3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 29

Nominal penjualan 322 butir berlian itu ternyata gede sekali, yang tidak kusangka sebelumnya. Kalau diperbandingkan uang Aleksandra hanya 25 % dari hasil penjualan berlian itu. Dengan kata lain, nominal yang akan diterima oleh Halina berkali-kali lipat lebih besar daripada nominal pembelian hotel dan rumah Aleksandra itu…

Sebelum kusetujui penawaran Bu Merry, aku berunding dulu dengan Halina. Kemudian Halina menghitung-hitung jumlah rupiah yang akan diterima ke dalam nilai euro. Di belakang Bu Merry, Halina membisikiku, “Itu dua kali lebih besar dari tawaran tertinggi di negaraku.”

“Terus bagaimana? Berikan saja?” tanyaku.

“Iya Sam. Mumpung kita masih di Jakarta.”

“Tapi jumlahnya terlalu banyak. Kalau ditransfer ke rekening kita, pasti banyak pertanyaan. Mungkin lebih baik kalau pembayarannya secara fisik dengan US dollar. Kemudian uangnya simpan saja di safe deposit box punyamu itu.”

“Setuju, “Halina mengangguk.

Lalu setelah melewati beberapa proses, Bu Merry menyiapkan uang dollar dalam bentuk fisik. Kemudian uang itu disimpan di safe deposit box di bank internasional itu. Jadi box itu berganti “penghuni”. Tadinya 322 butir berlian dan sertifikat-sertifikatnya, berganti dengan US dollar hasil penjualan berlian itu.

Aman sudah.

Memang dibutuhkan dua hari tambahan untuk tetap stay di Jakarta, sampai selesainya transaksi yang terbesar di dalam perjalanan bisnisku itu.

“Ternyata di negara ini banyak juga orang kaya seperti Mrs. Merry itu ya,” kata Halina ketika kami sudah berada di dalam mobil yang sudah meninggalkan Jakarta.

“Banyak sih tidak. Tapi suami Mrs. Merry itu termasuk dalam jajaran orang terkaya di negara ini. Suaminya bukan pebisnis permata. Tapi Mrs. Merry sudah lama menggeluti bisnis permata.”

“Owh… pantaslah…”

Aku tunaikan janjiku. Mobil pun kuarahkan ke jalan tol Jagorawi, karena mau menuju ke Puncak.

“Sam…”

“Hmm?”

“Semua ini surprise besar buatku. Karena tadinya aku mengira akan dijual secara bertahap. Tapi ternyata bisa dijual semuanya sekaligus.”

“Iya. Itu berarti faktor keberuntunganmu bagus, Sayang.”

Halina menyahut, “Your luck factor too Sam. “(Faktor keberuntunganmu juga Sam).

“Uang yang disimpan di SDB itu bisa dibelikan sepuluh buah hotel selevel dengan hotel Aleksandra. Terus apa rencanamu dengan uang itu?”

“Aku belum tertarik untuk memiliki hotel seperti Aleksandra. Cita-citaku tidak muluk-muluk. Mungkin aku hanya ingin punya sebuah rumah, sebuah restoran dan sebuah mobil. Itu saja dulu. Yang lain-lain akan kupikirkan dulu nanti. Kecuali kalau Sam punya saran lain.”

“Itu bagus. Jangan tergesa-gesa memutuskan sesuatu yang penting. Mengenai rumah dan restoran itu, akan kucari di dekat hotelku. Kebetulan di dekat hotelku belum ada restoran. Tapi mungkin juga harus beli tanah kosong dulu. Lalu dibangun untuk rumah dan restoran itu.”

“Atur saja olehmu Sam. Aku akan mengikuti rencanamu saja. Karena Sam lebih tahu situasi di kotamu.”

“Yang jelas, kalau rumahmu dekat hotelku, aku bisa sering menengokmu. Karena aku tiap hari hadir di hotelku.”

“Kalau beli tanah kosong untuk dibangun rumah dan restoran itu, mungkin aku lebih baik tinggal di hotelmu selama pembangunannya belum selesai Sam.”

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Mobilku meluncur terus di jalan tol, dengan kecepatan sedang… hanya 100km/jam.

Dan aku berkata, banyak istri banyak rejeki. Karena istri-istriku berduit semua. Sehingga aku takkan repot untuk memberi “uang belanja” pada mereka. Karena mereka bisa berdikari setelah menjadi istriku. Yang dibutuhkan hanya “nafkah batin”. Tentu saja aku selalu siap untuk memberikan nafkah batin itu, karena alat kejantananku tak pernah “malas-malasan” untuk menunaikan “tugas”nya…

Hahahaaaaaaaa…!

Sepulangnya ke rumah, Frida menyambutku dengan wajah murung. Ternyata selama aku berada di Jakarta, terjadi sesuatu dengan Mama Ken. Kandungan yang baru berumur 3 bulan di perutnya itu mengalami keguguran. Padahal tadinya Frida sangat mengharapkan bayi itu, sebagai pengganti cita-citanya untuk hamil.

Frida sendiri yang membawa ibunya ke rumah sakit bersalin, karena dia tahu kalau aku sedang urusan bisnis di Jakarta dan tak berani menggangguku.

Aku sendiri ikut kecewa. Tapi aku berusaha menegarkan diri dan menghibur Frida agar jangan terlalu bersedih.

Beberapa hari kemudian, setelah kesedihan Frida mereda, aku pun baru berani mengutarakan hal penting itu. Bahwa aku minta izin untuk menikah lagi dengan Halina.

Ternyata dengan sikap lugu Frida berkata: “Aku izinkan Abang menikahi teman karib Aleksandra itu, asalkan Abang jangan meninggalkanku. Karena aku sangat mencintaimu, Bang…”

Mendengar ucapan Frida itu aku berlutut sambil memeluk sepasang kaki Frida, “Sayang.. kamu adalah permata hatiku. Bersamamu kurasakan kedamaian dan kesejukan selalu. Mana mungkin aku tega meninggalkan dirimu?”

Frida membelai rambutku sambil berkata, “Aku mau positif thinking aja Bang. Dari sudut positifnya, aku akan punya teman seorang lagi. Mungkin aku akan semakin sering mengunjungi rumah Aleksandra nanti.”

Dua hari kemudian, aku mendapat berita bahwa dokter spesialis kandungan langganannya itu memberitahu bahwa Frida sudah hamil dua minggu…!

Saat itu aku sedang berada di hotelku. Dan spontan pulang ke rumah, untuk menyambut berita baik itu…!

Frida menyambutku dengan pelukan hangat.

Aku pun berkata, “Mungkin ini ganjaran dari keikhlasanmu waktu mengizinkanku menikah lagi. Soalnya aku bukan sembarangan polygami. Karena tujuanku juga untuk menolong teman Aleksandra itu untuk menjadi mualaf sekaligus ingin menjadi warganegara Indonesia.”

Secercah sinar mulai menaungi Frida. Membuatku berdoa di dalam hati, semoga kandungannya berkembang sehat. Jangan seperti kandungan di dalam perut Mama Ken itu.


Baru sampai di situ Sam menulis di dalam catatan pribadinya yang dikirimkan padaku lewat email-email itu.

Lalu bagaimana dengan perjalanan kehidupanku sendiri?

Setelah melahirkan Toni dan Tina, aku merasa semakin dimanjakan oleh Papa Fred. Kedudukanku sebagai dirut di perusahaan Mama, membuat diriku seolah mutiara yang diangkat dari lumpur, lalu disimpan di dalam kotak emas.

Sopir pribadiku pun bukan sopir biasa. Karena Papa Fred menugaskan salah seorang adiknya yang bernama Edgar untuk menjadi driver pribadiku.

Mungkin Papa Fred ingin agar Edgar bukan hanya bertugas sebagai sopir pribadiku, tapi juga harus mengawal dan melindungiku di mana pun aku berada.

Banyak sekali fasilitas yang kuterima dari Papa Fred yang sudah merasa bahagia dengan lahirnya Toni dan Tina itu.

Hidupku makin lama makin nyaman dengan segala yang telah kudapatkan ini.

Tapi apakah aku sudah merasa bahagia dengan semuanya ini?

Aku sulit menjawabnya. Karena kalau aku mengatakan belum puas, rasanya aku seperti manusia serakah, yang tak pernah puas dengan segala yang telah kumiliki ini.

Namun kepuasan tidak identik dengan kebahagiaan…!

Kalau ada yang bertanya apakah aku sudah puas dengan segala yang telah kumiliki ini? Tentu aku akan menjawab puas… sangat puas.

Tapi kalau ada yang bertanya apakah aku sudah bahagia… sulit menjawabnya. Karena di tengah berlimpahnya pemanjaan Papa Fred padaku, diam-diam ada yang menyelusup ke dalam sanubariku. Perasaan ada yang tidak normal dengan semuanya ini. Ada pula perasaan kehilangan sesuatu yang aku sulit memastikan apa yang hilang dariku itu.

Mungkin hal itulah yang terkadang membuatku bermurung-murung, terutama kalau sedang sendirian.

Tampaknya Papa Fred mengerti bahwa aku seperti sedang memendam sesuatu yang tidak diutarakan padanya. Tapi Papa Fred tidak bertanya apa-apa. Papa Fred bahkan berkata pada suatu saat… ini yang dikatakannya, “Ayu Sayang… setelah melahirkan Toni dan Tina, kamu ikut program KB kan? Nah… selama alat itu masih terpasang di rahimmu, kamu takkan bisa hamil.

“Maksud Papa bebas bergaul tapi terbatas itu gimana?” tanyaku.

“Hanya boleh bergaul dengan adik-adik papa saja. Kan ada Adrianus… ada Karl… ada Victor dan Edgar. Kalau Edgar sekarang kan sudah menjadi sopir pribadi merangkap jadi pengawal dan pelindungmu. Tapi adik-adik papa yang lainnya kan masih ada tiga orang lagi.”

“Adik-adik Papa kan cowok semua. Kalau bergaul terlalu dekat juga, takut kebablasan, “tanggapku.

Papa Fred malah ketawa, “Hahahaaaa… selama kamu masih dipasangi alat birthcontrol, gak apa-apa. Tapi kalau sudah tidak ikut KB lagi, dilarang keras kebablasan… hahahaaa…”

“Iiih, Papa kok malah bercanda sih. Aku kan lagi serius nih.”

“Papa juga serius, Sayang. Bukan bercanda. Papa justru mengerti kalau kamu sering kesepian. Karena papa dan Mama sibuk mengurus Toni dan Tina. Walaupun sudah ada dua orang babysitter, tetap saja kami harus mengawasinya, takut salah urus. Papa juga sering tenggelam dalam kesibukan di pabrik papa yang di luar kota itu.

Aku tidak berani menanggapinya, karena ada hal yang sensitif dari ucapan Papa Fred itu.

Namun beberapa hari kemudian Edgar berkata padaku, “Broer Frederick menyuruhku untuk tinggal di sini, supaya di rumah ini ada laki-lakinya dan Zus Ayu jangan kesepian katanya.”

Ketika aku meminta konfirmasi kepada Papa Fred lewat telepon, ternyata benar. Edgar mulai hari itu harus tinggal di rumahku.

Edgar baru berusia 19 tahun. Tapi cara nyetir mobilnya jauh lebih halus daripada aku. Karena itu aku akan selalu membutuhkannya.

Itulah sebabnya Edgar kutempatkan di kamar paling depan, di lantai dasar. Sementara kamarku ada di lantai dua.

Edgar kelihatan nyaman setelah tinggal di rumahku. Karena dia tak usah pulang-pergi dari rumahnya yang lumayan jauh di kota lain.

Tapi kenapa sejak Edgar serumah denganku perasaan ini jadi sering diganggu oleh sesuatu?

Sejujurnya harus kuakui bahwa setelah Edgar serumah denganku, pikiran di benakku ini sering membayangkan tentang sentuhan cowok yang usianya enam tahun lebih muda dariku itu. Terlebih kalau mengingat tampang Edgar yang lumayan tampan, masih sangat muda pula.

Makin sering aku membayangkan sentuhan Edgar, hasrat birahiku pun seolah api dalam sekam yang makin lama makin meluas baranya.

Lalu kenapa aku tidak segera memanfaatkan saran dari Papa Fred untuk menikmati salah satu “fasilitas” yang Papa Fred berikan padaku itu?

Bukankah Papa Fred sudah mengizinkanku “bergaul” asalkan dengan adik-adiknya saja?

Berhari-hari aku gelisah memikirkan semuanya ini. Sementara hasrat birahi semkin lama semakin kuat menggodaku.

Sampai pada suatu saat… dalam perjalanan pulang dari kantor, aku mengajak Edgar makan di sebuah restoran yang menyediakan steak double combo di salah satu menunya. Makanan yang paling kusukai di restoran itu.

Pada saat itulah, sambil menunggu pesanan kami datang, ketika aku duduk berhadapan dengan Edgar dibatasi oleh meja restoran, aku bertanya kepada adik bungsu Papa Fred itu, “Edgar… menurutmu aku ini masih menarik nggak?”

Edgar menatapku dengan sorot ragu. Lalu menyahut, “Tentu saja Zus masih menarik. Karena Zus cantik dan masih sangat muda kalau dibandingkan dengan Bang Fred sih.”

“Tapi di perutku ada bekas operasi cesar, Ed.”

“Bekas operasi cesar kan bukan cacat akibat penyakit. Itu malah suatu tanda bahwa Zus wanita normal. Tidak seperti mendiang istri Bang Fred yang bertahun-tahun menjadi istri abangku tapi tidak bisa hamil juga. Sekalinya mengikuti program bayi tabung, malah muncul kanker yang merenggut nyawanya.”

Lalu makanan pesanan kami datang dan dihidangkan di meja makan.

Kami pun menyantap pesanan kami sampai habis.

Ketika kami tiba di rumah, hari sudah mulai gelap. Sebelum turun dari mobil, aku berkata kepada Edgar, “Kamu mandi dulu Ed. Setelah mandi, naik ke atas… ke dalam kamarku ya.”

“Iya Zus.”

Kemudian aku turun dari mobil dan langsung menaiki tangga menuju kamarku.

Setelah meletakkan tas kecilku di atas meja rias, aku pun langsung masuk ke dalam kamar mandi. Melepaskan segala yang melekat di tubuhku sampai telanjang bulat.

Kemudian aku berdiri di depan cermin besar, sambil mengamati bayang tubuh telanjangku di kaca cermin itu.

Rasanya wajahku masih cantik. Tubuhku juga masih seksi. Kulitku juga masih putih mulus. Tapi… bekas sodetan cesar di perutku ini, apakah tidak menurunkan “nilai” kecantikan dan keseksianku?

Entahlah. Mungkin Edgar bisa menilainya secara jujur nanti.

Kemudian aku mandi sebersih mungkin. Setiap sela dan celah penting kubersihkan dengan cermat.

Setelah menghanduki sekujur tubuh, kuambil kimono sehelai di lemari yang jadi tempat menyimpan beberapa helai kimono bersih, beberapa helai handuk bersih, beberapa buah celana dalam dan beha. Semuanya serba putih, tiada yang berwarna.

Setelah mengenakan celana dalam dan kimono putih, aku merapikan rambutku sejenak di depan cermin besar itu, kemudian keluar dari kamar mandi.

Kuambil botol parfum dari meja rias, kemudian kusemprotkan ke setiap “bagian penting” di tubuhku.

Tak lama kemjudian terdengar pintu diketuk tiga kali.

“Masuk aja Ed! Gak dikunci kok, “seruku yang sedang duduk di sofa putih yang menghadap ke televisi.

Edgar pun masuk, dalam celana pendek dan baju kaus serba putih.

“Kita kompak ya… berpakaian serba putih gini,” kataku sambil menepuk kulit sofa yang sedang kududuki, sebagai isyarat agar Edgar duduk di sebelah kananku.

“Iya Zus. Heheheee…” sahut Edgar sambil duduk di sebelah kananku.

Sesaat kemudian aku berdiri sambil melepaskan tali kimonoku di depan Edgar. “Coba nilai secara jujur, bekas operasi cesar ini membuatku jadi jelek nggak,” kataku sambil membuka kedua sisi kimonoku, sehingga tubuhku dari perut ke bawah terbuka penuh.

Edgar memandang ke arah perutku dengan sorot serius. Lalu menyahut, “Tidak mengganggu Zus. Itu kan bekas operasi. Bukan bekas borok atau penyakit lain.”

“Gitu ya,” ucapku, “tapi memekku masih seperti memek gadis, Ed. Karena belum pernah dilewati kepala dan badan bayi.”

“Iii… iya Zus.”

Lalu aku duduk di samping kiri Edgar lagi. Sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana pendek putih Edgar. Sampai berhasil memegang penis Edgar yang sudah agak tegang tapi belum ngaceng total. “Untuk membuktikannya, nanti memekku boleh kamu entot pakai kontolmu ini Ed. Supaya kamu bisa menilai, apakah memekku ini masih enak atau nggak.

“Iiii… iiii… iyaaaa Zusss…” sahut Edgar tergagap.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu