2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Part 11

Pilihanku jatuh pada sebuah jeep yang masih sangat mulus dan meyakinkan. Grand Cherokee 5000 cc, berwarna hijau army. Mungkin mobil ini dijual oleh pemiliknya, karena boros bbm. Maklum mobil 5000 cc. Tapi aku justru menyukainya, karena setelah test drive terasa benar tenaganya besar dan reaksinya spontan.

Konon di Amerika mobil ini biasa dipakai oleh para petani. Maklum petani di Amerika bukan seperti petani di negara kita. Tanah garapannya bisa ribuan hektar. Sehingga membutuhkan mobil yang tangguh dan bertenaga gede.

Aku merasa bahwa showroom menjual mobil second itu dengan harga yang sangat murah. Harga barunya mungkin bisa dua kali lipat harga second ini, bahkan bisa juga lebih mahal daripada itu.

Donna pun senang melihatku memilih jeep matic built up Amerika yang joint dengan pabrik mobil dari Jerman itu.

“Kamu akan kelihatan lebih macho dengan mobil keren ini,” ucap Donna setengah berbisik.

Aku menyahut perlahan, “Hmmm… mobil kan harus disesuaikan dengan jenis kelamin pemiliknya, Beib.”

Setelah membayar mobil itu dengan US dollar, aku mengajak Donna makan di restoran pilihannya.

Di restoran itu aku membuka percakapan, “Besok aku mau menghapalkan jalan di kota ini.”

“Sendirian? Awas nyasar.”

“Kan pakai GPS., Sayang. “(pada saat itu pembimbing dan petunjuk jalan baru ada GPS. Belum ada WAZE dan sebagainya).

“Oh iya yaaa. By the way, kita mau langsung pulang atau mau ke mana dulu setelah selesai makan entar?” tanya Donna.

“Langsung pulang aja. Badanku masih letih. Maunya sih dipijitin dulu sama kamu di rumah nanti,” sahutku.

Donna tersenyum dan menjawab dengan bisikan di dekat telingaku, “Mau dipijatin pake memek?”

Aku ketawa kecil sambil berkata, “Boleh juga sih…”

“Tapi nanti malam giliran Bunda dulu deh. Ohya, kalau mau langsung pulang, beliin lasagna, kesenangan Bunda. Di sini lasagnanya paling enak.”

“Iya, beliin aja.”

Lalu Donna pesan lasagna 3 porsi. Mungkin maksudnya untuk Bunda dan kami berdua nanti.

Setelah selesai makan, kami berpisah di parkiran restoran itu. Donna masuk ke sedannya sambil menjinjing kantong plastik berisi lasagna itu, sementara aku naik ke mobilku sendiri.

Setibanya di rumah, Donna menyerahkan oleh - oleh dari restoran itu kepada Bunda.

“Wow…! Banyak sekali belinya? Padahal satu cup juga cukup,” kata Bunda.

“Sengaja belinya tiga. Kalau Bunda cukup satu cup, biar aku dan Donny yang makan sisanya,” sahut Donna yang lalu melangkah ke dalam kamarnya. Tinggal aku dan Bunda yang masih berada di ruang makan.

Aku pun melangkah ke belakang kursi yang sedang diduduki oleh Bunda. Lalu mmegang sepasang bahu Bunda sambil berbisik ke telinganya, “Bunda sudah kangen sama kontolku kan?”

Bunda menoleh ke arahku, “Kangen sih kangen, tapi bunda lagi mens Sayang. Sama Donna aja dulu puas - puasin. Nanti setelah bunda bersih, baru dengan bunda lagi. Tapi ingat… Donna harus dikasih pil anti hamil. Supaya bebas dari masalah yang bisa menggemparkan keluarga besar kita nanti.”

“Mmm… sayang ya… tadinya aku justru ingin habis - habisan sama Bunda malam ini. Besok istirahat. Lusa baru mau sama Donna,” kataku sambil melangkah ke kamar tengah yang sudah menjadi kamarku. Kuambil seikat uang dolar Amerika dari dalam tas pakaianku. Aku memang mengambil belasan ikat uang dolar Amerika dari salah satu koper di dalam bunker peninggalan Papa, untuk kebutuhan sehari - hariku.

Seikat uang pecahan 100 USD itu kumasukkan ke dalam saku jaket kulitku yang belum dilepaskan. Lalu melangkah ke dalam kamar Donna.

Kulihat Donna sedang mengenakan kimononya. Kimono yang terbuat dari bahan wetlook biru ultramarine, sehingga kontras sekali dengan kulit Donna yang putih mulus.

“Pejamkan matamu. Aku mau ngasih kejutan,” kataku.

Donna menurut saja. Memejamkan matanya sambil meletakkan kedua tangannya di sepasang bahuku. Kukeluarkan seikat uang pecahan 100 USD itu dari saku jaket kulitku. Lalu kutarik tangan kanan Donna dari bahuku, sambil membuka telapak tangannya. Dan segepok uang dolar Amerika pecahan USD 100 itu kuletakkan di telapak tangan kanan Donna sambil berkata, “Bukalah matamu sekarang…

Donna membuka matanya dan langsung menatap ke arah uang dolar yang berada di tangan kanannya. “Woooow! Dolar Amerika?!” serunya.

“Iya. Itu semua sepuluhribu dolar. Tinggal hitung, kalau dirupiahkan berapa?”

“Hihihihiii… asyiiiik… tabunganku akan semakin banyak,” ucap Donna sambil mengecup pipiku. Lalu menepuk - nepuk uang hadiah dariku itu, kemudian menciuminya dan memasukkannya ke dalam laci lemari pakaiannya.

Aku cuma tersenyum melihat ucapan dan perilaku saudara kembarku itu.

“Ada kejutan lain,” kataku, “Bunda sedang mens. Jadi mempersilakanku untuk bersamamu sampai Bunda bersih.”

“Ohya?! Biasanya Bunda kalau mens bisa sampai sepuluh hari. Berarti… selama Bunda belum bersih, kamu akan ngentot aku terus kan?”

“Mungkin aku besok akan ke luar kota. Mau nyari sesuatu.”

“Sesuatu apa?”

“Kalau aku bilang sesuatu, berarti masih kurahasiakan. Ohya, kolam renang yang di belakang itu nantinya akan dinaungi oleh bangunan di atasnya Don.”

“Mau bikin bangunan apa di atas kolam renang itu?”

“Aku mau bikin semacam ruang kerja. Supaya orang - orang yang tidak terlalu penting, tak usah dipertemukan denganku. Biarlah aku konsentrasi di ruang kerjaku nanti.”

“Aku juga gak boleh masuk ke ruang kerjamu?”

“Kalau kamu dan Bunda sih lain. Kapan pun boleh menjumpaiku di ruang kerja itu.”

Ketika aku sudah menelungkup di bed dan sudah mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama, Donna pun masuk ke dalam ke dalam kamarku.

“Kamu beneran letih ya. Mau dipijitin?”

“Iya Don… pijatlah sebisanya. Badanku pegel - pegel gini…”

Donna menurut saja. Memijati telapak kakiku, lalu betisku dan… aku terlelap tidur.

Keesokan paginya aku baru terbangun dan menyadari bahwa tadi malam Donna memijatiku dan membuatku ketiduran. Entah karena pijatannya enak, entah karena aku sudah letih sekali.

Lalu aku pun masuk ke dalam kamar mandiku. Kamar mandi yang sudah dipasangi shower dan water heater, tidak pakai gayung plastik seperti di rumah lama Bunda yang sudah dibumi ratakan untuk mini mart itu.

Lalu aku bersiap untuk berangkat. Mencari - cari Donna tidak kelihatan.

“Donna ke mana Bun?” tanyaku.

“Biasa… lagi ngawasin yang sedang membangun café itu,” sahut Bunda.

“Dia disiplin juga ya. Selalu mengikuti perintahku.”

“Iya. Makanya kalau kamu punya perusahaan di kota ini, jadikanlah Donna sebagai tangan kananmu. dia itu rajin, setia dan jujur.”

“Iya Bun. Sedang dipikirkan dulu mau usaha apa di sini. Aku pergi dulu ya Bun.”

“Mau ke mana Don?”

“Mau ngapalin jalan di kota ini.”

“Nggak mau sarapan dulu?”

“Nggak usahlah. Nanti nyari jajanan di jalan aja.”

Aku memang ingin menghapalkan jalan di kota ini, dengan batuan GPS tentunya. Ta[I baru saja beberapa meter mobilku menginjak jalan aspal, tiba - tiba handphoneku berdering.

Ternyata dari Tante Ratih. Lalu :

“Hallo Tante… apa kabar?”

“Sehat. Donny sudah ada pulang dari Bangkok?”

“Sudah Tante.”

“Tempo hari tante ke rumahmu yang keren itu. Tapi kata bundamu sedang di Bangkok.”

“Iya sih. Tante ada perlu sama aku?”

“Iya Don. Kalau ada waktu sih main dong ke rumah tante…”

“Ini lagi di jalan. Sekarang juga mau ke rumah Tante. Tapi mau sarapan dulu, mau nyari nasi kuning dulu.”

“Nasi kuning sih di depan rumah tante juga ada yang jual. Sarapannya di sini aja Don.”

“Oke deh… kalau gitu mau langsung ke rumah Tante aja.”

“Alamatnya sudah tante kasih kan?”

“Iya. Ini sudah ada. Dari batas kota ke barat terus ya.”

“Iya. Nanti kalau pas lewat pintu kereta api belok ke kanan. Jalannya agak kecil, tapi masuk mobil kok. Truk juga bisa masuk.”

“Iya Tante.”

Berkat bantuan GPS, aku bisa mencapai rumah Tante Ratih dengan lancar. Rumah yang mungil namun ditata dengan apik dan artistik. Ada lantai tembok pula di sampingnya, untuk memarkir mobilku.

Ketika aku turun dari mobil, Tante Ratih pun muncul di pintu depan, dalam kimono putih yang terbuat dari bahan handuk. Gila… adik Bunda yang satu ini, yang montok dan putih bersih ini, tampak seksi sekali di mataku…! Montok tapi proporsional. Bukan gendut.

Tapi aku pura - pura tidak melihat keseksiannya itu, lalu bersikap sopan sebagaimana lazimnya seseorang yhang sedang berhadapan dengan tantenya. Kucium tangan Tante Ratih, yang dibalas dengan cipika - cipiki olehnya.

Lalu wanita 35 tahunan itu mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Langsung membawaku ke ruang makan. Karena nasi kuning dan lauk pauknya sudah terhidang di atas meja makan.

“Heheheee… aku jadi makin lapar lihat nasi kuning dan goreng ayam ini Tante,” kataku sambil duduk di salah satu kursi makan.

“Ayolah makan… gak nyangka bisa ketemu kamu lagi Don. Tante kan tau waktu kamu masih bayi, tau - tau menghilang begitu aja. Ternyata kamu diadopsi sama sahabat ayahmu ya? Dan sekarang tau - tau sudah gede dan tampan gini,” ucap Tante Ratih sambil mencolek pipiku.

“Iya Tante. Makanya aku merasa asing dengan keluarga di sini. Sama Bunda aja kebingungan awalnya. Beneran ini ibuku? Begitu yang terpikir olehku waktu baru berjumpa dengan beliau.”

“Dengan bundamu aja merasa seperti orang asing, apa lagi dengan tante dong.”

“Iya,” sahutku.

“Ayo makan nasi kuningnya, mumpung masih hangat, “Tante Ratih mendekatkan piring berisi nasi kuning, “Ini goreng ayam kampung Don. Bukan ayam broiler. Makanlah sepuasnya.”

“Tante gak nemenin?”

“Tante sih udah sarapan tadi. Masih kenyang. Ayolah makan… tante temenin ngobrol aja.”

Aku mengangguk, sambil mulai menyantap nasi kuning yang disuguhkan oleh Tante Ratih.

“Kok sepi rumahnya Tante? Pada ke mana anak - anak Tante?” tanyaku.

“Anak tante cuma seorang. Dia lagi kerja di pabrik dan tinggal di mess yang disediakan oleh pabrik itu. Yah… tante kan gak punya duit buat biayain kuliah. Makanya sedih juga sih, tamat SMA malah jadi buruh pabrik.”

“Anaknya cowok apa cewek?”

“Cewek. Makanya tante ingin minta tolong sama Donny, kalau bisa sih ajak kerja di Bangkok aja. Kan Reni juga kerja di rumah Donny ya?”

Aku tidak mau memberitahu bahwa Tante Reni sebenarnya sudah kutempatkan di Jakarta. Aku malah membahas masalah lain, “Aku kan mau menetap di sini. Ingin dekat sama Bunda dan keluarga besar Bunda di sini.”

“Lho… kamu kan masih kuliah di Bangkok?”

“Kuliahnya mau ditinggalin dulu. Nanti kuliah di sini juga gak apa - apa. Yang penting aku ingin belajar nyari duit di sini. Ohya… suami Tante ke mana?”

“Wah… sudah lama dia sih menghilang dari peredaran. Awalnya kerja di Jambi, di kebun kelapa sawit. Terus ada kabar kerja di Malaysia. Sampai sekarang gak pernah ngabarin apa - apa ke sini.”

“Sudah berapa lama dia meninggalkan rumah ini?”

“Sudah tujuh tahun. Waktu dia pergi, rumah ini masih gubuk. Ini sih dibangun dengan hasil keringat tante sendiri.”

“Wah… tujuh tahun pisah gitu apa gak renyem Tan?”

“Idiiih… renyem apanya?”

“Itunya… hihihihiiii… akhhhhhh !” aku ketawa sambil makan sampai tersedak. Buru - buru kuminum teh hangat yang disuguhkan oleh tanteku.

Di luar dugaan, Tante Ratih membisiki telingaku, “Emangnya kalau renyem, kamu mau garukin?”

Aku menoleh ke arah Tante Ratih yang duduk di sampingku. Sambil mengatur pernafasan, agar jangan tersedak lagi. Lalu kataku, “Mau banget Tante… garukin wanita seseksi Tante sih siapa juga pasti mau…”

Tante Ratih mengusap - usap celana jeansku pada bagian paha, sambil berkata perlahan, “Main sama cowok semuda kamu sih kebayang… masih seger segalanya.”

Dan gilanya… tangan Tante Ratih lalu bergerak ke ritsleting celana jeansku. Di situ tangannya meraba - raba. Sampai akhirnya memijit - mijit celana jeansku tepat pada bagian penisku…!

“Aku juga kebayang… kalau main sama wanita seseksi Tante… pasti bakal mengesankan,” kataku.

“Serius Don?” tanya Tante Ratih dnegan tangan berusaha menurunkan ritsleting celana jeansku.

Kutatap wajah cantik adik kandung Bunda itu, sambil mengangguk dan membuka gesper ikat pinggangku, lalu sekalian menurunkan ritsleting celana jeansku.

Tangan Tante Ratih pun menyelinap ke balik celana jeansku, langsung menyelinap pula ke balik celana dalamku. Dan… menyentuh batang kemaluanku yang sudah mulai ngaceng ini…!

“Aduuuh… kontolmu gede banget Don… udah ngaceng pula… !” seru Tante Ratih setengah berbisik.

“Mungkin karena Tante terlalu menggiurkan di mataku,” sahutku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik kimono yang terbuka dan mempertontonkan paha putih mulusnya. Lalu… pada saat Tante ratih meremas - remas batang kemaluanku yang semakin ngaceng ini, tanganku pun sudah menyelinap ke balik celana dalam Tante Ratih.

“Memeknya gundul Tan…”

“Iya… kalau jembutnya dibiarin gondrong, suka risih pada waktu keringatan.”

“Kebayang enaknya memek Tante ini…” ucapku sambil mencari - cari kelentitnya yang masih tertutup celana dalam ini.

“Turunin dulu isi perutnya. Biar jangan sembelit,” kata Tante Ratih sambil mengelus - elus moncong penisku yang juga masih tertutup celana dalam.

Namun setelah jemariku menemukan kelentitnya dan mulai menggesek - geseknya, justru Tante Ratih yang tak sabaran lagi. “Di kamar tante aja yuk, biar lebih nyaman, “ajaknya dengan nada tergesa - gesa.

“Iya…” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Tante Ratih. Sementara Tante Ratih pun melepaskan tangannya dari balik celana dalamku.

“Nasi kuningnya nggak dihabisin dulu?” tanya Tante Ratih sambil berdiri.

Kujawab sambil memeluknya dari belakang, “Memek Tante jauh lebih penting daripada nasi kuning,” bisikku.

Tante Ratih pun ketawa centil sambil melangkah ke pintu kamarnya. Aku pun mengikutinya dari belakang.

Setelah berada di dalam kamarnya, Tante Ratih menutupkan jendela kacanya, lalu menarik gordinnya sampai tertutup total. Sehingga kamar adik Bunda ini jadi remang - remang. Terlebih setelah pintunya ditutup dan dikuncikan, jadi lebih gelap lagi.

Lalu udara di kamar manjadi terang kembali setelah Tante Ratih menyalakan lampu.

Dan… Tante Ratih memijit hidungku sambil berkata, “Setelah gede kamu jadi tampan sekali gini Don. Kalau bukan keponakan, mau deh jadi istri kamu.”

Aku cuma tersenyum, sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku yang sudah turun ke paha. Tinggal baju kaus biru langit yang masih melekat di tubuhku. Sementara Tante Ratih sudah melepaskan kimono putihnya. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah sangat ngaceng dan siap tempur ini.

“Hihihiii… kebayang mantapnya dientot sama kontol segede dan sepanjang ini sih…” ucapnya sambil menimang - nimang dan mengelus - elus penisku.

Lalu ia melepaskan beha dan celana dalamnya, sehingga tubuh indah itu jadi telanjang bulat. Mungkin di antara adik - adik Bunda, Tante Ratih ini yang paling seksi. Karena tubuhnya serba terawat. Toketnya agak gede tapi tidak terlalu gede, sehingga bentuknya masih tampak indah, tidak turun “ngaplek” ke bawah.

Aku pun menanggalkan kaus biru langitku sebagai benda terakhir yang masih melekat di tubuhku. Sehingga aku jadi telanjang juga seperti Tante Ratih.

Seperti tak sabaran lagi, Tante Ratih menarikku ke atas ranjang besinya setelah aku telanjang. Lalu kami bergumul dengan gairah yang sama - sama hangat.

Kadang aku berada di bawah, diciumi oleh Tante Ratih dengan lahapnya. Bukan hanya bibir yang dicium dan dilumat olehnya, melainkan leherku juga dicelucup dan dijilati oleh lidahnya. Bahkan pentil dadaku yang cuma sebesar kacang hijau ini pun disedot - sedot olehnya. Terkadang aku berada di atas, menghimpit Tante Ratih sambil meremas sepasang toketnya yang memang masih lumayan kencang, pertanda rajin merawatnya.

Tadinya aku ingin menjilati memeknya yang tembem dan agak ternganga itu. Namun Tante Ratih mendahuluiku. Mengemut penisku dengan lahapnya, sambil mengurut - urut badan penisku yang tidak terkulum.

Dan setelah batang kemaluanku basah kuyup oleh air liurnya, cepat Tante ratih bertindak. Menempelkan moncong penisku di mulut memeknya, kemudian memek tembem itu turun… mendesak moncong penisku yang lalu membenam ke dalam liang sanggamanya yang hangat dan licin ini.

Tante Ratih pun menjatuhkan dadanya ke atas dadaku, dengan memek yang sudah “menelan” sekujur batang kemaluanku.

Lalu mulailah ia mengayun memeknya, up and down, membuat batang kemaluanku keluar - masuk di dalam liang memeknya yang licin tapi menjepit ini. Sementara kedua tanganku mulai beraksi. Terkadang mendekap pinggangnya erat - erat, terkadang meremas kedua buah pantatnya yang gede tapi kencang padat. Mulutku pun bisa beraksi untuk menjilasti leher jenjangnya yang mulai keringatan.

Makin lama liang memek Tante Ratih makin gencar mengocok batang kemaluanku, diiringi desah - desah nafasnya yang makin lama makin menggila.

“Doooon… aaaaa… aaaahhhh… Dooooon… aaaaah… Doooon… aaaa… Dooonnnn… aaaaaaah… Doooon… aaaaah… Doooon…”

Tante Ratih laksana singa betina yang kelaparan. Gerakan dan goyangan tubuhnya begitu agresif. Begitu pula pada saat ia sudah berada di bawah sementara aku berada di atas, tubuhnya tak pernah diam pada waktu giliran beraksi di atas perutnya.

Pinggul Tante Ratih mulai bergoyamng edan - edanan. Bergoyang ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, memutar - mutar dan meliuk - liuk, lalu menghempas - hempas ke kasur, sehingga batang kemaluanku terasa dibsot - besot dan diremas - remas oleh liang memeknya yang licin dan “hidup” ini.

Sebagai tanggapan, kugenjot penisku habis - habisan. Bermaju - mundur di dalam jepitan liang memek yang terasa “sangat hidup” ini (karena ada semacam kedutan - kedutan kencang di dalamnya).

Maka rintihan - rintihan histeris dan erotis tanteku pun semakin menjadi - jadi dan mungkin sudah di luar kesadarannya lagi.

“Dooonnnn… oooo ooooooh… Doooon… kontolmu kok enak sekali Dooooon… entot terus Doooon… entoooot teruuuussss… iyaaaa… iyaa… entoooottttttttt Doooon… entoooootttt… edaaaaan… ini enak bangeeeeet… entotttt Dooooooon… enoooooootttt …

Keringat sudah mulai membasahi tubuhku, leher Tante Ratih dan bahkan toketnya pun mulai dibasahi keringatku.

Sementara aku semakin gencar menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Bahkan ketiaknya pun tak luput dari jilatan dan gigitan - gigitanku, sementara tangan kiriku semakin asyik meremas - remas toketnya.

Sampailah pada suatu saat krusial dalam persetubuhan ini…

Ketika Tante Ratih sedang berkelojotan, aku pun sedang tancap gas… mengentotnya dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Lalu… ketika Tante Ratih sedang mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas, pada saat itu kurasakan penisku seperti diremas oleh liang memeknya. Disusul dengan kejutan - kejutan kencang di liang kenikmatan tanteku ini.

Aku menggelepar di atas perut Tante Ratih. Lalu terkulai lemas di dalam dekapannya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu