2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Tante Huan memang senang hardcore. Tapi dia cepat orgasme. Sementara kejantananku sedang garang - garangnya. Mungkin pada dasarnya aku senang hardcore juga. Sehingga ketika mendapatkan paassangan seksual yang laksana seekor harfimau betina ini, aku pun seolah menjelma jadi seekor harimau jantan yang sangat garang.

Aku tak bisa menghitung lagi berapa kali Tante Huan menikmati orgasmenya. Mungkin inilah yang disebut multi orgasme. Sedangkan aku, belum ejakulasi juga. Padahal tubuhku sudah bermandikan keringat. Tante Huan pun sama, sudah bermandikan keringat yang bercampur baur dengan keringatku.

Sampai pada suatu saat Tante Huan bertanya terengah, “Ooooh… Donny.. pa… pakai obat apa sih Don? Kok gak… gak ejakulasi juga? Pakai viagra ya?”

“Aku gak pernah pakai obat apa pun Tante. Aku kan masih muda. Belum membutuhkan obat - obatan seperti itu,” sahutku, “Tante mau istirahat dulu?”

“Iya Don. Keringatku sampai sudah mengering lagi di badanku. Enaknya sih mandi dulu,” sahutnya.

“Ayo kalau mau mandi dulu sih,” sahutku sambil melepaskan kontolku dari liang “cipet” Tante Huan.

Lalu dalam keadaan sama - sama telanjang kami melangkah ke kamar mandi.

Air hangat shower pun memancar dari atas kepala kami. Membuat sekujur tubuh kami basah. Hal ini malah membuat suasana semakin romantis, terutama karena aku belum ejakulasi.

Setelah menyabuni dan membilas tubuh kami, Tante Huan tampak segar kembali. Ia mendekap pinggangku di bawah pancaran air hangat shpwer sambil berkata, “Sekarang aku sudah siap lagi melayani kehebatanmu, Tuan Donny…”

“Berapa kali orgasme tadi?”

“Gak kehitung lagi saking lupa daratannya… yang jelas sering orgasmenya… baru sekali ini aku merasakan berkali - kali orgasme seperti tadi.”

Jemariku pun mulai menggerayangi liang memek Tante Huan. “Masih kuat berapa lama kuentot lagi memek Tante ini?”

“Sampai Donny puas saja. Hmmm… Donny sudah gak sabar lagi ya?”

Aku tidak langsung menjawab, karena sedang berusaha memasukkan kontolku ke dalam memek Tante Huan sambil berdiri di kamar mandi.

Dan ketika Tante Huan sudah tersandar di dinding kamar mandi, sementara kontolku sudah amblas ke dalam memeknya, kidung biarhi pun berkumandang lagi. Dengan denting - denting sakral bertaburkan bunga - bunga surgawi.

O, betapa nikmatnya mengentot wanita yang bertahun - tahun membuatku penasaran ini.

Tante Huan melingkarkan kedua lengannya di leherku, sementara aku semakin gencar mengentotnya sambil mendekap pinggangnya.

Meski persetubuhan ini dilakukan sambil berdiri di kamar mandi, Tante Huan tetap merintih dan mendesah. ciuman hangatnya pun mendarat di bibirku bertubi - tubi.

Sementara kontolku semakin mengganas… seolah memompa liang memek berjembut lebat itu.

Meski baru saja selesai mandi, kini keirngat kami mengucur lagi dengan derasnya.

Sampai pada suatu saat, aku berbisik terengah, “Lepasin di mana Tante?”

“Sudah mau ejakulasi?” Tante Huan balik bertanya.

“Iyaaaa…” sahutku.

‘Di dalam mulutku aja Don. Aku ingin meminum sperma Donny, sebagai tanda mendalamnya perasaanku pada Donny…”

“Iiiiyaaaaa… ini udah mau meletussss…” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek Tante Huan.

Spontan Tante Huan berjongkok di depanku dan langsung memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Disusul dengan urutan - urutan di badan kontolku dan isapan serta selomotannya.

Tak kiuasa lagi aku menahannya. Maka meletuslah lahar kenikmatanku di dalam mulut Tante Huan: Croootttt… croooottttt… crottt… crooootttt… crotttt… crottttttt… crooootttt…!

Tante Huan benar - benar menelan spermaku sampai habis, tak disisakan setetes pun…! Tentu saja aku terharu dibuatnya. Karena Tante Huan bukan wanita sembarangan. dia orang tajir melilit yang menjadi rekan bisnis Papa almarhum.

Tante Huan berdiri lagi sambil mendekapku dan berkata, “Ini pertama kalinya aku bisa orgasme berulang - ulang. Pertama kalinya bersetubuh sambil berdiri. Dan pertama kalinya menelan sperma lelaki.”

“Terima kasih Tante,” sahutku, “Semua yang telah terjadi memang mengesankan sekali.”

“Dan hubungan kita harus berlanjut terus Don.”

“Oke, “aku mengangguk sambil memutar kran shower. Air hangat pun memancar lagi dari shower di atas kepala kami.

Ya, kami harus mandi lagi, karena tubuh kami sudah keringatan kembali.

Setelah mandi, kami berpakaian kembali. Kemudian melanjutkan perundingan masalah bisnis di ruang tamu.

Kedatangan Tante Huan memang tak pernah kuduga sebelumnya. Tahu - tahu dia mau menginvestasikan uangnya sekaligus mau menginvestasikan… memeknya…!

Hidupku memang banyak kejutannya. Ada saja suatu hal yang tak pernah terpikirkan lalu datang secara tiba - tiba.

Seperti pada suatu hari…

Ketika petugas security mengantarkan seorang tamu, seorang wanita muda yang mengenakan gaun katun abu - abu polos itu, aku tercengang. Karena aku masih ingat bahwa wanita muda itu istri almarhum Oom Jaka.

Aku bangkit dari kursi kerjaku dan menyapanya, “Tante Marsha?”

Wanita muda yuang cantik dan berperawakan agak montok tapi tidak gendut itu mengangguk dengan senyum manis. Maka kucium tangannya, lalu cipika - cipiki dengannya.

Aku masih ingat benar, bahwa sebelum 40 hari meninggalnya Oom Jaka, aku sengaja datang sendiri ke rumah mendiang adik Bunda itu. Untuk menyerahkan amplop berisi uang dan dua dus besar kue - kue. Untuk membantu tahlilan 40 harian meninggalnya Oom Jaka. Saat itu Tanhte Marsha sendiri yang menerimanya.

Dan sekarang dia benar - benar datang ke kantorku.

Karena dia itu mantan istri pamanku, maka kuajak dia ke lantai dua. Ke private room. Karena aku tahu pasti dia akan menceritakan kesulitannya. Dan akan meminta bantuanku.

Di lantai dua kuajak Tante Marsha duduk di sofa ruang keluarga.

Aku duduk di depan sofa yang diduduki oleh Tante Marsha.

“Bagaimana? Tante datang ke sini tentu ada yang perlu kubantu kan?” tanyaku dengan nada sopan, karena biar bagaimana pun dia pernah menjadi istri pamanku.

Tante Marsha menatapku. Lalu menunduk dan menangis terisak - isak, “Iya Don… hiks… sejak Oom Jaka meninggal… aku… hiks… aku jadi seperti layang - layang putus talinya… tak tau lagi harus bagaimana… hikssss…”

Melihat dia menangis, aku pun langsung pindah ke sofa yang didudukinya. Lalu memndekap bahunya sambil berkata, “Tenang Tante… tenang. Aku akan membantu Tante. Kalau memang ada kesulitan, katakan saja padaku.”

Tante Marsha membenamkan mukanya ke dadaku sambil berkata terputus - putus, “Oom Jaka meninggalkan hutang yang cukup banyak. Mereka pada nagih pdaku. Sedangkan aku… mau bayar dari mana uangnya? Waktu tahlilan empatpuluh harinya juga kalau gak ada bantuan dari Donny takkan bisa tahlilan.”

“Berapa jumlah hutangnya semua?” tanyaku sambil menyeka air matanya dengan kertas tissue dari meja kecil di depanku.

“Enambelasjuta,” sahutnya.

Ah… kusangka hutangnya itu milyaran. Ternyata “hanya” enambelasjuta rupiah.

“Tante punya rekening tabungan?” tanyaku.

“Boro - boro punya tabungan Don… hiks… “Tante Marsha membenamkan dadanya lagi ke dadaku.

Dan gilanya… otakku jadi ngeres. Karena waktu memeluk dan mengusap - usap rambutnya ini, terasa benar padat kencangnya tubuh Tante Marsha ini. Tapi aku mau mengambil uang cash dari dalam kamarku. Maka kataku, “Tunggu sebentar ya.”

Aku berdiri dan melangkah ke dalam kamarku. Lalu kubuka brankas dan termenung sejenak. Akhirnya kuambil tiga ikat uang seratusribuan dan kumasukkan ke dalam amplop besar berwarna drill. Lalu aku kembali lagi ke ruang keluarga dan duduk di samping Tante Marsha lagi.

Kuberikan amplop berisi uang 30 juta itu kepada Tante Marsha sambil berkata, “Ini uang untuk membayar hutang - hutang almarhum. Sisanya pakai aja buat keperluan Tante sehari - hari.”

Tante Marsha membuka amplop itu dan melihat isinya. “Banyak sekali Don. Aku hanya butuh enambelas juta.”

“Iya, sisanya untuk kebutuhan sehari - hari Tante dan anak - anak.”

“Aku belum punya anak Don,” ucapnya sambil memasukkan amplop berisi uang itu ke dalam tas kecilnya.

“Ohya?! Oom Jaka tidak meninggalkan keturunan sama sekali?”

“Waktu almarhum menikah denganku, statusnya sudah duda. Punya anak sih, tapi dari istri pertamanya yang sudah diceraikan. Denganku sama sekali belum menghasilkan keturunan.”

“Lalu… berapa lama Tante menjadi istri almarhum?”

“Baru dua tahun. Waktu menikah dengannya, usiaku baru duapuluhdua tahun, sedangkan almarhum sudah berusia empatpuluhan saat itu.”

“Jadi Tante sekarang baru berumur duapuluhempat tahun?”

“Iya Don. Makanya kalau bisa sih, aku mau bekerja saja di perusahaan Donny. Karena gak mungkin aku bolak - balik ke sini untuk terus - terusan minta bantuan sama Donny,” ucapnya dengan nada memohon.

“Mau bekerja di bagian apa Tan?”

“Bagian apa aja. Bagian cleaning service juga mau.”

“Hush… masa Tante secantik ini mau bekerja di bagian cleaning service?!” ucapku sambil memegang dan meremas tangannya yang hangat dan halus.

“Daripada nganggur… bagian apa juga aku bersedia Don.”

Aku tercenung sesaat. Ada yang ingin kukatakan tapi takut terjadi salah faham. Sampai akhirnya aku nekad berkata, “Tante akan kutempatkan di bagian yang sangat istimewa.”

“Di bagian apa?” tanyanya dengan sorot ragu.

Sebagai jawaban, aku berbisik di dekat telinganya, “Tante bersedia menjadi kekasih rahasiaku?”

Tante Marsha tersentak. Menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. “Donny serius?”

“Sangat serius Tante. Tapi hubungan kita takkan bisa berlanjut ke perkawinan secara sah. Karena kalau sampai kita menikah, pasti keluargaku akan heboh. Tapi Tante akan kuperlakukan seperti istriku. Akan mendapatkan rumah, nafkah lahir - batin secara teratur. Bahkan kalau Tante sampai hamil pun aku siap menyediakan bekal untuk masa depan anaknya.

“Sekarang umur Donny berapa? Belum duapuluh tahun kan?”

“Sudah duapuluhdua… sebulan lagi juga sudah duapuluh tiga. Tante hanya setahun lebih tua dariku.”

Wajah Tante Marsha mendadak berubah ceria. Ia memegang tanganku sambil berkata, “Gak nyangka aku akan merasakan kebahaghiaan setelah sekian lamanya tenggelam dalam kesedihan dan kegelapan Don. Tapi jangan manggil tante lagi dong padaku ya. Panggil aja Marsha… karena aku juga tujuh bulan lagi baru genap duapuluhempat tahun.

“Iya… mulai saat ini aku akan memanggil Marsha… Marshaku…” ucapku.

“Dan mulai saat ini aku menjadi milik Donny… Donnyku…” kata Marsha sambil menatapku dengan sorot cerah. Membuatnya semakin cantik di mataku.

Maka tanpa basa - basi lagi kupagut bibir mungil sensualnya. Marsha pun melingkarkan lengannya di leherku. Dan balas melumat bibirku dengan penuh kehangatan.

Setelah lumatan kami terlepas, aku berkata setengah berbisik, “Di kamarku aja yuk. Biar lebih nyaman.”

Marsha mengangguk. Lalu kutuntun dia ke dalam kamarku. Setelah menutup dan menguncikan pintu, aku duduk di sofa kamar pribadiku sambil menarik pergelangan tangan Marsha. Dan kuletakkan bokongnya di atas kedua pahaku. Setelah ia duduk di atas pangkuanku, lenganku pun kulingkarkan di pinggangnya. Sambil bertanya, “Gimana perasaan Marshaku sekarang?

Marsha menggeleng, Malah sebaliknya. Seperti sedang bermimpi. Karena tak menyangka akan disukai oleh Donnyku…”

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanyaku sambil mempererat dekapanku.

“Terserah Donnyku. Apa pun yang diinginkan oleh Donnyku akan kuikuti,” sahutnya sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Apakah tidak terlalu dini kalau kita melakukan bersebadan sekarang?” tanyaku sambil mengusap - usap paha putih mulusnya.

“Nggak, “Marsha menggeleng, “Aku malah sudah setahun lebih tidak pernah merasakannya.”

Tanganku menyelusup ke balik gaun katun Marsha sampai pangkal pahanya yang terasa hangat. “Aku sih pada waktu Marsha sedang nangis tadi juga udah mulai kepengen…”

“Ya udah lakukan aja sekarang. Aku siap melayanimu kok Donnyku Sayang…”

Sebenarnya tanganku sudah menyelinap ke balik celana dalamnya. Tapi kukeluarkan lagi sambil berkata, “Silakan buka busanamu… aku ingin tau bentuk tubuh wanita yang sudah menjadi milikku.”

Marsha mengangguk. Lalu turun dari pangkuanku. Kemudian berdiri di depanku sambil melepaskan gaun dan sepatunya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba putih yang masih melekat di tuibuhnya.

“Boleh aku pipis dulu? ACnya dingin sekali, jadi aja pengen pipis, “katanya, yang kujawab dengan anggukan kepala dan senyum di bibir.

Bergegas Marsha masuk ke kamar mandi. Meninggalkanku dengan terawangan baru. Bahwa di mataku, Marsha itu nyaris sempurna. Atau bisa juga kukatakan sempurna untuk ukuran manusia biasa.

Aku tak menyangka semua ini. Bahwa Oom Jaka akan “mewariskan” istrinya yang masih muda itu padaku.

Ketika Marsha muncul dari kamar mandi, aku menyambutnya dengan ucapan, “Pakaian dalamnya biar aku yang buka Sayang. “Ini pertama kalinya aku menyebut kata Sayang padanya.

Marsha menurut saja. Ia duduk di sampingku dengan sikap manja yang gemesin. Bahkan lalu ia merebahkan kepalanya di atas pangkuanku. Sehingga aku bisa mengamati kecantikannya dari jarak yang sangat dekat.

“Telungkup dulu Sayang… aku mau melepaskan kancing behamu.” ucapku.

Marsha pun menelungkup dengan wajah di atas kedua pahaku. Lalu kulepaskan kancing kait beha putihnya. Marsha celentang lagi dan tetap meletakkan kepalanya di atas sepasang pahaku.

Lalu kelepaskan behanya.

Sepasang toket yang sangat indah pun terbuka di depan mataku. Toket yang tidak terlalu gede, tapi tidak pula kecil. Sangat proporsional. Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi padat. Tidak kurus, tidak pula gemuk.

Tapi yang membuatku tercengang adalah ketika kuturunkan celana dalamnya, kemudian Marsha sendiri yang melepaskannya.

Wow… sebentuk kemaluan yang indah sudah terbuka di depan mataku. Kemaluan yang bersih dari jembut dengan bentuk yang begitu eloknya.

Sehingga aku tak sabaran lagi. Lalu mengangkat tubuh yang sempurna itu (untuk ukuran manusia biasa) dan meletakkannya dengan hati - hati di atas bed.

Aku pun menelanjangi diriku sendiri. Kemudian merayap ke atas perut Marsha yang sudah telanjang bulat itu.

Marsha menyambut kehadiranku di atas dadanya dengan senyum manis di bibirnya.

Aku pun langsung mencium bibir sensualnya itu, dengan gairah dan hasrat sepenuh hati.

Dan ketika kusentuh payudaranya, ternyata payudara Marsha masih kencang dan padat. Sehingga aku makin mengaguminya dan semakin bulat tekadku untuk memiliki dan merawatnya. Bukan sekadar mau melampiaskan nafsu birahi belaka.

Ada perasaan penasaran di dalam hatiku, ingin segera tahu seperti apa rasanya memek mungil dan imut - imut itu.

Sehingga aku pun agak buru - buru melorot turun, sehingga wajahku berada tepat di atas memek Marsha.

Kuusap - usap memek imut itu dengan lembut. Kemudian kuciumi dan kungangakan. Dan memperhatikannya dengan teliti. Aku heran ketika mengamati keadaan di dalam memek Marsha itu. Kenapa kelihatannya seperti masih perawan?

Ah, mungkin aku salah lihat. Masa Marsha yang sudah janda itu masih perawan?

Meski benakku masih menyimpan tanda tanya, kujilati memek Marsha dengan lahap. Sehingga ia mulai menggeliat dan menahan - nahan nafasnya.

Aku bukan hanya menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu. Kelentitnya pun mulai kujilati secara intensif, disertai dengan isapan - isapan, yang membuat tubuh Marsha terkejang - kejang. Tentu saja aku melakukan semuanya ini sambil mengalirkan air li9urku sebanyak mungkin ke bagian dalam memeknya.

Cukup lama kulakukan semuanya ini.

Dan setelah merasa cukup banyak air liurku membasahi bagian dalam memek Marsha, akhirnya aku pun merangkak ke atas tubuhnya, sambil memegang leher kontolku, yang moncongnya sudah kuletakkan di ambang mulut vagina Marsha.

Kemudian kudorong kontolku sekuat tenaga.

Tapi… sttttt… moncong kontolku “terpeleset” ke bawah. Sehingga harus kubetulkan letaknya agar pas menuju liang sanggamanya. Kemudian kudorong lagi sekuatnya.

Gila… meleset lagi…!

Betulkan lagi letak moncong kontolku. Dorong lagi sekuatnya.

Meleset lagi…!

Gemas juga aku dibuatnya. Kudorong sepasang paha Marsha selebar mungkin. Lalu kuletakkan lagi moncongnya di tempat yang kuanggap sangat tepat. Kemudian aku mengumpulkan tenagaku untuk mendorong lagi kontol ngacengku dengan kekuatan full.

Naaaah… kini mulai masuk kepala dan lehernya…!

Aku pun menghempaskan dadaku ke atas dada bertoket indah ini. Dan mengumpulkan tenaga untuk mendorong kontolku kembali. Sambil memegang sepasang toket yang berukuran medium ini, kudorong kembali kontolku sekuat tenaga.

Berhasil masuk separohnya. Dan… liang memek Marsha luar biasa sempitnya. Bahkan lebih sempit daripada liang memek perawan yang pernah kuambil perawannya.

Hal ini membuat benakku menyimpan tanda tanya yang lebih besar. Tapi aku takkan menanyakan apa - apa padanya. Kini aku mulai menarik kontolku perlahan - lahan. Kemudian mendorongnya lagi sampai masuk lebih dalam dari tadi. Tarik lagi perlahan - lahan… dorong lagi semakin dalam… tarik lagi perlahan - lahan, dorong lagi semakin dalam.

Dengan tekun kulakukan hal ini. Sampai liang memek super sempit ini bisa beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku.

Dan setelah liang memek Marsha benar - benar beradaptasi dengan ukuran kontolku, aku mulai mengentotnya dengan gerakan perlahan dulu. Marsha pun mulai menggeliat - geliat sambil menahan - nahan nafasnya. Terkadang ia menatapku dengan senyum pasrah. Kemudian membiarkan bibirku menggeluti bibirnya.

Sampai pada suatu saat, aku mengangkat badanku dengan kedua tangan menahan tubuhku. Karena aku ingin melihat kontolku sendiri yang sedang keluar - masuk liang memek super sempit itu.

Ada darah di kontolku…!

Berarti Marsha masih perawan…!

Tapi mungkinkah kenyataan ini? Haruskah aku menanyakannya kepada Marsha?

Entahlah. Sekarang waktunya untuk mengentot Marsha. Bukan untuk bertanya jawab.

Karena itu dengan sepenuh gairah dan perasaan, aku mulai mengentot memek Marsha dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu perlahan.

Terasa sekali batang kemaluanku maju - mundur di dalam liang yang super sempit dan… luar biasa enaknya…!

Marsha mulai menggeliat dan mengejang. Dengan kedua tangan meremas - remas kain seprai. Rintihan histerisnya pun mulai terdengar.

Doooon… ooooo… ooooohhhhh… Dooooniiii… ini… ini luar biasa enaknya Doooon… ooooh… Dooooniiiii… enak sekali Dooon… ooooohhhhh… belum pernah aku merasakan yang seenak ini Doooon… ooooohhhhh… Dooooniiiiii ini luar biasa enaknya Dooooon… ooooh… Doooon… Doooon …

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu