2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Dengan perasaan terharu kukecup bibir Liza disusul dengan bisikan, “Telan dulu pil kontrasepsinya nih.”

“Iya Cinta…” sahutnya dengan suara lirih. Lalu mengeluarkan sebutir pil kontrasepsi dari blisternya. Dan menelannya, didorong oleh air mineral yang kuberikan.

“Gimana perasaanmu sekarang?” tanyaku sambil mengusap - usap pipinya yang terasa masih keringatan.

“Makin mencintai Abang,” sahutnya sambil bangkit, “Aku mau mandi dulu ah. Badanku lengket - lengket gini sama keringat.”

“Silakan. Aku sih udah barusan.”

“Abang barusan mandi?”

“Nggak. Cuma dilap pakai handuk basah aja. Mandi mulu, takut luntur…”

“Hihihiii… Abang bisa aja. Pakai luntur segala. Apanya yang bisa luntur? Tampannya?”

“Iya… hahaahaa…”

Lalu Liza turun dari bed dan melangkah gontai ke arah kamar mandi. Sementara aku mengeluarkan celana pendek dan baju kaus serba hitam dari dalam tas pakaianku. Lalu mengenakannya.

Keesokan paginya, kuantar Liza ke rumah kosnya. Untuk mengambil pakaian dan barang - barangnya. Sambil pamitan kepada ibu kos, sekaligus menyelesaikan uang kos yang belum dibayar. Tentu saja dengan bantuan dariku.

Liza sudah bertekad bulat untuk meninggalkan Jakarta dan pindah ke kotaku. Untuk bekerja di perusahaanku, sambil mempersiapkan diri untuk menjadi calon pendamping hidupku.

Setibanya di kotaku, Liza tidak langsung dibawa ke rumah yang disediakan untuknya di belakang kantor perusahaanku itu, melainkan kubawa ke rumah peninggalan almarhum Papa itu.

Rumah itu senantiasa dijaga oleh satpam dan dilayani oleh pembantu. Sehingga aku tenang meninggalkan Liza sendirian di rumah itu.

Sementara itu aku harus memutasikan dulu Mbak Wien, sekretarisku.

Aku tidak mau memutasikan Mbak Wien dengan meninggalkan perasaan sakit di hatinya. Tapi aku harus menempatkan Liza sebagai sekretaris pribadiku.

Karena itu aku harus berusaha “menjinakkan” wanita 38 tahun yang berbadan tinggi montok dan berkulit kuning langsat itu.

Dan aku tahu cara yang paling jitu untuk menjinakkan janda setengah baya yang manis dan murah senyum itu.

Maka keesokan harinya lagi, aku memanggil Mbak Wien ke lantai dua. Ini adalah pertama kalinya Mbak Wien menginjak lantai dua, karena dia tahu kalau lantai dua itu adalah lantai pribadiku.

Di lantai dua, Mbak Wien kuterima di ruang tamu. Seperti biasa, sikapnya selalu hormat padaku. Dia hanya menunduk di sofa, sementara aku duduk di depannya.

“Begini,” kataku membuka pembicaraan, “Dua hari lagi akan kedudukan direktur utama akan dijabat oleh Ibu Kaila. Tentu saja dia harus didampingi oleh sekretaris yang sudah menguasai seluk beluk perusahaan ini. Dan satu - satunya orang yang cocok untuk mendampingi beliau, adalah Mbak. Jadi Mbak Wien mulai besok akan menjadi sekretaris dirut.

“Siap, bersedia Big Boss.”

“Tapi sudah pasti menjadi sekretaris dirut akan lebih sibuk nanti Mbak.”

“Siap. Saya memang suka pada kesibukan.”

“Nah… inilah yang aku suka pada Mbak. Senantiasa easy going. Tidak pernah ada complain masalah tugas,” kataku sambil berdiri, lalu duduk di samping kanan Mbak Wien. “Setelah bertugas menjadi sekretaris dirut, secara diam - diam Mbak juga harus bisa jadi pengawas. Kalau ada kebijaksanaan yang kurang tepat, Mbak harus melapor padaku.

“Siap.”

Tiba - tiba kupegang tangan kanannya, “Sebelum Mbak bertugas sebagai sekretaris dirut… aku ingin berterus terang pada Mbak… bahwa aku ini pengagum wanita setengah baya seperti Mbak ini.”

“Ma… masa sih?” Mbak Wien mengerling sambil tersenyum malu - malu.

“Serius Mbak. Sejak Mbak Wien menjadi sekretarisku, diam - diam aku sering mengamati Mbak. Pokoknya aku suka sama Mbak,” ucapku sambil mencium tangannya yang sedang kupegang ini.

“Ra… rasanya saya seperti sedang bermimpi. Masa Big Boss yang tampan dan masih sangat muda ini bisa suka sama saya yang jauh lebih tua.”

“Kan udah kuakui tadi, bahw aku ini pengagum wanita setengah baya. Jadi… sebelum Mbak menjadi sekretaris dirut, aku ingin melakukan sesuatu sebagai pegangan bahwa Mbak akan menjadi orang kepercayaanku nanti. Mbak tau kan kenapa aku ingin bicara di lantai dua yang merupakan lantai pribadiku?”

“Samar - samar Big Boss. Takut salah prediksi.”

“Di situ ada kamar Mbak,” kataku sambil menunjuk ke arah pintu kamar utama, “kita akan melakukannya di sana. Deal?”

“Hihihiii… saya jadi merinding Boss.”

“Kenapa merinding? Ngeri?”

“Bukan ngeri. Saya… saya kan sudah tiga tahun hidup menjanda. Dan sekarang… aaah… saya mau mengikuti apa kata Big Boss aja deh.”

“Nah begitu dong,” kataku perlahan, disusul dengan pagutan di bibir Mbak Wien.

Ternyata Mbak Wien menyambut dengan melumat bibirku, dengan suhu badan yang mulai menghangat.

Memang aku selalu mudah mendapatkan wanita. Apalagi Mbak Wien ini anak buahku langsung. Dan dengan kepala tertunduk ia mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar utama yang tiga hari lalu kujadikan tempat untuk menggumuli calon ibu mertuaku.

Dan kini Mbak Wien pasrah saja ketika aku melepaskan blazer putihnya.

“Maaf Big Boss… ini serius? Saya serasa kurang percaya pada pendengaran saya bahwa saya diinginkan oleh Big Boss yang masih sangat muda begini.”

“Pokoknya Mbak ini manis dan seksi di mataku. Sudah lama aku menginginkan ini. Tapi baru sekaranglah saat yang kurasa paling tepat,” sahutku sambil memperhatikan Mbak Wien yang sedang mencopoti kancing - kancing blouse abu - abu mudanya.

Aku pun melepaskan jas dan dasiku. Kemudian melepaskan kemeja tangan panjangku dan menggantungkan semuanya di kapstok. Kemudian sambil duduk di pinggiran bed kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Disusul dengan pelepasan celana panjangku.

Sementara Mbak Wien sudah melepaskan blouse dan spanrok putihnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba putih yang masih melekat di tubuh montok berkulit kuning langsat itu.

Aku sendiri tinggal mengenakan celana dalam. Dan langsung meraih Mbak Wien ke atas bed. Mbak Wien pun menelungkup, seolah memintaku agar melepaskan kancing behanya sekaligus memamerkan bokongnya yang… gede banget…!

Maka kutepuk - tepuk bokong gede itu… plakkk… plakkk… plakkk… sambil berkata, “Ini antara lain yang aku suka sama Mbak.”

“Hihihihiii… ternyata Big Boss suka bokong gede ya…” ucapnya sambil membiarkanku melepaskan kancing kait behanya.

Kemudian Mbak Wien menelentang sambil melepaskan behanya. Sepasang toket berukuran sedang terpampang di depan mataku. Toket yang kupegang dan terasa masih lumayan kencang padat. Belum kempes. Belum kendor.

“Toketnya seperti belum pernah menyusui,” ucapku sambil meremas toket Mbak Wien.

“Saya memang belum punya anak, Boss.”

“Ohya?! Asyik dong… memeknya pasti masih mrepet rapet.”

“Hihihi… gak tau. Nanti kan Boss akan merasakannya sendiri.”

“Sebentar… mau kuukur dulu ya,” kataku sambil menarik celana dalam Mbak Wien sampai terlepas dari sepasang kakinya. Kemudian kulepaskan celana dalamku sendiri. Dan kupukul - pukulkan penis ngacengku ke memek Mbak Wien yang bersih dari jembut.

Yang mengagumkan lagi pada diri Mbak Wien itu, adalah pinggangnya yang kecil ramping, meski bokongnya gede sekali.

Dan.. Mbak Wien terperanjat setelah melihat penisku. Lalu spontan bangkit dan memegang penisku sambil berkata, ““Big Boss…! Wow… punya Boss segini gede dan panjangnya…!”

“Kenapa? Takut sama kontol gede?”

“Takut ketagihan, hihihiiii…” sahut Mbak Wien disusul dengan ciuman dan jilatannya di leher dan kepala penisku.

“Nanti setelah Mbak jadi sekretarfis dirut, hubungan kita malah akan semakin dekat. Kalau aku lagi kepengen, pasti Mbak akan diuajak ke kamar ini. Kalau Mbak yang merasa kangen, tinggal kirim sms atau WA aja. Pasti kuladeni.”

“Pasti saya bakal sering kangen. Hmmm… mimpi aja belum pernah. Gak taunya bisa sedekat ini sama Big Boss.”

“Kalau sedang berduaan gini sih panggil nama aja, gak usah boss - bossan.”

“Gak berani ah manggil nama langsung. Kan biar bagaimana Big Boss orang nomor satu di perusahaan ini.”

“Tapi hubungan kita jadi kaku kalau manggil Big Boss dalam suasana seperti sekarang ini.”

“Manggil Mas aja ya. Biar sama yang jauh lebih muda manggil Mas juga, sebagai tanda menghormati.”

“Bolehlah panggil Mas, meski aku bukan orang Jawa.”

Mbak Wien tidak menyahut lagi, karena mulai memasukkan penis ngacengku ke dalam mulutnya. Lalu terasa ia mulai mempermainkan lidah di dalam mulutnya. Membuatku menahan - nahan nafas juga. Karena ternyata Mbak Wien pandai sekali mengoral penisku.

Namun pada dasarnya aku ini senang menjilati memek, tapi kurang suka penisku dioral pasangan seksualku. Karena kalau kelamaan dioral seperti ini, bisa cepat ejakulasi pada saat mengentot liang memeknya nanti.

Tampaknya Mbak Wien juga sama. Ketika aku menarik penisku dari dalam mulutnya, lalu mendekatkan mulutku ke memeknya, Mbak Wien mencegahku, “Jangan dijilatin Mas. Memek saya udah basah. Keburu horny sih. Nanti malah jadi gak bisa merasakan montoknya penis Mas.”

“Oke deh,” sahutku sambil berlutut dan meletakkan moncong penisku di mulut memek tembem wanita 38 tahunan itu.

Mbak Wien pun merenggangkan kedua belah pahanya sambil memegangi leher penisku. Lalu mencolek - colekkannya ke mulut vaginanya.

Kemudian ia memberi isyarat, pertanda arah moncong penisku sudah tepat.

Maka kudesakkan tongkat kejantananku sekuat tenaga. Dan… sedikit demi sedikit membenam ke dalam liang memek Mbak Wien.

Mbak Wien pun memejamkan matanya sambil menlontarkan suara, “Ooooo… oooo… oooooohhhh… masuk Massss… terasa sekali gedenya punya Mas Ini… seret sekali… luar biasa Masss…”

“Mbak sekarang mau ngapain?” tanyaku bercanda, setelah batang kemaluanku masuk lebih dari separohnya.

“Mau dientot sama punya Mas.”

“Punyaku? Telunjukku?”

“Sama titit Mas… hihihiii…”

“Titit sih buat anak kecil. Kalau punyaku apa namanya dalam bahasa keseharian?”

“Sama… ko… kontol Mas… hihihihihiiii…”

“Kalau punya Mbak di dalam bahasa daerah Mbak sendiri disebut apa?”

“Tempik Mas.”

“Jadi apa jelasnya yang mau kita lakukan ini?”

“Tempik saya mau dientot sama kontol Mas Donny… hihihihiii… maaf saya jadi kasar ngomongnya. “ Pada saat itulah aku mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Wien.

Wanita separoh baya itu pun mulai mendesah dan mengerang perahan, “Maaaas… ooooh… Maaassss… oooooh… kontol Mas ini… oooooh… terasa sekali gesekannya Maaaas… eeee… enak sekali Maaaassss…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu