3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 05

Setelah Yoga berlalu, aku tercenung sendiri di ruang kerjaku.

Mungkin Wulan terlalu lugu, sehingga Yoga kehilangan gairahnya. Lalu membayangkan seperti yang diakuinya tadi. Bahwa ia sering berkhayal, seandainya ada lelaki lain yang menggauli Wulan, pasti gairah Yoga akan bangkit kembali.

Agak lama aku memikirkan masalah Yoga itu. Karena biar bagaimana Yoga itu adalah satu - satunya saudara kandungku. Sakitnya Yoga adalah sakitku. Senangnya Yoga adalah kesenanganku juga.

Kemudian aku keluar dari ruang kerjaku yang terletak di bagian paling belakang. Sehingga dari ruang kerjaku lebih dekat ke hotel yang masih baru bangunannya itu ketimbang ke lobby.

Saat itu aku mau ke lobby. Namun di lorong menuju lobby itu aku maju berpapasan dengan seolrang wanita anggun, bergaun hijau tosca yang mengkilap. Dan aku masih ingat benar siapa wanita itu. Mantan dosenku yang biasa dipanggil Ibu Emi.

“Selamat pagi Bu Emi, “sapaku dengan sikap sopan.

Wanita cantik dan anggun kitu kaget, lalu memperhatikanku dan menyahut, “Ini Sammy?!”

“Iya Bu,” sahutku sambil menjabat tangannya.

“Lagi ngapain di hotel ini?” tanyanya dengan senyum di bibirnya.

“Kebetulan hotel ini punya saya Bu.”

“Ohya?! Hebat kamu ini Sam. Masih muda tapi sudah sukses.”

“Hewhehee… sukses itu kan relatif Bu. Mmm… apakah Bu Emi bersedia untuk ngobrol di ruang kerja saya?”

“Boleh. Saya memang ada yang ingin disampaikan padamu Sam.”

“Iya… kita bahas di ruang kerja saya aja Bu.”

Bu Emi mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu melangkah di sampingku menuju ruang kerjaku yang terletak paling belakang di bangunan lama ini.

Begitu tiba di dalam ruang kerjaku, Bu Emi memandang ke sekelilingnya sambil bergumam, “Wah… ini ruang kerja apa suite room Sam?”

“Tadinya memang suite rooom. Tapi saya jadikan ruang kerja saya aja. karena suite room kurang menjual, jarang dipakai tamu.”

Kuajak Bu Emi duduk di ruang tamu yang sudah kurombak supaya layak digunakan oleh seorang owner seperti aku ini.

“Masalah apa yang mau disampaikan itu Bu?” tanyaku yang sengaja duduk di samping mantan dosenku itu.

“Saya kan baru bercerai dengan suami. Lalu dalam masalah harta gono gini, saya dan mantan suami sepakat untuk membagi dua semua harta dari hasil usaha kami berdua. Sekarang tinggal rumah dan tanah di belakangnya itu yang belum terjual. Apakah Sam punya relasi yang butuh rumah dan tanah seluas dua hektar di belakang rumah itu?

“Lokasinya di mana?”

“Lokasinya memang ada di pinggiran kota. Tapi rumahnya lumayan bagus.”

“Mmm… bagaimana kalau kita lihat rumah dan tanahnya itu sekarang?”

“Boleh.”

“Ibu pakai apa ke sini? Bawa mobil sendiri?”

“Nggak. Tadi pakai taksi. Saya kan sudah pindah, ngajar di Surabaya. Nggak ngajar di kota ini lagi.”

“Ngajar di Surabaya?” tanyaku.

“Iya. Kenapa?”

“Nggak kenapa - kenapa. Mmm… di Surabaya juga saya punya hotel.”

“Hotel apa? Di mana?” tanya Bu Emi.

Lalu kusebutkan nama hotelku dan alamat lengkapnya.

“Wow… itu sih hotel keren Sam. Kok bisa sih kamu yang masih muda sekali sudah sesukses itu?”

“Kebetulan ada rejekinya aja Bu. Kalau hotel ini, sejak saya masih kuliah sudah saya miliki. Tapi belum dibangun bagian yang bertingkat di belakang itu.”

“Luar biasa… !” Bu Emi geleng - geleng kepala.

Beberapa saat kemudian mantan dosebnku yang cantik dan anggun itu sudah berada di dalam sedan merah maroon metalic-ku, keluar dari pelataran parkir menuju ke jalan aspal.

“Ibu yang begitu cantiknya kok bisa bercerai dengan mantan suami Ibu itu?” tanyaku setelah sedanku menginjak jalan aspal.

“Saya kan gak mau dimadu,” sahut Bu Emi.

“Owh… mantan suami Ibu menikah lagi?”

“Iya. Alesannya, karena ingin punya anak.”

“Emangnya Bu Emi belum pernah hamil?”

“Belum. Tapi kan belum tentu saya yang mandul. Belum pernah dip[eriksakan ke dokter kok.”

“Wow… kalau begitu, Ibu masih… mmm… nggak deh…”

“Masih apa?” tanya Bu Emi bernada penasaran.

“Barusan salah ngomong Bu.”

“Iiih… kalau ngomong gak diselesaikan ntar rejekinya terhambat di tengah jalan lho.”

“Takut Ibu marah.”

“Nggak… nggak akan marah. Ayo tuntasin omonganmu tadi Sam.”

“Anu Bu… kalau Ibu belum pernah hamil… tentu itunya masih rapet… kayak masih gadis…”

“Hihihihiii… memangnya kamu mau buktiin rapet nggaknya?” Bu Emi mencubit lengan kiriku.

“Iya sih… pengen buktiin…”

“Mmmm… urusin bisnisnya dulu. Soal itu sih gampang. Mumpung saya belum merit lagi.”

“Waktu masih jadi mahasiswa, saya ngefans lho sama Ibu. Soalnya Ibu dosen tercantik dan termuda di kampus kita.”

“Masa sih?! Kenapa kamu gak pernah ngomong secara terbuka?”

“Ngomong terbuka sih nggak berani Bu. Lagian saat itu saya sedang konsen kuliah, karena saya ngejar target agar cepat selesai kuliahnya. Alhamdulillah… saya lulus dengan cepat kan Bu.”

“Iya. Kamu lulus paling cepat, cum laude pula. Kamu memang hebat. Tapi sekarang kamu udah punya istri kan?”

“Udah Bu.”

“Udah punya anak?”

“Sudah juga.”

Tiba - tiba Bu Emi membisiki telinga kiriku, “Bisa hamilin saya nggak?”

“Kalau Ibu nggak mandul, pasti bisa.”

“Saya yakin… saya nggak mandul.”

“Ya ayo… saya siap buat hamilin Ibu. Tapi saya nggak bisa menikahi Ibu secara sah.”

“Nggak apa - apa. Saya hanya ingin memamerkan aja kepada mantan suami saya.”

“Memamerkan gimana?”

“Pada waktu perut saya sedang buncit, saya akan menemui dia. Biar nyahok… !”

“Hahahaaa… boleh juga tuh. Panas - panasin mantan suami Ibu nanti.”

“Hmmm… kebayang kalau saya hamil sama kamu Sam. Kalau anaknya cowok, pasti ganteng kayak ayahnya.”

“Dan kalau anaknya cewek, pasti cantik seperti ibunya.”

“Usia Bu Emi masih produktif kan?”

“Masih lah. Umur saya kan baru tigapuluhdua.”

“Berarti waktu Bu Emi masih jadi dosen saya, usianya baru duapuluhtujuhan ya Bu.”

“Iya. Saya kan menyelesaikan kuliah dengan cepat, seperti kamu. Usia duapuluhsatu sudah S1. Usia duapuluhtiga sudah S2. Ohya… kamu udah S2 juga kan?”

“Belum Bu. Bisnis menyita waktu saya. Belum ada senggangnya. Padahal para manager dan direktur bawahan saya di Surabaya, sudah S2 semua. Tapi saya sebagai ownernya baru S1.”

“Owner sih gak perlu tinggi - tinggi banget pendidikannya. Yang penting duitnya melimpah ruah. Duit kan bisa menguasai segalanya.”

“Kalau sudah ada waktu senggang sih, saya mau juga mengambil S2. Tapi nggak mau di Indonesia.”

“Terus mau kuliah S2 di mana? Di Amerika?”

“Ya… antara Amerika dengan Kanada aja Bu. Tapi entah kapan saya bisa kuliah lagi. Belum kebayang. Bisnis saya terlalu banyak. Bukan hanya bisnis hotel.”

“Ohya? Selain punya hotel - hotel, bisnis apa lagi?”

“Di Surabaya saya punya beberapa pabrik yang memproduksi makanan ringan. Saya juga mulai bergerak di bidang properti.”

“Wah… kalau begitu cocok deh buat naksir rumah dan tanah saya yang mau dijual itu.”

“Kalau harganya masuk di akal, pasti saya beli Bu.”

“Murah Sam. Bukan cuma masuk di akal. Pokoknya harga rumah dan tanah itu akan dijual di bawah harga pasaran.”

“Eeeh… ini udah lewat batas kota. Masih jauh rumahnya Bu?”

“Itu… setelah lewat lampu merah cuma limapuluh meteran, di sebelah kiri jalan raya ini.”

Hmmm, pikirku, berarti rumah dan tanah Bu Emi itu terletak di daerah yang lumayan strategis. Ingin dengar aja dulu, berapa asset itu mau dijualnya.

Setelah melewati lampu merah, kupelankan laju mobilku. Kemudian Bu Emi menunjuk ke sebelah kiri, ke pintu gerbang rumah antik yang lumayan besar itu.

Mungkin rumah itu dibangun pada zaman kolonial Belanda dahulu. Tapi masih tampak megah dan kokoh.

“Rumah ini tidak ada yang nempatin?” tanyaku.

“Nggak ada. Makanya saya nginep di hotel juga, karena gak berani tidur sendirian di sini. Lagian furniturenya sudah dijual semua. Jadi di rumah ini tempat duduk pun gak ada.”

“Terus… tanahnya yang dua hektar itu di sebelah mana?” tanyaku.

“Itu… pas di belakang rtumah ini… ayo kita ke sana, “ajak Bu Emi sambil mendekap lenganku, seperti takut jatuh, karena tanahnya bergerinjal - gerinjal. Kalau abis hujan, pasti becek tanah yang kami injak ini.

Ternyata tanah di belakang rumah itu hanya ditanami pohon - pohon pepaya dan pisang. Memang sepintas lalu tidak menarik. Tapi pikiranku langsung melesat ke masa depan. Bahwa tanahnya jauh lebih “gendut” bagian belakangnya. Berarti menurut fengshui, tanah itu bagus. Tanamannya hanya pohomn - pohon pepaya dan pisang.

Dan yang tgerpenting, aku bisa mendekap pinggang Bu Emi dari belakang. Sambil membisiki telinganya yang menyiarkan harum parfum mahal, “Lamunan saya mungkin bakal tercapai Bu.”

“Lamunan apa?” tanyanya tanpa menoleh ke belakang.

“Lamunan untuk dekat dengan Bu Emi, sekaligus berusaha menghamili Ibu. Hihihiii… !”

“Iya soal itu sih pasti saya kasih, asalkan selesaikan dulu soal tanah dan rumah ini.”

“Saya mau denger dulu harga matinya berapa?”

Bu Emi menyebutkan harga rumah dan tanah yang dua hektar itu. Menurutku memang sangat murah. Lalu tanyaku, “Surat - suratnya atas nama siapa?”

“Semuanya atas nama saya.”

“Masih akte jual - beli atau sudah jadi SHM?”

“Sudah jadi SHM semua. Fotocopynya ada sama saya, tapi ditinggalkan di kamar hotel Sam .”

“SHM aslinya tidak sedang diagunkan ke bank?”

“Justru itu… SHM aslinya sedang disekolahin di bank.”

Aku tersenyum mendengar istilah “disekolahin” itu. “Bu Emi punya hutang berapa ke bank?”

“Nggak sampai setengah dari harga tanah itu,” sahutnya.

Aku tetap mendekap pinggang Bu Emi dari belakang. Lalu tanyaku, “KIayaknya harga yang ibu sebutkan tadi harus diturunkan, sepuluh persen juga cukup.”

“Oke deh Sam. Saya setuju,” sahut Bu Emi sambil memutar badannya jadi berhadapan denganku di tengah kebun pepaya dan pisang itu.

“Jadi besok kita tebus SHM itu ke bank,” kataku.

“Sam mau melunasi hutang kami ke bank besok?”

“Iya. Sisa pembayaran tanah dan rumahnya akan saya bayar cash setelah SHMnya ada di tangan saya. Tapi pembayarannya kita lakukan di notaris, ya Bu.”

“Oke, “Bu Emi mengangguk sambil tersenyum, “Duuuh… kamu membuat surprise besar bagi saya Sam.”

“Dalam berbisnis, saya tidak suka prosedur yang bertele - tele, Bu. Daripada buang - buang waktu, mending mikirin bisnis yang lain kan?”

“Betul Sam ganteng,” sahut Bu Emi yang diikuti oleh kecupan hangatnya di bibirku, “Emwuuuuuaaaahhh… !”

Setelah kecupan itu terlepas, kupegang tangan Bu Emi sambil berkata, “Nanti kita lanjutkan di hotel, ya Bu.”

Bu Emi mengangguk dengan senyum manis. Manis sekali senyum mantan dosenku itu.

Setelah kami berada di dalam mobil kembali :

“Bu Emi booking di kamar nomor berapa?”

“Empat dua lima.”

“Di lantai empat.”

“Iya Sam.”

“Supaya karyawan gak heboh, nanti Bu Emi langsung menuju kamarnya duluan ya. Saya akan menyusul beberapa menit kemudian. Ingin melihat fotocopy SHM itu. Sekalian ingin melihat yang rapet mrepet itu…” ucapku sambil menahan tawa.

“Cuma ingin melihat?” tanya Bu Emi sambil menepuk - nepuk punggung tanganku yang terletak dekat tongkat persneling matic mobilku.

“Sekalian mau ngajak jalan - jalan ke taman…”

“Taman mana?”

“Taman surgawi… hmmm…”

Bu Emi tersenyum. Lalu mengecup pipi kiriku dengan hangatnya.

“Gemessss… ingin meluk Bu Emi semalam suntuk…” ucapku perlahan.

“Emang istrimu gak complain kalau hilang semalaman?”

“Kami sama - sama sibuk dengan bisnis masing - masing. Dia gak pernah protes kalau saya hilang seminggu pun. Paling mikirnya saya tidur di hotel.”

“Istrimu bisnis apa?”

“Supermarket yang di samping hotel saya itu punya dia.”

“Wow… tadi saya belanja di supermarket itu Sam. Harganya murah -murah.”

“Di zaman sekarang, dagang apa pun harus wajar ngambil untungnya. Karena masyarakat kita sudah cerdas dan pintar milih - milih. Supermarket yang pasang harga mahal - mahal, pasti ditinggalkan.”

“Tapi kalau harganya murah - murah, apa masih ketutup modalnya?”

“Kami gak pernah pakai duit bank. Makanya gak perlu ambil untung banyak - banyak, karena gak punya beban bunga bank.”

“Tapi masih pakai bank juga kan?”.

“Masih. Tapi hanya dalam rangka menyimpan dana. Gak pernah meminjam.”

“Bisnis yang sehat.”

“Iya Bu. Zaman sekarang banyak pengusaha yang buka ini, buka itu secara gede - gedean. Akhirnya gulung tikar. Assetnya disita semua oleh bank.”

“Karena kreditnya macet?”

“Hutangnya yang macet. Istilah kredit sering menyesatkan Bu.”

“Iya. Kata seorang pakar, bank itu laksana meminjamkan payung di waktu kemarau, lalu payung itu diambil ketika musim hujan.”

“Iya Bu. Makanya kita harus mikir seribu kali sebelum minjam duit bank.”

Obrolan itu terputus, karena sedanku dibelokkan ke pelataran parkir sebuah restoran.

“Kita makan dulu ya Bu. Perut saya sudah main musik keroncong.”

“Iya. Saya juga udah lapar.”

Kemudian kami turun dari mobil dan melangkah ke arah restoran itu.

Di dalam restoran itu, sambil menunggu makanan pesanan kami dihidangkan, kukeluarkan buku cek dari tas kecil yang talinya selalu tergantung di leherku ke mana pun aku pergi. Lalu kutulis nominal setengah dari harga tanah dan rumah punya Bu Emi itu di sehelai cek yang sudah kulepaskan dari bukunya.

Cek itu kuserahkan kepada Bu Emi sambil berkata, “Ini saya bayar limapuluh persen dulu, ya Bu. Sisanya akan saya bayar di notaris setelah SHMnya di tangan Ibu.”

Bu Emi mengamati tulisanku di cek itu. “Wah… terima kasih Sam,” ucapnya dengan sorot wajah ceria.

“Ceknya belum dikasih tanggal,” kataku, “silakan Ibu tulis sendiri tanggalnya, sesuai dengan waktu akan mencairkannya.”

“Tulis tanggal besok aja Sam. Karena ceknya mau diserahkan ke bank yang menyimpan SHM itu. Lebihnya kan tinggal masukkan ke dalam rekening tabungan saya aja besok.”

“Pasti ada lebihnya kan?” tanyaku setelah menulis tanggal besok di cek itu, kemudian kuserahkan lagi ceknya ke tangan Bu Emi.

“Banyak juga kok lebihnya. Terima kasih Sam.”

“Bagaimana cara membagi dua dana hasil penjualan rumah dan tanah itu Bu?”

“Mantan suami saya sudah setuju, bahwa jatahnya sudah habis. Karena rumah dan tanah itu diagunkan untuk kebutuhan bisnis dia.”

“Jadi duit sisanya punya Bu Emi semua?”

“Betul Sam. Cukup untuk membeli rumah di Surabaya nanti.”

Makanan pesanan kami diantarkan dan dihidangkan oleh dua orang waiter.

Lalu kami santap makanan yang sudah terhidang itu.

“Kalau uangnya sudah dibelikan rumah di Surabaya, nanti kirim alamatnya ya Bu. Saya kan sering ke Surabaya,” ucapku.

“Iya. Sekali - sekali Sam harus nginap di rumah saya nanti.”

Aku cuma mengangguk, lalu melanjutkan makan.

Setibanya di hotelku, sesuai dengan saranku, Bu Emi langsung meninggalkanku. Menuju kamarnya di lantai empat pada bangunan baru itu.

Sementara aku masuk ke dalam ruang kerjaku. Mengganti pakaianku di bedroom dengan celana pendek dan baju kaus serba putih. Kukenakan juga sepatu putih, seolah mau berolah raga.

Sesaat kemudian aku keluar dari ruang kerja sekaligus suiteroom pribadiku, menuju pintu lift yang berada di bangunan baru itu.

Setelah berada di lantai empat, aku langsung menuju pintu kamar bernomor 425.

Pintu itu kuketuk perlahan. Sesaat kemudian pintu itu terbuka, Bu Emi yang sudah mengenakan kimono sutera putih menyambutku di ambang pintu. Lalu aku masuk ke dalam kamar itu.

“Kok seperti mau berolah raga?” cetus Bu Emi setelah menutupkan kembali pintu keluar.

“Memang mau olahraga… mau push up di atas perut Ibu,” sahutku sambil menggelitik pinggang Bu Emi.

“Hihihihiii… !” Bu Emi menggeliat - geliat kegelian.

Aku duduk di sofa, Bu Emi pun duduk merapat ke samping kiriku.

Dengan pandangan sekilas aku sudah tahu bahwa saat itu Bu Emi tidak mengenakan beha di balik kimono sutera putihnya. Karena kedua tonjolan di kimono bagian dadanya menjelaskannya… bahwa tiada beha menutupi sepasang payudaranya.

Jangan - jangan celana dalam pun tidak dikenakannya di balik kimono itu. Entahlah.

Yang jelas aku tak mau berbasa - basi lagi. Kuselundupkan tanganku ke balik kimono itu pada bagian dadanya. Dan benar saja. Tanganku langsung menyentuh payudaranya yang belum kendor, masih lumayan padat kencang dan natural. Bu Emi belum bereaksi. Hanya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, sementara kedua kakinya diselonjorkan.

Dengan penuh rasa penasaran, kusembulkan payudara mantan dosenku itu lewat belahan kimononya yang sudah kujauhkan jaraknya. Lalu kucelucupi pentil toket berukuran medium itu dengan gairah yang mulai bergejolak di dalam jiwaku.

Bu Emi hanya melingkarkan lengannya di tengkukku. Sementara tanganku ingin membuktikan, benarkah ia tak mengenakan celana dalam?

Ya… kuselundupkan tanganku ke balik kimono bagian di bawah ikatan talinya. Ternyata benar. Aku langsung menyentuh kemaluan mantan dosenku. Kemaluan yang licin dan bersih dari jembut… kebayang enak jilatinnya…!

Pada saat mulutku masih asyik mengemut pentil toket Bu Emi, jemariku mulai menggerayangi memeknya.

Bu Emi cuma memejamkan matanya dengan tubuh yang terasa mulai menghangat. Terlebih ketika jemariku mulai mengelus - elus clitorisnya yang lebih gede daripada clitoris perempuan - perempuan yang pernah kugauli.

“Saaaam… aaaaa… aaaaahhh… Saaam… “rintih Bu Emi perlahan sambil meremas - remas ketiakku.

Aku tak peduli dengan rintihan mantan dosenku itu. Tapi sesaat kemudian, tangan Bu Emi menyelinap ke dalam celana pendekku. Pada saat itu aku tak mengenakan celana dalam. Sehingga tangan Bu Emi langsung menjamah penisku yang mulai tegang ini.

Bu Emi agak tersentak, “Sam… kon… kontolmu gede banget… !” cetusnya sambil menggenggam leher dan puncak penisku.

“Santai aja Bu,” sahutku, “Nanti memek Ibu akan saya jilatin dulu sampai benar - benar basah… supaya Ibu gak kesakitan waktu kontol saya dimasukin…”

“Duh… baru dengernya aja saya udah horny berat Sam…” ucap Bu Emi setengah berbisik.

“Kalau Bu Emi gak mandul, mudah - mudahan saya bisa menghamili Ibu nanti.”

“Iya Sam… saya ingin sekali hamil… ingin sekali memperlihatkan kepada mantan suami… bahwa masalah itu justru ada pada dia. Bukan pada saya.”

“Bu… sebenarnya istilah saya itu berasal dari sahaya, yang artinya budak belian. Kita ganti aja istilahnya jadi aku ya. Supaya kita merasa lebih akrab.”

“Iya,” sahut Bu Emi sambil tersenyum. Sementara tangannya masih kerasan memegang leher dan kepala penisku, sambil mengelus - eluskan jempolnya ke moncong penisku.

Beberapa saat kemudian kuangkat dan kubopong tubuh mantan dosenku ke atas bed. Di situlah kutanggalkan kimononya, sehingga sekujur tubuhnya tidak terhalang oleh sehelai benang pun.

Hmmm… lagi - lagi aku menyaksikan kecantikan dan bentuk tubuh yang nyaris sempurna di mataku.

Tubuh yang ramping di bagian pinggangnya, namun gede bagian bokongnya. Sementara sepasang toketnya tampak membusung padat, tidak terlalu kecil namun tidak pula terlalu gede.

Kulitnya putih mulus, tidak ada bekas “paku payung” setitik pun. Sementara wajahnya… aku tak berlebihan kalau wajah cantiknya bisa kusejajarkan dengan kecantikan Mamie dan Bu Naya.

Aku pun menanggalkan sepatu, baju kaus dan celana pendekku yang serba putih. Lalu merayap ke atas perut Bu Emi, dengan gairah yang benar - benar bergejolak.

Betapa gairahku takkan bergejolak. Dahulu Bu Emi itu dosen yang paling memanjakan mataku kalau sedang dikuliahi olehnya. Sering juga aku berpikir jauh dahulu. Berpikir seandainya aku bisa menelanjanginya… lalu menyetubuhinya… dan aaah… dahulu semuanya itu kuanggap hanya ilusi belaka.

Tapi kini… tubuh pujaan di masa laluku itu sudah benar - benar telanjang di depan mataku. Sudah tampak pasrah pula. Bahkan dia mengharapkan agar aku mampu menghamilinya, sebagai bagian dari balas dendamnya terhadap sang Mantan…!

Dan kini aku sudah menelungkupinya. Sudah memagut bibir sensualnya yang memancarkan hawa harum penyegar mulut. Lalu melumatnya, seolah sedang melumat bibir kekasih tercinta.

Bu Emi menanggapi lumatanku dengan menjulurkan lidahnya yang lalu kusedot ke dalam mulutku. Menggelutkan lidahku ke lidahnya, kemudian gantian lidahku yang kujulurkan, yang disambutnya dengan sedotan juga. Sementara tanganku pun mulai beraksi, untuk meremas - remas toket indah dan hangatnya.

Namun si jhoni sudah menagih - nagih… tak mau terlalu banyak membuang waktu. Karena itu aku melorot turun. Menjilati pusar perut Bu Emi sejenak, lalu turun lagi ke bawah, ke arah memek bersih dan mulus itu.

Mantan dosenku tahu apa yang akan kulakukan. Karena itu ia mengangkangkan kesua belah kakinya selebar mungkin, sehingga mulut memek Bu Emi agak menganga dan tampak bagian dalamnya yang berwarna pink itu.

Mulutku pun kuserudukkan ke bagian yang ternganga dan seolah menantangku itu. Lidahku terjulur dan mulai asyik menjilati bagian dalam yang berwarna pink itu. Sementara jempol kiriku mulai menggesek - gesek clitorisnya.

Bu Emi mulai menggeliat - geliat sambil mendesah - desah, “Aaaaa… aaaah… aaaaah… Saaaam… kamu pandai sekali menjilati memekku Saaam… aaaa… aaaah… gilaaaa… ini enak sekali Saaaam… terlalu enaknya Saaaam… aaaa… aaaaaah… Saaaam… Saaaam… Saaaam… Saaaam …

Sebenarnya aku tidak pandai - pandai benar menjilati memek. Kelebihanku adalah dengan menggiatkan jempol kiriku untuk menggesek - gesek kelentit Bu Emi, terkadang sambil ditekan agak kuat. Inilah yang membuat Bu Emi klepek - klepek. Dan dalam tempo singkat saja, liang memeknya sudah basah kuyup oleh air liur yang kualirkan, sementara mulut memeknya pun mulai merekah…

Aku pun tak mau menahan diri lebih lama lagi, karena memek Bu Emi sudah “siap coblos”.

Lalu aku merangkak ke arah perut Bu Emi, sambil memegang penis ngacengku yang moncongnya kuarahkan ke mulut memek basah itu. Bu Emi pun membantu dengan memegangi lejer penisku, lalu moncongnyha diarah - arahkan ke titik yang pas.

Lalu ia mengangguk sambil mengedipkan matanya, sebagai isyarat bahwa penisku sudah boleh mendobrak liang memeknya.

Kudesakkan batang kemaluanku dengan sekuat tenaga… uuuugh… kepala dan leher penisku berhasil membenam ke dalam liang memek Bu Emi yang ternyata memang sempit sekali ini…!

Kudorong dan kudorong lagi batang kemaluanku sehingga membenam makin dalam sedikit demi sedikit.

Dan setelah penisku membenam lebih dari separohnya, aku pun mulai menggeser - geserkannya perlahan - lahan, dalam jarak pendek - pendek dulu.

Makin lama liang memek Bu Emi makin beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku. Sehingga akhirnya aku mulai benar - benar mengentotnya, meski dalam geseran perlahan - lahan dulu.

“Saaam… duuuuh… kontolmu luar biasa panjang dan gedenya… ini sampai terasa seret gini… padahal tadi memekku sudah basah oleh jilatanmu… “elah Bu Emi sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya.

“Memek Ibu juga masih rapet sih… makanya terasa masih sempit dan menjepit gini…” sahutku tanpa menghentikan entotanku yang masih perlahan - lahan ini.

“Ya iyalah. Aku kan belum pernah melahirkan… aaa… aaaah…” sahutnya terengah.

Lama kelamaan penisku mulai leluasa bergeser - geser di dalam liang memek Bu Emi yang sudah semakin beradaptasi dengan ukuran zakarku ini.

Maka mulailah aku mengentot mantan dosenku dalam kecepatan yang normal.

Dan rintihan - rintihan histeris Bu Emi pun mulai berkumandang di dalam kamar 425 ini.

“Saaam… ooo… ooooh… Saaam… kontolmu luar biasa gedenya Saaam… luar biasa enaknyaaaaaa… ooo… ooooh… entot terus Saaaam… entot teruuuussss… luar biasa enaknya Saaaam… ooo… oooooh… Saaaaam… enak sekali Saaaam… entot terussss… entot teruuuussss…

Mendengar rintihan histeris dan erotis itu, aku pun semakin bergairah untuk mengentot memek mantan dosenku, sambil menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai dengan gkigitan - gigitan kecil… menjilati dan menyedot - nyedot pentil toketnya yang sudah tegang… menjilati telinganya sambil menggigit - gigit daunnya…

Ketika sudah kenyang menjilat - jilat di bagian - bagian peka itu, akhirnya kupagut bibir Bu Emi ke dalam ciuman dan lumatanku.

Bu Emi pun menyambut ciumanku dengan pelukan erat di leherku.

Terkadang aku mengamati wajah mantan dosenku dari jarak yang sangat dekat. Memang tak salah kalau aku akan menjadikannya seorang kekasih tercinta. Karena selain cantik wajahnya, ia tampak jauh lebih muda daripada usianya. Kalau dia mengaku baru berusia 25 tahun pun orang akan percaya.

Dan yang jelas… ini yang terpenting… liang memeknya itu… luar biasa enaknya…!

Seandainya Bu Emi tidak ingin dihamili olehku, mungkin aku akan bertahan lama di atas perutnya. Tap;I karena dia ingin dihamili olehku, maka ketika ia mulai berkelojotan sebagai gejala awal akan mencapai orgasme, aku pun memacu entotanku dalam gerakan yang cepat dan keras.

Lalu Bu Emi menggeliat dan mengejang tegang… pada saat itu pula kubenamkan penisku sedalam mungkin. Lalu kudiamkan dan tidak kugerakkan lagi.

Pada saat itulah kami jadi sepasang manusia yang seolah kerasukan msetan. Kami saling cengkram seolah ingin menghancurkan tulang pasangan kami. Lalu kami menahan nafas… sementara liang memek Bu Emi terasa menggeliat - geliat dan berkedut - kedut erotis sekali.

Pada saat itu pula moncong zakarku mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan sperma di dalam liang memek mantan dosenku.

Crooot… crot… croooooootttt… croooot… crotcrot… crooooooooottttttt …!!!

Aku mengelojot di atas perut mantan dosenku. Lalu kami sama - sama terkulai lemas di pantai kenikmatan dan kepuasan…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu