmm… ternyata mulut memeknya sudah berlendir… basah dan licin…!

Namun beberapa saat kemudian sedan hitam yang kami tumpangi sudah tiba di Batu. Dan membelok ke sebuah villa besar yang kata sopir milik perusahaanku.

“Perusahaan milik Big Boss punya dua villa di Batu ini. Villa ini lebih representatif buat Big Boss. Kamarnya ada lima,” kata sang Sopir sambil membukakan pintu kanan belakang.

“Kamu tidur di kamar paling belakang aja. Jangan tidur di mobil,” kataku.

“Siap Big Boss, “sopir itu mengangguk sopan.

“Ohya… siapa namamu?” tanyaku.

“Nama saya Jalal, Big Boss.”

“Kamu asli Surabaya?”

“Orang tua asli Jember, tapi saya lahir besar di Surabaya, Big Boss.”

Jalal mengantarkanku sampai ke pintu kamar yang kupilih. Kamar paling depan. Sementara Jalal kusuruh untuk menempati kamar paling belakang.

“Kamu hafal semua cabang perusahaanku yang di Surabaya kan?”

“Tau semua Big Boss.”

“Aku mau istirahat di sini dua harian aja. Nanti sepulangnya dari sini aku ingin mengunjungi kantor - kantor keempat cabang itu.”

“Siap Big Boss… !”

Lalu aku dan Utami memasuki kamar villa yang paling depan itu. Sebuah kamar yang luas dengan fasilitas setingkat dengan kamar hotel bintang lima.

Memang megah dan besar sekali villa ini. Di tengahnya ada kolam renang segala.

Sebenarnya villa ini cocok sekali untuk dijadikan tempat memetik keperawanan Utami. Tapi fisikku masih kurang fit. Mungkin lusa baru bisa melaksanakannya.

Keesokan harinya aku masih ingin “nyantai” sekaligus memulihkan staminaku. Maka kuajak Utami mengunjungi Coban Talun, yang air terjunnya membuat Utami terbengong - bengong.

Aku pun menjepret kameraku berkali - kali, untuk mengabadikan kecantikan Utami di seputar air terjun yang unik itu. Sengaja aku hanya membuat foto Utami sendirian, agar dia bebas membagikan kepada teman - temannya kelak.

Tak cuma itu. Kami pun mengunjungi Omah Kayu. Dan duduk - duduk rumah yang berada di atas pohon itu, sambil memandang keadaan di sekelilingnya yang sangat indah. Di situ pun Utami puluhan kali kufoto, untuk membuat hatinya besar. Tapi hanya dia sendiri yang jadi objek kameraku. Karena kalau berdua denganku, takut ada gossip kelak setelah pulang ke kotaku.

Menjelang malam, kami pulang ke villa. Namun sebelumnya kami mampir dulu ke sebuah mall di Malang, untuk membelikan beberapa helai kimono dan gaun untuk Utami, supaya dia punya pakaian untuk ganti.

Malam itu pun aku belum menyetubuhi Utami. Karena badanku masih letih, bekas tamasya tadi siang.

Tapi esok paginya… badanku sudah fits. Dan sudah tiba saatnya untuk mengeksekusi Utami.

Maka ketika Utami keluar dari kamar mandi, aku pun cepat masuk ke dalam kamar mandi. Untuk mandi dengan air hangat sebersih mungkin.

Selesai mandi, kulihat Utami sedang duduk di sofa sambil minum kopi susu yang dibuatnya sendiri di dapur villa. Saat itu Utami mengenakan kimono berwarna kuning muda yang kubelikan dari mall tadi malam.

Setelah menyhisir rambut, aku menghampirinya.

“Di dapur ada kopi hitam?” tanyaku sambil duduk di samping Utami.

“Ada, tapi kopi murahan Boss.”

“Biarin aja. Bikinkan aja kopi hitam yang banyak kopinya, tapi gulanya sedikit aja. Nanti kita cari sarapan pagi di luar.”

“Siap Boss.”

“Tami… kapan kamu mau manggil Bang aja padaku? Kamu kan sudah menjadi sosok istimewa bagiku. Dalam keadaan cuma berdua gini, panggil Bang aja. Jangan boss - bossan terus.”

“Hehehe… masih belum berani Boss.”

“Mungkin kamu harus kusetubuhi dulu biar mau manggil Bang padaku ya?” cetusku sambil melingkarkan lenganku di lehernya. Lalu mengecup bibirnya yang masih dingin karena dia baru selesai mandi tadi.

“Saya sih diapain juga siap - siap aja Boss.”

“Ayo bikinin kopi dulu deh. Biar perutku hangat.”

“Iya,” sahut Utami sambil bangkit dari sofa, lalu melangkah ke luar kamar menuju dapur.

Tak lama kemudian Utami sudah muncul lagi, sambil membawakan secangkir kopi panas yang lalu dihidangkannya di meja kecil depan sofa yang sedang kududuki.

Utami pun lalu duduk lagi di samping kiriku.

“Udara Batu lumayan dingin ya?” ucapku sambil mereguk kopi panas yang Utami hidangkan.

“Iya. Sangat dingin,” sahut Utami, “Tapi tidak sedingin Pangalengan atau Situ Patenggang.”

Tanganku pun memegang lutut Utami yang terbuka lewat belahan kimononya. “Kamu sudah siap untuk kusetubuhi?” tanyaku sambvil merayapkan tanganku ke paha Utami yang agak hangat.

“Kan saya sudah bilang… apa pun yang akan Boss lakukan pada saya… saya sudah siap lahir batin. Karena selain menghormati Boss, hati saya pun sudah milik Boss.”

“Hmmm… aku memang mencari saat dan tempat yang tepat untuk melakukannya. Dan sekarang sudah tiba saatnya untuk menyetubuhimu, Tam.”

“Iya Boss… silakan,” sahut Utami sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.

Aku pun duduk di lantai beralaskan karpet biru tua ini, di antara kedua kaki Utami, sambil menarik celana dalamnya sampai terlepas dari kedua kakinya.

“Boss… oooh… kenapa Boss duduk di bawah?” Utami tampak salah tingkah.

“Tenang aja… mmm… lepaskan tali kimononya,” sahutku.

Utami pun mengikuti perintahku. Melepaskan tali kimononya, lalu membentangkan kedua sisi kimono itu, sehingga tampak tinggal beha yang masih melekat di balik kimononya itu.

Kutarik bokong Utami agar duduknya lebih maju ke depan, sehingga aku bisa memandang memeknya dari jarak yang sangat dekat.

Memang baru kali ini aku memperhatikan keindahan memek berwarna agak gelap itu. Utami diam saja. begitu pula ketika aku mengangakan kedua bibir besarnya (labia mayora) yang berwarna kehitaman itu. Sehingga bagian dalam memeknya tampak jelas di mataku. Merah sekali, bukan pink seperti memek keempat istriku.

Lalu mulutku menyeruduk ke memek yang sudah kungangakan itu.

“Bosss… oooo… oooooh… Boss… !” Utami mulai merintih ketika aku sudah giat menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna merah darah itu.

“Kenapa?” tanyaku sambil menghentikan jilatanku sejenak, “Sakit?”

“Nggak sakit Boss… bahkan enak sekali… tapi… saya malu…”

“Wajarlah malu pada awalnya. Kan namanya juga kemaluan…” ucapku yang kulanjutkan dengan menjilati lagi bagian berwarna merah darah itu…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu