2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Beberapa hari kemudian aku menerima panggilan Donna di ponselku.

“Donny lagi di mana sekarang?”

“Di rumah peninggalan Papa angkatku. Kenapa Donna?”

“Ini ada Tante Santi yang baru bercerai dengan suaminya. Dia ingin bekerja Sayang.”

“Tempatkan aja di cafému. Kasih gaji yang lebih dari semestinya.”

“Dia S2 manajemen Don. Kasian dong. Masa es-dua dijadikan waiter atau kasir di café?!”

“Es-dua?!”

“Iya.”

“Kalau gitu bawa aja ke rumahku sekarang. Aku lagi ribet nih.”

“”Aku juga lagi sibuk di café. Biar nanti kucariin taksi aja. Kan dia bisa pergi sendiri. Bukan anak kecil kok.”

“Ya udah terserah kamu. Alamatku aja kasih sama dia.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku memanggil Bi Inah, pembokatku.

Setelah Bi Inah muncul, aku berkata, “Bi… beresin dan bersihin kamar yang di lantai tiga ya.”

“Siap Den. Mau ada tamu?”

“Iya. Tanteku dari Surabaya mungkin akan tinggal di sini selama beberapa hari.”

“Owh… iya Den. Saya mau bersihkan kamar yang di lantai tiga Den,” ucap Bi Inah sambil bergegas meninggalkan ruang kerjaku.

Sebenarnya aku sedang memantau perkembangan usahaku di luar negeri dari laptopku. Tapi konsentrasiku jadi buyar, karena akan datangnya tamu, adik Bunda yang bernama Santi itu.

Sebenarnya aku sudah pernah ketemu dengan Tante Santi di rumah Bunda. Tapi kali ini mungkin kedatangannya termasuk penting bagiku. Karena kudengar dari Donna tadi, Tante Santi itu sudah S2 di bidang manajemen pula. Bukankah aku membutuhkan assisten untuk mendampingi Bu Kaila?

Aku masih ingat benar, Bu Kaila yang saat itu sudah kutempatkan sebagai dirut di perusahaanku, mendatangi ruang kerjaku yang terpisah dari kantor. Saat itu Bu Kaila berkata padaku, “Makin lama perusahaan ini makin sibuk Boss. Mungkin saya membutuhkan seorang wakil yang sudah S2 di bidang manajemen. Supaya semua masalah bisa ditangani dengan cepat.

Dan aku masih ingat benar, bahwa aku sudah menunggu lama untuk mendapatkan kesempatan berbicara empat mata ini. Kalau kuhitung - hiotung, Bu Kaila sudah setahun menjabat dirut di perusahaanku.

Dan sejak awal berjumpa, aku sudah tergiur oleh bentuk tubuhnya. Tapi aku sangat berhati - hati, karena dia sangat kubutuhkan di perusahaan. Prestasinya memang sangat gemilang, sehingga dalam tempo setahun dia sudah membuat perusahaanku jadi berkembang dengan pesatnya.

Aku juga tahu bahwa dia sudah punya suami. Terkadang suaminya bahkan suka mengantarkan Bu Kaila pagi - pagi. Tapi suaminya tidak pernah menjemput pada waktu Bu Kaila sudah mau pulang.

Kesimpulannya, aku tidak boleh memperlakukan Bu Kaila seperti yang sering kulakukan kepada perempuan lain. Karena kalau dia merajuk, bisa gawat perusahaanku nanti.

“Soal wakil dirut sih nanti saja kita pikirkan Bu. Karena aku sudah punya calonnya. Tapi harus kuuji dahulu kemampuan dan terutama kejujurannya,” ucapku.

“Bagus itu Boss. Kalau saya sendiri yang mengajukan calonnya, takut dianggap mau KKN,” sahut Bu Kaila, masih dalam sikap formal. Seperti tidak ada celah untuk memancingnya.

Tapi aku tak kehilangan akal. Lalu kataku, “Aku percaya kok sama Bu Kaila. Prestasi Ibu sangat brilliant di mataku. Tapi sekarang aku ingin membahas sesuatu yang sangat pribadi sifatnya.”

“Masalah apa Boss?”

“Masalah Bu Kaila dan aku.”

“Maksudnya?” wanita 35 tahunan itu tampak bingung.

“Aku ingin mempererat hubungan baik di antara kita berdua. Supaya owner dan dirut kompak… sesolid - solidnya.”

“Dengan cara apa supaya owner dan dirut ini kompak dan solid Boss?”

“Aku mau nanya dulu. Secara pribadi, Bu Kaila memandang perlakuanku kepada bawahan seperti apa? Coba jawab sejujur mungkin, agar aku bisa self observasi.”

“Mmm… Boss masih sangat muda tapi bijaksana. Yang saya rasakan sih, selama saya memimpin perusahaan ini, Boss belum pernah memarahi saya satu kali pun. Sehingga saya merasa nyaman bekerja di sini.”

“Lalu secara fisik, dalam pandangan Bu Kaila aku ini seperti apa?”

“Boss masih sangat muda. Tampan dan baik hati,” sahutnya dengan senyum di bibir sensualnya.

“Di mataku, Bu Kaila ini manis dan seksi sekali.”

“Aaaah… masa sih Boss… “Bu Kaila tersipu - sipu.

“Beruntung suami Ibu, karena memiliki Ibu yang… hmmm… takkan pernah membosankan. Mmm… boleh aku bicara terus terang tentang apa yang pernah kualami dan menyangkut tentang Bu Kaila?” tanyaku.

Bu Kaila mengangguk sambil tersneyum.

Lalu aku berkata dengan suara agak dipelankan, “Bu… belakangan ini sudah lebih dari tiga kali aku mimpi bersama Bu Kaila. Sehingga aku bingung sendiri. Kenapa aku harus bermimpi tentang wanita yang sudah punya suami ya,” ucapku mengada - ada alias ngarang. Karena sebenarnya aku tak pernah bermimpi tentang dia.

Tapi Bu Kaila menyahut serius, “Masa sih Boss? Kok sama dengan mimpi saya ya?”

“Bu Kaila pernah mengalami mimpi bersamaku?”

“Iya Bos. Tapi cuma satu kali. Tidak sering seperti Boss.”

“Tapi minimal Bu Kaila pernah mimpiin aku kan?”

“Iya… mimpinya gak tau diri. Masa mimpiin Big Boss?! Maafkan mimpi saya ya Boss.”

“Gak ada yang perlu dimaafkan. Aku justru merasa ada kesamaan di dalam mimpi kita. Karena itu aku ingin mewujudkan mimpi itu dalam kenyataan.”

“Maaf Boss… memangnya mimpi Boss seperti apa?”

“Mimpi saling bagi rasa, bagi keindahan dan kenikmatan sebagaimana wajarnya seorang lelaki dengan seorang wanita. Bu Kaila sendiri seperti apa mimpinya?”

“Saya… hanya mimpi dicium oleh Boss… maaf…”

“Ya sudahlah kita wujudkan saja mimpi kita dalam kenyataan. Oke?”

“Tapi Boss… saya kan punya suami. Sedangkan suami saya sangat ketat menjaga saya dari segala kemungkinan. Kalau pulang telat sejam aja, pasti banyak pertanyaan ini - itu. Apalagi kalau semalaman…”

“Kalau nyari - nyari tempat dulu, tentu aja bakal lama. Mmm… Bu Kaila tau keadaan di lantai dua?”

“Belum tau Boss, “Bu Kaila menggeleng, “Saya hanya tau lantai tiga itu sering dipakai meeting room. Tapi kalau lantai dua kan ada tulisan private room dan dilarang masuk.”

“Ayolah kalau begitu Bu Kaila ikut aku ke lantai dua. Biar tau yang dimaksud private room itu bagaimana.”

Lalu aku berdiri dan melangkah ke arah tangga yang letaknya di belakang ruang kerjaku. Bu Kaila pun mengikutiku dari belakang.

Seperti yang sudah kuterangkan dahulu, lantai dua ini memang kujadikan rumah pribadiku. Ada ruangan yang luas yang sering kugunakan untuk fitness, ada kamar besar yang tak kalah lengkap seperti di rumah peninggalan almarhum Papa angkatku tercinta, bahkan ada kitchennya sekaligus ruang makanku.

“Seperti di dalam rumah Boss…” ucap Bu Kaila di sampingku.

Aku pun memberanikan diri melingkarkan lenganku di pinggang wanita yang sangat menggiurkan di mataku ini. “Di sini bisa kita bisa mewujudkan mimpi kita pada jam makan siang seperti sekarang ini. Tak usah sampai menghabiskan waktu semalaman. Bagaimana?”

Bu Kaila menatapku dengan sorot pasrah. “Iya. Saya mau ikut aja sama apa yang Boss pandang terbaik untuk kita berdua…” sahutnya perlahan, dengan suara agak bergetar.

“Senang hatiku Bu. Berarti kita berdua akan selalu kompak dan solid,” ucapku sambil melingkarkan lenganku di lehernya. Lalu memagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku.

Awalnya Bu Kaila hanya mendiamkan bibirnya kulumat dengan segenap kehangatanku. Tapi beberapa detik kemudian ia mulai membalas lumatanku dengan lumatan pula. Bahkan kedua lengannya mendekap pinggangku erat - erat, sementara suhu badannya terasa mulai menghangat.

Mencari perempuan untuk dijadikan pelampiasan hasrat biologisku tidaklah sulit bagiku. Namun aku hanya mau melakukannya pada perempuan yang butuh sedikit perjuangan untuk mendapatkannya. Seperti pada Bu Kaila ini, yang lebih dari setahun aku mempertimbangkannya. Lebih dari setahun aku mencoba untuk mengalihkan perhatianku kepada perempuan lain.

Karena tadinya aku takut kalau Bu Kaila 100% setia kepada suaminya. Lalu kalau aku terlalu mendesaknya, bisa saja dia menyatakan resign dari perusahaanku. Sedangkan aku melihat banyak sekali unsur positif dari sosok wanita yang 13 tahun lebih tua dariku itu, terutama dalam mengembangkan salah satu perusahaanku.

Aku menuntun Bu Kaila ke dalam kamarku. Lalu mengajaknya duduk di sofa. Dan di sofa itulah Bu Kaila tidak sungkan - sungkan lagi untuk menyingkapkan gaunnya, untuk memamerkan pahanya yang putih mulus, sampai ke pangkalnya.

“Saya tidak pernah berselingkuh. Tapi sekarang saya menyerah…” ucapnya ketika aku mulai mengusap - usap pahanya yang terasa licin saking mulusnya. Bahkan tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya yang putih bersih itu. Srekkk… tanganku menyentuh jembut lebat di balik celana dalam putih itu.

“Kalau aku kan masih bujangan Bu. Jadi aku bebas melakukan apa pun tanpa dikejar rasa cemas.”

“Mbak Liza itu calon istri Boss?”

“Belum pasti Bu. Makanya dia kumutasikan ke luar kota, karena aku masih sangsi pada masa depanku bersamanya. Eeeeh… aku manggil Mbak aja ya… supaya tidak terlalu formal.”

“Iya… manggil nama langsung juga gak apa - apa. Saya kan bakal jadi milik Boss…”

“Manggil nama langsung sih gak boleh. Aku kan harus menghormati kedudukan Ibu… eh… Mbak sebagai direktur utama di perusahaan ini,” ucapku sambil menyelinapkan jari tanganku ke dalam liang memek berjembut dan masih bersembunyi di balik celana dalam itu.

“Dududuuuuh… Bosss… kalau sudah dibeginiin saya suka langsung horny berat…” ucap Mbak Kaila setengah berbisik.

Spontan kukeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. “Ayo kita buka - bukaan deh,” ucapku sambil melepaskan jas dan dasiku. Lalu menggantungkannya di kapstok.

Pada saat yang sama Bu Kaila pun melepaskan gaun putih bercorak kembang berwarna warni itu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu