2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 07

Ketika Teh Siska naik ke atas bednya, Teh Nenden masih tengkurap dalam keadaan telanjang bulat. Mungkin Teh Nenden dalam keadaan tepar sehabis orgasme tadi. Sehingga dia tidak melihat bahwa Teh Siska yang montok itu sudah menelanjangi diri kemudian memegang batang kemaluanku tanpa banyak bicara lagi.

Tampaknya Teh Siska sudah benar - benar kangen padaku, karena sejak langkah pertamaku bersamanya tempo hari, baru sekarang aku mengunjungi rumahnya lagi. Kekangenannya itu dicurahkan dengan mengoral penisku yang masih lemas ini. memang tidak perlu lama - lama mengoral penisku yang masih full strong ini.

Hanya beberapa menit Teh Siska mainkan mulutnya, penisku pun mulai ngaceng lagi. “Hmm… kamu memang masih sangat muda. Makanya diemut sebentar juga udah ngaceng lagi,” kata Teh Siska sambil menciumi puncak penisku. Lalu menelentang di samping Teh Nenden yang masih telungkup dan tampaknya ketiduran itu.

Aku merayap ke antara kedua belah paha Teh Siska yang sudah direntangkan lebar - lebar. Lalu kuselundupkan jari tengahku ke dalam liang memeknya. ternyata sudah basah sekali. Mungkin sejak aku menyetubuhi Teh Nenden, diam - diam Teh Siska sudah bermasturbasi di luar kamarnya ini.

Maka tanpa basa - basi lagi kubenamkan penisku ke dalam liang memek Teh Siska, yang disambut dengan pelukan Teh Siska di leherku. “Permainan yang kedua biasanya lebih lama daripada permainan pertama kan?” bisik Teh Siska di dekat telingaku.

“Biasanya begitu,” sahutku.

Lalu Teh Siska berbisik lagi di dekat telingaku, “Nenden sangat membutuhkan spermamu. Jadi nanti kamu boleh ngecrot di memeknya. Yang penting puasi aku dulu seperti yang tempo hari.”

“Iya Teh,” sahutku sambil mulai mengayun penisku yang sudah sepenuhnya berada di dalam “genggaman” liang memek Teh Siska.

Tanpa peduli lagi dengan Teh Nenden yang tampaknya ketiduran itu, Teh Siska mulai merintih - rintih, “Aaaa… aaaaaa… aaaaaah… kontolmu memang luar biasa enaknya Dooon… membuatku jadi ketagihan… aaaa… aaaaaaa… aaaaahhhhh… aaaa… aaaaahhh… entot teruusss Dooon… entottttt…

Begitu bisingnya rintihan Teh Siska, sehingga Teh Nenden terbangun. Lalu duduk bersila di dekat Teh Siska, sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi di antara aku dengan kakaknya.

Sesaat kemudian, ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot Teh Siska, Teh Nenden pun merebahkan diri lagi. Celentang di samping Teh Siska, sambil memegang dan meremas tanganku yang tak jauh dari tangannya.

Mungkin Teh Nenden sudah horny lagi melihat kakaknya sedang menikmati entotanku. Maka sambil mengentot Teh Siska, kusempatkan menjulurkan tanganku ke… memek Teh Nenden…!

Tidak terlalu sulit mencapai kemaluan kakak kandungku yang tinggi badannya luar biasa untuk ukuran wanita itu. Dan tampaknya Teh Nenden sangat enjoy ketika jemariku mulai menyelusup ke dalam liang memeknya, tanpa menghentikan entotanku di liang memek Teh Siska.

“Cupangin lagi leherku Dooon…” bisik Teh Siska pada suatu saat.

Kuikuti saja permintaan Teh Siska itu. Lagian apa susahnya nyupangin leher? Cuma harus menyedot - nyedotnya sekuat mungkin, sampai meninggalkan bekas merah menghitam seperti bekas kerokan.

Sambil nyhupangin leher Teh Siska, aku tetap mengentotnya dengan gencar. Sementara tangan kananku tetap menggerayangi memek Teh Nenden. Hmmm… rasanya aku seoleh sedang berada di surga dunia. Surga yang mengucurkan 1001 kenikmatan.

Teh Siska sudah menyadari kalau tangan kananku sedang menyodok - nyodok liang memek Teh Nenden. Lalu Teh Siska menarik tangan kiriku dan menempelkan di permukaan toket kanannya.

Aku pun mengerti apa yang harus kulakukan. Bahwa aku harus meremas toket kanan Teh Siska sekuat mungkin, karena memang begitu selera seksnya.

Mungkin Teh Siska sudah sangat horny sebelum kusetubuhi ini, sehingga baru belasan menit aku mengentotnya, tiba - tiba dia berkelojotan. Lalu mengejang sambil menahan nafasnya. Dan akhirnya Teh Siska menghempaskan bokongnya sambil merintih lirih, “Aaaaaah… aku sudah lepas Don…”

Entah kenapa, aku justru senang mengetahui Teh Siska sudah orgasme. karena aku kasihan kepada Teh Nenden yang tampak sudah horny lagi itu. Maka kutarik penisku dari liang memek Teh Siska, lalu secepatnya pindah ke atas perut Teh Nenden.

Dengan mudahnya aku membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang vagina Teh Nenden, karena ia sudah orgasme tadi. Sehingga liang memeknya jadi terasa mengembang.

Dan aku bisa langsung beraksi. Mengayun batang kemaluanku yang sudah berada di dalam liang memek Teh Nenden.

Teh Nenden pun mulai merintih - rintih erotis lagi. “Don… Teh Siska benar… kontolmu ini kok luar biasa enaknya gini ya? Ayo Don… setubuhi aku sepuasmu. Mumpung kamu belum pulang ke Bangkok… iyaaaaaaa… iyaaaaaa… entot aku terus Don… entooot teruuuuusss… entooooooottttttt…

Tiba - tiba terdengar suara Teh Siska yang sedang telungkup sambil bertopang dagu di dekat bahu Teh Nenden. “Bener kan? Kontol Donny memang luar biasa enaknya kan?”

“Iiii… iya Teh… enak sekaliiii… oooooooh… belum pernah aku merasakan disetubuhi yang seenak iniiii…” sahut Teh Nenden yang sudah mulai menggoyang - goyangkan pinggulnya. Memutar - mutar… meliuk - liuk… menghempas - hempas… Semua itu ia lakukan dengan lincah sekali. Sehingga terasa benar betapa batang kemaluanku serasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memek Teh Nenden.

Tapi aku tak maju mengalah. Aku bahkan semakin gencar mengentotnya. Sambil mengemut pentil toketnya yang masih fresh itu. Terkadang menjilati lehernya. Telinganya dan bahkan ketiaknya pun tak luput dari jilatan dan gigitan - gigitan kecilku.

Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku mulai bercucuran, bercampur aduk dengan keringat Teh Nenden yang terus - terusan merintih - rintih histeris dan erotis kedengarannya.

“Donny… aaaaaa… aaaaaaah… kontolmu enak sekali Doooon… entot terusssss… entoooot teruuuusssss… entooooot… entoooooootttt… iyaaaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaaa… entooootttttttt… entoooootttt… aaaaa… aaaaah… gak nyangka kontol adikku segede dan seenak iniiii…

Tapi beberapa saat kemudian Teh Nenden sudah klepek - klepek lagi sambil membisiki telingaku, “Aku udah mau lepas lagi Don. Barengin lagi ya. Biar jadi anak.”

Sebenarnya aku masih kuat bertahan. Tapi untuk apa diperlambat kalau memang Teh Nenden membutuhkan secepatnya?

Maka kupercepat entotanku, sambil menciumi bibir Teh Nenden. Makin lama makin cepat dan akhirnya… ketika Teh Nenden mengejang tegang lagi… aku pun menancapkan batang kemaluanku, tanpa kugerakkan lagi.

“Aaaaaaaah… “Teh Nenden melepaskan nafasnya yang barusan tertahan selama 2-3 detik. Bersamaan dengan kedat - kedut liang memeknya secara spontan. Disusul oleh tembakan - tembakan sperma dari moncong penisku. Crooootttt… crotttttt… crot… croooottttt… crot… crooootttt …

“Terima kasih ya Don. Mudah - mudahan spermamu berhasil membuahi telurku,” kata Teh Nenden sambil mengecup bibirku.

Beberapa saat kemudian aku sudah meninggalkan rumah Teh Nenden. Meninggalkan kedua kakak kandungku itu.

Sebenarnya mereka menahanku, agar aku jangan pulang dulu. Tapi aku menolak keinginan mereka, karena di rumah Bunda sedang sibuk bongkar - bongkar. Tak enak rasanya meninggalkan Bunda dan Donna yang sedang sibuk begitu.

Rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu sudah selesai dipugar. Hanya membutuhkan lima hari untuk memugarnya, karena pemborong yang dipanggil Pak Husen itu membawa anak buahnya cukup banyak.

Rumah itu terdiri dari 3 kamar yang masing - masing ada kamar mandinya. Sudah menggunakan shower dan water heater pula. Takkan mandi pakai gayung plastik lagi. Shower dan water heater itu aku yang membelikannya. Furniture dan perabotan lainnya sudah lengkap semua. Aku juga yang membelikan semuanya itu, dari toko furniturew dan toko alat - alat electric yang kata Donna paling elit di kota ini.

Jadi, Bunda tak usah mencuci pakai tangan lagi, karena sudah disediakan mesin cuci olehku. Setiap kamar pun kupasangi AC, supaya sejuk dan selalu bersih udaranya. Dapurnya pun sudah ditata sedemikian rupa, sehingga mirip kitchen di rumah orang - orang berada. Kitchen itu kusatukan dengan ruang makan, supaya mudah menyajikan makanan yang baru dimasak.

Di ruang tamu, ruang keluarga dan di setiap kamar sudah dipasangi sofa putih semua, masing - masing 1 set. Di setiap kamar dipasangi TV LED kecil.. Sementara di ruang keluarga dipasangi TV LED layar lebar.

Banyak lagi yang telah kusediakan di rumah ini. Pokoknya sekarang rumah ini jauh lebih keren daripada rumah Teh Siska.

Di belakang rumah ini ada tanah kosong, hanya ditumbuhi rumput gajah. Kelak, kalau Bunda dan Donna kerasan tinggal di rumah ini, akan kubuat kolam renang di halaman belakang itu. Tapi itu nanti saja, kalau pembangunan di tanah kosong seluas 5000 meter persegi itu selesai.

Atas usul Bunda dan Donna, bangunan yang baru akan dimulai membangunnya itu, akan digunakan untuk membuka usaha kuliner. Kelak namanya entah café, resto atau apa pun terserah mereka. Yang jelas bangunan itu harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya kelak.

Yang sangat menyenangkan hatiku, adalah bahwa Bunda benar - benar menghentikan kebiasaan minum minuman kerasnya. Semoga hal itu membuatnya lebih sehat dan segar kelak.

Aku mau berbuat apa saja asalkan Bunda tidak minum minuman beralkohol lagi.

Rumah lama Bunda sebenarnya hanya terhalang oleh tanah kosong yang luasnya 5000 meter persegi itu. Seandainya tidak ada tanah kosong yang sudah mulai diratakan dan dipadatkan itu, maka rumah Bunda akan berdampingan dengan rumah yang sudah kubeli dari Pak Wondo itu.

Tanah itu sangat bagus bentuknya. Ukurannya 60 X 83.50 meter. Kebetulan yang 83,50 meter itu mukanya (yang menghadap ke jalan). Jadi bisa menyediakan lahan parkir yang lumayan nantinya.

Sepulangnya dari rumah Teh Siska, aku menuju tanah kosong yang sudah diratakan dan dibuat lubang - lubang untuk tiang - tiang beton nantinya. Sebenarnya Pak Husen menawarkan untuk membangun dengan konstruksi baja. Tapi aku menolaknya. Karena bangunan dengan konstruksi baja, menghilangkan unsur keindahannya.

“Selamat sore Boss,” ucap Pak Husen sambil menghampiriku yang baru muncul di tanah yang akan dibangun itu.

“Sore,” sahutku sambil mengangguk dan tersenyum, “Kebetulan Pak Husen datang nih. Anu Pak… bagaimana kalau bangunan kolam renang di belakang rumah yang baru direnovasi itu dibangun mulai besok?”

“Bisa,” sahut Pak Husen.

“Tapi mengganggu pembangunan di sini gak?”

“Nggak Boss. Yang bikin kolam renang kan harus ahlinya. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan pembangunan di sini.”

“Pembangunan kolam renang harus oleh ahlinya?”

“Iya. Kolam renang kan harus ada bagian untuk menyaring airnya, agar jangan sampai keruh. Pemasukan dan pembuangan airnya juga harus lancar, supaya air di kolam renangnya tetap bening, meski pun tersinari matahari terus.”

“Oh iya… air yang disinari matahari bisa cepat tumbuh lumut ya.”

“Iya Boss.”

“Ya udah kalau gitu, besok mulai aja bangun kolam renangnya. Gambar designnya sudah saya kasih kan?”

“Sudah Boss.”

Tiba - tiba handphoneku berdering. Kuambil dari saku celaqna jeansku. Haaa?! Dari Mr. Liauw, notaris kepercayaan Papa itu? Ada apa ya?

“Selamat sore Oom Liauw.”

“Sore juga. Dengan Boss Donny sendiri ya?”

“Betul Oom. Ada yang bisa dibantu?”

“Begini Boss… kapan mau pulang ke Bangkok?”

“Masih lama Oom. Sekitar tiga mingguan lagi. Emangnya kenapa?”

“Apa nggak bisa pulang dulu barang sehari, lalu balik lagi ke Indonesia?”

“Ada yang sangat penting?”

“Betul. Ini menyangkut asset peninggalan Pak Margono almarhum.”

“Oke, kalau begitu besok saya terbang ke Bangkok.”

“Terima kasih Boss. Hati saya tenang kalau Boss mau pulang dulu besok sih.”

Setelah hubungan seluler dengan Mr. Liauw ditutup, aku tercenung sendiri. Ada apa ya? Kenapa aku harus buru - buru pulang dulu ke Bangkok?

Mr. Liauw memang notaris sekaligus orang kepercayaan Papa almarhum. Karena Mr. Liauw itu lahir dan besar di Indonesia. Selain daripada itu, Mr. Liauw itu sangat jujur, kata almarhum Papa. Karena itu banyak rahasia perusahaan dan pribadi Papa yang dipegang oleh Mr. Liauw.

Keesokan paginya aku sudah melayang di angkasa, di dalam pesawat yang akan membawaku ke Bangkok.

sdetibanya di rumah megah peninggalan almarhum Papa ini, Tante Reni menyambutku dengan riang sekali. Tanpa ragu lagi dia masuk ke dalam kamarku dan langsung menghambur ke dalam pelukanku.

“Apa kabar Tante?” tanyaku setelah mencium bibir tante Reni berulang - ulang.

“Hanya kangen dan kangen yang ada di dalam hatiku Den… eeeh… Don.”

“Bagaimana perasaan Tante setelah mendapat penjelasan dari Bunda bahwa aku ini benar - benar keponakan Tante?”

“Ya bikin gede hatiku, Sayang.”

“Aku juga senang sekali setelah mengetahui bahwa Mbak Reni ini sebenarnya Tante Reni. Karena Tante Reni ini adik bungsu Bunda.”

“Iya. Rasanya derajatku jadi naik… tapi bagaimana dengan hubungan kita nanti ya?”

“Tetap harus berlanjut. Tapi harus dirahasiakan kepada keluarga kita.”

“Iya.”

“Tapi… sebentar lagi akan ada notaris datang. Bisa disiapkan minuman dan snack untuk menyuguhinya?”

“Bisa bossku… keponakanku… sayangku… cintaku…!” sahut Tante Reni sambil menciumi kedua belah pipiku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu