2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 17

Aku berusaha untuk tutup mulut dahulu. Belum mau mengungkap bahwa aku ini anak Pak Margono yang ada di foto itu. Tapi aku setengah memaksa Tante Sin “jalan - jalan” untuk mencari udara segar di luar, meski hari sudah malam (sedangkan malam lebih banyak co2-nya daripada oksigennya). Tapi sebenarnya aku ingin mengajak Tante Sin ke rumah peninggalan almarhum Papa itu.

“Lho kok berhenti di rumah ini?” tanya Tante Sin setelah mobilku dihentikan di depan rumah peninggalan Papa itu. Seorang satpam pun muncul dan segera membuka pintu menuju garasi, sekaligus membuka pintu garasinya. Aku pun langsung memasukkan mobilku ke dalam garasi.

“Don… apa gak salah nih? Rumah ini dahulu tempat tinggal almarhum suami tante…”

“Justru aku sengaja mengajak Tante ke sini, supaya semuanya menjadi jelas,” sahutku sambil menuntun Tante Sin ke ruang keluarga. Lalu kutunjuk lukisan besar Papa dan Mama itu sambil berkata, “Mereka adalah Papa dan Mamaku, Tante.”

“Haaa?! “Tante Sin terkejut dan menatapku dengan sorot seperti tidak percaya pada pengakuanku, “Tapi menurut pengakuannya, Pak Margono itu tidak punya anak dari istri pertamanya. Lalu almarhum berusaha mendapatkannya dari tante. Tapi gagal juga. Bagaimana mungkin Donny bisa mengaku sebagai anaknya?

“Aku anak angkatnya Tante. Tapi aku juga baru tahu bahwa aku ini anak angkatnya, justru setelah Papa meninggal. Tapi aku tetap merasakan mereka seperti ayah dan ibu kandungku. Karena telah merawatku sejak bayi sampai dewasa dengamn penuh kasih sayang. Bahkan almarhum Papa meninggalkan surat wasiat di notarisnya, yang menyatakan bahwa aku adalah yang berhak memiliki seluruh harta peninggalannya.

“Iya…” kata Tante Sin sambil memelukku dari belakang, “tante juga akan menganggapmu sebagai reinkarnasi Pak Margono, Sayang.”

Kemudian kuajak Tante Sin ke ruang tamu, di mana ada sebuah foto besar yang digantungkan di dinding ruang tamu. Foto Papa yang sendirian.

Lalu aku menatap foto itu sambil berkata seolah - oleh sedang berhadapan dengan Papa, “Papa… aku merasa seperti dibimbing oleh roh Papa untuk berjumpa dengan Tante Sin ini, untuk menyayangi dan melindunginya. Baik… aku akan melindungi dan menyayangi istri mudamu ini, Papa. Semoga arwah Papa tenang di alam kekal.

Dan… diam - diam air mataku mengalir ke pipiku. Tante Sin juga tahu, lalu mengambil kertas tissue dari tas kecilnya untuk menyeka airmataku.

Sambil mendekap pinggangku, Tante Sin berkata lembut, “Mungkin benar. Arwah papamu ingin agar tante dilindungi dan disayangi oleh anak tercintanya.”

Aku cuma tersenyum getir. Karena teringat lagi segala kebaikan Papa dan Mama, yang memperlakukanku sebagai anak kandung mereka. Bahkan aku diperlakukan sebagai ahli waris tunggal, sebagai penerus kerajaan bisnisnya di Thailand dan di Singapura. Bahkan terakhir aku mendapatkan berita lagi dari Mr. Liauw, bahwa bisnis almarhum Papa masih banyak yang baru ketahuan olehnya, antara lain di Hongkong dan di Nederland.

Tadinya aku ingin mengajak Tante Sin tidur di rumah peninggalan Papa itu. Tapi Tante Sin tidak mau. Karena suasana di rumah itu malah membuatnya sedih, katanya. Maka akhirnya kami pulang ke rumah Tante Sin lagi.

Setibanya di rumah Tante Sin, foto Papa dan Tante Sin di atas cermin meja rias itu pun diturunkan. Lalu Tante Sin menyimpannya di laci lemari pakaian sambil berkata, “Tante menganggap kamu sebagai reinkarnasi almarhum suami tante. Karena itu tante akan mulai move on sejak malam ini. Dan akan menganggapmu sebagai pengganti Pak Margono.

Kemudian kami tertidur sambil berpelukan.

Setelah mengetahui bahwa aku ini anak angkat Papa dan Mama, gairah Tante Sin tidak memudar. Bahkan semakin menggebu - gebu, karena yakin bahwa aku diarahkan oleh arwah Papa untuk melindungi dan menyayanginya.

Maka hari - hari berada di rumah Tante Sin, adalah hari - hari yang selalu dihangatkan oleh gairah seksual kami berdua. Tiada hari tanpa hubungan seks, sampai saatnya Gayatri pulang.

Gayatri tidak pulang sendirian. Ia bersama lelaki yang sebaya dengan Papa almarhum dan wanita yang kutaksir berusia empatpuluh tahunan. Mereka adalah Pak Gunadi dan istrinya, ayah dan ibu kandung Gayatri…!

Berita dari Gayatri cukup menyenangkan. Karena ternyata budenya yang sakit keras itu sudah sembuh kembali. Kedua orang tua Gayatri pun datang ke Semarang, untuk ikut mengurus perawatan bude Gayatri, sampai akhirnya sembuh kembali.

Kemudian kedua orang tua Gayatri itu fokus padaku.

“Nak Donny ini teman karib Gandhi kan?” tanya Pak Gunadi.

“Iya Oom,” sahutku sopan.

Tiba - tiba Tante Sin nyeletuk, “Donny ini anak tunggal almarhum Pak Margono, Mas.”

“Haaa?! “Pak Gunadi tampak kaget, “Tapi setahu kami, almarhum Pak Margono tidak punya anak.”

Tante Sin yang menjawab, “Dia anak angkat yang diadopsi sejak masih bayi. Dan setelah Pak margono meninggal, notarisnya menyerahkan surat wasiat, bahwa Donny ini satu - satunya pihak yang berhak untuk memiliki selurfuh harta Pak Margono.”

Sikap ayah Gayatri langsung berubah jadi mencair. Bahkan seperti berhadapan dengan atasannya, “Gandhi tidak pernah cerita kalau Nak Donny ini anak Pak Margono.”

“Almarhum Papa kan sibuk terus Oom. Makanya Gandhi tidak pernah bertemu dengan Papa. Saya pun baru sekali ini berjumpa dengan Oom.”

“Berarti Nak Donny ini sekarang jadi boss saya ya.”

“Jangan ngomong gitu Oom. Perusahaan - perusahaan di Thailand sudah dijualin. Hanya perusahaan properti yang masih tetap dipertahankan.”

“Justru perusahaan saya bergerak di bidang properti, Nak Donny. Jadi mulai saat ini saya harus manggil Big Boss dong sama Nak Donny.”

“Wah… jangan bikin saya nggak enak ah. Saya kan pacar Gayatri. Masa Oom manggil boss sama pacar anak Oom.”

“Iya, soal itu sih saya sudah dengar dari Gayatri. Kalau saya sih terserah Gayatri sendiri yang akan menjalaninya. Orang tua kan tinggal merestui saja apa pun yang akan dilakukan oleh anaknya.”

“Terimakasih Oom.”

Setelah ngobrol banyak dengan Pak Gunadi dan istrinya, Gayatri mengajakku ke atas, ke dalam kamarnya.

Ini untuk pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar Gayatri. Begitu berada di dalam kamarnya, Gayatri memeluk dan menciumiku disusul dengan ucapan, “Berapa hari aku gak ketemu sama Abang, kangennya setengah mati.”

“Sama… aku juga. Tapi gak enak ada orang tuamu di bawah, kalau mau kangen - kangenan mending ke rumahku aja sekalian yuk,” sahutku.

“Ke rumah ibu Bang Donny?”

“Bukan, ke rumahku sendiri. Biar tenang kita berduaan aja. Kamu masih capek gak?”

“Nggak lah Bang. Naik pesawat kan cuma sejam tadi.”

Beberapa saat kemudian Gayatri sudah berada di dalam mobilku, menuju ke rumah peninggalan Papa itu.

“Bang… kalau Papa angkat Abang itu almarhum suami Tante Sin, berarti Abang ini anak tiri Tante Sin ya?”

“Iya. Dunia ini jadi terasa kecil bagiku. Ternyata kamu juga anak Pak Gunadi, yang dibawa ke Bangkok oleh almarhum Papa. Tapi aku baru ketemu papamu tadi.”

“Selama aku di Semarang, Abang tidur di kamar Tante Sin?”

Aku terhenyak. Pertanyaan yang Gayatri lontarkan itu tentu ada dasarnya. Sehingga aku tidak berani menjawabnya.

“Kalau Abang tidur di kamar Tante Sin, aku malah senang Bang. Apalagi kalau terjadi sesuatu dengan Tante Sin yang sudah lama tidak mendapatkan sentuhan lelaki, aku lebih senang lagi. Karena Tante Sin itu sangat menyayangiku sejak kecil sampai umurku delapanbelas tahun begini. Aku ingin membalas kebaikannya dengan apa pun caranya.

“Aku gak ngerti ke mana tujuan kata - katamu itu Tri,” sahutku pura - pura dungu.

“Aku sengaja meminta Abang tinggal di rumah Tante Sin selama aku di Semarang, memang ada maksudnya Bang. Supaya Tante Sin ditemani oleh cowok setampan Abang. Bahkan kalau terjadi sesuatu yang jauh, justru itu yang kuharapkan.”

“Terjadi sesuatu itu apa?” tanyaku masih berpura - pura bodoh.

“Abang menyetubuhi Tante Sin. Itu yang kuharapkan.”

“Kamu ini cewek cuckold atau gimana sih? Memangnya kamu gak cemburu kalau aku sampai menyetubuhi tantemu?”

“Kalau sama cewek lain, aku pasti cemburu. Tapi kalau dengan Tante Sin, aku benar - benar ikhlas Bang. Bahkan aku merasa bahagia sekali kalau bisa membahagiakan Tante Sin dengan cara apa pun. Karena aku terlalu banyak berhutang budi padanya Bang.”

Pembicaraan itu terputus, karena aku sudah tiba di rumah peninggalan almarhum Papa itu.

Seperti biasa, dua orang satpam membuka pintu menuju ke teras depan dan pintu menuju ke arah garasi.

Aku langsung memasukkan mobilku ke dalam garasi.

“Wow… tadinya kuanggap rumah Tante Sin paling megah. Tapi ternyata rumah Abang ini jauh lebih megah lagi,” ucap Gayatri setelah turun dari mobilku.

“Ini salah satu rumah peninggalan Papa angkatku,” sahutku sambil menggandeng pinggang Gayatri menuju ruang keluarga.

“Kapan - kapan aku ingin ketemu juga sama ibu kandung Bang Donny.”

“Iya. Nanti kuajak kamu ke rumah Bunda. Tapi dia sibuk ngurus café bersama saudara kembarku.”

“Haaa?! Bang Donny punya saudara kembar?” tanya Gayatri yang memang belum pernah dikasih tahu bahwa aku punya saudara kembar.

“Iya. Saudara kembarku cewek, namanya Donna.”

“Hihihi… lucu… namanya deket banget. Donny dan Donna. Tapi anak kembar memang suka begitu ya. Namanya suka berdekatan juga,” kata Gayatri sambil duduk di sofa ruang keluarga. Sambil memandang ke arah lukisan besar itu. Lukisan Papa dan Mama itu.

“Itu foto Papa dan Mama angkatg Abang ya?”

“Iya. Sama dengan foto yang ada di kamar Tante Sin kan?” ucapku keceplosan. Mengatakan foto di dalam kamar Tante Sin, sama saja dengan mengakui bahwa aku pernah berada di dalam kamar wanita Indo - Belgia itu.

“Jadi Abang sudah tau seluk beluk kamar Tante Sin kan?”

“Iya… kamu gak marah kan?”

“Nggak. Asalkan Abang bicara sejujur mungkin, sedikit pun aku takkan marah. Tapi kalau Abang membohongiku, pasti aku akan marah.”

Aku terdiam dan tak tahu lagi apa yang harus kukatakan.

“Abang sudah menggauli Tante Sin kan?” tanya Gayatri sambil memegang tanganku. Mengingatkanku waktu dia meremas - remas tanganku di gedung bioskop itu..

“Kalau kamu berjanji takkan marah, aku akan membuka semuanya.”

“Iya, iyaaaa… aku janji takkan marah, asal Abang bicara sejujur mungkin.”

Meski ragu, kubuka juga rahasia itu, “Mmmm… Tante Sin memang mendesak… ingin kugauli. Sehingga aku merasa kasihan juga padanya. Jadi… akhirnya kugauli juga tantemu itu Sayang.”

Di luar dugaanku, Gayatri bahkan mencium pipiku disusul dengan ucapan, “TGerima kasih Bang. Memang itu yang kuinginkan, makanya aku meminta Abang temani Tante Sin sampai aku pulang dari Semarang.”

“Jadi kamu gak marah?”

“Tidak. Aku malah seneng mendengarnya.”

“Aaah… bohong. Pasti kamu marah, tapi disimpan saja kemarahannya di dalam hati.”

“Nggak Bang. Aku nggak marah. Makanya aku minta Abang menemani Tante Sin selama aku di Semarang, karena aku menginginkan hal itu. Tapi aku tidak berani mengatakannya kepada Abang di WA saat itu.”

“Tapi aku gak yakin kalau kamu gak marah,” kataku, “Mungkin kamu sengaja menjebakku di rjumah Tante Sin. Menjebak untuk menguji kesetiaanku padamu.”

“Gak Bang. Aku sama sekali tidak berniat menjebak Abang segala. Kalau Abang masih tidak percaya, ambillah keperawananku sekarang juga. Supaya Abang yakin bahwa aku memang mengharapkan Tante Sin digauli Bang.”

“Memangnya kamu sudah kepengen ngerasain enaknya disetubuhi?” tanyaku sambil melingkarkan lengan kiriku di pinggang Gayatri yang duduk di sebelah kiriku.

Gayatri menatapku. Lalu mengangguk sambil tersenyum malu - malu. Dan berkata perlahan, “Aku sih sekalian ingin membuktikan aja pada Abang. Bahwa aku serius pada Abang, tapi tidak main - main dalam masalah Tante Sin itu.”

“Terus, kalau kamu hamil nanti gimana?”

“Kalau bisa sih jangan hamil dulu Bang. Tapi kalau memang harus hamil, ya hamil aja. Asalkan Abang cepat - cepat menikahiku.”

“Kita masih terlalu muda untuk menikah Sayang. Bisa deh gak hamil. Aku menyimpan pil anti hamil. Ayo ke kamarku,” ajakku sambil berdiri dan menarik pergelangan tangan Gayatri, yang saat itu mengenakan celana beludru biru tua dengan blouse putih. Sengaja aku mengajaknya ke kamar, karena pakaian Gayatri itu, pasti menyulitkan kalau tidak dilepaskan dulu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu