3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

**Bagian 21

Setibanya di kotaku, Sinta kubawa ke sebuah rumah baru di sebuah kompleks perumahan yang tergolong perumahan elit. Rumah itu sudah serba ada, sudah lengkap furniture dan perabotan rumah lainnya. Aku memang sudah menyiapkan rumah itu untuk koleksiku yang kupandang berharga. Dan pilihanku jatuh kepada Sinta.

Apakah aku berlebihan dengan memberikannya sebuah rumah padahal Sinta belum seminggu bekerja sebagai sekretaris pribadiku? Tidak. Dibandingkan dengan keuntungan bisnisku di bidang properti, rumah dan semua isinya itu tidak ada apa - apanya. Kenapa aku harus pelit pada sosok yang bisa memberiku kepuasan baik dalam bisnis mau pun birahiku?

Tentu saja Sinta gembira sekali menerima kejutan dariku ini. “Sedikit pun aku tak pernah membayangkan bakal mendapat semuanya ini Bang,” ucap Sinta sambil mendekap pinggangku.

“Kamu layak mendapatkan semuanya ini, Sayang.”

“Kalau Mama pulang, boleh diajak nginap di rumah ini Bang?”

“Boleh, “aku mengangguk, “Sekarang kamu istirahat aja dulu selama beberapa hari di sini, karena aku pun mau istirahat dulu dari kegiatan bisnisku selama empat atau lima hari. Nanti kalau mau ada kegiatan, akan kutelepon sehari sebelumnya.”

“Siap Bang. Tapi… tinggal sendirian di rumah sebesar ini… kalau malam serem juga Bang.”

“Nanti akan kucarikan pembantu untuk meladenimu…”

“Nggak usah Bang. Aku mau mengajak saudara sepupuku aja di sini. Dia pintar masak dan rajin beres - beres rumah. Kebetulan dia beberapa bulan yang lalu bercerai dengan suaminya. Jadi, daripada dia nganggur gak jelas, mendingan kuajak aja tinggal di sini. Pasti dia mau.”

“Cantik nggak orangnya?”

“Cantik juga. Kenapa Abang menanyakan cantik nggaknya?”

“Untuk memeriahkan suasana, boleh kan dia gabung dengan kita?”

“Hihihiiii… Abang ada - ada aja.”

“Tentu aja hal itu kalau kamu izinkan. Kalau kamu keberatan, aku juga takkan nyari sasaran lain. Cukup dengan kamu aja di rumah ini.”

“Nggak lah, nggak keberatan. Asalkan Abang puas, aku ikut senang juga.”

“Ya udah… ajak aja dia ke sini. Tapi jangan ngomong apoa - apa dulu soal rencana yang satu itu. Aku akan menilainya duklu, apakah dia layak bergabung sama kita atau tidak. Kalau tak layak, aku juga gak mau.”

“Pasti layak Bang. Dia cantik kok… mungkin sama nilainya denganku. Hanya bedanya, aku belum pernah menikah, sedangkan dia sudah janda.”

Aku memang sudah terbuka pada Sinta. Bahwa aku punya banyak koleksi. Karena itu Sinta jangan sampai punya perasaan cemburu kalau suatu waktu melihatku bersama cewek lain. Tampaknya Sinta mulai mau belajar agar tidak punya perasaan cemburu itu, sehingga dia akan mengajak saudara sepupunya yang menurutnya cantik itu.

“Sinta Sayang,” ucapku sambil memegang kedua tangannya, “Di antara sekian banyak cewek yang kusimpan sebagai kekasihku, kamulah yang paling cantik di mataku.”

“Terima kasih Bang,” sahut Sinta sambil tersenyum, “Walau pun Abang punya banyak simpanan, aku berjanji untuk selalu setia kepada Abang seorang.”

Aku tersenyum, lalu mengecup bibir Sinta. Kemudian meninggalkan rumah itu kembali ke hotelku.

Memang belakangan ini aku merasa hotelku ini seolah rumah pribadiku. Karena aku tidak tidur di bedroom pribadiku kalau sedang menggilir keempat istriku saja. Setelah mereka dapat giliran secara adil, aku kembali ke hotel lagi. Keempat istriku pun tahu, bahwa aku lebih nyaman tinggal di hotelku, karena kalau ada yang kubutuhkan dengan mudahnya aku bisa menyuruh karyawan hotel.

Dan seperti ada yang sudah mengatur dari sononya, baru saja aku duduk di ruang kerjaku, handphoneku berdering. Ternyata dari Bimo :

“Hallo Bim… apa kabar?”

“Kabar baik Sam. Ini gue sama Galih mau ngajak berunding dengan lu. Harus ke mana gue supaya bisa ketemu sama lu?”

“Ke hotel aja. Minta satpam mengantarkan kalian ke ruang kerja gue. Oke?”

“Sip deh.”

Beberapa saat kemudian Bimo dan Galih datang, yang kuterima di ruang tamu pribadiku.

Masalah utama yang mereka bahas denganku adalah rencana reuni The Seven Magnificent itu. Tapi aku berkata, “Sayang sekali gue takkan bisa ikut wife swap seperti yang sudah direncanakan itu.”

“Kenapa?” tanya Bimo heran.

“Soalnya bini gue empat orang. Kalau salah seorang di antara mereka gue ajak, tentu yang tiga orang lagi bakal ngambek. Sedangkan gue selalu berusaha menyejukkan hati mereka. Jangan sampai timbul masalah sekecil apa pun.”

“Lalu… rencana pendahuluan yang akan kita bertiga saja pesertanya, bagaimana?”

“Tiga pasangan dengan tujuh pasangan, prinsipnya kan sama saja. Masalahnya ya itu… gue takkan bisa mengajak salah seorang bini gue. Kecuali kalau kalian punya istri empat orang semua. Bisa deh kuajak keempat bini gue sekaligus.”

“Wah… berarti gagal dong rencana kita,” kata Galih sambil garuk - garuk kepala.

“Masalahnya kan semua harus pada bawa buku nikah. Gue memang punya cadangan, tapi dia itu istri adik gue. Kalau kalian bisa mentolerir, bisa aja gue ajak dia.”

“Istri adik lu?” Galih tampak bingung.

“Iya. Dia itu istri adik gue. Tapi dia ada masalah dengan adik gue. Lalu kujadikan dia seolah bini gue, dengan seijin adik gue. Panjang deh ceritanya, kesimpulannya ya begitulah… kalau kalian bisa menerima istri adik gue sebagai pendamping gue, ya oke. Kita laksanakan aja rencana di antara kita bertiga itu.

Sementara itu, diam - diam aku sudah mengirim WA kepada Wulan, agar dia masuk ke ruang tamu pribadiku.

Tak lama kemudian Wulan muncul dalam gaun satin berwarna ungu. Tampak cantik sekali Wulan dalam gaun satin ungu itu. Bimo dan Galih pun terbengong - bengong menyaksikan bentuk Wulan saat itu.

Setelah diperkenalkan kepada Bimo dan Galih, Wulan duduk di sampingku, dengan sikap manjanya yang sengaja diperlihatkan kepada kedua teman lamaku itu.

Kemudian kusuruh Wulan untuk menjelaskan kedudukan dirinya, sesuai dengan yang sudah kuatur sebelumnya.

Wulan pun berkata, “Saya ini istri Bang Yoga, adik Bang Sam. Tapi sekarang yang saya anggap suami itu adalah Bang Sam ini. “Kemudian Wulan merapatkan pipinya ke pipiku dengan sikap manjanya.

Bimo dan Galih saling pandang. Kemudian keduanya mengangguk.

“Oke Sam… kami setuju,” kata Bimo, “Tinggal hari - tanggal dan tempatnya yang sebaiknya ditentukan sekarang.”

“Soal tempatnya, di villa gue aja. Alamat lengkapnya akan gue WAkan pada kalian sekarang,” sahutku sambil mengetik alamat lengkap villaku itu, kemudian kukirimkan ke WA Bimo dan Galih.

“Villa gue itu punya empat kamar. Dua kamar di lantai dua, dua kamar lagi di lantai tiga. Sementara lantai dasar hanya untuk memarkir mobil. Nah sekarang tinggal tentukan aja jam, hari dan tanggalnya. Mau kapan?”

“Mungkin minimal kita harus dua malam nginap di villa lu itu Sam,” kata Galih.

“Mau sebulan juga gak apa - apa,” sahutku.

“Bagaimana kalau kita pakai hari - hari weekend yang akan datang? Berarti hari Sabtu

pagi kita harus sudah berangkat ke sana. Pulangnya Minggu malam. Gimana tuh?” tanya Bimo sambil memandangku.

“Sekarang hari Rabu. Berarti tiga hari lagi kita kumpul di villa gue ya,” sahutku.

Bimo dan Galih mengangguk.

Lalu kami lanjutkan ngobrolnya di resto hotelku. Wulan tidak ikut, karena ada tugas yang harus dikerjakannya di kitchen. Wulan memang sudah kuangkat sebagai manager food and beverage, jadi kitchen pun termasuk bagiannya. Dan chef bertanggung jawab kepada Wulan.

Kujamu Bimo dan Galih dengan makanan dan minuman seadanya di resto hotelku.

Sejam kemudian mereka pamitan pulang.

Aku pun kembali ke ruang kerjaku.

Tiba - tiba aku teringat sesuatu. Bahwa di villaku itu harus ada tukang masak. Sedangkan Pipih sudah menjadi simpananku di ruko.

Lalu kutelepon Wulan :

“Iya Boss…”

“Lan… tukang masak yang paling bagus kerjanya siapa?”

“Mbak Muryati Bang. Emangnya kenapa?”

“Kita kan butuh tukang masak di villa. Coba panggil Muryatinya ke sini.”

“Belum datang Bang. Dia kan kebagian shift malam. Paling juga sebentar lagi datang.”

“Ya udah. Nanti kalau sudah datang suruh dia mengghadap ke ruang kerjaku. Jangan disuruh masak dulu, karena aku akan mengajaknya ke villa untuk mengarahkan apa yang harus dikerjakannya nanti.”

“Siap Boss.”

“Ada tenaga cadangan kalau Muryati dibawa ke villa dulu nanti?”

“Ada Boss.”

“Ya udah… kutunggu dia di ruang kerjaku ya.”

“Siap Boss.”

Wulan memang seperti itu. Dia hanya berani memanggil Bang atau Abang padaku hanya kalau sedang berduaan saja. Di depan karyawan lain, dia selalu memanggil Boss padaku. Begitu juga kalau sedang ditelepon masalah hotel, pasti Wulan memanggilku Boss.

Beberapa saat kemudian masuklah seorang wanita (yang kutaksir berusia sekitar 40 tahunan ke ruang kerjaku). Lalu kusuruh dia duduk di kursi depan meja kerjaku.

“Ini karyawati kitchen yang kata manager bernama Muryati itu?” tanyaku.

“SIap, betul Boss.”

“Usianya berapa tahun?”

“Tiga bulan lagi usia saya genap empatpuluh tahun Boss.”

“Nama panggilan sehari - harinya apa?”

“Saya suka dipanggil Yati aja Boss.”

“Kalau begitu aku akan manggil Mbak Yati aja ya. Karena usianya lebih tua dariku, makanya kupanggil Mbak… karena Mbak Yati dari Jateng kan?”

“Siap Boss. Betul saya dari Ungaran, dekat Semarang.”

“Begini Mbak. Hari Sabtu pagi sampai hari Minggu malam, Mbak akan kutugaskan jadi tukang masak di villaku ya. Untuk tugas itu, Mbak akan menerima imbalan yang jumlahnya tergantung dari kerajinan dan ketekunan Mbak Yati melaksanakan tugas di villa itu. Makin bagus cara kerja Mbak, makin besar bonus yang akan Mbak terima nanti.

“Siap Boss.”

“Sekarang Mbak ikut aku ke villa itu ya. Supaya Mbak bisa memperkirakan suasananya nanti. Terutama Mbak harus tahu di mana pasar terdekat dan apa saja yang dijual di pasar itu.”

“Siap Boss.”

Beberapa saat kemudian Mbak Yati sudah berada di dalam mobilku, yang sedang kukemudikan menuju villaku yang terletak di luar kota.

Sebenarnya aku masih punya villa - villa lain yang letaknya hanya beberapa kilometer dari kotaku. Villa - villa itu kubeli dan kurenovasi menjadi baru semua, yang kelak akan kujual untuk yang berminat.

Tapi salah satu villa akan kupertahankan. Bahkan akan kurenovasi besar - besaran, untuk rendezvous dengan Mrs. Alana kalau datang ke kotaku nanti.

“Mbak punya anak berapa?” tanyaku di belakang setir mobilku.

“Dua orang Boss,” sahutnya.

“Suaminya kerja di mana?”

“Jadi buruh tambang nikel di Sulawesi Boss.”

“Wah jauh banget. Pulangnya berapa bulan sekali?”

“Paling cepat enam bulan sekali. Malah seringnya sih cuma waktu lebaran aja bisa pulang.”

Mendengar jawaban itu, aku malah mulai berpikir ngeres. Solalnya Mbak Yati itu cukup seksi di mataku. Terutama bokongnya itu… gede sekali…!

Tapi aku harus mengutamakan hal penting dulu. Pertama, sebelum belok ke arah bukit itu, kuberhentikan mobilku di depan pasar yang tak jauh dari belokan menuju villaku itu. Kusuruh Mbak Yati turun dan sendirian memengamati apa saja yang dijual di pasar itu. Tapi hanya sebentar dia berada di dalam pasar, kemudian kembali lagi ke mobilku.

“Sudah pada tutup yang jualannya di pasar. Sekarang kan udah sore Boss. Pasarnya hanya buka sampai jam satu siang,” kata Mbak Yati setelah masuk lagi ke dalam mobilku.

“Berarti sejak Jumat sore Mbak harus sudah ada di villa. Jadi pada Sabtu pagi sudah ada makanan untuk dihidangkan bagi tamu - tamuku. Pokoknya jumlah orang yang akan makan nanti sebanyak enam orang termasuk aku sendiri.”

“Siap Boss. Mmm… saya harus masak apa aja buat tamu - tamu Boss?”

“Masakan yang biasa Mbak masak aja deh. Apa aja, yang penting enak. Di pasar itu kayaknya gak susah nyari ayam kampung, daging sapi atau pun daging kambing. Pokoknya masak yang pantes buat tamu - tamuku nanti.”

“Siap boss.”

Tak lama kemudian mobil kubelokkan ke kiri, ke arah puncak bukit di mana villaku berdiri.

Setibanya di depan villa, kusuruh Mbak Yati turun duluan, karena mobil akan kumasukkan ke lantai dasar.

Setelah mematikan mesin mobil di lantai dasar, aku menghampiri Mbak Yati yang tampak sedang memperhatikan keadaan villaku dengan sorot kagum.

“Ini villaku Mbak,” kataku sambil memegang pergelangan tangan Mbak Yati, “Ayo kita ke dapur dulu.”

“Villanya besar sekali Boss. Seperti hotel aja bentuknya,” kata Mbak Yati ketika menmgikuti langkahku ke kitchen yang terletak di lantai dasar.

“Wah… masa hotel cuma menyediakan empat kamar,” sahutku, “Nah ini dapurnya. Itu tempat makannya. Tapi nanti hidangkan makanannya di depan pintu kamar masing - masing aja.”

“Siap Boss.”

“Ayo sekarang lihat kamar - kamarnya,” kataku sambil melangkah di tangga menuju lantai dua. Setibanya di lantai dua, aku berkata, “Di sini ada dua kamar. Di atas juga ada dua kamar. Ayo kita langsung aja ke lantai tiga.”

Di lantai tiga, kubuka pintu kamar yang terletak di sudut itu. Kamar yang pernah kupakai mengeksekusi beberapa perempuan…!

Memang bagus view dari kamar ini, karena terletak di sudut, bisa menikmati keindahan alam dari dua sisi.

Mbak Yati tampak serius memandang ke luar dinding kaca yang memperlihatkan keindahan alam di sekitar villa yang terletak di puncak bukit ini.

“Pernah tidur di dalam kamar villa seperti ini?” tanyaku sambil duduk di sofa dekat bed.

“Boro - boro… nginjek villa aja baru sekali kini Boss.”

“Sini mbak,” kataku sambil menepuk - nepuk kulit sofa yang sedang kududuki, menyuruh Mbak yati duduk di samping kiriku.

Dengan malu - malu Mbak Yati duduk juga di samping kiriku.

“Mau nyobain tidur di sini?” tanyaku sambil menepuk lutut Mbak Yati yang terbuka di bawah spanrok seragam kitchennya.

“Tidur di sini? Sendirian Boss?” Mbak Yati balik bertanya.

“Sama akulah… biar Mbak merasakan tidur dan ditiduri di dalam kamar villa ini,” kataku sambil melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Mbak Yati.

“Hihihihiii… siapa juga yang mau nidurin saya Boss?”

“Aku Mbak,” sahutku dengan lingkaran lengan kiri yang semakin kupererat.

“Aaaah… Boss pinter becanda juga ya. Masa Boss mau sama saya yang udah tua ini…”

“Mbak… akju mau jujur nih ya… begitu melihat Mbak di rjuang kerjaku tadi, aku langsung tergiur sama Mbak. Soalnya aku ini penggemar wanita setengah baya… ya seperti Mbak ini…”

“Tapi… saya takut Boss.”

“Takut apa?”

“Takut ketagihan… hihihiii…”

Mendengar ucapan itu spontan aku memeluknya dengan kedua lenganku, “Kini untuk awalnya aja. Nanti bisa kita lakukan di ruang kerjaku. Kan di belakang ruang kerjaku ada kamar pribadiku. Gimana?”

“Saya cuma bingung aja, masa Boss punya istri cantik - cantik gitu kok mau sama saya yang jelek gini…”

“Di mataku, Mbak ini manis dan seksi lho. Bokong Mbak juga menggiurkan sekali. Kalau jelek, masa aku mau sama Mbak?”

“Iya Boss… tapi kalau boleh saya mau pipis dulu. Tadi di dalam mobil Boss kedinginan sama ACnya. Di sini pakai AC pula. Itu kan pintu kamar mandi ya Boss.”

“Iya pipis dulu deh sana. Terus yang bersih ceboknya ya. Atau perlu kucebokin?”

“Idiiih… masa big boss mau nyebokin anak buahnya sendiri… sebentar ya Boss,” kata Mbak Yati sambil melangkah ke pintu kamar mandi.

Sementara aku menutupkan semua tirai pada dinding kaca, agar kalau sudah malam dan menyalakan lampu, takkan terlihat dari luar.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu