2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Pada waktu sedang makan nasi kuning buatan Teh Siska, aku berkata, “Bekas cupangan di leher dan toket Teteh banyak banget.”

“Biarin aja. Biar begitu melihat bayanganku di cermin, aku pasti ingat kamu,” sahut Teh Siska.

“Paling lama juga dalam tiga hari bekas cupangnya hilang. Berarti tiga hari lagi Teteh takkan ingat aku lagi ya?”

“Gak gitulah. Kamu akan mendapat tempat istimewa di seumur hidupku. Lagian kamu kan adikku. Hubungan kakak dengan adik kandung takkan pernah bisa putus. Meski pun aku punya suami lagi, hubungan kita harus tetap berjalan… tapi kalau aku sudah bersuami, hubungan kita harus secara rahasia aja,” sahut Teh Siska, “Ohya…

“Iya. Nanti sebelum pulang ke Bangkok, pasti aku akan mengunjungi rumahnya. Teh Nenden itu adik Teh Siska kan?”

“Iya. Aku kan anak sulung. Mana ada si sulung punya kakak?”

“Kata Bunda, suami Teh Nenden itu seorang dokter ya?”

“Iya. Suaminya dokter spesialis bedah yang sukses dan terkenal. Tapi usianya sudah tua. Tigapuluh tahun lebih tua dari Nenden.”

“Memangnya usia Teh Nenden sekarang berapa tahun?”

“Nenden usianya dua tahun lebih muda dariku. Jadi sekarang usianya duapuluhtiga tahun,” sahut Teh Siska.

“Berarti usia suaminya limapuluhtiga?”

“Ya, segitulah kira - kira.”

“Teh Nenden sudah punya anak?”

“Belum. Padahal dia sudah tiga tahun menjadi istri dokter itu.”

“Berarti dia kawin waktu usianya seumuran aku dan Donna sekarang?”

“Iya. Waktu Nenden kawin dengan dokter itu, usianya baru duapuluh tahun. Suaminya sudah limapuluh tahun.”

“Mungkin waktu menikah dengan Teh Nenden, dokter itu duda ya?”

“Iya. Sebelum kawin dengan Nenden, dokter itu sudah duda beranak cewek dua orang. Istri dokter itu sudah meninggal sebelum berjumpa dengan Nenden.”

“Jadi sekarang Teh Nenden punya anak tiri dua orang ya.”

“Iya. Tapi kedua anak tirinya sudah pada punya suami, jadi gak ada yang tinggal di rumah Nenden.”

Tiba - tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari saku celanaku.

“Sttt… dari Bunda… !” kataku sambil meletakkan telunjuk di depan mulutku.

Teh Siska mengangguk - angguk. Dia sudah tahu kalau aku mengaku akan menjumpai temanku yang datang dari Thailand. Bukan mau menginap di rumah Teh Siska.

“Hallo Bunda…”

“Don… pemilik tanah itu sudah setuju pada tawaran Bunda. Jadi harganya diturunkan seratus juta. Dia nanya, kapan mau transaksinya?”

“Oke Bunda. Sekarang juga aku pulang. Transaksinya di notaris aja.”

“Iya. Bunda tunggu ya.”

“Iya Bun.”

Setelah hubungan seluler dengan Bunda ditutup, teh Siska bertanya, “Mau transaksi apa pakai notaris segala?”

“Mau beli tanah kosong yang di samping rumah Bunda itu.”

“Wow…! Kalau gak salah tanah di samping rumah Bunda itu setengah hektar luasnya ya.”

‘iya. Aku mau pulang dulu ya Teh,” kataku sambil berdiri.

Teh Siska pun berdiri dan memeluk leherku. “Selama masih liburan di kota ini, kamu harus sering ke sini ya Don,” ucap Teh Siska seperti berat melepaskanku.

“Iya Teh… aku pasti kangen terus sama Teteh,”

“Kangen sama aku apa sama memekku?”

“Kangen sama dua - duanya. Heheheee…”

Teh Siska mencium bibirku berulang - ulang. Lalu mengantarkanku hingga ke pintu pagarnya. Sampai aku mendapatkan taksi yang melewati jalan di depan rumah kakak sulungku itu.

Setelah berada di dalam taksi, aku masih sempat melambaikan tangan ke arah Teh Siska. Ia pun tampak melambaikan tangan juga, dengan wajah yang kelihatan sedih. Seolah tak ingin ditinggalkan olehku.

Namun di dalam hati aku berjanji akan sering mengunjungi rumah Teh Siska secara rahasia. Tanpa diketahui oleh Bunda dan Donna.

Setibanya di rumah Bunda, mataku mencari - cari mobil Donna. Tapi tidak ada.

Bunda pun muncul di ruang tengah yang tampak sudah dibereskan, tidak berantakan seperti kemaren.

“Donna ke mana Bun?” tanyaku.

“Ke tempat kerjanya, tapi mau resign seperti yang kamu anjurkan. Bukan mau kerja,” sahut Bunda sambil memegang tanganku, “Selain itu, Donna juga mau menemui pemborong yang akan membangun di tanah kosong itu.

“Oh iya. Berarti Donna sangat mendengarkan pesanku.”

“Donna kelihatan bahagia sekali setelah dibelikan mobil olehmu Don.”

“Iya Bun. Nanti kalau tanah itu sedang dibangun, biar Donna kujadikan pengawas aja. Setiap membutuhkan uang untuk pemborong itu, akan kutransfer lewat rekening tabungan Donna aja. Tapi sebelum pulang ke Bangkok pasti aku titip uang juga sama Donna, untuk biaya pembangunan di tanah itu.”

“Iya… bunda senang sekali karena kedatanganmu membawa angin segar bagi bunda dan Donna.”

“Tapi Bunda masih minum - minum?”

“Nggak Sayang. Bunda berusaha mengikuti saranmu. Lihat aja keadaan di dalam kamar bunda. Botol - botol minuman beralkohol sudah tidak ada satu pun.”

“Syukurlah Bunda. Senang aku mendengarnya. Kan aku ingin agar Bunda tetap sehat dan seksi…” ucapku sambil mencium bibir Bunda.

“Iya… iya… mmm… temanmu sudah pulang ke Thailand?”

“Belum. Dia ingin bareng sama aku pulangnya nanti.”

“Dia teman kuliahmu?”

“Iya. Jadi dia ingin menghabiskan masa liburannya di Indonesia. Lalu kembali ke Bangkok bareng sama aku,” kataku berbohong. Sengaja aku menciptakan kebohongan itu, agar kalau aku pergi ke rumah Teh Siska nanti, alasannya akan menemui teman dari Thailand itu.

“Sekarang mau ke rumah pemilik tanah itu?” tanyaku.

“Iya, mumpung belum siang benar. Supaya kantor notarisnya belum tutup.”

“Don…” kata Bunda sambil memegang tanganku, “Nanti pulang dari notaris, ajak bunda ke hotel ya.”

“Mau ngapain? Bunda udah kangen ya?”

“Iya, “Bunda mengangguk sambil tersenyum, “Tapi Bunda ingin melakukannya di tempat yang tenang dan nyaman.”

“Iya deh,” sahutku. Untung tadi pagi aku tidak menyetubuhi Teh Siska lagi. Kalau aku menyetubuhinya, pasti aku akan kepayahan membangunkan tongkat kejantananku hari ini.

Tak lama kemudian aku dan Bunda berjalan kaki menuju rumah pemilik tanah kosong itu. Ternyata rumahnya tidak jauh dari tanah yang mau dijual itu.

Pemilik tanah itu masih muda, sekitar 30 tahunan, mengenalkan namanya sebagai Wondo. Dia bahkan menawarkan rumahnya juga yang berdampingan dengan tanah kosong itu, agar dibeli olehku, karena dia mau pindah ke kampung halamannya di Madiun.

Aku pun tertarik, karena rumah itu sudah bergaya kekinian, seperti rumah Teh Siska. Lalu kutanya berapa harganya. Ternyata rumah itu ditawarkan dengan harga yang sangat murah menurutku. Tapi aku berusaha menawarnya dulu. Setelah bernegosiasi yang agak alot, akhirnya dia menyetujui tawaranku.

Bunda hanya ikut dengar saja, tidak berkomentar sepatah kata pun. Dan tampak senang setelah mendengar bahwa aku dan pemilik tanah itu sudah deal untuk membeli tanah kosong dan rumahnya yang lumayan besar dan berbentuk minimalis itu.

Kemudian kami berangkat menuju notaris. Aku dan Bunda menggunakan taksi, sementara Pak Wondo menggunakan motornya.

Kebetulan di notaris sedang tidak ada klien, sehingga dengan cepat transaksi kami diurus oleh sang Notaris.

Untuk membayar nominal yang sudah kami sepakati, kuberikan selembar cek dari sebuah bank internasional, yang baik di Bangkok mau pun di kota ini ada cabangnya. Lalu notaris itu meminta klarifikasi dari bank yang bersangkutan dulu.

Setelah clear, transaksi pun dianggap selesai. Notaris itu memberikan akte jual beli kepadaku, yang langsung kuserahkan kepada Bunda. Akte jual beli itu pun atas nama Bunda semua. Aku memang ingin Bunda besar hatinya. Maka setelah tanah itu dibangun, aku akan menyerahkan segalanya kepada Bunda.

Sertifikat tanah dan rumah itu kuserahkan kepada notaris, agar dia mengurus balik namanya ke kantor BPN.

Kemudian aku berjabatan tangan dengan Pak Wondo, sebagai tanda sudah selesainya transaksi itu. Pak Wondo hanya minta waktu seminggu untuk beres - beres barangnya yang akan diangkut ke Madiun. Kebetulan kalau seminggu lagi aku pun masih berada di Indonesia, jadi bisa membenahi rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu, kemudian kubelikan furniture dan perabotan selengkapnya, lalu Bunda akan kuminta pindah ke rumah itu, karena rumah jadul Bunda akan kurobohkan untuk dibangun yang benar - benar baru.

Hmmm… sudah sejauh itu rencanaku…!

Setelah keluar dari kantor notaris itu, aku searching dulu di google lewat handphoneku. Searching hotel di kota ini. Pada saat itu belum ada system booking lewat internet. Jadi aku hanya searching nama dan alamat hotelnya saja. Lalu kupilih sebuah hotel bintang lima, yang akan kusampaikan kepada sopir taksi nanti.

Setelah mendapatkan taksi, kuperlihatkan nama dan alamat hotel itu dari handphoneku. Sopir taksi itu pun mengangguk, lalu menjalankan taksinya. Membawaku bersama Bunda ke hotel seperti yang Bunda inginkan.

Waktu berada di dalam taksi itulah aku jadi teringat cerita legenda Sangkuriang yang pernah kubaca dari kumpulan cerita rakyat Indonesia. Aku masih ingat benar bahwa Sangkuriang yang sudah terlalu lama meninggalkan ibunya, begitu berjumpa lagi dengan ibunya sudah lupa bahwa Dayang Sumbi itu ibu kandungnya.

Mereka saling jatuh cinta. Tapi ketika membelai rambut Sangkuriang, Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkalalana. Sehingga Dayang Sumbi teringat pada anaknya yang pernah dilempar oleh “cukil” (semacam senduk) nasi dan mengakibatkan luka dan berdarah - darah di kepalanya. Lalu Dayang Sumbi bertanya siapa sebenarnya nama asli Sangkalalana itu.

Akhirnya Sangkalalana mengakui bahwa namanya adalah Sangkuriang. Tapi sejak diusir oleh ibunya karena telah membunuh si Tumang, anjing yang dibawa berburu yang sebenarnya ayah Sangkuriang, maka Sangkuriang pun membuang nama aslinya dan mengganti jadi Sangkalalana.

Dayang Sumbi kager dan bicara terus terang bahwa Sangkuriang itu anak kandungnya. Tapi Sangkuriang tidak percaya, karena kalau masih ada pastilah ibunya sudah sangat tua. Sedangkan Dayang Sumbi masih kelihatan muda dan sangat cantik.

Akhirnya Dayang Sumbi menyatakan bersedia menjadi istri Sangkuriang asalkan bisa mewujudkan permintaannya, asalkan bisa mewujudkan danau dalam semalam dan sebuah perahu untuk mengarungi danau itu.

Konon Sangkuriang meminta bantuan para siluman untuk mewujudkan permintaan ibunya itu.

Malam itu Dayang Sumbi terkaget - kaget ketika menyaksikan danau itu sudah hampir selesai. Maka dicarinya akal. Lalu Dayang Sumbi meminta bantuan kepada teman teman sekampungnya untuk memukul lesung beramai - ramai. Ayam - ayam jantan pun kaget mendengar suara lesung dipukul - pukul itu. Lalu semua ayam jantan di kampung itu pada berkokok.

Dayang Sumbi menghampiri Sangkuriang sambil bedrseru, “Sangkuriang! Kamu gagal memenuhi permintaanku. Dengarlah suara ayam - ayam berkokok itu. Pertanda hari sudah hampir pagi! Bukankah kamu sudah berjanji akan mewujudkan permintaanku sebelum fajar menyingsing?”

Sangkuriang kaget dan berusaha untuk menangkap ibunya. Tapi Dayang Sumbi menghilang dan konon menjelma jadi Gunung Putri. Sementara Sangkuriang geram sekali atas kegagalannya sendiri. Maka perahu yang sudah disiapkan oleh para siluman itu pun ditendangnya sampai jatuh menelungkup. Maka perahu besar itu pun menelungkup dan menjelma jadi Gunung Tangkuban Perahu

(tangkuban = telungkup).

Aku teringat cerita rakyat Priangan itu karena aku merasa bisa mengalahkan Sangkuriang yang gagal mendapatkan ibu kandungnya. Karena aku sudah berhasil mendapatkan ibu kandungku…!

Apakah kemenanganku ini sebagai suatu keberhasilan atau suatu kejahanaman?

Entahlah. Yang jelas di kamar hotel bintang lima ini kuperhatikan Bunda yang memang cantik sekali. Terlebih lagi setelah telanjang bulat di depan mataku. Dalam khayalanku, Bunda seolah bidadari yang turun dari langit, khusus untuk menyenangkan dan membahagiakan hatiku.

Aku malah sering berpikir bahwa mungkin saja aku ini reinkarnasi dari Sangkuriang, yang gagal di masa lalu, kemudian harus berhasil di masa kini. Hahahaaa… itu hanya khayalanku semata.

Dan yang jelas, kini aku ingin mewujudkan kebahagiaan Bunda yang merasa sangat kehilangan setelah Ayah meninggal. Ingin mewujudkan kenikmatan dan keupasan untuk diriku sendiri pula.

Tapi lain Teh Siska lain Bunda. Meski Teh Siska itu sama - sama anak kandung Bunda, namun Bunda tidak mau diperlakukan keras olehku. Terbukti pada waktu aku bergumul dengan Bunda dalam keadaan sama - sama telanjang bulat, kucoba meremas toket Bunda agak keras. ternyata Bunda langsung merintih, “Duuuuh…

“Heheheheee… gemes sih sama toket Bunda yang tetap mulus walau pun sudah melahirkan empat anak,” sahutku.

“Mungkin karena Bunda sering senam dahulu. Sejak jadi peminum Bunda gak pernah senam lagi.”

“Bunda Sayang… kalau Bunda menghentikan minum minuman keras, Bunda akan jadi lebih sehat. Tubuh Bunda pun pasti lebih berisi, takkan ada yang kendor lagi. Pokoknya kalau Bunda menyetop kebiasaan minum itu, pasti Bunda bakal semakin seksi.”

Lalu kami bergumul di atas bed hotel five star itu. Terkadang aku di atas, terkadang Bunda yang di atas. Sampai pada suatu saat, batang kemaluanku sudah membenam ke dalam liang memek Bunda kandungku.

Bunda pun menyambutku dengan dekapan erat di pinggangku, sambil berkata, “Kamu memang seolah paket lengkap. Wajahmu tampan, bentuk tubuhmu seksi, kontolmu pun gede dan panjang banget. Kalau sudah punya istri, pasti istrimu merem - melek terus olehmu.”

“Aku takkan mau kawin dulu ah. Aku ingin membahagiakan hati Bunda dulu.”

Bunda pun mencium bibirku. Pada saat aku mulai mengayun penisku, Bunda menyambutku dengan goyang pinggulnya yang sangat erotis. Meliuk - liuk, memutar - mutar dan menghempas - hempas. Membuat batang kemaluanku terombang - ambing mengikuti gerakan memek Bundaku tercinta …

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu