2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 18

Dua hari kemudian… jam delapan pagi aku sudah berada di kantorku. Kantor peninggalan Papa, yang pernah dijadikan kantor pusat perusahaannya dahulu, tapi kemudian Papa dan Mama hengkang ke Bangkok dan justru sukses besar di sana.

Sebelum kupakai, bangunan ini kurang terawat. Tapi setelah aku tempati untuk perusahaanku sendiri, bangunan ini kurenovasi sekujurnya sampai kelihatan seolah bangunan baru.

Bahkan di belakang kantorku masih ada lahan yang cukup luas. Di tanah kosong itulah kubangun gedung yang cuma 3 lantai. Di situ pulalah ruang kerjaku, di lantai pertama. Kalau dibandingkan dengan bangunan kantor lama, bangunan baru ini cuma bangunan kecil. Mungkin lebih mirip bangunan rumah biasa. Tapi bangunan ini dijaga ketat oleh bagian security, karena aku sebagai orang nomor satu di perusahaan.

Lantai kedua lebih tepat disebut sebagai rumah tinggalku juga. Karena di lantai dua ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga dan satu ruang makan bersatu dengan kitchen.

Lantai tiga hanya merupakan satu ruangan luas, yang kujadikan sebagai meeting room. Untuk mencapai meeting room itu ada tangga dari luar, supaya peserta meeting tidak usah melewati ruang kerja dan rfuang pribadiku di lantai dua.

Di lantai tiga itulah aku akan membiasakan diri untuk melaksanakan briefing kepada para manager dan stafnya. Tapi sejauh ini aku belum pernah mengadakan briefing. Karena manager - managernya pun belum lengkap. Bahkan direktur utamanya pun belum ada. Karena sebagai owner aku tidak boleh menjadi dirut.

Pernah aku berpikir untuk merekrut Donna sebagai dirut perusahaanku. Tapi Donna sudah kelihatan enjoy mengurus café bersama Bunda. Lagian Donna terlalu muda untuk kujadikan dirut. Aku harus mencari sosok yang berusia 37 tahun ke atas untuk kujadikan dirut. Tentu saja harus sudah S2, minimal (padahal aku sendiri S1 saja belum).

Ketika aku sedang menerawang di ruang kerjaku, tiba - tiba interphone berdering, lalu terdengar suara petugas security, “Maaf Big Boss… ada tamu wanita, katanya dari Bangkok.”

“Antarkan aja ke ruang kerjaku,” sahutku dengan perasaan kaget dan bingung. Wanita dari Bangkok? Siapa? Apakah Teh Sheila? Mungkinkah dia datang tanpa memberitahu dulu padaku?

Tak lama kemudian petugas security mengantarkan seorang wanita tinggi montok, mengenakan gaun span berwarna biru ultramarine.

Maaaak… itu ibunya Gayatri yang katanya sih bernama Agatha…!

“Heheheee… Tante… kirain siapa. Dari mana Tante tau alamat kantorku ini?”

“Dari Gayatri,” sahut wanita empatpuluh tahunan yang masih tampak cantik itu.

Lalu aku mencium tangannya, disusul dengan cipika - cipiki sengan calon ibu mertuaku itu. “Sama Oom?” tanyaku.

“Nggak. Dia sudah pulang ke Bangkok tadi subuh.”

“Ohya? Kok buru - buru amat? Terus Tante sendirian aja ke sini?”

“Iya. Gayatri kan lagi kuliah. Sin lagi belanja pula. Makanya ke sini aja sendiri pake taksi.”

“Silakan duduk Tante,” kataku sambil melangkah duluan ke ruang tamu.

“Tante ada yang mau diomongin sama Donny. Tapi sifatnya sangat rahasia. Apakah bisa ngobrolnya di tempat yang tidak sibuk dengan urusan kantor?” tanya Tante Agatha sambil melirik ke arah sekretarisku yang sedang mengetik di keyboard komputer.

“Mmm… di lantai dua bisa Tante. Di situ suasananya sama aja dengan di rumah. Ayo kita ke sana.”

“Gak akan ada orang lain yang masuk ke sana?” tanyanya.

“Owh… gak akan ada yang berani Tante. Di lantai dua kan seolah rumah juga bagiku. Mari kita ke sana,” kataku sambil menunjuk ke tangga yang menuju lantai dua, “Tapi maaf nih… di sini tidak seperti di kantor yang di depan yang sudah ada lift. Di sini sih harus pakai langkah kaki Tante.”

“Nggak apa - apa. Punya kaki kan harus dipakai melangkah. Jangan terlalu dimanjakan,” sahutnya sambil melangkah duluan di depanku, menaiki tangga menuju ke lantai dua, lantai yang ditata seperti berada di dalam rumah.

Begitu masuk ke lantai dua, ibunya Agatha berseru sambil memegangi sepasang pipinya, “Wooow…! Ini sih lebih megah dan nyaman dari suiteroom di hotel - hotel five star. Kacanya pakai sunblast pula ya?”

“Iya Tante. Dari luar hanya bisa melihat gambar yang menempel di kaca itu. Tapi tidak bisa melihat ke dalam. Sedangkan kita bisa melihat ke luar dengan jelas,” sahutku.

“Nah,” kataku lagi, Mau di mana ngobrolnya? Di sini aman dan nyaman Tante. Tidak mungkin ada orang bisa masuk ke sini, karena pintu keluar sudah tgerkunci secara automatis. APa harus di dalam kamar curhatnya?”

“Haa?! Iya… mendingan juga di dalam kamar Don. Biar tante merasa tenang membiacarakan masalahnya,” sahut Tante Agatha yang tadinya mau duduk di ruang keluarga, tapi tidak jadi. Dan menghampiriku yang sedang membuka pintu kamar utama.

“Wah… wah wah… kamarnya luas begini, perabotannya serba mewah pula. Kalau tau gitu, kemaren nginap di sini aja,” kata Tante Agatha setelah berada di dalam kamar utama.

Di kamar utama itu juga ada satu set sofa putih bersih. Dan di sofa itulah kupersilakan calon mertuaku duduk. Kalau sudah jadi menantunya, pasti aku akan memanggilnya Mama seperti panggilan Gayatri kepada ibunya ini. Tapi aku tetap memanggilnya Tante karena belum resmi menjadi menantunya. Bahkan melamar secara resmi pun belum dilaksanakan.

Aku duluan duduk di sofa, Tante Agatha pun duduk di sampingku.

“Apa masalahnya Tante? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyaku.

“Begini,” kata Tante Agatha sambil menunduk, “Sebenarnya ayah Gayatri itu sedang menemui kesulitan dalam masalah keuangan. Sehingga kalau tidak ada yang menolong, perusahaannya bakal bangkrut.”

Kemudian secara panjang lebar Tante Agatha menceritakan kesulitan - kesulitan yang tengah dihadapi oleh suaminya. Kesimpulannya, ayah Gayatri ditipu di Bangkok, sehingga harus menanggung kerugian moral mau pun material.

Aku ikut prihatin mendengar penuturan mamanya Gayatri itu.

Penuturan Tante Agatha berakhir dengan permintaan bantuannya padaku. Mau pinjam uang, untuk mengatasi kebangkrutan perusahaan suaminya.

Setelah berpikir beberapa saat, aku bertanya, “Berapa uang yang dibutuhkan untuk menolong Oom Gunadi agar perusahaannya sehat kembali?”

Tante Agatha menyebutkan jumlah uang yang dibutuhkannya dengan sikap malu - malu.

Mungkin jumlah uang yang dibutuhkan itu cukup bvesar bagi Tante Agatha dan suaminya. Tapi menurutku tidak seberapa.

Aku lalu bangkit dari sofa menuju meja tulis di sudut kamarku. Lalu kukeluarkan buku cek dan kutulisi empat helai cek yang kalau dijumlahkan nominalnya lebih besar daripada nominal yang disebutkan oleh Tante Agatha barusan.

Tante Agatha pun berdiri, tapi tidak menjauhi sofa yang tadi didudukinya, dengan sikap tampak tegang.

Lalu kuserahkan keempat helai cek itu kepada Tante Agatha sambil berkata, “Ini empat helai cek yang bisa Tante cairkan di Bangkok nanti. Sengaja tanggalnya belum ditulis, silakan tulis oleh Tante saja di Bangkok nanti. Sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak.”

Aku pun menyerahkan sebuah amplop untuk menyimpan keempat lembar cek itu nanti.

Tante Agatha membaca keempat lembar cek itu selembar demi selembar. Dia melotot. Dan memasukkan keempat helai cek itu ke dalam amplop yang kukasih. Meletakkan amplop itu di dalam tas kecilnya, lalu memburu dan memelukku, “Terima kasih Dooon… terima kasiiiih…” ucapan itu disusul dengan ciumannya yang bertubi - tubi di sepasang pipiku, bahkan terakhir dia mencium bibirku sambil memelukku erat - erat.

Tentu saja aku kaget dan jadi salah tingkah, karena Tante Agatha mencium bibirku sedemikian lengketnya, sehingga tanpa kusengaja aku pun memegang bokongnya yang gede dan terasa belum lembek itu.

Tak cuma itu. Karena Tante Agatha belum melepaskan ciumannya, bahkan melumat bibirku dengan hangatnya, aku pun mulai memberanikan diri meremas pantat gedenya yang masih padat kencang itu…!

Tiba - tiba Tante Agatha melepaskan ciumannya, disusul dengan sesuatu yang membuatku terbelalak. Bahwa ibunya Gayatri yang lebih cantik dan lebih seksi daripada Tante Sin itu, melepaskan gaun biru ultramarine-nya…!

Aku cuma bisa terlongong, seperti orang begok. Menyaksikan Tante Agatha yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam

Di rumah Tante Sin kemaren, aku tidak berani menatap muka Oom Gunadi mau pun istrinya. Aku hanya berani bicara sambil menundukkan kepala, karena ingin terkesan bahwa aku ini punya sopan santun manakala berhadapan dengan orang yang lebih tua. Karena itu sedikit pun aku tak punya penilaian terhadap mamanya Gayatri ini.

Tapi kini, suasana serba memungkinkan. Aku mulai berani memperhatikan wanita 40 tahunan itu. Dan aku tahu bahwa usia 40 tahun itu tidak bisa disebut tua. Bahkan sedang - sedangnya memancarkan pesona yang seolah mengandung daya magnetis.

Tante Agatha itu tak kalah cantik daripada Gayatri. Bahkan kalau dibandingkan dengan Tante Sin, mamanya Gayatri ini menang cantik dan menang seksinya…!

Ya… Tante Agatha lebih cantik daripada Tante Sin.

Dan kini wanita setengah baya yang demikian cantik dan seksinya itu sedang berdiri di depanku, dengan hanya mengenakan behas dan celana dalam saja. Apakah aku benar - benar tidak sedang bermimpi?

Ketika aku masih berdiri bingung, Tante Agatha malah memelukku lagi. Mendaratkan ciuman lengketnya lagi. Sehingga lagi - lagi kedua tanganku seolah reflex memegang kedua buah pantat gedenya…!

“Tante memang sudah horny sejak masih berada di rumah Sin tadi. Makanya tante minta diajak ke tempat yang tidak bisa hadir orang lain, ya karenma tante ingin menikmati semuanya bersamamu Sayang,” ucap Tante Agatha setengah berbisik. Sambil membuka kancing jasku. Kemudian melepaskan jas itu dan melemparkannya ke atas sofa.

“Tante… apakah hubunganku dengan Gayatri takkan rusak nanti?” tanyaku pada saat batinku limbung. Masalahnya… aku memang pengagum wanita setengah baya. Apalagi wanita setengah bayanya secantik dan seseksi mamanya Gayatri ini.

“Donny harus merahasiakannya dong sama Gayatri. Bisa kan merahasiakannya?”

“Mmm… bisa Tante… mmmm… aku merasa seperti sedang bermimpi Tante.”

Tante Agatha malah mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Dan berkata, “Donny bukan cuma tampan, tapi punya daya pesona yang luar biasa. Maka pantaslah kalau Gayatri kasmaran padamu. Jangankan Gayatri, tante aja yang punya suami langsung kepincut begitu melihat Donny kemarin.”

Tante Agatha mengakhiri kata - katanya dengan membelakangiku. Lalu berkata, “Tolong buka kancing beha tante Don.”

Kuikuti permintaan calon mertuaku, untuk melepaskan kancing kait behanya di bagian punggungnya. Tapi begitu kancing beha itu terlepas, tangan kananku ditarik ke depan ditempelkan ke perutnya yang terasa padat kencang. Sedangkan tangen kiriku ditarik ke arah payudaranya, yang behanya sudah terlepas yang sebelah kiri.

Hmmm. aku tahu apa maksud mamanya Gayatri ini. Bahwa aku yang sedang menghadap ke punggungnya, harus menyelinapkan tanganku ke balik lingkaran elastis celana dalamnya. Kepalangan gila, kupegang toket kirinya dengan tangan kkiriku, sementara tangan kananku diselundupkan ke balik celana dalam Tante Agatha…

“Bagaimana? Tetek tante masih padat kencang kan?” tanya Tante Agatha tanpa menoleh ke arahku.

“Iiii… iya Tante. Dan… vagina Tante ini… ooooh… tembem sekali…”

“Kayak bapauw kan? Hihihihiiii…”

“Iya Tante… ihihiii…”

“Memek ini untuk calon mantu tante yang tampan rupawan dan baik hati.”

“Iii… iya Tante. Mudah - mudahan saja takkan merusak hubunganku dengan Gayatri nanti.”

“Nggak lah. Asal pandai - pandai aja kita merahasiakannya. Buka dong celananya. Tante juga tinggal pake celana dalam yang isinya lagi Donny pegang nih.”

“Iya Tante,” sahutku sambil menarik kedua tanganku dari toket dan memek calon mertuaku.

Kemudian kulepaskan celana panjangku dan kulemparkan ke atas jas dan dasiku yang bertumpuk di atas sofa. Gaun dan beha Tante Agatha pun bertumpuk di situ.

Dengan cepat otakku berputar. Mau nunggu apa lagi? Bukankah aku ini pengagum dan penggemar wanita setengah baya? Bukankah sekarang ada sasaran meski dia itu calon mertuaku?

Wajahnya cantik sekali. Tubuh putihnya pun begitu terawat, tidak kelihatan seperti yang sudah berusia 40 tahun. Dan sekali lagi, usia 40 tahun itu belum tua. Bagiku, usia di atas 50 tahun barulah bisa disebut tua.

Maka ketika sudah sama - sama tinggal mengenakan celana dalam, kugandeng pinggang mamanya Gayatri itu untuk melangkah ke arah bed. Dengan tekad, tak mau jadi lelaki pasif lagi, karena pada dasarnya aku tak pernah pasif terhadap wanita setengah baya. Apalagi yang bernilai di atas 85 seperti Tante Agatha itu…

Maka setelah berada di atas bed, kuterkam dan kugumuli wanita cantik nan penuh pesona itu. Ia pun menyambut dengan gumulan hangat. Membuatku terkadang berada di atas, di saat lain berada di bawah.

Genderang birahi sudah ditabuh. Terompet asmara pun sudah ditiup. Sampai pada suatu saat, celana dalamku ditarik olehnya. Disusul dengan pekik perlahannya, “Doooon…! Kontolmu ini… luar biasa gagahnya…!”

Lalu ia menyerangku dengan ciuman dan jilatan di leher dan puncak penisku. Membuatku terpejam - pejam dalam nikmat. Terlebih setelah ia mengulum dan menggelutkan lidah di dalam mulutnya, penisku yhang sudah ngaceng ini jadi semakin tak sabaran lagi rasanya. Tapi kubiarkan dia berbuat sekehendak hatinya.

Namun setelah puas menyelomot dan menurut - urut batang kemaluanku, dia langsung celentang sambil melepaskan celana dalamnya. “Punya tante sih jangan dijilatin ya. Soalnya punya tante sudah basah. Kalau terlalu becek, gak bisa menikmati gesekan penismu yang panjang gede itu.”

“Langsung masukin aja Tante?” tanyaku sambil mengusap - usap memek Tante Agatha yang bersih plontos itu.

“Iya Sayang… masukkanlah… tante udah horny berat nih…” sahutnya sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya.

Maka tanpa buang - buang waktu lagi, kuletakkan moncong penisku di ambang mulut memek Tante Agatha yang sudah ternganga kemerahan itu. Lalu kudesakkan batang kemaluanku sekuat mungkin. Dan… melesak masuk sedikit demi sedikit.

Pada saat itulah Tante Agatha menarik sepasang bahuku, sehingga dadaku terhempas ke atas sepasang toketnya yang berukuran agak montok (tapi tidak segede toket Umi Faizah dan Tante Neni). “Oooooooh… masuk Doooon… “cetus Tante Agatha dengan mata terpejam.

Setelah penisku membenam lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Agatha.

Tante Agatha menyambut entotanku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, disusul dengan ciuman dan lumatannya yang membuatku semakin bersemangat untuk menggencarkan entotanku.

Tapi ketika ayunan penisku bergerak cepat, Tante Agatha menepuk - nepuk pipiku sambil berkata terengah, “Pelan aja dulu Sayang. Tante ingin menghayati gesekan penismu dengan liang vaginaku… naaaaah… segitu aja… kalau perlahan - lahan terasa semakin indah…”

Kuturuti saja permintaan calon mertuaku itu. Mungkin dia senang dengan hal - hal yang beraroma romantis. Kuatur gerakan penisku sampai kecepatan normal, tidak terlalu cepat tidak pula terlalu lambat. Sementara mulutku mulai beraksi, untuk mencelucupi puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku meremas - remas payudara kanannya.

Pinggul Tante Agatha pun mulai bergoyang seperti gelombang ombak di laut yang sedang berkejaran menuju pantai. Membuat kemaluannya terkadang menengadah, terkadang menunduk… mendongak lagi… menukik lagi. Ini adalah goyangan yang efektif. Karena clitorisnya jadi sering bergesekan dengan badan penisku.

Desahan dan rintihan Tante Agatha pun mulai berlontaran dari mjulutnya, “Aaaaaaa… aaaaaah… Doooon… sebenarnya tante… sudah… sudah lama sekali tidak digauli oleh papanya Gayatri… hampir lima tahun batin tante menderita… dan sekarang… tante mendapatgkannya dari calon mantu yang baik hati ini…

“Me… memangnya Oom im… impoten?” tanyaku terengah - engah.

“Iya Don… sudah hampir lima tahun penisnya tak bisa ereksi lagi… sejak dia menderita diabetes… aaaaah… entot terus Dooon… sekarang boleh dicepetin Sayaaaang…”

Aku tak mau membahas masalah Oom Gunadi itu lebih jauh. Dan sesuai dengan permintaan Tante Agatha, aku pun mulai menggencarkan entotanku. Sambil menjilati leher jenjangnya yang sudah mulai keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.

“Aaaaaaaa… aaaaah… Doooon… kontolmu enak sekali Doooon… entot terus Dooon… entooot teruuuussssssss… iyaaaaa… iyaaaaa… entooooottttt… enntooottttttt… entooooooootttt… iyaaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… “rintih Tante Agatha yang tampak semakin menikmati aksiku.

Ketika lengannya terpentang seperti disalib, aku pun menyerudukkan mulutku ke ketiaknya. Lalu menjilati ketiak harum deodorant mahalnya.

Makin klepek - klepek juga Tante Agatha dibuatnya.

“Oooo… ooooo… oooooh Dooonny… kamu sudah pandai menyentuh setiap lekuk peka Dooon… belajar dari mana?”

“Dari buku Tante… ooooohhhh… memek Tante luar biasa enaknya Tanteeee…” sahutku mulai ngawur juga seperti dia.

Kini gencarnya entotanku disambut dengan goyangan pinggul Tante Agatha yang mulai menggila. Tak cuma seperti ombak bergulung menuju pantai, tapi memutar - mutar dan meliuk liuk. Sehingga penisku diombang - ambingkan sesuai dengan gerakan pinggul Tante Agatha. terkadang tertarik ke kanan, terkadang tertarik ka kanan, ke atas dan ke bawah.

Sementara keringat mulai membasahi tubuh kami. Tapi kami tak mempedulikan hal kecil itu. Aku semakin gencar mengentotnya, sementara goyangan pinggul Tante Agatha pun semakin menggila.

Sampai pada suatu saat, terdengar suara Tante Agatha terengah, “Dooon… tante mau lepas Dooon… barengin Dooon… biar nikmaaaat…”

“Lepasin… di dalam?” tanyaku terengah pula.

“Iyaaaaaa…” sahutnya dengan goyangan pinggulnya yang semakin menggila.

Sebenarnya aku masih bisa bertahan. Tapi aku ingin menciptakan kepuasan bagi calon mertuaku.

Maka kupercepat entotanku. Makin cepat. Makin cepat. Sementara Tante Agatha mulai berkelojotan. Lalu mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas, dengan nafas yang tertahan. Pada saat itu pula kutancapkan penisku di dalam liang memek Tante Agatha. Tanpa digerakkan lagi.

Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dengan kuatnya. Disusul dengan berkedut - kedutnya liang memek wanita setengah baya itu, dibalas dengan mengejut - ngejutnya batang kemaluanku… sementara moncongnya menembak - nembakkan lendir kenikmatanku. Croooottttt…

Tapi ada hal kecil yang terjadi. Bahwa ketika moncong penisku mau memuntahkan air mani, aku mendadak seperti kaget sendiri, karena aku menyadari siapa yang sedang kusetubuhi ini. Maka kutarik penkisku, sehingga “tembakan”nya di mulut vagina Tante Agatha. Maka melelehlah air maniku ke luar. Mengalir dari mulut vagina Tante Agatha.

“Hihihiiii… kamu ngasih creampie sama tante Don?!” ucap Tante Agatha sambil mencubit lenganku.

“Nggak sengaja, Tante. Maaf…” sahutku tersipu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu