3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 4

Petualanganku dengan Yoga itu sungguh sangat berkesan di hatiku. Masalahnya, Yoga yang tampak seperti cowok innocent itu ternyata punya segalanya, untuk memuasi desir-desir birahiku.

Maka esok paginya, ketika Sam dan Ita sudah duluan berangkat kuliah, sementara aku dan Yoga baru siap-siap mau berangkat, sengaja kuhampiri adik tiriku yang biasa dijuluki si bungsu itu. Lalu aku berkata setengah berbisik, meski Mama belum tampak keluar dari kamarnya, “Nanti malam jam delapan tepat kutunggu di dalam kamarku ya.

“Siap Mbak,” sahut Yoga sambil tersenyum menggoda.

Lalu aku dan Yoga mengeluarkan motor masing-masing. Dan berpisah di depan rumah. Yoga menuju ke kiri, aku ke kanan.

Di atas motor yang kukemudikan ke arah kampusku, segala yang terjadi dengan Yoga tadi malam terbayang lagi di pelupuk mata batinku. Tapi aku bertekad, kepada Mama dan Sam, aku akan berusaha merahasiakan kejadian dengan Yoga itu. Demikian pula kejadian-kejadian dengan Sam aku akan berusaha merahasiakannya baik kepada Mama mau pun Yoga.

Tapi sampai kapan aku bisa menutup-nutupi semuanya ini?

Entahlah. Sangat mungkin salah seorang di antara mereka (Mama, Sam dan Yoga) bisa membocorkannya. Tapi kalau pun rahasia itu bocor, pasti bukan dari mulutku.

Setibanya di kampus, aku baru ngeh bahwa hari itu aku baru akan dapat kuliah jam sembilan nanti. Berarti aku berangkat kepagian, karena waktu aku tiba di kampusku, jam tanganku baru menunjukkan jam 07.10. Berarti aku harus menunggu hampir dua jam.

Tapi biarlah. Aku melangkah ke kantin saja. Mudah-mudahan sudah ada makanan yang bisa kunikmati di sana.

Lumayan, di kantin sudah ada bermacam-macam gorengan yang masih pada panas.

Aku pun meminta teh manis panas, sambil mengambil beberapa buah gorengan dan menyimpannya di sebuah piring kosong. Lalu duduk di kursi kantin yang masih sepi.

Pada waktu menyantap gorengan itu, aku malah menerawang ke masa laluku yang penuh dengan liku-liku. Tentang masa pacaranku yang selalu kandas di tengah jalan. Bahkan cowok yang terakhir, sangat bertolak belakang dengan awal pendekatannya padaku. Meski pun kutolak secara halus, dia sampai berlutut dengan mata berlinang-linang.

Akhirnya hatiku pun luluh. Dan menerima tembakannya berdasarkan perasaan kasihanku padanya. Ya, perempuan memang bisa mencintai lawan jenisnya dengan berbagai macam alasan. Begitu juga dengan cowok terakhir itu (yang aku malas menyebutkan namanya), aku menerimanya dengan dasar kasihan.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Setelah beberapa bulan menjadi pacarku, cowok itu malah berselingkuh dengan temanku sendiri. Membuatku geram… geram sekali.

Pada saat itu juga kuputuskan hubunganku dengan cowok brengsek itu.

Lalu, sejak saat itu aku males pacaran lagi. Mendingan konsentrasi pada kuliahku saja, biar cepat selesai, lalu nyari kerja. Gak mau mikirin cowok dulu.

Ternyata aku mendapatkan teman senasib. Teman kuliahku yang bernama Yessy itu pun mengalami nasib yang sama. Bahwa cowoknya yang dahulu seolah mengemis minta dikasihani, memohon agar Yessy mau menerimanya sebagai pacarnya. Lalu Yessy terima juga cowok itu sebagai pacarnya. Tapi endingnya sama dengan yang terjadi padaku.

Bahkan Yessy mengalami hal yang lebih parah dariku. Cowok itu berbelok arah setelah merenggut kesucian Yessy, setelah “kenyang menggauli Yessy…!

Merasa punya teman senasib, hubunganku dengan Yessy makin lama makin akrab. Bahkan boleh dibilang Yessylah sahabat terdekatku di kampus.

Tapi dalam soal sex, saat itu aku jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan “jam terbang” Yessy. Karena setelah putus dengan cowok yang telah merenggut keperawanannya itu, Yessy jadi senang bertualang. Meraih cowok demi cowok ke dalam pelukannya.

Setelah menyerahkan keperawananku pada Sammy, diikuti dengan persetubuhan demi persetubuhan dengan adik tiriku itu, aku pun merasa tidak terlalu ketinggalan oleh Yessy.

Aku pun menceritakan sejujurnya kepada Yessy, bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Namun siapa cowok yang telah merenggut kesucianku, masih kurahasiakan. Karena aku merasa malu menceritakan skandal di dalam rumahku sendiri.

“Ayu! Ternyata kamu udah di sini ya?” Yessy menepuk bahuku, sehingga terawangan masa laluku buyar seketika.

“Iya… aku kepagian datangnya. Lupa kalau hari ini baru ada kuliah jam sembilan nanti.”

Yessy melihat makanan yang ada di atas piringku, lalu meminta yang sama kepada bu kantin. “Sekarang hari Rabu kan?” ucap Yessy sambil duduk di sampingku.

“Iya. Emang kenapa?”

“Lusa kan Jumat. Long weekend tuh sampai Minggu.”

“Iya… terus mau ngapain di liburan tiga hari itu?”

Yessy mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu berbisik, “Aku bingung, ada dua cowok sama-sama ngajak kencan. Mending kubagi dua aja, yang seorang untukku, yang seorang lagi untukmu.”

“Siapa mereka? Teman sekampus?”

“Iya. Abbas dan Manuel.”

Aku terlongong. Aku tahu benar siapa mereka. Abbas itu keturunan timur tengah yang sering nraktir makan di sebuah resto favorit. Manuel juga bukan asli Indonesia, Ayahnya orang lokal, tapi ibunya orang Spanyol.

Kampusku memang agak berbeda dengan kampus lain. Di kampusku banyak indonya. Bahkan bule asli juga banyak yang kuliah di kampusku.

Abas dan Manuel itu memang ganteng-ganteng. Tapi entah kenapa, aku tidak tertarik pada ajakan Yessy itu. Apalagi kalau acaranya menjurus ke arah sex.

“Gimana? Mau ikutan? “tanya Yessy.

“Sorry, aku gak bisa. Udah ada janji yang harus kutepati. Lain kali aja,” sahutku.

“Ziaaah… padahal Manuel itu suka sama kamu, Ayu.”

“Tau,” sahutku, “Tapi aku udah ada janji, gimana?”

Yessy tampak kecewa.

Sementara aku teringat kembali godaan demi godaan yang Manuel lakukan padaku. Yang selalu kutanggapi dengan dingin. Karena saat itu aku memang sedang malas didekati cowok mana pun.

“Kalau kamu gak mau, aku juga gak mau kencan sama mereka ah,” ucap Yessy diakhiri dengan elahan nafas panjang.

“Kalau kamu berhasrat, kenapa harus ikut-ikutan aku?” tanyaku sambil menepuk punggung tangan Yessy yang terletak di atas meja kantin.

“Soalnya aku ngebayangin, kalau kamu ikut, pasti seru,” sahut Yessy.

“Seru gimana?”

Yessy menjawabnya dengan bisikan di telingaku, “Kita bisa foursome. Pasti asyik lho.”

“Iiiih… mendengarnya aja merinding aku nih…” sahutku.

“Kita kan gak usah mikirin pacaran dan serius-seriusan dulu. Yang serius sih nanti aja setelah kita diwisuda. Tapi kepalangan sudah gak virgin lagi, kenapa gak kita nikmati aja enaknya cowok?!”

Aku cuma terlongong. Namun diam-diam hatiku membenarkan ucapan sahabatku itu. Hanya saja aku masih ingin konsen kepada satu sosok baru… sosok adik tiriku yang bernama Yogama itu.

Sepulangnya dari kampus, seperti biasa aku memasukkan motorku ke garasi. Dan kulihat hanya ada motor Ita dan motor Sam di garasi. Sementara motor Yoga dan mobil Mama tidak ada. Berarti Mama sedang keluar. Karena itu aku balik lagi ke ruang makan. Kulihat Ita sedang menyantap risoles di situ. “Mama ke mana Ta?

“Pergi sama Sam,” sahut Ita, “Katanya sih mau nginap di rumah teman Mama. Gak tau ada acara apa.”

Aku mengernyitkan dahi sambil menghela napas. Lalu melangkah ke lantai atas, langsung masuk ke dalam kamarku.

Sam bersama Mama lagi. Mau nginap segala. Pasti mereka akan bergelut di ranjang. Dan aku bisa membayangkan apa yang Mama lakukan dengan Sam yang sudah dianggap brondongnya.

Tapi biarlah. Belakangan ini Mama pasti sering kesepian, karena Papa makin lama makin sering tidak pulang. Dan aku tahu kenapa Papa sering tidak pulang.

Padahal Mama juga masih membutuhkan sentuhan lelaki. Jadi, skandal Mama dengan Sam kuanggap sebagai hal yang wajar. Masih bagus skandal dengan orang serumah, tidak dengan orang luar.

Biarlah Mama merasakan hangatnya sentuhan Sam, karena aku justru sudah punya keasyikan baru, dengan Yoga itu.

Tapi… tiba-tiba aku teringat sesuatu. Bahwa kalau Sam sedang berduaan dengan Mama, entah di mana, pasti flashdisk yang berisi catatan pribadi Sam itu takkan dibawa. Dan seandainya flashdisk itu kutemukan, pasti isi catatan pribadinya sudah bertambah.

Pintu kamar Sam terkunci. Tapi tiada kesulitan bagiku untuk membukanya. Karena kunci cadangannya ada padaku, seperti juga kunci cadangan pintu kamarku dipegang oleh Sam pula.

Aku juga sudah hafal di mana Sam biasa meletakkan flashdisknya. Di laci meja tulisnya. Dan aku masih ingat flashdisk mana yang dipakai untuk menyimpan catatan pribadinya itu.

Flashdisk itu kutemukan. Kubawa ke dalam kamarku, lalu kupasang di laptopku. Ternyata benar-benar banyak penambahannya. Maka cepat kucopy ke flashdiskku sendiri. Kemudian kukembalikan flashdisk punya Sam ke tempat asalnya.

Kututup dan kukuncikan lagi pintu kamar Sam dan kembali ke kamarku, untuk membuka catatan pribadi Sam yang sudah kucopy ke flashdiskku.

Waaah… ternyata catatan pribadi Sam sudah lumayan jauh perkembangannya.

Berdebar-debar juga aku membacanya…


Mama seolah diciptakan untuk menjadi sumber gairah birahiku. Bukan cuma itu, Mama juga makin lama makin menyayangiku. Sehingga apa pun yang kuminta selalu dikabulkannya.

Sementara itu Papa makin lama makin sering tidak pulang. Sampai pada suatu saat… ketika aku sedang berada di dalam pavilyun Mama, kudengar penuturan ibu tiriku itu, bahwa sebenarnya Papa sudah menikah lagi dengan wanita lain.”

“Apakah wanita itu lebih cantik dari Mama?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, “Mama menggeleng sambil tersenyum, “Yang jelas usianya lebih tua dari mama.”

“Usianya lebih tua tapi statusnya istri muda?” tanyaku.

Mama mengangguk sambil tersenyum. Lalu mencium pipiku disusul dengan bisikan, “Biar aja Papa memuasi dirinya sendiri. Mama kan udah punya kamu, yang jauh lebih memuaskan daripada papamu.”

“Tapi Mama sama sekali gak punya perasaan marah atau cemburu?”

“Nggak Sam. Alasan Papa terlalu sulit ditolak. Wanita itu owner perusahaan di tempat Papa bekerja. Jadi Papa menikahi big bossnya sendiri.”

“Ohya?! Berarti papa punya motivasi lain dengan menikahi wanita itu?”

“Iya. Kamu masih ingat kan waktu mama dibeliin mobil. Terus Papa membeli empat buah motor untuk kamu dan saudara-saudaramu?”

“Iya Mam.”

“Nah itu semua hanya sebagian dari kompensasi dari Papa, agar mama bersedia dimadu. Duitnya mengalir dari wanita itu. Makanya mama biarin aja Papa menikah lagi, asalkan masa depan kita lebih terjamin.”

Aku cuma mengangguk-angguk dan mulai mengerti apa latar belakang Papa menikah lagi itu. Faktor duit alasannya. Tadinya aku memang kesal juga mendengar Papa punya istri muda itu. Tapi setelah mendengar penjelasan dari Mama, aku pun mencoba untuk mengerti.

Tapi sesuatu yang sulit kumengerti adalah waktu Mama bertanya, “Kamu sudah tau Tante Fenti kan?”

“Tau Mam. Kan dia sering ke sini.”

“Nah sekarang siapkan stamina dan vitalitasmu, karena besok pagi kita akan bertamu ke rumahnya.”

“Lho… mau bertamu aja kok harus siapkan stamina segala?!”

“Ini rahasia ya. Jangan sampai bocor. Sebenarnya kita bakal punya acara istimewa di rumah Tante Fenti besok.”

“Acara apa?”

“Tante Fenti hanya punya anak seorang. Anak cowok yang sebaya denganmu.”

“Iya, kan anaknya pernah dibawa ke sini. Yang namanya Rendi itu kan?”

“Oh… iya ya… jadi kamu udah kenal dia kan?”

“Iya. Pernah ngobrol juga kok denganku.”

“Nah… Tante Fenti minta tolong sama mama untuk ngajarin Rendi bersetubuh.”

“Haaa?! Terus Mama mau aja?”

“Dengar dulu dong. Jangan mutus omongan mama,” ucap Mama sambil menepuk lututku, “Besok itu acaranya begini… mama sama Rendi, kamu sama Tante Fenti.”

“Maksud Mama yang jelasnya gimana?”

“Kamu boleh menyetubuhi Tante Fenti, sementara mama akan ngajarin Rendi begituan. Ngerti kan?”

“Hihihiii… Mama kok acaranya aneh gitu Mam?!”

“Nggak usah banyak komentar. Jawab aja, mau apa nggak?”

Aku terdiam, dengan pikiran tak menentu. Tante Fenti itu tergolong hitam manis, tapi memang seksi. Namun aku masih bingung menjawab ajakan Mama itu.

“Kalau kamu nggak mau ya udah. Mama akan pergi ke rumah Tante Fenti besok sendirian.”

Tanpa pikir panjang lebar lagi, kupegang kedua tangan Mama sambil berkata, “Demi Mama, apa pun yang Mama inginkan pasti kulakukan.”

Mama mengecup bibirku, lalu berkata, “Memang seharusnya kamu menyambut rencana mama dengan Tante Fenti itu sebagai sesuatu yang seru. Biar kamu juga bisa merasakan wanita lain, jangan hanya dengan mama melulu.”

“Sementara Mama bisa merasakan brondong lain juga kan?” ucapku dengan perasaan cemburu yang kusembunyikan di dalam hatiku.

“Mmm… yang penting kita bikin resfreshing, supaya hubungan kita tetap segar. Oke? Sekarang tidurlah. Besok pagi kita berangkat ke rumah Tante Fenti yang jaraknya lumayan jauh.”

Aku pun mengikuti permintaan Mama. Meninggalkan pavilyun dan naik ke lantai dua, lalu masuk ke dalam kamarku.

Di dalam kamar aku merenungkan semuanya itu. Tentang “mother swap” yang sudah Mama rencanakan itu.

Aku sudah kenal dengan Tante Fenti yang kelihatannya sangat akrab dengan Mama itu. Bahkan aku pernah ngobrol dengan wanita setengah baya berkulit sawo matang itu. Memang manis dan seksi.

Sebenarnya aku girang juga mendengar rencana Mama dengan Tante Fenti itu. Tapi tadi aku tak mau memperlihatkan kegiranganku, semata-mata ingin menjaga perasaan Mama saja.

Dan sebelum tidur, aku sudah membayangkan apa yang bakal terjadi besok di rumah Tante Fenti.

Esoknya, pagi-pagi sekali aku sudah berada di belakang setir mobil Mama. Sementara saudara-saudaraku masih tidur semua. Maklum hari itu hari Minggu.

“Tante Fenti itu tidak punya suami?” tanyaku kepada Mama yang sudah berada di samping kiriku.

“Dahulu punya,” sahut Mama, “Tapi karena dia tidak punya anak terus, akhirnya diceraikan oleh suaminya.”

“Lho… Rendi itu anak siapa?”

“Keponakannya. Tapi Rendi dirawat sejak balita, sehingga Tante Fenti merasa seperti pada anaknya sendiri.”

“Ogitu…”

“Jadi Tante Fenti itu belum pernah melahirkan. Pasti memeknya lebih enak daripada memek mama. Hihihiii…”

“Ah Mama…”

“Nanti laporan ya. Mana lebih enak mama atau Tante Fenti.”

“Pasti enakan Mama.”

“Kenapa bisa mikir gitu? Kan kamu belum nyobain seperti apa rasanya memek tante Fenti.”

“Mama punya kulit putih bersih. Punya bokong semok. Punya wajah cantik dan sebagainya. Tante Fenti kan tidak seputih dan secantik Mama.”

“Tapi kata orang, perempuan yang item manis itu legit lho memeknya.”

“Masa sih?”

“Nanti buktikan aja sendiri.”

Aku terdiam dan konsen ke arah seitr yang sedang kukemudikan.

Memang rumah Tante Fenti itu agak jauh di luar kota. Tapi untung jalanan tidak macet, sehingga tidak sampai dua jam mobil Mama sudah dibelokkan ke pekarangan rumah Tante Fenti yang luas dan banyak pohon jeruknya itu.

Ketika aku dan Mama turun dari mobil, pintu depan rumah Tante Fenti terbuka.

Rendi yang membuka pintu itu. Ia menghampiriku sambil menjabat tanganku, “How are you Sam?”

“I am fine. And you?” sahutku.

“Fine too… ayo masuk, “ajak Rendi. Sementara Mama sudah duluan masuk ke dalam.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu