3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

**Bagian 12

Di lantai dasar villa, ada bangunan yang terpisah dari bangunan utama. Bangunan itu adalah dapur yang ditata secara modern, tak ubahnya kitchen di hotel - hotel five star.

Istri Mang Suta bernama Pipih itu sudah terbiasa bekerja di dapur villaku yang peralatannya serba kekinian itu.

Sebenarnya Mang Suta dan istrinya bukan PRTku. Mereka sekadar ingin memperlihatkan tanda terima kasihnya, karena aku membeli kebun buah - buahan punya orang tua Mang Suta. Padahal kebun seluas 1,5 hektar itu sudah ditawar - tawarkan ke mana -mana, tapi tiada yang mau membelinya juga. Sementara aku mau membelinya atas dasar agar Mang Suta mau ikut merawat villa dan tanaman hias di sekelilingnya.

Tentu saja aku tak mau dibantu dengan tenaga gratis. Tiap tanggal muda, aku selalu memberi uang buat Mang Suta dan istrinya. Yang selalu mereka sambut dengan sorot wajah ceria. Maklum di daerah sekitar villa itu masih sulit mencari duit. Maka masyarakat di sekitar villa itu kebanyakan berdagang di kota - kota besar.

Sebenarnya aku menyebut “Bi” atau “Bibi” kepada wanita muda bernama Pipih itu, hanya karena suaminya yang usianya sudah kepala 4. Padahal setahuku Bi Pipih itu jauh lebih muda dariku. Mungkin 20 tahun pun belum usia istri Mang Suta itu.

Dalam soal mencari calon bini, aku salut juga kepada Mang Suta. Karena dalam keadaan menduda dengan anak 2 orang, Mang Suta berhasil mempersunting Bi Pipih yang waktu dinikahi masih berusia belasan tahun. Cantik dan berkulit putih bersih pula Bi Pipih itu. Padahal di daerah tempat tinggal mereka, sulit sekali mencari cewek yang seputih dan semulus Bi Pipih itu.

Dan siang itu, sehabis “kenyang” menyetubuhi Tante Kirana di kamar lantai 3, aku turun ke bawah. Ke dapur yang sudah ditata tak kalah dengan kitchen hotel - hotel bintang lima itu. Karena tadi aku meminta Bi Pipih memasak nasi dan menggoreng ketiga ekor ayam kampung itu.

Ternyata Bi Pipih masih sibuk masak di dapur dengan mengenakan daster berwarna kuning gading polos yang tipis. Sadarkah dia bahwa daster yang dikenakannya itu terlalu tipis, sehingga samar - samar aku bisa melihat bentuk tubuhnya yang agak montok di balik daster itu.

Padahal aku baru saja selesai menyetubuhi Tante Kinanti, yang kini tertidur di kamar sudut lantai 3 itu. Lalu kenapa diam - diam si jhoni jadi terbangun di balik celana denimku?

Bi Pipih belum sadar bahwa aku sedang memperhatikan dari belakangnya. Tak juga sadar ketika aku melangkah perlahan - lahan mendekatinya. Lalu secepat kilat aku memeluknya sambil berkata perlahan, “Hai Bi Pipih… apa kabar?”

“Waaaw…! “Bi Pipih terkejut lalu menoleh ke belakang, “Den Sam… duuuh… bikin saya kaget… kirain siapa… “cetusnya.

Sementara aku tetap memeluknya dari belakang. Dan berkata setengah berbisik, “Bi Pipih nyadar nggak kalau Bibi ini cantik?”

“Alaaah… cantik apa Den? Saya kan cuma orang kampung.”

“Ayam kampung juga malah lebih enak daripada ayam kota kan? Sebenarnya aku udah lama lho merhatiin Bi Pipih,” kataku sambilmenarik bagian depan dasternya sedikit demi sedikit. Dan… tanganku langsung menyelundup ke balik celana dalamnya dan langsung menyentuh kemaluannya yang ternyata berjembut lebat sekali.

“Den… !” cuma itu yang terlontar dari mulut Bi Pipih. Padahal aku sudah menemukan celah di balik jembut tebalnya. Celah yang licin dan mulai membasah setelah dicolek - colek oleh jari tengahku.

“Den… duuuh Deeen… “rintih Bi Pipih, sementara tuibuhnya tetap terpaku dalam pelukanku, tenpa meronta sedikit pun.

“Kenapa Bi? Gak seneng kalau aku suka sama Bibi?” tanyaku setengah berbisik.

“Bukan gitu Den… saya takut gak kuat nahan nafsu…” sahutnya nyaris tak terdengar.

“Ya udah kita main aja di lantai dua yok.”

“Jangan Den. Mang Suta sebentar lagi juga mau ke sini.”

“Ohya… terus gimana dong caranya supaya aku bisa mencurahkan rasa sukaku pada Bi Pipih?”

“Hari Rabu aja Den Sam datang ke sini.”

“Kenapa harus Rabu?”

“Pada hari itu pagi - pagi sekali Mang Suta mau ke Sukabumi. Mungkin bakal semingguan dia di sana.”

“Ohya? Jadi nanti aku boleh nyobain yang sedang kupegang ini.”

“Boleh tapi hari Rabu aja Den. Datangnya agak siangan, supaya Mang Suta benar -benar sudah berangkat ke Sukabumi. Lagian sekarang sih badan saya kotor dan penuh keringat gini. Hari Rabu kan saya bisa mandi dulu sebersih mungkin.”

“Sekalian jembutnya dicukur habis ya Bi. Biar enak menjilatinya.”

“Iiih… emangnya Den Sam mau jilatin memek saya?”

“Mau. Asalkan jembutnya habisin dulu. Biar jangan ada yang nyangkut di gigiku.”

“Iiiih Den… dengernya aja saya merinding nih.”

“Ya udah kalau gitu, sekarang kan hari Minggu. Berarti tiga hari lagi hari Rabu ya. Aku bakal datang ke sini menjelang sore. Janji ya… Bi Pipih bakal ngasih memeknya buatku hari Rabu.”

“Iya Den. Nanti saya kasih sepuasnya Den Sam.”

“Asyik… baru dengarnya aja si dede udah ngaceng nih. Tapi jangan lupa, jembutnya cukur habis dulu nanti ya.”

“Iya Den.”

Lalu kukeluarkan beberapa lembar duit merah dari dompetku. Yang lalu kuselipkan ke dalam beha di balik daster Bi Pipih. “Buat beli baju baru,” bisikku.

“Terima kasih Den Sam. Ohya… ini ayam goreng sama sayur lodehnya mau diapain Den?”

“Simpan di meja aja, lalu tutup dengan tudung saji. Aku sedang kedatangan tamu. Adik almarhum ibuku,” sahutku, “Nasinya sih biarkan aja di dalam magic com. Biar tetap panas.”

“Iya Den.”

“Sampai ketemu lagi hari Rabu ya Bi.”

“Iya Den,” sahut Bi Pipih sambil tersipu malu - malu.

Hmmm… perjalanan hidupku terasa berwarna - warni. Namun inilah aku, si Sammy yang masa kecilku kurang bahagia karena ditinggal oleh ibu yang melahirkanku ke dunia ini. Namun setelah dewasa aku merasa happy - happy aja. Terutama berkat bermunculannya perempuan - perempuan tercinta.

Kemudian aku melangkah ke lantai tiga lagi. Masuk ke kamar yang di sudut lagi.

Tante Kinanti masih tertidur, dalam keadaan masih telanjang bulat.

Lalu kubayangkan bahwa tubuh telanjang itu adalah tubuh Bi Pipih yang sama - sama putih. Sama - sama berjembut tebal pula. Cuma bedanya jembut Bi Pipih menutup seluruh permukaan kemaluannya, sementara jembut Tante Kinanti berkumpul di atas kemaluannya saja.

Ketika aku naik ke atas bed, Tante Kinanti terbangun dan berkata, “Tante harus pulang hari ini Sam.”

“Lho kenapa buru - buru amat?” tanyaku dengan perasaan berat melepaskan tanteku yang seolah kekasih tercintaku itu.

“Barusan Lia nelepon. Dia sakit katanya. Tante kasihan dia sendirian di rumah, dalam keadaan sakit pula.”

“Sakit apa?”

“Gak tau. Belum ke dokter. Dia cuma bilang demam.”

“Kalau gitu makan dulu deh. Di bawah ada goreng ayam kampung dan sayur lodeh.”

Tante Kinanti mengangguk. Lalu bangkit dan mengenakan kimononya.

Ketika kami tiba di dapur yang sekaligus ruang makan, Bi Pipih sudah tidak ada. Sementara makanan yang dimasaknya sudah terhidang di meja makan, ditutup oleh tudung saji.

Setelah makan bersama, kami pun pulang ke hotelku. Lalu kuantarkan Tante Kinanti sampai terminal travel.

Lebih dari sejam kami menunggu keberangkatan mobil travel yang akan membawa Tante Kinanti pulang ke Cirebon. Tentu saja aku sudah mentransfer uang secukupnya ke nomor rekening tanteku.

Sebelum Tante Kinanti masuk ke dalam mobil travel, aku masih sempat berkata padanya, “Nanti kalau supermarket itu akan grand opening, aku akan ngasih tau tante lewat hape. Supaya Lia cepat datang dan siap - siap untuk mulai bekerja.”

“Ya, “Tante Kinanti mengangguk, “nanti tante antarkan dia ke sini.”

“Sekalian pindah juga boleh. Rumah kan sudah ada. Nanti disiapkan perabotannya sampai lengkap. Pokoknya Tante tinggal masuk aja ke rumah itu.”

“Iya. Terima kasih ya Sayang. Tante memang sudah ingin meninggalkan Cirebon dengan segala kenangan pahitnya.”

Lalu kami cipika cipiki sebelum Tante Kinanti naik ke mobil travel yang sudah menunggunya.

Setelah mobil itu berangkat, aku pun pulang ke hotelku. Dan tidur sore di bedroom pribadiku.

Aku yakin bahwa Tante Kinanti sudah menjadi milikku, yang bisa “dipakai” kapan pun aku inginkan.

Namun kenapa bayang - bayang wajah Bi Pipih yang cantik itu menggoda ingatanku terus?

Soalnya dia seolah mutiara di dalam lumpur. Tidak berlebihan kalau aku menilai wajahnya sangat mirip Anna Rose, pornstar dari Czech itu. Matanya sayu dengan penampilan innocent. Tubuhnya tinggi semampai, dengan kulit putih bersih. Di pedesaan, sangat sulit mendapatkan cewek yang bentuknya seperti Bi Pipih itu.

Hebat juga Mang Suta, bisa memiliki istri yang begitu cemerlangnya. Apakah ada “sesuatu” yang menyebabkan Bi Pipih bersedia dijadikan istrinya?

Entahlah. Yang jelas, Bi Pipih itu masih sangat muda. Bahkan jauh lebih muda dariku. Apalagi kalau dibandingkan dengan Mang Suta yang usianya sudah kepala 4 itu.

Mang Suta bukan orang miskin. Sawah dan kebunnya pun luas. Tapi mendapatkan istri secantik Bi Pipih, adalah pencapaian yang patut diacungi jempol.

Lalu… menunggu datangnyha hari Rabu yang dijanjikan, terasa lama sekali.

Bahkan pada hari Selasa aku menerima WA yang mengejutkan. WA dari Bu Emi, mantan dosenku itu. Isinya :

-Sammy Sayang… apa kabar? Semoga Sam sehat - sehat aja ya.

Sebenarnya ada sesuatu yang sangat membahagiakan hatiku yang kusembunyikan belakangan ini. Tapi aku merasa bersalah kalau terus - terusan merahasiakan masalah ini.

_

Aku sedang mengandung anakmu, Sayang. Sejak pertemuan terakhir kita, ternyata spermamu berhasil membuahiku, karena saat itu aku sedang dalam masa subur. Sekarang kandunganku sudah berusia 6 bulan. Dan menurut hasil pemeriksaan USG, bayinya laki - laki. Semoga dia seganteng ayahnya ya.

Sekarang perutku sudah buncit. Dan aku sudah balas dendam beberapa hari yang lalu. Aku sengaja memamerkan kebuncitanku kepada mantan suamiku. Bahkan dengan tegas aku berkata padanya, nih lihat… suami keduaku berhasil menghamiliku. Berarti bukan aku yang mandul kan?

Walau pun aku hamil, Sam gak usah panik atau resah. Karena aku takkan minta dinikahi olehmu, Sayang. Keinginanku cuma satu… pada waktu aku mau melahirkan, kumohon Sam mau menemaniku di rumah sakit bersalin nanti ya.

Bisa kan Sam?-

_

Tentu saja aku kaget membaca isi WA dari mantan dosenku itu. Tapi aku harus menjadi manusia yang bijak menghadapi masalah ini.

Maka setelah berpikir beberapa saat, kubalas WA itu.

-Tolong kirim alamat Bu Emi. Aku mau ke situ sekarang juga-

Sesaat kemudian datang balasan dari Bu Emi, berisi alamat rumahnya yang baru.

Aku pun bergegas mengganti pakaian resmiku dengan pakaian casual. Kemudian menuju mobilku dan menghidupkan mesinnya.

Beberapa saat kemudian sedanku sudah kularikan menuju alamat rumah Bu Emi di kompleks perumahan paling elit di kotaku.

Namun sebelum menuju rumah Bu Emi, aku masih sempat mampir dulu ke toko yang menjual segala macam kebutuhan bayi. Di situlah aku membeli segala keperluan bayi yang kuingat. Cukup banyak jenisnya. Sehingga bagasi mobilku tidak bisa memuatnya. Lalu disimpan di jok belakang, sampai menutupi kaca jendela sampingnya, saking banyaknya.

Kemudian aku memacu mobilku menuju rumah Bu Emi.

Setibanya di depan sebuah rumah yang cukup megah dan layak untuk dijadikan tempat tinggal seorang dosen, kuparkir mobilku mepet ke bahu jalan supaya tidak menghalangi mobil lain yang mau lewat.

Sebelum aku membuka pintu pagar, pintu depan rumah megah itu dibuka oleh seorang wanita cantik dengan perut yang agak membuncit dalam baju hamilnya. Itu Bu Emi…!

Di teras depan Bu Emi memegang tanganku erat - erat, lalu menarikku ke ruang tamu. Di situlah Bu Emi memeluk leherku. Mendaratkan ciuman bertubi - tubi di bibirku, lalu mengajak duduk berdampingan di sofa ruang tamu.

“Kirain Sam gak mau jumpa denganku lagi,” ucapnya sambil mengelus - elus lututku.

“Aku gak sejahat itu Beib,” sahutku, untuk pertama kalinya aku memanggilnya Beib, “Lalu kenapa baru sekarang baru ngasih tau kalau Ibu hamil?”

“Takut mengganggu pikiran dan kesibukanmu.”

“Berita kehamilan Ibu kan berita bahagia. Jadi tercapai cita - cita Ibu sekarang ya?”

“Iya Sayang. Hatiku senang sekali bisa memamerkan kehamilanku kepada mantan suamiku yang brengsek itu.”

“Ohya… di mobilku ada beberapa keperluan bayi. Ada orang yang bisa disuruh ngangkut?”

“Ada si Bibi, pembokatku. Kok langsung bawain keperluan bayi segala? Kan bayinya juga belum lahir,” ucapnya.

“Hanya sebagai tanda senangku aja dengan berita bahagia itu,” sahutku.

Lalu Bu Emi menoleh ke dalam sambil berseru, “Biiii… !”

“Ya Buuu… “terdengar suara sahutan dari dalam. Lalu muncul seorang wanita setengah baya dari dalam.

Aku duluan bangkit dan melangkah ke arah mobilku di depan pintu pagar besi. Kubuka bagasi dan pintu belakang mobilku.

“Agak banyak barangnya Bi. Bisa mengangkutnya ke dalam rumah kan?” tanyaku.

Pembokat itu memandang barang - barang di bagasi dan di jok belakang mobilku. Lalu berkata, “Bisalah. Barangnya kan ringan - ringan Oom.”

Aku tersenyum sendiri dipanggil Oom oleh wanita yang jauh lebih tua dariku itu. Sama menggelikannya ketika di Singapore aku dipanggil “uncle” oleh wanita tua yang bertugas sebagai cleaning service di sebuah hotel.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu