3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 13

Atas petunjuk Frida, kubelokkan mobilku ke p[ekarangan rumah yang nyaris tak kalah megah kalau dibandingkan dengan rumah utama Mamie.

Lalu muncul seorang wanita muda dari ambang pintu depan dan berdiri di teras.

“Nah, itu Nora,” kata Frida sebelum turun dari mobilku.

Sedangkan aku malah menggesek-gesek mataku sendiri setelah memperhatikan wanita muda bergaun batik itu. Apakah aku tak salah lihat?

Akhirnya aku turun dari mobil dan menghampiri Frida yang sedang berhadapan dengan wanita yang kata Frida saudara sepupunya itu.

Dan… wanita muda itu terkejut setelah melihatku datang. Menunjukku sambil berseru, “Sammy?!”

“Iya… kamu Eleonora kan?”

“Iyaaa… !” wanita yang tak lain mantan teman sekelasku di SMA itu memburu dan memelukku. Sementara Frida tampak kebingungan.

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Frida.

“Iya. Dia ini Sammy, teman sekelasku di SMA, Frid,” sahut Eleonora yang cuma disebut Nora saja oleh Frida.

Lalu kami dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu.

“Jadi Bang Sammy ini calon suamiku Nor,” ucap Frida membuka pembicaraan.

“Iya. Tadi aku sudah menerima telepon dari mamamu, Frid. Dan pernikahan kalian akan dilaksanakan sekitar empat bulan lagi kan?”

“Iya,” sahut Frida, “Nora hadir nanti di resepsi pernikahan kami ya. “

“Tentu saja aku akan hadir,” sahut Eleonora, “Tapi suamiku mungkin gak bisa hadir. Dia baru saja tadi pagi terbang ke London. Mungkin sekitar setahunan dia akan berada di sana. “

“Ohya?! Urusan bisnis?”

“Iya. Apalagi kalau bukan urusan bisnis. Dia kan orang swasta. Bukan pejabat negara. “

Aku hanya jadi pendengar yang baik di tengah percakapan Eleonora dengan Frida itu.

Sebenarnya diam-diam aku sedang menerawang masa laluku, tepatnya masa SMAku. Masa ketika Leonora sering traktir aku makan di kantin, makan di warung bakso dan bahkan sering juga traktir makan di restoran yang tergolong mahal di kotaku.

Tak cuma itu. Leonora pernah nembak aku. Terang-terangan menyatakan suka padaku. Tapi secara halus kujawab, “Kita masih di SMA, Nor. Mendingan kita konsen ke sekolah aja dulu. Nanti kalau kita sudah sukses dalam pendidikan, barulah mikirin masalah itu. “

Mungkin Eleonora kecewa. Tapi dia tetap menjadi teman baikku.

Dan setelah ujian, Eleonora menghilang dari pantauanku. Bahkan waktu pesta perpisahan pun dia tidak hadir. Lalu aku bertanya ke sana-sini. Tapi tidak ada yang tahu di mana Eleonora berada, karena rumahnya pun jadi kosong dan ada papan bertuliskan Rumah dan Tanah ini akan Dijual. Aku hanya mendengar kabar selentingan bahwa Eleonora dan orang tuanya sudah pindah ke Jakarta.

Lalu putuslah komunikasiku dengan mantan sahabatku yang bernama Eleonora itu.

Lalu… tahu-tahu kini berjumpa dalam suasana yang sudah berubah. Bahwa Eleonora sudah menjadi istri seorang pengusaha, sementara aku pun sudah dipersiapkan untuk menikah dengan Frida.

Tiba-tiba Leonora menoleh padaku dan membuyarkan terawanganku mengenai dirinya, “Jadi Tante Yun itu ibu sambungmu, Sam?”

“Iya,” sahutku.

“Tau gitu, aku bakal main ke rumah Tante Yun,” kata Leonora lagi.

“Tapi aku tinggal di rumah Tante Ken,” sahutku.

Frida menyambung ucapanku, “Rumah itu disediakan oleh Tante Yun buat Bang Sam. Mama cuma menunggui aja di sana. “

Aku tidak terlalu kaget mendengar ucapan Frida itu. Karena secara tersamar Mamie sudah mengucapkan hal itu.

“Kalau kalian sudah menikah kan jadi rumah bersama,” kata Leonora sambil menoleh ke arah Frida, “Sam ini sahabat paling dekat denganku semasa masih di SMA dahulu, Frid. “

“Tapi tadi di jalan aku sempat nyebut-nyebut nama Nora. Kok Bang Sam gak bilang kalau Nora itu sahabat waktu di SMA?” Frida menatapku.

“Lho… tadi yang disebut cuma Nora aja. Yang namanya Nora kan banyak. Tapi kalau nyebut nama Leonora, pasti aku tanya seperti apa saudara sepupumu itu,” sahutku.

“Hihihihiii… aku malah baru ngeh sekarang ka;lau nama lengkap Nora itu Leonora,” sahut Frida.

“Ya udah, “sela Leonora, “yang jelas sekarang aku tahu bahwa Frida bakal nikah dengan sahabat seSMAku. Aku senang sekali mendengarnya. Semoga acara pernikahannya berjalan lancar ya. “

“Amiiin…” sahutku berbarengan dengan Frida.

Sejam kemudian, barang-barang Frida sudah diangkut semua ke dalam mobilku. Lalu kami pun pamitan kepada Eleonora, setelah disuguhi makan dulu di rumah megah itu.

“Nggak nyangka Eleonora itu masih saudara sepupumu,” kataku waktu mobilku sudah berada di jalan aspal, “Sekarangf sudah menikah pula dengan pengusaha tajir. “

“Iya, tapi usia suaminya itu kira-kira sebaya dengan papamu,” sahut Frida.

“Waktu menikah dengan Frida, apakah suaminya bawa anak?”

“Ada anaknya seorang. Cewek dan usianya lebih tua daripada Nora. Sudah menikah pula. Sementara Nora sampai saat ini belum punya anak. Ohya… Nora itu usianya lebih tua apa lebih muda dari Abang?”

“Tua dia setahun. Jadi sekarang usianya hampir duapuluhsatu tahun. “

Lalu hening. Hanya bunyi mesin mobilku yang terdengar sayup-sayup. Lalu iseng kuhidupkan musik. Lagu-lagu campuran Martin Garrix, Ed Sheeran, Avicil, Sia, Bruno Mars dan sebagainya.

Frida pun mulai tampak ketiduran. Sementara aku teringat “kejadian kecil” di rumah Eleonora tadi. Bahwa ketika Frida berada di dalam kamarnya yang akan ditinggalkan, Eleonora sempat berkata setengah berbisik, “Ternyata kita bakal jadi saudaraan ya. “

“Yah, namanya kelahiran, jodoh dan kematian kan rahasia Allah,” sahutku.

“Tapi aku gak bisa melupakanmu, tau?” cetus Eleonora sambil mencubit perutku.

Aku agak kaget. Takut ketahuan Frida yang sedang berada di kamarnya di lantai atas.

Lalu dengan serius Eleonora meminta tukaran nomor hape. Kukabulkan saja permintaannya itu.

Tak lama kemudian Frida tampak menuruni tangga menuju ruang tamu. Eleonora pun bersikap seperti tidak ada apa-apa.

Eleonora memang cantik. Tapi kalau dibandingkan dengan Frida, mesih cantikan Frida. Namun masalahnya Eleonora membangkitkan kenangan masa laluku. Dan kebaikan-kebaikannya akan tetap kuingat di sepanjang hidupku.

Walau begitu aku menggebrak batinku sendiri. Tidak! Mungkin pertemuanku kembali dengan Eleonora itu cuma godaan belaka! Kali ini aku harus teguh dan tahan banting menghadapi godaan, minimal sampai rencana pernikahan itu terwujud.

Kali ini jalanan lumayan lancar. Menjelang malam kami sudah tiba di Rumah Cinta.

Tante Ken tampak senang melihat kami berdua sudah pulang. Bahkan setelah makan bersama di ruang makan, Tante Ken berkata, “Mulai sekarang Sam jangan manggil tante lagi. Panggil mama aja ya, biar kompak dengan Frida. “

“Iya Tan.. eh Mam…” sahutku sambil tersenyum.

Dan ketika Frida masuk ke dalam kamarnya dulu, aku berbisik ke dekat telinga Mama Ken, “Di belakang Frida Mama Ken juga harus manggil papa padaku ya. “

“Nggak ah. Jangan cari masalah. Sam kan mau nikah dengan Frida. Biasanya kalau mau nikah gitu suka banyak godaan. Makanya istirahat dulu yang aneh-anehnya Sam,” sahut Mama Ken setengah berbisik.

Aku terdiam.

Mama Ken berkata lagi, “Sekarang fokuslah kepada Frida seorang, ya Sam. Kita malah harus sama-sama berdoa agar perkawinan kalian berjalan lancar. Doakan juga Mamie, agar usahanya semakin sukses, karena pesta pernikahan kalian nanti seratus persen dibiayai oleh Mamie. “

“Amiiin…” sahutku datar.

Lalu aku bangkit menuju ke washtafel. Cuci tangan sebentar, lalu melangkah ke lantai atas, ke dalam kamarku.

Aku melepaskan sepatu dan kaus kaki, lalu merebahkan diri di atas bed tanpa mengganti pakaian bekas perjalanan dari Jakarta tadi. Sementara pintu kamarku dibiarkan tidak terkunci. Tapi AC tetap kuhidupkan.

Letih dan pegal-pegal juga rasanya nyetir dari Jakarta tadi. Mungkin aku harus cepat tidur supaya pegal-pegal ini bisa hilang sendiri nanti.

Dan aku benar-benar tertidur nyenyak sekali, meski hari belum terlalu malam.

Aku baru terbangun keesokan paginya, ketika terasa ada yang memelukku dari belakang. Ternyata Frida.

“Aaah… ternyata ada bidadariku di sini…” ucapku sambil duduk dan menggeliat.

“Ini aku udah ketiga kalinya lho masuk ke sini. Tapi Abang tampak nyenyak sekali tidurnya. Gak tega aku banguninnya. Capek abis nyetir ke Jakarta PP ya Bang. “

“Iya sih,” sahutku, “Ini udah jam berapa? Waaah… jam dinding abis batrenya tuh. Dari kemaren jam sebelas terus. “

“Jam dindingnya gak mati Bang. Sekarang memang udah jam sebelas,” kata Frida sambil tersenyum.

Aku terkejut, “Haaaa?! Berarti aku tidur sampai belasan jam… !”

“Iya. Emang Bang Sam biasa tidur sampai belasan jam gitu?”

“Nggak. Baru sekali ini. Biasanya paling lama delapan jam. Aku mau mandi dulu ya. “

“Iya Bang. Perlu kusabunin? “

“Nggak usah. Kalau gak keberatan sih siapin makan aja. Terus siap-siap keluar. Pengen ngajak kamu ke mall. “

“Emang gak ada kuliah lagi Bang?”

“Nggak. Kuliahku udah selesai. Tinggal nunggu sidang skripsi aja. “

“Abang hebat. Belum duapuluh tahun udah mau jadi sarjana. “

“Anak teman Papa jauh lebih cepat lagi. Usia delapanbelas sudah S3. “

“Aaah, masa sih? “

“Serius. Ayahnya kerja di Inggris. Anaknya sekolah di Amerika, karena di Inggris tidak ada program untuk anak-anak jenius begitu. Setelah S3, dia langsung direkurt oleh NASA. “

“Hebat. Waktu diwisuda, mungkin dia yang paling muda ya Bang. “

“Nggak. Dia bilang ada yang usianya baru enambelas, diwisuda bareng dengan dia. Anak dari Jepang. “

“Yang anak teman papa Abang itu asli orang Indonesia?”

“Iya. Orang dari Tapanuli. “

“Gila ya. Gak kebayang… sembilanbelas tahun udah S3. “

“Kalau di negara kita sekolahnya, gak mungkin bisa begitu. Masuk SD aja harus tujuh tahun sekarang. Dulu aku dari kelas tiga naik ke kelas lima. Lalu kelas lima ikut ujian. Lulus. Tapi sama Papa dilarang mendaftar ke SMP dulu. Harus duduk di kelas enam dulu, lalu ikut ujian lagi. Kalau terlalu muda masuk SMP nanti bisa rusak otakmu, kata Papa.

“Terus Abang mulai kuliah umur berapa?”

“Enambelas. “

“Kalau masuk SMP mengikuti hasil ujian waktu kelas lima itu, mungkin Abang udah kuliah sejak umur limabelas ya. “

“Iya. Mungkin harusnya setahun yang lalu aku udah S1. Tapi mungkin semuanya sudah tertulis begitu dalam takdirku. Sehingga aku bisa berjumpa dengan cewek cantik bernama Frida ini…” ucapku sambil mengecup pipi Frida, “Oke… aku mau mandi dulu ya. “

“Iya Bang. Aku mau nyiapin makan buat Abang. “

Sesaat setelah selesai makan, aku dan Frida sudah berada di dalam mobilku. Saat itu aku hanya mengenakan pakaian seperti mau berolahraga, celana pendek dan baju kaus serba putih, yang kata Frida “kelihatan sexy”. Sepatu yang kukenakan pun putih bersih. Sementara Frida mengenakan gaun terusan mini berwarna hijau tosca.

“Pernah mempelajari mitologi Yunani?” tanyaku di belakang setir mobilku.

“Cuma sebagian kecil,” sahutnya.

“Pernah membaca kisah dewa cinta dan dewi nafsu?”

“Cupido dan Psyche maksudnya?”

“Iya. Kata psikologi yang kita gunakan sekarang berasal dari nama dewi Psyche itu. Tapi aku bukan mau membahas masalah psikologi. Aku hanya mau bilang, cinta itu selalu diiringi oleh nafsu. “

“Iya. Terus?”

“Di antara kita sudah gak ada rahasia lagi. Aku sudah hafal bentuk sekujur tubuhmu. Bahkan vaginamu sudah kuhafal dengan jelas sekali. “

“Iya. Cuma aku masih takut-takut megangin penis Abang. “

“Nantinya kan bakal dimasukkan ke dalam vaginamu Beib. “

“Iya Bang… aku mau bicara jujur ya… “

“Iya, jujurlah. Kenapa?”

“Waktu abang jilatin vaginaku… itu luar biasa nikmatnya Bang. “

“Iya. Apalagi ML… jauh lebih nikmat lagi. “

“Justru itu Bang. Hatiku jadi sering berdesir-desir… ingin merasakan seperti apa enaknya kalau kita melakukan ML yang sebenarnya. “

“Ya udah… kita ML sekarang. “

“Di mana? Di mobil ini? Jangan ah…”

“Ya nggak lah. Masa di mobil. Aku kan punya hotel. “

“Jangan di hotel Abang. Hotel itu kan belum dibuka. Takut mengakibatkan dampak buruk pada hotelnya kelak. “

“Ya udah. Kita pakai hotel yang bersatu dengan mall itu saja. “

“Terserah Abang. Yang penting aman. “

“Tapi nanti keperawananmu hilang. “

“Nggak apa. Abang kan mau mengawiniku. Tapi jangan hamil dulu. Kalau udah nikah sih silakan aja hamili aku juga gak apa-apa. “

“Santai aja Beib. Coba buka laci dashboard itu… ada dua strip pil di situ,” kataku.

Frida membuka laci dashboard di depannya itu. Lalu mencari-cari sesaat. Dan menemukan tablet yang kumaksudkan. “Yang ini Bang?” tanyanya sambil menunjukkan kedua strip pil kontrasepsi itu.

“Iya. Itu pil kontrasepsi. Baca saja petunjuknya di aturan pakainya. “

“Ini pil anti hamil?”

“Iya. Aku sengaja menyediakannya, karena aku tak ingin kamu langsung hamil setelah kita menikah sekali pun. Supaya kamu bisa tetap kuliah, jangan dulu dipusingin dengan urusaan bayi. “

“Baguslah kalau Abang sudah menyiapkan pil anti hamil segala. Kayak Nora juga udah tiga tahun leboih menikah, sampai sekarang belum hamil. Jadi dia bisa leluasa berbisnis. Tidak mau menengadahkan tangan pasa suami terus walaupun suaminya tajir melintir juga. “

“Iya. Dengan adanya program KB, kita bisa mengatur sendiri, supaya jangan hamil dulu sebelum kita siap. Kalau sudah merindukan kehadiran anak, barulah kita stop dulu KBnya. “

“Iya Bang. Aku setuju pada pendapat Abang itu. “

Aku terdiam. Aku sedang berpikir di hotel mana mau cek in nanti. Yang aku tahu, di kotaku bukan hanya mall langgananku yang punya hotel terpadu dengan mall itu. Masih ada mall lain yang punya hotel juga, yang levelnya lebih bagus. Aku akan memilih hotel di mall lain. Karena hotel yang bersatu dengan mall langgananku itu pasti akan membuatku teringat pada segala yang pernah kulakukan bersama Mama.

Dalam mall itu kupersilakan Frida untuk mengambil barang yang dibutuhkannya. Tapi Frida hanya mengambil sehelai kimono saja. Untuk di hotel nanti, katanya. Aku pun membeli handuk dan alat mandi lainnya. Karena aku suka takut-takut memakai handuk hotel. Siapa tahu pernah dipakai oleh orang yang sudah terkontaminasi virus, yang bisa menular lewat handuk dan sisir.

Namun di dalam mall itu ada sesuatu yang membuatku cemburu. Banyak sekali cowok yang memandang Frida dengan sorot kagum. Bahkan sayup-sayup aku mendengar ada yang berkata kepada temannya, “Cewek yang baju hijau itu cantik sekali ya?”

Lalu terdengar sahutan, juga sayup-sayup sampai ke telingaku, “Mungkin artis brow. “

Kalau Frida tidak sedang bersamaku, mungkin banyak yang berani menggodanya. Jujur, aku jadi cemburu. Namun dari cemburu itu si dede mendadak bangun di balik celana pendekku.

Karena itu aku buru-buru mengajak Frida ke hotel.

Tak sulit mendapatkan kamar di hari Senin begini. Tidak seperti di hari-hari weekend.

Ternyata kamar di hotel ini lebih berkualitas jika dibandingkan dengan hotel yang sering kupakai dengan Mama. Maklum hotel ini berbintang empat.

Meski tarifnya lebih mahal, aku senang melihat keadaan di dalam kamarnya. Serba nyaman dan serba keren. Kebersihannya pun tampak sangat terjaga.

Frida langsung masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa kimono yang baru dibeli tadi. Pasti dia akan ganti pakaian dulu. Sementara aku hanya melepaskan sepatu dan kaus kaki putihku.

Tak lama kemudian Frida muncul kembali dari kamar mandi, mengenakan kimono berwarna orange yang baru dibelinya tadi.

Untuk kesekian kalinya aku dibuat terlongong oleh Frida. Karena di dalam pakaian apa pun dia tetap cantik dan menawan. Memang tak salah kalau di mall tadi banyak sorot mata lelaki yang memandang Frida dengan sorot kagum. Dan pesona Frida itu pula yang membuatku berdesir cemburu. Bahkan ada perasaan takut ada yang mencuri dariku.

Dan untuk meyakinkan hatiku bahwa Frida benar-benar akan menjadi milikku, mungkin aku harus segera mengesekusinya. Agar aku tenang dan yakin bahwa Frida benar-benar sudah menjadi milikku, meski aku belum menikah dengannya.

Maka kusambut kemunculan Frida dengan memasukkan tanganku ke belahan kimononya. Langsung ingin membuktikan apakah dia mengenakan celana dalam atau tidak.

Ternyata Frida tidak mengenakan celana dalam, seperti dugaanku sebelum menyentuh kemaluannya yang tembem dan bersih licin ini.

Tiba-tiba Frida memelukku erat-erat. Dan berkata setengah berbisik, “Aku degdegan lagi Bang. “

“Kenapa? Memangnya ada perasaan takut?” tanyaku.

“Gentar… bukan takut. “

“Santai aja Beib. Kamu akan kuperlakukan laksana bidadariku. Kalau aku ini seorang raja, kamu akan kuperlakukan seperti permaisuriku.”

Kemudian lepaskan ikatan tali komononya, “Aku akan menjilati vaginamu dulu, seperti kemaren. Supaya penisku terlicinkan oleh lendirmu dan air liurku. Lalu kalau masih ada juga perasaan gentar, aku takkan melanjutkannya ke ML yang sebenarnya. Setuju?”

“Iya Bang. “

“Pokoknya aku takkan memaksakan kehendakku. Kalau kita sama-sama menginginkannya, aku akan melanjutkannya. Tapi kalau kamu masih merasa gentar, ngomong aja terus terang. Supaya aku tidak melanjutkannya. “

“Iya Bang. Aku mau semuanya mengalir saja seperti air dari hulu sampai ke muara. Aku percayakan semuanya kepada Abang. “

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu