2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Tante Dina dan Tante Santi kakak beradik langsung (tidak terhalang saudara lain). Tapi bentuk mereka sangat berbeda. Tante Santi berperawakan tinggi langsing, sementara Tante Dina berperawakan tinggi semok, tapi tidak gendut. Yang paling menyolok adalah perbedaan kemaluan mereka. Tante Santi memelihara jembut, sementara memek Tante Dina dicukur bersih.

Dan kini Tante Dina yang anggun tapi seksi itu sudah telanjang bulat di depan mataku.

Spontan aku pun menelanjangi diriku sendiri. Lalu meraih Tante Dina ke atas bedku.

“Aku gak mau munafik Don. Aku memang sedang sangat membutuhkan sentuhan lelaki. Apalagi disentuh oleh cowok semuda dan setampan kamu. Ditambah lagi dengan perasaan berterimakasih telah dijanjikan untuk jadi wakil Santi.”

“Tante Dina dan Tante Santi selain akan menduduki jabatan yang sudah disebutkan tadi, aku akan menjadikan Tante sebagai simpananku ya.”

“Whatever lah… apa pun yang kamu inginkan, akan kulaksanakan.”

Ucapan Tante Dina itu terputus, karena aku sudah menghimpitnya. Lalu mencium dan melumat bibir sensualnya. Setelah ciuman dan lumatanku terlepas, aku berkata, “Oom Marta itu lelaki terbodoh di dunia. Istri seanggun dan seseksi begini disia - siakan.”

“Biarin aja. Aku kan punya keponakan yang ganteng dan baik hati ini,” sahut Tante Dina sambil menepuk - nepuk pipiku perlahan.

Kemudian aku melorot turun. Ingin segera menyentuh memeknya.

Setelah wajahku berada tepat di atas memek Tante Dina, aku agak terngengang. Karena kelentitnya tampak jelas sekali, menonjol di bagian atas memek tembem dan bersih itu.

Kuelus - elus kelentit Tante Dina dengan ujung jariku sambil berkata, “Clitorisnya menonjol sekali Tante.”

“Iya Don. Kalau aku sedang horny berat, itilku suka muncul sendiri,” sahut Tante Dina.

“Jadi mudah menyentuhnya…” ucapku sambil menjulurkan lidahku. Lalu kujilati kelentit Tante Dina itu dengan lahap. Sehingga Tante Dina mulai mengejang - ngejang sambil meremas - remas rambutku.

“Oooo… oooooh… Doooonnniiii… langsung dijilatin itilnya… ooooohhhh… bisa - bisa aku orgasme duluan Dooon… “rengek Tante Dina tersendat - sendat.

“Nggak apa Tante. Kalau sudah orgasme, liang memeknya jadi licin dan becek. Aku malah suka kok memek becek sehabis orgasme. Jadi lain rasanya.”

Tapi aku tak cuma menjilati dan mengisap - isap kelentit Tante Dina. Jari tengahku pun kuselundupkan liang memeknya. Sehingga aku bisa membayangkan “rasa” kemaluan tanteku yang anggun dan seksi ini. Pasti kenyal dan legit. Kalau diibaratkan nasi sih, pasti pulen rasanya.

Karena itu aku tak mau berlama - lama menjilati kelentit yang menonjol dan mengkilap itu. Lalu aku merayap ke atas perut Tante Dina sambil memegang leher kontolku yang sudah kuarahkan moncongnya ke mulut memek Tante Dina.

Tante Dina pun merenggangkan sepasang pahaku, sambil ikut memegangi leher kontolku. Lalu moncongnya dicolek- colekkan ke belahan memeknya. Setelah dianggap pas arahnya, dia memberi isyarat agar aku mendorong batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.

Aku pun mendesakkan kontolku sekuatg tenaga. Dan melesak separuhnya… blessssss… diiringi desah nafas Tante Dina… “Aaaaaaaah… gede banget kontolmu Dooon… sampe terasa bener melesak masuknya gini… oooooh… ““

“Ayo sekarang sih mau jerit - jerit sekuatnya juga gak apa - apa Tante. Takkan terdengar ke luar…” sahutku sambil mulai mengayun kontolku, maju - mundur di dalam liang memek Tante Dina yang sesuai dengan prediksiku. Legit, kenyal dan hangat.

“Donny… ooooh… Doooon… ooooooh… Doooon… edaaan… ini luar biasa enaknya Dooon… oooooh… gak nyangka kamu punya kontol segede dan sepanjang ini Doooon… adudududuuuuuh enaknyaaaa… ayoooo Dooon… entotlah sepuasmu…”

Aku pun berusaha menyahut meski terengah - engah, “Mem… memek Tante juga edan… gu… gurih dan legit sekali Tanteee… ugh…”

Aku tidak gombal. Di antara semua wanita setengah baya, Bunda menempati peringkat pertama. Peringkat kedua diduduki oleh Tante Santi dan Tante Dina.

Memek Tante Santi dan Tante Dina beda - beda rasanya. Beda - beda pula keistimewaannya. Maka kalau Tante Santi kuberi nilai 9, maka Tante Dina pun mendapatkan nilai 9 juga.

Kalau mereka mau, aku akan menjadikan mereka perempuan simpananku, dua - duanya, meski mereka tante - tanteku sendiri. Dengan sendirinya level kehidupan mereka harus ditingkatkan ke level yang layak.

Kepuasan seksual mereka pun harus kuutamakan.

Itulah sebabnya aku mengentot Tante Dina dengan upaya se-perfect mungkin. Agar dia merasa puas dan jangan sampai mencari kepuasan dengan cowok lain.

Pada waktu entotanku digencarkan, mulut dan tanganku pun ikut beraksi. Mulut digunakan untuk menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sementara tanganku meremas toket gedenya yang masih padat kencang dan mulus sekali itu.

Di saat lain aku menjilati daun telinganya, namun tangan kiriku tetap meremas toket gedenya. Bahkan ketika aku mengemut pentil toket kirinya, tangan kiriku tetap meremas - remas toket kanannya.

Ketika tangan kanannya berada di samping kepalanya, kujilati pula ketiak kanannya, sementara yang kuremas jadi toket kirinya.

Tampaknya hal ini membuat Tante Dina lupa daratan. Sehingga desahan dan rintihannya sem, akin menjadi - jadi. “Donny… oooohhhhh… Dooooon… belum pernah aku merasakan disetubuhi seenak ini Dooon… ooooohhhh… ini luar biasa enaknya Dooooonnnn… ooooohhhhh… oooooohhhhh… Dooooniiiiii…

Tante Dina tak cuma bisa merintih dan merengek. Dia juga bisa mengayun bokong semoknya, memutar - mutar, meliuk - liuk, menghempas - hempas sambil menukik sedemikian rupa, sehingga kelentitnya bisa bergesekan dengan batang kemaluanku. Ini membuatku semakin bersemangat. Bahkan menargetkan untuk mencapai puncak nikmat bersamaan.

Keringatku pun mulai bercucuran. Bercampur aduk dengan keringat Tante Dina. Sampai pada suatu saat, ketika Tante Dina berkelojotan dengan nafas terengah - engah, aku pun mempercepat entotanku.

Sampai pada suatu detik… sekujur tubuh Tante Dina mengejang tegang, aku pun membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek tanteku.

Pada saat itulah kurasakan sesauatu yang teramat indah. Bahwa liang memek Tante Dina berkedut - kedut kencang, Disusul dengan membasahnya liang memek legit itu. Pada saat yang sama kontolku pun mengejut - ngejut, sambil memuntahkan lendir kenikmatanku yang bertubi - tubi… crooottttt… crooottttttttt…

Aku sengaja mempercepat ejakulasiku, karena badanku sudah lumayan letih bekas kegiatan tadi siang seharian. Selain daripada itu aku akan membawa Tante Dina ke rumah yang sudah ditempati oleh Tante Santi itu besok pagi. Kebetulan besok hari Sabtu. Berarti Tante Santi bakal ada di rumah.

Esok paginya aku mengajak Tante Dina ikut denganku, untuk menuju rumah inventaris dirut yang sudah ditempati oleh Tante Santi itu.

Tentu saja Tante Santi terheran - heran ketika melihatku datang bersama kakaknya yang hanya lebih tua setahun darinya itu.

“Kok bisa bawa orang Cikampek Boss?” tanya Tante Santi sambil memeluk kakaknya tapi menoleh ke arahku. Lalu Tante Santi mencium sepasang pipi Tante Dina. Dan mengajaknya masuk ke dalam.

Aku pun masuk ke dalam rumah inventaris dirut itu.

“Soal apa tuh?”

“Pertama, soal bisnisnya dulu ya. Tante Dina sudah kuputuskan untuk menjadi wakil dirut. Apakah Tante Santi tidak keberatan?” tanyaku sambil mencolek bibir Tante Santi.

“Haaa?! Syukurlah. Aku senang. Senang sekali Don. Karena Ceu Dina sarjana ekonomi juga. Selain daripada itu, Ceu Dina kan kakak kandungku,” ucap Tante Santi dengan wajah ceria.

“Baguslah. Tante Dina memang sudah menerima keputusanku ini. SUdah siap menjadi wakil Tante Santi, meski pun Tante Santi ini adik Tante Dina,” kataku, “Tante Dina pun sudah kuputuskan untuk tinggal di sini. Agar Tante Santi tidak merasa kesepian tinggal sendirian di sini.”

“Asyiiiik… !” seru Tante Santi tampak gembira sekali, “Lalu masalah kedua itu apa Don?”

Baik Tante Dina mau pun Tante Santi tampak kaget mendengar pengakuanku itu. Tapi mereka saling pandang. Dan akhirnya sama - sama tersenyum.

“Jadi kita berdua harus meladeni Big Boss bernama Donny ini ya Ceu,” ucap Tante Santi kepada kakaknya.

Tante Dina mengangguk - angguk sambil tersenyum. Lalu mencium pipi kananku. Tante Santi pun tak mau kalah. Ia mencium pipi kiriku.

“Tante sudah tau masalah yang dialami oleh Tante Dina dengan Oom Marta?” tanyaku sambil menepuk lutut Tante Santi.

“Sudah. Kan Ceu Dina pernah curhat by phone, bahwa dia ingin bercerai dengan Kang Marta. Terus bagaimana lanjutannya Ceu? Jadi bercerai?”

“Jadi. Sudah diputuskan di pengadilan,” sahut Tante Dina.

“Jadi kita senasib semua ya Ceu. Kita dan saudara - saudara perempuan kita jadi janda semua ya.”

“Iya,” sahut Tante Dina, “Takdirnya memang harus begini. Mau diapain lagi.”

Aku terhenyak mendengar ucapan mereka itu. Karena memang benar. Bunda, Tante Ratih, Tante Dina dan Tante Santi sudah menjadi janda semua.

Lalu aku pun melingkarkan lengan kananku di pinggang Tante Dina. Dan melingkarkan lengan kiriku di pinggang Tante Santi. Sambil berkata, “Tenang saja. Karena Tante Dina dan Tante Santi mendapat tempat yang istimewa di hatiku.”

Tante Dina mengecup pipi kananku, Tante Santi mengecup pipi kiriku.

Lalu Tante Santi bertanya, “Terus kita mau weekend di mana nih?”

“Mendingan istirahat di rumahku aja yok. Pergi jauh - jauh lagi males. Nanti aja kalau ada liburan panjang kita tour agak jauh. Mau ke Bangkok bisa, ke Singapura juga bisa,” sahutku.

“Maksudnya mau istirahat di rumah bundamu?” tanya Tante Dina.

“Bukan Ceu. Rumah Donny jauh lebih gede dan megah sekali,” sahut Tante Santi.

“Ayo… mau weekend di rumahku aja? Tapi pembantu lagi cuti. Jadi kita harus belanja makanan dulu untuk…”

Belum lagi selesai aku bicara, tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Bunda.

Cepat kuterima call dari bundaku tercinta itu :

“Hallo Bun… ada apa?”

“Oom Jaka sakit keras tuh. Kebetulan Dina dan Santi juga lagi kumpul sama kamu kan?”

“Iya. Tante Dina dan Tante Santi bersamaku saat ini.”

“Mereka tau tuh rumah Oom Jaka. Sebaiknya pada ke sana semuanya. Bunda juga mau ke sana bersama Donna.”

“Iya Bun. Kami akan ke sana sekarang.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku berkata, “Oom Jaka sakit keras. Bunda menyuruh kita semua ke rumahnya. Di mana sih rumah Oom Jaka itu?”

“Di Sumedang… lewat Sumedang sedikit maksudku,” sahut Tante Dina.

“Gimana? Kita mau ke sana sekaranhg?”

“Ya ayo… kita memang harus menengoknya kalau Kang Jaka sakit keras ya Ceu?” ucap Tante Santi sambil menoleh ke arah Tante Dina.

“Iya, iyaaa…”

“Bunda sama Donna juga mau ke sana,” ucapku.

Beberapa saat kemudian, sedan putihku sudah kularikan lagi di atas jalan aspal. Sebenarnya aku sedang malas nyetir ke luar kota. Tapi kuusir kemalasanku, mengingat salah seorang adik Bunda sedang dalam masalah.

Untungnya jalan menuju Sumedang sedang lengang. Padahal biasanya suka macet parah.

Hanya dibutuhkan waktu sejam setengah untuk tiba di tempat yang dituju, lewat Sumedang ke arah Cirebon

(mengingatkanku kepada Umi Faizah).

Rumah Oom Jaka memang di pinggir jalan raya Sumedang - Cirebon. Jadi tidak sulit mencapainya. Tapi kulihat ada bendera kuning yang terbuat dari kertas di kanan kiri rumah yang dituju itu.

“Waaah… sudah ada bendera kuning… jangan - jangan…” ucap Tante Dina yang tergopoh - gopoh memasuki pekarangan rumah Oom Jaka.

Tante Santi pun tergopoh - gopoh mengikuti kakaknya, masuk ke dalam rumah itu.

Aku pun bergegas mengikuti mereka.

Lalu terdengar jeritan Tante Santi, “Kang Jakaaaaaa… !!!”

Ternyata adik langsung Bunda (tidak terhalang adik lain) itu sudah meninjggal. Berarti kami terlambat datangnya. Apalagi Bunda dan Donna yang baru tiba sejam kemudian.

Tante Ratih pun datang bersama Bunda, karena dijemput oleh Donna katanya. Sementara Imel tidak ikut karena sedang kurang enak badan, kata Tante Ratih.

Oom Sambas dan istrinya pun tidak hadir, karena rumahnya jauh di seberang lautan. Mungkin juga akan datang besok atau hari lainnya.

Kami semua berduka dan ikut mengantar sampai ke pekuburan di mana jenazah Oom Jaka dimakamkan.

Waktu jenazah Oom Jaka dimakamkan, aku tercenung dan memikirkan semuanya ini. Bahwa jodoh dan kematian termasuk rahasia Tuhan. Tiada seorang pun tahu kapan akan mati. Tapi kematian adalah jatah yang paling adil buat semua mahluk bernyawa di muka bumi ini. Dari gelandangan sampai kepala negara, takkan bisa menghindar dari kematian.

Hari demi hari berputar terus, tanpa bisa direm apalagi dihentikan.

Sampai pada suatu hari…

Ketika aku sedang berada di ruang kerja kantorku, seorang petugas security mengantarkan tamu yang katanya dari Bangkok. Aku tercengang. Karena aku tahu benar siapa wanita 35 tahunan itu.

“Tante Huan?” sapaku serasa bermimpi melihat sahabat almarhum Papa angkatku telah berdiri di ruang kerjaku.

“Iya… untung masih ingat,” sahutnya.

Spontan kucium tangannya, dilanjutkan dengan cipika - cipiki.

“Tentu saja masih ingat. Tapi dari siapa Tante tau alamat kantorku ini?” tanyaku.

“Dari Mr. Liauw. Dia bilang di dalam bisnis kamu lebih ekspansif daripada almarhum papamu. Benarkah begitu?” tanyanya setelah duduk berdampingan denganku di sofa ruang tamuku.

“Di Thailand betul. Awalnya beberapa asset Papa kujual. Tapi setahun kemudian aku menyesali hal itu. Lalu kukembangkan usaha Papa di Chiangmai habis - habisan. Itu saja.”

“Tapi Mr. Liauw bilang, kamu juga telah mengembangkan sayap ke Australia dan Eropa,”

“Iya sih. Tapi bisnisku ke Eropa hanya jadi broker doang. Apa yang dibutuhkan di sana, kucari sumbernya di sini. Lalu kuekspor ke sana. Jadi bukan produksiku sendiri.”

“Tapi kesimpulannya bisnismu sekarang lebih luas daripada bisnis papamu kan?”

“Iya Tante. Tapi mayoritas bisnisku dipusatkan di Singapura. Di Indonesia sih kecil - kecilan aja. Soalnya aku males kalau dianggap nomor sekian terkaya di sini.”

“Iya… iya. Papamu dahulu juga begitu. Bisnisnya dipusatkan di Thailand dan di Singapore. Alasannya sama seperti Donny. Nah… sekarang aku justru ingin menawarkan investasi Don. Mmm… aku kan punya casino di Macau dan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja,” kata wanita Chinese yang lahir besar di Indonesia kemudian menetap di Bangkok, karena usahanya dikembangkan di sana.

“Jadi Tante ingin mengalirkan dana dari casino ke usaha legal di sini, begitu?” tanyaku.

“Iya Don,” sahut Tante Huan. Lalu dia mengatakan jumlah uang yang bisa diinvestasikan padaku. Jumlah yang sangat besar. Maklum uang hasil dari casino bisa meledak - ledak jumlahnya. Kalau hanya untuk membeli pesawat jet pribadi saja sih, bisa disediakan dari hasil satu malam saja.

Tapi aku merasa sudah terlalu banyak dana yang sedang kuputar di dalam bisnis - bisnisku. Aku tidak membutuhkan lagi suntikan dana dari mana pun.

Karena itu aku hanya terdiam setelah mendengar nominal dana yang akan diserahkan untuk dikelola olehku.

Lalu Tante Huan berkata lagi, “Terus terang, hasil dari casino sangat meyakinkan. Seolah air terjun yang menggelontor terus dengan hebatnya. Tapi biar bagaimana usaha dalam perjudian tetap gambling sifatnya. Bisa saja pada suatu saat casino - casinoku mengalami kebangkrutan secara tiba - tiba, meski pun aku sama sekali tidak mengharapkannya.

Aku masih belum mau menanggapi penawaran dana yang sangat besar itu. Karena belum bisa membayangkan bagaimana sibuknya aku mengurus dana sebesar itu nanti.

“Aku takkan seperti para funder yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak - banyaknya dari dana yang ditanamkan Don. Aku akan puas dengan hanya menerima tigapuluh persen dari profit. Bahkan ditambah dengan bonus… kamu masih ingat peristiwa di dalam kamarmu dahulu?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Karena aku masih ingat benar, pada saat usiaku masih di bawah umur itu. Pada saat itu Tante Huan sedang menunggu Papa dan Mama yang lagi pada keluar. Lalu Tante Huan nyelonong ke dalam kamarku.

Ya, aku masih ingat benar semujanya. Bahwa Tante Huan mencium bibirku sambil memelujk leherku. Spontan aku menanggapinya secara grasak - grusuk. Maklum aku masih ABG.

Namun ketika aku berusaha menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya, Tante Huan mendorong dadaku sambil berkata, “Jangan aaah… kamu belum dewasa. Nanti kalau kamu sudah dewasa sih pasti aku kasih.”

Ya… tentu saja aku masih ingat “peristiwa” yang Tante Huan tanyakan itu.

“Ya, aku masih ingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatku sangat penasaran,” ucapku.

“Saat itu aku tidak mau ngasih, karena kamu masih di bawah umur. Lagian saat itu aku kan masih punya suami. Kalau sekarang… Donny sudah dewasa, aku pun sudah menjadi janda.”

“Tante bercerai dengan suami Tante?”

“Dia meninggal setahun yang lalu. Maklum dia sudah tua dan sakit - sakitan terus setelah usianya melewati enampuluhan.”

“Jadi…?”

“Jadi aku akan kasih semua yang ada di tubuhku, asalkan danaku diterima olehmu, dengan pembagian tujuhpuluh - tigapuluh. Kamu mendapatkan tujuhpuluh persen, aku cukup tigapuluh persen saja. Yang penting aman dan saling menguntungkan.”

Tentu saja pembagian keuntungan yang ditawarkan oleh Tante Huan itu sangat menguntungkan. Karena biasanya pembagian keuntungan antara funder dan pengelola itu fifty - fifty. Bahkan ada funder yang lebih “kejam” lagi, minta bagian enampuluh persen, sementara pengelola hanya kebagian empatpuluh persen.

Tapi bagiku kalimat “aku akan kasih semua yang ada di tubuhku” itu jauh lebih menarik daripada masalah dana yang ditawarkannya.

Tante Huan memang membuatku penasaran selama bertahun - tahun. Aku masih ingat benar, dahulu… ketika usiaku masih tergolong ABG… ketika tanganku sudah menyentuh celana dalamnya, gairahku melonjak - lonjak. Karena saat itu aku sudah banyak pengalaman dengan Mama angkatku almarhumah. Tapi tanganku ditepiskan, dadaku pun didorong.

Dan kini ia menilaiku sudah cukup dewasa, pada saat dia sudah menjanda pula.

“Ya udah… aku sepakat untuk menerima investasi Tante,” kataku sambil memegang tangan Tante Huan dan meremasnya dengan lembut, “Tapi bonusnya mau diambil sekarang.”

Tante Hua tersenyum manis. Hmm… senyum manisnya itu pula yang sangat kusukai dahulu.

“Mau di mana? Mau check in ke hotel atau mau di villa?” tanya Tante Huan sambil balas meremas tanganku, dengan pipi yang dirapatkan ke pipiku.

“Kita lanjutkan ngobrolnya di lantai dua yok,” sahutku sambil menunjuk ke tangga yang berada di depan ruang tamu itu.

Tante Huan mengangguk. Lalu mengikuti langkahku menuju tangga berkarpet abu - abu itu. Bahkan ia melangkah sambil memelukku dari belakang…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu