2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 06

Tidak terlalu berlebihan kalau aku mengatakan bahwa Bunda seolah bidadari yang diturunkan dari langit, untuk mengucurkan kenikmatan bagiku. Bidadari yang harus kuperlakukan secara halus dan lemah lembut.

Itulah sebabnya aku pun sengaja melambatkan ayunan penisku di dalam jepitan liang kemaluan Bunda yang luar biasa enaknya ini. Terlebih setelah mendengar bisikannya, bahwa ia ingin menghayati gerakan demi gerakan batang kemaluanku dan ingin meresapi nikmatnya gesekan penisku dengan liang sanggamanya.

Setelah gerakan maju mundurnya penisku dilambatkan, Bunda kelihatan sangat menikmatinya. Terlebih setelah mulutku beraksi untuk menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil… Bunda mulai merintih - rintih histeris, “Dooon… oooooh… terima kasih Dooon… bunda seperti dilahirkan kembali untuk menikmati keindahan ini…

Dan ketika kedua lengan Bunda terjulur ke atas, aku pun menjilati ketiaknya yang harum parfum oleh - olehku dari Bangkok. Dengan lahap aku menjilati ketiak Bunda yang sebelah kanan mau pun yang sebelah kiri. Dan Bunda semakin menggeliat - geliat. Mungkin karena merasakan geli - geli enak dari dua arah.

Aku pun mulai tahu bahwa Bunda lebih menyukai posisi missionary atau MOT (man on top) daripada posisi lainnya. Karena posisi MOT ini bisa saling peluk. bisa saling cum dan sebagainya. Perutnya pun bisa bertempelan dengan perutku, demikian juga toketnya bisa bertempelan dengan dadaku. Sementara aku pun bisa mengentotnya sambil ngemut pentil toketnya, sambil menjilati leher dan ketiaknya, bisa pula menjilati telinganya.

Dan ketika aku sudah lama mengentot liang memek Bunda yang terasa legit menjepit, Bunda pun mulai merintih - rintih histeris sebagai indikator dari kenikmatan yang tengah dirasakannya.

“Dooon… kamu seolah titisan ayahmu… yang datang pas bunda membutuhkannya… kamu tak cuma mendatangkan kepuasan, tapi juga kebahagiaan Dooon… ooooh… setiap gesekan kontolmu dengan memek bunda ini… ooooh… nikmat sekali sayang… nikmat yang mengalir dari ujung kaki sampai ubun - ubun di kepala bunda…

Rintihan Bunda itu diiringi oleh dengus - dengus nafasku di atas wajah cantiknya yang mulai keringatan. Diiringi cintaku sebagai anak kandungnya sekaligus lelaki yang mencintainya… dengan segenap jiwa ragaku…!

Bunda pun seperti ingin menciptakan hal - hal yang membuatku nikmat. Tak sekadar menggoyang - goyangkan pinggulnya, yang membuat penisku serasa dibesot - besot dan dipilin - pilin oleh dinding liang memek legitnya. Tapi juga melakukan hal seperti yang kulakukan padanya. Menjilati leherku yang sudah keringatan, menjilati ketiakku yang bebulu lebat dan melumat bibirku dengan hangatnya.

Tubuh kami pun mulai bermandikan keringat, sebagai indikator hubungan sex yang sempurna. Karena orang bilang, hubungan sex tanpa keringat, perlu dipertanyakan di mana letak kesalahan dan kekurangannya.

Sampai akhirnya Bunda berbisik terengah, “Donny… bunda udah hampir lepas… barengin yuk lepasinnya… biar lebih nikmat dan mengesankan… ooooh… Dooon… !”

Mama almarhumah telah banyak melatihku tentang bagaimana cara untuk memuaskan wanita menjelang orgasmenya. Maka aku pun mempercepat entotanku. Maju mundur maju mundur maju mundur maju mundur maju mundur… sampai akhirnya kutancapkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Bunda…

tanpa digerakkan lagi. Padsa saat itulah kurasakan sesuatu yang luar biasa nikmatnya. Bahwa liang memek bunda seolah meremas - remas penisku, dibarengi dengan kedutan - kedutan erotisnya. Ditingkah dengan kejutan - kejutan batang kemaluanku yang tengah memuntahkan air maniku… crottt… croooottttt …

Tubuhku mengejut - ngejut di atas perut Bunda yang tengah mengejang… lalu kami saling rfemas… saling lumat di puncak kenikmatan yang sedang kami alami ini… ooo… indahnya surga dunia ini…!

Lalu kami sama - sama terkulai lemas. Dengan mata sama - sama terpejam, seolah sama -sama menghayati nikmat dan kepuasan yang baru saja kami alami.

Kemudian kami tertidur sekitar dua jam, sambil berpelukan dalam keadaan sama - sama telanjang.

Aku terbangunkan oleh dering handphoneku, yang ternyata call dari Donna. Lalu :

“Hallo Donna… ada apa?”

“Lagi di mana Don?”

“Lagi ngurus transaksi tanah dan rumah Pak Wondo itu.”

“Ohya?! Rumahnya dibeli juga?”

“Iya. Pak Wondo mau pindah ke kampung halamannya sendiri. Dalam seminggu pun rumahnya bisa kita tempati.”

“Wooow… rumahnya bagus tuh.”

“Iya, tapi harus diberesin dan dicat dulu, supaya kelihatan seperti rumah baru.”

“Aku sudah resign dari toko itu Don. Pemborong yang kamu inginkan juga bakal datang besok pagi, sekalian dengan arsiteknya.”

“Bagus itu. Jadi nanti selama tanah kosong itu sedang dibangun, kamu harus jadi pengawasnya.”

“Siap Boss. Eeeeh… ada tamu Don. Udah dulu ya.”

“Iya.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku turun dari bed. Untuk mandi dan keramas sebersih mungkin. Bunda malah sudah duluan mandi dan mengenakan gaunnya kembali.

Ketika kami pulang, tampak seorang wanita setengah baya sedang duduk di ruang depan, ditemani oleh Donna yang sudah datang duluan.

“Siapa itu Bun? Teh Nenden?” tanyaku kepada Bunda yang melangkah di depanku.

“Iiih… bukan…! Itu sih adik bunda, namanya Ratih. Ayo salaman sama tantemu itu Don.”

Aku mengangguk, lalu mencium tangan wanita yang kata Bunda bernama Ratih itu.

“Jadi Donny sudah sebesar dan setampan ini Teh?” tanya wanita setengah baya itu sambil menoleh kepada Bunda. Sementara kedua tanganku masih dipegang oleh wanita bernama ratih dan kata Bunda adalah adiknya itu.

“Iya… baru tiga hari dia ada di sini,” sahut Bunda

Lalu wanita cantik itu menatapku dengan tatapan bersorot terharu. Dan ia memelukku. Menciumi pipi kanan dan pipi kiriku. Donny… Donny… Kamu sangat mirip ayahmu Don,” ucapnya dengan mata berlinang - linang air mata, “aku jadi ingat pada waktu dibawa ke Bangkok, kamu masih bayi, masih menyusu kepada bundamu.

“Duapuluh tahun, Tante. Sudah dewasa kan?”

“Iya. Aku bersukur masih punya umur buat lihat kamu lagi, Don.”

“Iya Tante. Aku juga senang bisa bertemu dengan keluarga dekat begini.”

Setelah sama - sama duduk bersama Tante Ratih, Bunda dan Donna, aku bertanya kepada Bunda, “Bun… sebenarnya saudara kandung Bunda itu berapa orang?”

Banyak Don,” sahut Bunda, “kakak bunda ada dua, laki - laki semua. Namanya Jaka dan Sambas. Tapi mereka jauh - jauh. Kang Jaka di Kalimantan, Kang Sambas di Papua. Kemudian adik bunda perempuan semua. Ratih ini, lalu Dina… Santi dan Reni yang di Bangkok itu.”

“Owh banyak juga saudara kandung Bunda ya?”

“Saudara kandung ayahmu juga banyak, tapi tidak sebanyak saudara kandung Bunda,” kata Bunda, “Ayahmu itu anak sulung. Punya adik laki - laki seorang, Zulkifli namanya. Kemudian adik perempuannya tiga orang, namanya Neni, Tita dan Yani.”

“Jadi Bunda punya enam orang saudara dan Ayah… mmm… punya empat saudara ya.”

“Iya, bunda tujuh bersaudara, kalau ayah lima bersaudara.”

“Saudara Bunda jauh - jauh rumahnya?” tanyaku.

“Hanya yang laki - laki pada jauh di seberang lautan. Yang perempuan sih dekat -dekat.

Di luar kota juga hanya belasan kilometer dari sini. Nanti akan Bunda kumpulkan adik - adik bunda di sini, setelah rumah Pak Wondo itu kita tempati. Tapi kalau kakak - kakak bunda sih sulit diajak ngumpul, karena rumah mereka di seberang lautan semua.”

Aku cuma mengangguk - angguk kecil.

Kemudian kami terpecah menjadi dua bagian. Bunda ngobrol dengan Tante Ratih di ruang tamu, sementara aku ngobrol dengan Donna di ruang makan.

“Nanti anter aku ke toko buku ya,” kataku.

“Mau nyari buku apa?”

“Mau nyari majalah tentang design bangunan rumah. Untuk semacam referensi aja. Untuk renovasi rumah Pak Wondo dan bangunan di tanah kosong itu.”

“Kalau majalah yang begituan sih mendingan beli di pasar loak. Banyak penjual buku dan majalah bekas di sana.”

“Boleh. Ke pasar loak iya, ke toko buku juga iya.”

“Memangnya tanah kosong itu mau dibuat apa?”

“Belum punya rencana yang pasti. Aku sih ingin membangun sesuatu yang bisa dijadikan tempat usaha Bunda dan kamu. Jadi nanti kamu dan Bunda harus sama - sama punya penghasilan tetap dari bangunan itu.”

“Tapi kalau buka usaha kan harus ada modalnya.”

“Iya. Nanti aku yang modalin. Asal serius aja kamunya.”

“Sip deh kalau gitu sih.”

Tiba - tiba Donna berbisik di dekat tleingaku, “Tadi kamu abis maen ya sama Bunda?”

“Kok kamu bisa punya sangkaan gitu?”

“Kelihatan Bunda pucat gitu… berarti abis orga.”

Akhirnya aku mengangguk, “Memang betul.”

Donna berbisik lagi, “Padahal aku lagi kepengen banget. Kepengen orgasme… tapi kontolmu pasti udah kecapean ya?”

“Nanti kujilatin aja sampai orga. Mau?”

“Mau banget. Makanya sekarang aja kita pergi nyari majalah itu yuk.”

“Mau maennya di mana? Sabar aja deh. Nanti malam kujilatin sampai orga.”

“Di hotel yang tempo hari lagi aja.”

Aku tercenung sesaat. Tadi aku baru pakai hotel untuk menggauli Bunda. Masa sekarang harus cek in ke hotel lagi?

Tapi demi saudara kembarku tercinta, biarlah kululuskan saja keinginan Donna itu.

Dan aku tertawa sendiri, karena dalam beberapa hari ini hidupku seolah hanya untuk sex, sex dan sex terus.

Tapi usiaku baru duapuluh tahun. Mumpung masih muda. Apa salahnya kalau aku beraksi dari atas perut yang satu ke atas perut lainnya tiap hari?

Pada waktu pamitan kepada Tante Ratih dan Bunda, Tante Ratih berkata, “Minta nomor hapemu Don. SIapa tau nanti ada perlu sama kamu.”

Lalu kuberikan dua nomor hapeku. Nomor seluler di Indonesia dan di Thailand.

“Yang diawali dengan plus enamenam, berarti nomorku yang di Bangkok, Tante,” kataku setelah tukaran nomor hape dengan Tante Ratih.

“Kapan pulang lagi ke Bangkok?” tanya Tante Ratih.

“Sekitar tiga mingguan lagi. Soalnya sebelum liburanku habis, aku harus sudah ada di Bangkok lagi.”

“Maen dong ke rumahku… mumpung Donny masih di sini,”

Seminggu kemudian …

Pak Wondo menepati janjinya. Tepat seminggu kemudian rumahnya sudah dikosongkan. Ia pun pamitan padaku dan pada Bunda, karena hari itu ia akan berangkat ke Madiun, sebagai pilihan untuk dijadikan tempat tinggalnya.

Langkah yang ditempuh oleh Pak Wondo itu seolah menjadi inspirasi bagiku. Bahwa kemungkinan besar aku pun harus mengikuti langkahnya. Bahwa rumah - rumah dan perusahaan di Bangkok harus dijual semua. Hanya rumah dan perusahaan yang di Singapore akan kupertahankan, karena setelah kuanalisa sepintas lalu, prospek bisnis yang di Singapore sangat bagus.

Pemborong yang sudah siap untuk memborong bangunan di lahan kosong dan pembenahan dan pengecatan ulang rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu pun segera bekerja. Mendahulukan pembenahan dan memperbaiki kerusakan - kerusakan rumah dari Pak Wondo itu. Kemudian mengecat ulang, sampai tampak seperti rumah baru.

Pada saat sedang sibuk itulah aku menerima sms dari Teh Siska (pada waktu itu WA belum populer di negaraku ini). Isi sms dari Teh Siska itu begini :

- Donny ke rumah sekarang ya. Penting banget. Sendirian aja, jangan sama Donna-.

Kubalas dengan sms lagi, singkat saja, -Oke Tetehku Sayang-.

Aku lalu pamitan kepada Bunda, dengan alasan yang sama seperti tempo hari: Mau menemui temanku yang dari Thailand…!

Lalu kucegat taksi yang lewat di depan rumah Bunda.

Aku sudah menghafal jalan menuju rumah Teh Siska itu, sehingga tak mungkin salah arah.

Setibanya di depan rumah Teh Siska, kulihat ada sedan putih diparkir di pekarangan rumah itu. Mobil siapa ya?

Pintu depan pun dibuka oleh Teh Siska yang hanya mengenakan kimono hitam saat itu. Sangat kontras warnanya dengan kulit Teh Siska yang putih bersih.

Yang membuatku tertegun adalah hadirnya seorang wanita yang tampak masih sangat muda, lebih muda daripada Teh Siska, dengan tinggi badan yang lebih tinggi daripada tinggi badanku (tinggi badanku 175cm).

Teh Siska memegang pinggang wanita cantik bertubuh tinggi sekali itu sambil berkata, “Nah… ini kakakmu juga Don… belum pernah kenalan ya?”.

Aku menatap wanita muda itu sambil bertanya, “Ini Teh Nenden?”

“Iya… aku Nenden Don,” sahut wanita itu sambil merangkul leherku dan menciumi pipi kanan - kiriku, “Kita ini saudara kandung tapi baru sekarang kenalan ya?”

“Iya,” sahutku, “Teh Nenden tinggi sekali… memang tingginya berapa Teh?”

“Seratusdelapanpuluh sentimeter,” sahut Teh Nenden sambil tersenyum.

“Wow, cocok buat jadi pemain basket,” sahutku.

Teh Siska nimbrung, “Waktu masih di SMA, Nenden memang pemain basket Don.”

Lalu pikiran ngeresku timbul: Kalau dapet perempuan tinggi begini, pasti “medan”nya ljuas banget. Kalau orang pendek sih sejengkal dari pusar perut, langsung menyentuh memek. Kalau yang tinggi begini, bisa dua jengkal baru ketemu memek. Hahahahaaaaa…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu