2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 04

Dalam keadaan sama - sama telanjang bulat begini, ketika dadaku menghimpit dadanya, dengan sendirinya batang kemaluanku bertempelan dengan memek Mbak Reni. Mungkin hal inilah yang membuatnya semakin bernafsu untuk merasakan kejantananku.

Bahkan pada suatu saat ia merenggangkan kedua pahanya sambil memegangi leher penisku. Dan mencolek - colekkan moncong penisku ke mulut vaginanya yang mulai membasah. Sampai pada suatu saat, ia membisiki telingaku, “Silakan dorong tititnya Den.”

Aku pun mengikuti bisikannya. Kudorong penisku sekuatnya, sementara dua jari tangan Mbak Reni tetap mengepit batang kemaluanku. Mungkin agar arahnya tidak salah.

Lalu… perlahan - lahan penisku mulai melesak ke dalam liang memek Mbak Reni.

“Oooooh… masuk Deeen… do… dorong terus… Deeen…”

Sebenarnya tanpa dikasih instruksi pun aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Karena Mama sudah mengajarkan segalanya dalam soal sex.

Namun ada sesuatu yang membuatku kagum kepada Mbak Reni ini. Bahwa selain wajahnya cantik, liang memeknya ini… sempit sekali…!

Sehingga aku harus bersabar. Setelah penisku masuk lebih dari setengahnya, aku mulai mengayun tongkat kejantananku ini dengan gerakan perlahan dan pendek - pendek. Dengan hati - hati sekali, karena takut terlepas lagi dari liang sempit dan hangat ini.

Namun makin lama gerakan penisku makin lancar, karena liang memek Mbak Reni makin lama makin licin dan basah. Dengan sendirinya aku semakin enjoy mengentotnya.

Tapi pada suatu saat Mbak Reni berbisik terengah di dekat telingaku, “Nanti jangan dilepasin di dalam, ya Den.”

“Terus, harus dilepasin di mana?” tanyaku sambil menghentikan entotanku sejenak.

“Di dalam mulut saya aja. Biar saya telan sperma Den Donny semuanya.”

“Bakal ditelan semua? Gak jijik?”

“Nggak Den. Demi cinta saya kepada Den Donny.”

“Ohya?! Mbak mencintaiku?”

“Sejak awal melihat Den Donny, hati saya sudah jatuh hati. Tapi saya tau diri, tau siapa saya dan siapa Den Donny.”

Aku terharu mendengar ucapan Mbak Reni itu. Lalu kucium bibirnya, disusul dengan ucapan, “Aku pun menaruh hati kepada Mbak. Hanya saja aku tak berani memperlihatkan perasaanku di depan orang banyhak. Takut dimarahi oleh Papa dan Mama. Tapi percayalah Mbak… aku akan memnyayangi Mbak sampai kapan pun.

“Kecuali apa Den?”

“Kecuali kalau aku sudah berdiri sendiri.”

“Terima kasih Den. Mulai saat ini Den Donny akan saya anggap sebagai suami saya sendiri. Dan saya akan setia kepada Den Donny.”

“Terus, suami Mbak mau diapain?”

“Saya mendengar dari teman yang kerja di Arab dan kenal dengan suami saya. Teman saya itu kirim laporan… bahwa suami saya sudah kawin lagi dengan TKW asal Indonesia juga. Karena itu saya akan minta cerai saja. Biarlah saya menjadi milik Den Donny saja, meski sulit untuk menjadi istri Den Donny secara resmi.

“Kalau kawinnya di Indonesia, mungkin tuntutan cerainya harus diurus di Indonesia juga.”

“Iya Den. Nanti kalau saya dapat cuti, saya akan urus semuanya di Indonesia.”

Aku mengangguk perlahan. Lalu melanjutkan aksiku di atas perut Mbak Reni. Memaju -mundurkan penisku kembali, laksana gerakan pompa manual.

Mbak Reni pun mjulai merintih - rintih perlahan, setengah berbisik. “Den… ini luar biasa enaknya Deeen… saya semakin mencintai Den Donny… ooooh Deeen… genjot terus Deeen… nikmat sekali… oooooh… oooooh… oooo… ooooooohhhhhhh…”

“Memek Mbak juga… luar biasa sempitnya, kayak memek gadis aja…” sahutku tanpa menghentikan entotanku.

“Sa… saya kan belum pernah hamil dan melahirkan Den…

“Nanti hamil dariku aja ya Mbak…”

“Lalu… saya mau tinggal di mana?”

“Tenang aja. Nanti aku yang akan menanggungnya semua…”

“Iya Deeen… ooooohhhhh… kayaknya saya udah mau lepas Deeen… titit Den Donny terlalu enak sih Deeen…”

Dengan Mama, aku terbiasa untuk melepasnya bareng - bareng. Karena itu yang paling nikmat, katanya. Makanya begitu mendengar Mbak Reni sudah mau lepas, aku pun mempercepat gerakan penisku… makin lama makin cepat… sampai akhirnya kami ambruk bersama. Bahwa pada saat Mbak Reni mencapai orgasmenya, penisku pun tengah memuntahkan air maniku.

Croooot… crotcrot… croooootttt… cret… croooooottttt… crooooooootttt…!

“Kok jadinya dilepasin di dalam Den?” tanya Mbak Reni setelah menyadari bahwa aku ngecrot di dalam memeknya.

“Kan biar bisa hamil.”

Mbak Reni mencolek hidungku sambil berdesis, “Nakal… tapi biarin deh. Semoga aja saya benar - benar hamil.”

Tapi dalam kenyataannya Mbak Reni tidak hamil - hamil juga. Padahal sejak peristiwa indah itu kami sering melakukannya di hari - hari berikutnya.

Apalagi setelah Mama meninggal akibat serangan jantung, semakin leluasa pula aku melakukannya dnegan Mbak Reni. Karena Papa lebih sering berada di Singapore, sehingga aku leluasa menyekap Mbak Reni di dalam kamarku.

Dan setelah Papa meninggal ketika sedang dirawat di Bumrungrad International Hospital, juga akibat penyhakit jantung yang dideritanya, aku jadi penguasa muda di rumah megah ini. Karena surat wasiat yang disimpan di notaris Mr. Liauw sudah dibacakan. Dan semua harta benda peninggalan Papa diwariskan padaku.

Aku pun cepat mengambil kebijakan. Bahwa semua pegawai yang bekerja di rumahku, harus tetap bekerja seperti biasa. Begitu pula karyawan dan karyawati yang bekerja di perusahaan peninggalan Papa, tidak kurombak sedikit pun.

Aku pun tetap kuliah di Chulalongkorn University, dengan target harus secepatnya menyelesaikan S1-ku.

Dan ketika aku berada di rumah Bunda ini, sebenarnya kampusku sedang liburan panjang, selama sebulan.

Tiba - tiba pintu kamar mandi dibuka. Donna berdiri di ambang pintu itu sambil menegurku, “Kok lama sekali di kamar mandinya?”

Kehadiran Donna membuyarkan terawanganku tentang Mbak Reni. Ya… Mbak Reni yang ternyata adik kandung Bunda dan harus kupanggil Tante itu.

“Barusan e’e dulu,” sahutku sambil tersenyum.

“Kirain pingsan,” ucap Donna sambil mencolek hidungku.

“Kok sudah pakai gaun lagi? Udah mau pulang?” tanyaku sambil memp[erhatikan Donna yang sudah berpakaian lengkap lagi.

“Iya,” sahut Donna, “Kan kamu harus nyediain energi buat gaulin Bunda. Biar dia jangan mabok lagi.”

Mendengar ucapan Donna itu aku jadi terharu. Lalu kucium bibirnya disusul dengan bisikan, “Kamu bukan cuma cantik, tapi juga bijaksana. Kita memang harus berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan kebiasaan Bunda minum minuman keras.”

Beberapa saat kemudian, Donna sudah berada di belakang setir mobilnya lagi, keluar dari area parkir hotel itu.

“Kalau aku hamil nanti biarin aja ya Don,” kata Donna setelah mobilnya berada di atas jalan aspal.

“Iya, biarin aja,” sahutku, “Kalau perutmu mulai membesar, kan bisa kusembunyikan di tempat yang aman.”

“Aku sangat terkesan dengan semua yang telah terjadi di hotel tadi. Dan semakin yakin bahwa aku benar - benar mencintaimu Donny.”

“Sama. Aku juga mencintaimu, Beib,” sahutku sambil mengelus rambut Donna yang tergerai sebatas bahu.

“Mmmm… untuk pertama kalinya aku dipanggil Beib oleh seorang cowok, “Donna tampak tersenyum sambil mengemudikan mobilnya, “Aku juga mau panggil Honey aja ah sama kamu.”

“Atur - atur aja deh. Yang jelas kita sudah menjadi sepasang kekasih yang saling cinta mencintai.”

“Terima kasih Honey. Sekarang ini aku merasa sangat bahagiaaa…”

Sedan yang Donna kemudikan meluncur terus di atas jalan aspal.

Sampai akhirnya berhenti di depan rumah jadul itu.

Setelah kami turun dari mobil, Donna tertegun sambil memperhatikan sepasang sepatu wanita yang tergeletak di dekat pintu depan. “Ada tamu. Siapa ya?”

Setelah membuka pintu, Donna berseru, “Teh Siska !”

Donna menghambur ke dalam pelukan seorang wanita muda yang cantik, yang usianya kira - kira sebaya dengan Mbak Reni alias Tante Reni.

Wanita yang dipanggil Teh Siska itu cipika - cipiki dengan Donna. Lalu menoleh ke arahku, “Ini Donny?”

“Iya, “aku mengangguk sambil menghampiri wanita muda itu, “Ini Teh Siska?”

Terdengar suara Bunda, “Iya Don. Itu kakak sulungmu… !”

Aku pun spontan mencium tangan Teh Siska, kakak sulungku yang baru kali ini berjumpa denganku.

Teh Siska langsung memeluk dan mencium kedua pipiku. Bahkan entah disengaja atau tidak, ia mencium bibirmku juga, meski cuma sepintas…!

“Donny… Donny… setelah dewasa kamu jadi tampan gini Don !” ucap Teh Siska sambil mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Lalu menciumi dahi, hidung dan… bibirku lagi…!

Apakah di keluargaku sudah terbiasa main cipok bibir begini? Entahlah. Yang jelas, kalau tidak ada Bunda dan Donna, pasti aku sudah “menanggapinya” dengan caraku sendiri.

Tiba - tiba Donna berkata kepada Bunda, “Bun…! Lihat tuh di depan. Aku dapet hadiah mobil dari Donny, Bun.”

“Masa?! “seru Bunda dengan sorot ceria. Lalu beliau melangkah ke depan bersama Donna. Sementara Teh Siska masih mendekapku erat - erat. Bahkan ia berkata setengah berbisik, “Nanti main ke rumahku ya.”

“Iya Teh, “aku mengangguk.

Dan… Teh Siska mencium bibirku lagi. Kali ini aku berani “menanggapinya”, karena Bunda dan Donna sedang berada di luar rumah, untuk memperhatikan sedan yang kuhadiahkan untuk Donna.

Bahkan tak lama kemudian terdengar bunyi mesin sedan Donna dihidupkan dan suara itu menjauh. Mungkin Bunda ingin nyoba numpang di mobil Donna.

Maka saat itu pula aku menanggapi ciuman Teh Siska dengan lumatan, seperti sedang mencium kekasih tercinta.

Dan tampaknya Teh Siska sangat menikmati lumatanku. Dekapannya semakin erat, ciumannya pun semakin nyelepot (lengket dan seperti disedot).

Dan setelah ciuman itu terlepas, Teh Siska meraih tanganku untuk duduk berdampingan di atas sofa jadul yang sudah robek kulitnya di sana - sini.

“Kamu setelah dewasa jadi tampan sekali Don. Kalau bukan saudara, pasti aku jatuh cinta padamu.”

“Teh Siska juga cantik sekali. Dan aku tidak merasa berdekatan dengan saudara, karena baru sekali ini akju melihat Teteh.”

“Terus kamu merasa sedang berdekatan dengan siapa?”

“Hihihi… gak taju juga. Mungkin merasa sedang berdekatan dengan seorang kekasih. Apalagi barusan kita kan ciuman bibir segala.”

“Begitu ya? Mmm… nanti malam ke rumahku ya. Ini alamatnya,” kata Teh Siska sambil mengeluarkan secarik kertas dari tas kecilnya. Lalu menulis alamat rumahnya.

Setelah menyerahkan kertas bertuliskan alamat rumahnya, Teh Siska berkata, “Kalau mau ke rumahku, jangan sama Donna. Pakai taksi aja.”

“Ya,” sahutku sambil memasukkan kertas itu ke dalam dompetku. “Suami Teh Siska kok gak diajak ke sini?”

“Aku gak punya suami Don. Udah bercerai dua tahun yang lalu.”

“Ohya? Punya anak berapa?”

“Cuma seorang. Tapi dibawa oleh mantan suamiku.”

“Berarti Teteh kesepian dong.”

“Iyaaa… makanya nanti malam ke rumahku ya.”

“Mau disuguhin apa?”

“Apa juga yang kamu mau, disuguhin deh. Kamu mau disuguhin apa?”

Aku menjawabnya dnegan bisikan, “Pengen disuguhin yang di bawah perut Teteh.”

Tadinya kupikir bisikanku akan membuat Teh Siska terkejut. Tapi ternyata tidak. Dia malah meremas tanganku sambil menjawab, “Iya… nanti aku kasih. Sampai kamu puas.”

Mendengar jawaban itu aku jadi sangat bersemangat. Lalu kulingkarkan lenganku di leher Teh Siska. Dan kupagut bibir tipis merekahnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Teh Siska pun menyambutnya dengan lumatan pula. Bahkan ia lebih lahap melumat bibir dan menyedot lidahku…!

Lalu kami tukaran nomor hape. Dan tak lama kemudian Bunda dan Donna sudah pulang lagi.

“Sedan Donna nyaman sekali ditumpanginya. Serasa diam di tempat saking halusnya,” kata Bunda.

Teh Siska pun keluar dari rumah, untuk melihat sedan Donna yang kata Bunda nyaman sekali itu.

“Memang sedan mahal itu sih. Beruntung kamu punya saudara yang baik hati,” kata Teh Skiska sambil menepuk bahu Donna.

Kemudian Teh Siska pamitan pulang.

Malamnya, aku bilang kepada Bunda bahwa ada teman dari Thailand yang sedang berada di kota ini. Dan aku akan menjumpainya di hotel tempat dia menginap.

“Mau nginap?” tanya Bunda.

“Nggak tau, lihat situasinya aja nanti.”

“Kenapa gak minta dianter aja sama Donna?”

“Nggak usahlah. Soalnya kasian Donna kalau kemalaman pulangnya nanti. Apalagi kalau harus menginap.”

Donna pun mendengarkan pembicaraanku dengan Bunda.

Donna bertanya, “Temannya cewek apa cowok?”

Sahutku, “Cowok lah. Aku gak punya teman cewek di Thailand. Takut cewek hasil transgender. Hihihihiii…”

“Beneran gak mau dianter sama aku?” tanya Donna.

“Nggak usah. Kalau melihat kita bawa mobil, nanti temanku bisa seenaknya minta diantar ke sana ke sini.”

“Iya juga ya. Lagian kalau kalian ngobrol, pasti aku cuma cengo. Apalagi kalau pakai bahasa Thai. Bisa mati kutu aku dengarnya.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu