2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 03

Ketika Bunda mengenakan celana dalamnya kembali, Bunda bertanya, “Di rumah orang tua angkatmu ada pegawai yang bernama Reni?”

Aku tersentak mendengar nama itu ditanyakan. “Reni yang suaminya kerja di Arab?”

“Iya, “Bunda mengangguk, “Reni itu adik bungsu bunda. Tapi asal - usulmu tak pernah dibuka padanya. Takut bikin kacau di Bangkok nantinya. Sekarang dia masih kerja di rumah peninggalan papa angkatmu?”

“Masih. Aku yang mempertahankannya. Karena dia trampil sekali dalam masak -memasaknya.”

“Iya. Dia memang jago masak sejak masih berumur belasan taun. Makanya ketika Pak Margono datang ke sini dan minta dicarikan orang yang pandai masak, bunda langsung ajukan dia. Setelah tau bahwa Reni itu adik bunda, Pak Margono minta agar masalah asal - usulmu jangan dibuka kepada Reni.”

“Selama ini aku manggil Mbak padanya. Ternyata dia itu tanteku ya.”

“Iya. Tante kontan. Karena dia itu adik kandung bunda.”

“Kalau begitu nanti jabatannya akan kunaikkan Bun. Jangan sekadar jadi juru masak doang.”

“Iya, atur - aturlah soal itu sih. Dahulu dia pernah nelepon bunda. Katanya mau bercerai dengan suaminya. Karena dia mendengar berita bahwa suaminya kawin lagi dengan TKW asal Indonesia di Arab.”

Sebenarnya aku sudah tahu soal itu. Tapi aku cuma mengangguk - angguk saja di depan Bunda. Tidak mau berkomentar sepatah kata pun.

Aku bahkan membelokkannya ke topik lain, “Mengenai tanah kosong di sebelah itu, kalau bisa sih tanyakan hari ini juga Bun. Supaya kalau aku kembali ke Bangkok, sudah ada kepastian.”

“Iya, iyaaa… sekarang kamu ikut bunda aja ke rumahnya yok. Biar kamu bisa tawar - menawar langsung dengan pemiliknya.”

“Aku sudah janjian sama Donna mau beli mobil hari ini Bunda. Bisa kan Bunda sendiri yang menanyakan dan tawar - menawar dengan pemiliknya?”

“O, kamu mau beli mobil segala? Memangnya kamu mau menetap di sini terus?”

“Belum tau juga. Tapi aku ingin agar di sini ada mobil yang bisa kupakai pada waktu aku sedang berada di sini. Kalau aku sedang berada di Bangkok sih, biarin aja dipakai sama Donna. Bahkan aku punya rencana mau buka perusahaan di sini. Tentu Donna yang akan kuangkat sebagai wakilku di perusahaan itu.

“Bagus lah. Masa depan Donna perlu kamu pikirkan Don.”

“Iya Bun. Masa saudara kembarku dibiarkan cuma jadi pelayan toko.”

Tak lama kemudian kudengar suara Donna memanggilku dari luar kamar Bunda, “Donny …!”

“Yaaa… !” sahutku sambil membuka pintu kamar Bunda.

Donna tampak sudah berdandan, mengenakan gaun oleh - olehku dari Bangkok. Gaun putih dengan garis - garis berkelok - kelok berwarna - warni nuansa biru tua dan biru muda. Hmmm… secara jujure harus kuakui, Donna itu… cantik sekali…!

“Jadi mau nyari mobil sekarang?” tanyanya.

“Jadi lah. Kamu udah siap?”

“Udah dari tadi siap. Nungguin kamu gak keluar - keluar sampai pegel.”

“Hahahaaa… kalau gitu aku mau mandi dulu yaaa…” ucapku sambil bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di belakang itu.

Pada waktu sedang mandi, aku teringat lagi kata - kata Bunda tadi. Bahwa Reni yang biasa kupanggil Mbak itu ternyata tanteku. Dan kalau dibanding - bandingkan sekarang, setelah aku lihat bentuk ibu kandungku yang sebenarnya, memang Tante Reni itu banyak kemiripannya dengan Bunda.

Pada waktu aku sudah duduk di dalam taksi bersama Donna pun, ingatanku tentang Mbak Reni alias Tante Reni itu menggelayuti terawanganku terus.

Tapi Donna membisiki telingaku, “Tadi malam dan tadi pagi ngapain aja sama Bunda?”

Aku berusaha tenang dan menjawab, “Gak ngapa - ngapain.”

“Bo’ong, “Donna menepuk lututku, “Emangnya aku anak kecil?”

“Maksudmu?” aku pura - pura tak mengerti maksud ucapan saudara kembarku.

Donna menjawab dengan bisikan lagi, “Kamu ngentot Bunda kan?”

Aku merasa kalah oleh ucapan Donna itu. Lalu aku menghela nafas disusul dengan jawaban, “Aku hanya berusaha untuk menghentikan kebiasaan Bunda minum - minum itu. Dan menurut pengakuan Bunda, kebiasaan minum itu setelah ayah kita meninggal.”

“Memang benar, “Donna mengangguk, “Sejak ayah kita meninggal, Bunda jadi sangat kehilangan. Kerjanya cuma bermurung - murung dan mengalirkan air mata. Lalu Bunda memilih jalan salah itu. Berusaha melupakan Ayah dengan cara minum minuman beralkohol.”

“Mudah - mudahan aja aku bisa menghentikan kebiasaan yang membahayakan dirinya sendiri itu,” kataku sambil memegang tangan Donna yang terasa hangat.

Lalu Donna berbisik lagi*(takut kedengaran sopir taksi)*, “Jadi benar kan kamu sudah menyetubuhi Mama tadi malam dan tadi pagi? Jujur aja jawabnya. Aku juga ikut mendukung kok kalau kamu berusaha menghentikan kebiasaan buruk Bunda dengan cara seperti itu.”

“Iya, “aku mengangguk sambil mempererat peganganku pada tangan saudara kembarku, “Tadi malam malah dia yang memaksaku. Tapi tadi pagi… mau sama mau.”

“Mudah - mudahan Bunda bisa menghentikan kebiasaan berbahayanya dengan cara seperti itu,” kata Donna yang dilanjutkan dengan bisikan, “Terus jatahku kapan dikasihnya?”

“Kamu kan lagi M,” sahutku perlahan.

“Kemaren sore memang masih ada flex. Tapi sekarang sudah bersih.”

“Ya udah, setelah dapat mobil nanti, kita chek in ke hotel aja. Biar tenang.”

“Ohya… bossku orang kaya raya. Tapi dia gak mau beli mobil baru. Dia selalu beli mobil second yang masih bagus. Dia bilang, beli mobil baru itu rugi. Kalau dijual lagi pasti jatuh harganya, jauh lebih rendah dari harga belinya.”

“Ya udah… aku juga mau beli yang second aja. Kamu tau tempat yang jual mobil second?”

“Tau. Ada showroom yang bagus. Meski yang dijual hanya mobil - mobil second, tapi semuanya mobil terawat dan mulus.”

“Setelah dibayar, bisa langsung dibawa mobilnya kan?”

“Bisa.”

“Ya udah… kita ke showroom itu aja.”

Kemudian Donna memberitahu sopir taksi, agar mengubah arahnya menuju showroom yang Donna tahu itu.

Showroom itu memang bagus seperti Donna bilang tadi. Mobil - mobil yang dijualnya bukan mobil - mobil murah, tapi harganya sangat murah menurutku. Lalu kupilih sedan matic 2400 cc berwarna merah metalic.

“Kenapa pilih yang warna merah gitu? Masa cowok pakai mobil merah?” tegur Donna setengah berbisik.

Sambil memegang bahu Donna aku menjawab, “Mobil itu kan buatmu, Donna. Aku hanya akan minta diantar - antar kalau sedang berada di sini aja. Kalau aku sudah pulang ke Thailand, masa mobil itu harus kubawa ke sana?”

“Haaaa?!” Donna terbelalak girang, “Jadi mobil itu untukku?”

“Iyaaa Sayang… aku tak mau saudara kembarku terlalu senjang dengan keadaanku.“

Lalu Donna melakukan test drive di jalan aspal. Setengah jam kemudian sudah kembali lagi ke showroom itu. Dan aku memberikan sehelai cek dari sebuah bank internasional, yang baik di Thailand mau pun di Indonesia ada cabangnya.

Setelah clear, bahwa cek yang kuberikan itu bukan cek kosong, sedan merah metalic itu pun dijalankan oleh Donna di jalan aspal. Dan aku duduk di samping kirinya.

Aku mengajak Donna untuk makan siang di restoran yang harus dia pilih. Donna pun mengemudikan sedan itu menuju ke restoran pilihannya.

Setelah makan siang di restoran kitu, Donna mengarahkan mobilnya menuju hotel yang katanya terletak di luar kota.

“Donny… jangan marah ya… sebenarnya dari tadi malam pun aku tidak sedang menstruasi. Sejak lima hari yang lalu aku bersih dari mens. Tapi tadi malam aku harus mempertimbangkan dulu ajakanmu. Dan sekarang hatiku sudah bulat untuk menyerahkannya padamu,” kata Donna di belakang setirnya.

“Iya dong,” sahutku, “Masa orang lain dikasih, sementara aku tidak dikasih?”

“Soal itu pun harus kubikin clear. Yang membuatku tidak perawan lagi bukan cowok.”

“Haaa?! Lalu yang membuatmu tidak perawan lagi itu cewek?”

“Iya… pakai strapon. Tapi kami bukan lesbian. Hanya ingin merasakan aja sensasi bersetubuh itu seperti apa. Lalu gantian pakai strapon untuk saling memuasi.”

“Lalu dengan cowok sudah pernah juga?”

“Swear…! “Donna mengangkat dua jari kirinya, “Aku belum pernah merasakan disetubuhi cowok. Sama sekali belum pernah. Memekku dijamah tangan cowok pun belum pernah.”

“Lalu sejak kapan kamu hentikan kebiasaan pakai strapon itu dengan temanmu?”

“Itu hanya terjadi lima kali saja. Kemudian kami berpisah, karena temanku itu pindah ke Kalimantan. Sejak saat itu aku tak pernah menyentuh strapon lagi.”

Lalju kataku, “Jadi kalau aku menyetubuhi kamu di hotel nanti, berarti…”

“… Berarti untuk pertama kalinya memekku dientot oleh kontol yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya aku disetubuhi oleh cowok, “potong Donna.

Kubelai rambut Donna sambil berkata lembut, “Aku akan ikut bertanggung jawab pada masa depanmu, Sayang.”

“Terima kasih Donny. Pantesan ada yang menjodohkan saudara kembar yang berlainan jenis kelamin ya. Aku aja sekarang merasa seperti sedang bersama kekasih tercinta. Bukan seperti sedang bersama saudara.”

“Perasaanku juga seperti itu. Soalnya hampir duapuluh tahun kita dipisahkan, sekalinya ketemu seperti bukan dengan saudara. Bahkan dengan Bunda pun seperti itu.”

“Ohya… tadi dengan Bunda kesepakatannya gimana?”

“Bunda bersedia menghentikan kebiasaan minumnya kalau aku mmenggaulinya dua hari sekali. Tapi semua ini harus dirahasiakan Donna. Jangan sampai orang luar tau.”

“Ya iyalah. Rahasia ibu kandung kita kan rahasia kita juga. Tapi kalau Bunda minta jatah dua hari sekali, berarti kamu harus stay di sini dong.”

“Bisa aja sih. Makanya tanah di sebelah rumah itu mau kubeli. Lalu nanti akan kubangun rumah yang layak. Minimal tiap kamar harus ada kamar mandinya masing - masing. Harus ada AC, kulkas, mesin cuci dan aaaah… banyak lagi yang harus dipasang di rumah baru itu nanti. Ohya… kamu tau pemborong bangunan yang tinggal di kota ini?

“Tau. Pemborong bangunan yang biasa dipakai oleh bossku.”

“Baguslah kalau begitu. Nanti kalau tanahnya sudah kubeli, tolong panggilkan pemborong itu ya.”

“Siap Boss,” sahut Donna sambil tersenyum. Sementara aku yang sejak tadi memperhatikan cara Donna menyetir mobil, hasilnya memuaskan. Cara mengemudikannya cukup halus. Sehingga aku merasa nyaman disopiri oleh saudara kembarku itu.

Tak lama kemudian sedan merah metalic itu Donna belokkan ke halaman sebuah hotel yang letaknya belasan kilometer di luar kota.

Memang nyaman posisi hotel itu. Berada di antara kebun buah - buahan dan hutan pinus, dengan pemandangan indah di sekitarnya. Hawanya pun sejuk sekali, sehingga tanpa AC pun takkan merasa kepanasan.

Tapi kamar yang kami dapatkan di lantai lima, tetap aja memakai AC. Mungkin untuk zaman sekarang ini AC sudah menjadi kebutuhan umum, di mana pun letaknya. Baik di daerah dingin apalagi di daerah panas.

Begitu masuk ke kamar di lantai lima ini, Donna langsung berdiri terpaku di belakang dinding kaca dengan view hutan pinus berbukit - bukit. Aku pun mendekap pinggangnya dari belakang. “Indah sekali pemandangannya ya,” sahutku sambil menciumi tengkuknya.

“Iya…” sahut Donna hampir tak terdengar.

Tapi lebih indah lagi perasaanku saat ini… karena sedang bersama cewek cantik yang akan segera kumiliki…”

Donna memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu merengkuh leherku ke dalam pelukannya. “Kamu juga tampan sekali Don…” ucapnya, yang dilanjutkan dengan ciuman mesranya di bibirku.

“Terus perasaanmu padaku saat ini bagaimana?”

“Semalaman aku memikirkan soal itu. Sampai akhirnya aku mengambil kesimpulan tenjtang perasaanku sendiri. Aku mencintaimu Don. Cinta seorang cewek kepada cowok idamannya. Bukan seperti cinta kepada saudara.”

“Aneh ya. Perasaanku juga begitu. Tapi bagaimana dengan Bunda? Apakah kamu takkan merasa cemburu kalau kamu tau aku sedang menggauli Bunda?”

“Kalau kamu dengan perempuan lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Bunda lain lagi masalahnya. Kita kan sama - sama menyayangi Bunda. Jadi biarlah kamu dijadikan obat baginya. Obat kerinduannya kepada Ayah sekaligus obat untuk menghentikan kebiasaan minumnya. Aku malah berharap, semoga Bunda benar - benar bisa menghentikan kebiasaan yang membahayakan dirinya sendiri itu.

Aku tidak menanggapi ucapan saudara kembarku itu. Aku bahkan mendesaknya ke pinggiran bed, sampai ia menelentang dan terhimpit olehku. Di situlah kuciumi bibirnya sepuasku. Di situlah kami saling lumat dan tukaran air liur tanpa merasa jijik sedikit pun.

Dan setelah ciuman kami terlepas, Donna mendorong dadaku sambil berkata, “Aku mau lepasin gaun dulu. Biar jangan kusut nanti.”

Kemudian ia turun dan berdiri dekat bed sambil berusaha melepaskan kancing gaun yang berada di tengkuknya. Aku punturun untuk membantu melepaskan kancing yang berada di bagian tengkuk Dona. Begitu kancing terlepas, gaun itu langsung jatuh ke lantai. Kubantu juga mengambil gaun itu dan menggantungkannya di kapstok.

Di dekat kapstok itu kulepaskan celana denim dan baju kaus hitamku. Kemudian sepatu dan kaus kaki pun kulepaskan. Setelah tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, kuhampiri Donna kembali, yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam dan duduk di pinggiran bed sambil melayangkan tatapan teduh serta senyum manisnya padaku.

Aku pun memegang kancing beha yang berada di punggungnya sambil berkata, “Behanya lepasin ya. Biar tidak menutupi pandangan.”

Donna cuma tersenyum dan tidak menjawab sepatah kata pun. Setelah beha itu ditanggalkan, aku termangu menyaksikan indahnya payudara saudara kembarku itu. Tidak terlalu kecil, namun juga tidak terlalu besar. Yang membuatku terpesona adalah sepasang pentilnya itu… masih mengacung ke depan. Dan ketika tanganku menyentuh payudara berukuran sedang itu, terasa masih sangat padat dan kenyal.

Lalu kudorong dada Donna sampai celentang kembali di atas bed berkain seprai putih bersih itu. Kemudian dengan sepenuh gairah kuemut puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku meremas payudara kanannya dengan lembut sekali, karena takut merusak payudara yang masih begini padat dan kencangnya.

Donna diam saja kuperlakukan seperti ini. Namun suhu badannya terasa mulai menghangat, sebagai pertanda sudah mulai horny. Aku pun melorot turun. Menjilati pusar perutnya sambil menurunkancelana dalamnya sedikit demi sedikit.

Setelah celana dalam itu kulepaskan, lagi - lagi aku terlongong menyaksikan betapa indahnya bentuk bagian yang di bawah perut Donna itu. Sebentuk kemaluan perempuan yang begitu putih dan mulusnya, serta jelas sekali garis - garisnya. Garis lipatan dengan kedua pangkal pahanya dan garis lurus dari atas ke bawah, yang menyembunyikan bagian dalam memeknya.

Dalam keadaan telanjang bulat seperti itu, bentuk tubuh Donna pun semakin jelas di mataku. Tinggi langsing tapi tidak kurus, sementara kulitnya putih mulus… mulus sekali, tiada noda sebesar semut pun. Dan yang paling mengagumkan, tuibuh Donna itu agak mengkilap, pertanda padatnya tubuh saudara kembarku ini.

Dan kini pandanganku terpusat ke memek tembemnya. Memek yang bibir luarnya mulai kungangakan selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu mulai kelihatan jelas.

Donna terdiam pasrah. Tapi begitu lidahku mendarat di bagian yang berwarna pink itu, terasa tubuhnya mengejut sedikit. Namun setelah lidahku mulai menari - nari di permukaan berwarna pink itu, Donna cuma mengelus - elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Terkadang kudengar desahannya juga.

Namun ketika mulutku mulai terpusat di permukaan kelentitnya, Donna mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas rambutku. Lidahku menjilati kelentitnya yang sesekali kusedot - sedot juga. Dan Donna semakin klepek - klepek setelah jari tengah kananku mulai ikut campur. Menyelundup ke dalam celah memeknya, lalu kumaju - mundurkan seperti gerakan penis sedang mengentot liang vagina, sementara mulutku mulai mengisap - isap kelentitnya dengan agak kuat…

Dalam tempo singkat saja terasa liang memeknya mulai membasah… makin lama makin basah… sehingga akhirnya kulepaskan celana dalamku. Lalu kuletakkan moncong penisku di ambang mulut memek Donna, sambil mendorong kedua pahanya agar direnggangkan selebar mungkin.

Setelah semuanya sudah pada posisinya, termasuk posisi moncong penisku yang sudah berada di ambang mulut vagina Donna, aku pun mendorong penis ngacengku sekuat tenaga.

Tapi “tembakanku” meleset. Penisku malah membelok ke bawah, ke arah kasur. Namun aku takkan pernah menyerah dalam hal yang satu ini. Lewat “perjuangan” yang gigih, akhirnya penisku menyeruduk masuk ke dalam liang memek Dona.

Blesssssssss…!

Masuk kurang dari separohnya…!

Sungguh tak kuduga kalau memek Donna masih sangat fresh, laksana memek perawan saja*(tapi saat itu aku belum pernah merasakan memek perawan).*

Lalu aku mulai mengayun penisku perlahan - lahan, dalam jarak pendek - pendek dulu, karena penisku belum dalam benar membenamnya.

Donna menyambutku dengan dekapan erat di pinggangku, disusul dengan bisikan, “Aku semakin mencintaimu Donny Sayaaang…”

Sebagai jawaban, kukepit sepasang pipi Donna dengan sepasang telapak tanganku. Lalu kuciumi bibir dan puncak hidung mancungnya. “Perasaanku juga sama, Sayang,” sahutku yang masih perlahan menggerakkan penisku.

Namun sesaat kemudian penisku mulai lancar bermaju - mundur di dalam liang memek Donna yang sangat sempit tapi mulai licin ini.

Donna pun mulai merintih - rintih histeris tapi erotis, “Dooon… oooooh… Dooon… oooooh… ternyata kontolmu enak sekali Dooon… ooooh… ooooh… Doooon… entot terus Dooon… ini luar biasa enaknya…”

Penisku jadi seperti gerakan pompa manual. Masuk - keluar - masuk - keluar - masuk - keluar - masuuuuk - keluaaaar - dan begitu seterusnya.

Pada saat enaka - enaknya mengentot liang memek saudara kembarku ini, kata - kata ibu angkatku terngiang lagi di telingaku. Bahwa seorang lelaki harus bisa memuaskan pasangan seksualnya dengan cara apa pun. Termasuk dengan menyentuh titik - titik sensitif di tubuh perempuan.

Dan aku sudah hafal benar soal yang satu itu. Maka ketika aku sedang asyik - asyiknya mengentot memek Donna, kujilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Di saat lain kuemut pentil toketnya yang satu, sementara tanganku meremas toket yang satu lagi. Bahkan pada suatu saat aku gencar menggenjot batang kemaluanku sambil menjilati ketiak Donna yang kiri, kemudian kujilati ketiak Donna yang kanan, juga disertai dengan gigitan - gigitan kecil.

Maka Donna pun tampak sangat menikmati aksiku yang “lengkap” ini.

Rintihan dan rengekan manjanya pun berkumandang lagi di kamar hotel yang terletak di lantai lima ini.

“Dooonny… oooo… ooooh Dooonny… makin lama makin enak saja rasanya Dooon… oooooh… gak mnyangka aku akan merasakan semuanya ini darimu Dooon… aku semakin cinta padamu Dooon… cintaaaaa… aku cintaaaa kamuuu… !”

Di saat lain ia mengerang dengan mata terpejam - pejam, “Dooon… entot terus Dooon… ooooh… entotanmu ini… bikin aku gila padamu Dooon… ayo cintaaaa… entot aku sepuasmu, Cintaaaaa… entooooooot terusssss cintaaaaaaa… entoooottt cintaaaaa… ooooohhhh… enoooot ciiintaaaa… entoooooootttt!

Memang diam - diam aku sudah sangat mencintai Donna. Sehingga setiap gesekan antara fisikku dengan fisik Donna, terasa sangat nikmaaaaat…!

Sementara itu keringatku sudah bercucuran. Sebagian berjatuhan di kain seprai, sebagian berjatuhan di dada, leher dan wajah Donna. Sehingga kadang - kadang Donna memejamkan matanya erat - erat, karena ada keringatku yang menetes ke matanya.

Sementara aku masih sangat asyik mengentot Donna sambil mendaratkan mulutku di lehernya, di ketiaknya dan terutama di pentil toketnya. Terkadang kusedot pentil toket Donna sekuatnya, sehingga begitu sedotanku dilepaskan, pentil toket Donna semakin mancung saja.

Namun pada suatu saat Donna berkelojotan sambil berkata terengah, “Aku… aku mau lepas Dooon…”

Spontan kusahut, “Ayo… barengin… !”

Lalu kupacu ayunan penisku seolah pelari marathon yang sudah dekat dengan garis finish. Entotanku semakin gencar, semakin kencang dan… akhirnya terasa liang memek Donna berkedut - kedut kencang. Pada saat yang sama kubenamkan penisku sedalam mungkin. Lalu kubiarkan menancap di dalam liang senggama Donna, tanpa kugerakkan lagi.

Disusul dengan berlompatannya air mani dari moncong penisku, menembak - nembak dasar liang memek saudara kembarku.

Kami sama - sama mengelojot, lalu sama - sama terdampar di pantai kepuasan.

Setewlah mencium bibir dan sepasang pipi Donna, kucabut penisku daei jepitan liang kemaluan saudara kembarku. Lalu turun dari bed.

“Mau ke mana?” tanya Donna dengan nada yang seolah takut kutinggalkan.

“Mau kencing.”

“Ikuuut… aku juga mau pipis.”

“Ayo, “aku mengangguk sambil tersenyum, “sekalian pengen lihat seperti apa bentuk memekmu pada waktu sedang kencing.”

“Aaah… kamu… !” Donna mencubit pinggangku. Lalu mengikuti langkahku ke dalam kamar mandi.

“Heheheee… aku mau kencing di kloset ini. Mana bisa kamu liat memekku qwaktu kencing?” ucap Donna sambil duduk di kloset duduk. Lalu terdengar suara air memancar dari memek saudara kembarku… werrrr …

Aku malah terkesiap. Dan teringat lagi kata - kata Bunda tadi pagi. Tentang adik bungsu Bunda yang bernama Reni itu.

Betapa tidak… aku masih ingat semuanya, tentang sosok perempuan cantik bernama Reni itu.

Tentu saja aku masih ingat semuanya. Bahwa di sore menjelang malam itu aku sedang nafsu terus. Sayangnya Papa sedang berada di Bangkok. Sehingga aku tidak bisa mengajak Mama bersetubuh. Tapi penisku ngaceng terus. Lalu otakku berputar - putar mencari jalan.

Akhirnya pilihanku jatuh kepada Mbak Reni, juru masak yang berkulit putih bersih dan berparas cantik itu.

Ketika melihat Mbak Reni sendirian di kitchen, aku memberikan lima lembar uang pecahan 1000 THB (Thailand Baht). (Saat itu kurs 1 baht sama dengan 460 rupiah. Jadi 5000 baht sama dengan Rp. 2.300.000.-).

“Buat apa uang ini Den?” tanya Mbak Reni.

“Buat Mbak. Anggap aja bonus dariku.”

“Oh… terima kasih Den.”

“Tapi nanti masuk ke kamarku, ya Mbak.”

“Mau ngapain Den?”

“Cuma mau ngajak ngobrol. Ada yang mau kubicarakan, penting sekali.”

“Iya Den.”

“Tapi jangan kelihatan orang lain ya. Masuk aja diam - diam ke dalam kamarku. Pintunya takkan kukunci.”

“Iya Den. Sekarang saya mau mandi dulu. Sehabis mandi nanti saya ke kamar Den Donny.”

“Iya, aku tunggu di kamarku ya Mbak.”

“Iya Den.”

Lalu aku masuk ke dalam kamarku dan menyiapkan uang 10.000 baht lagi, yang kumasukkan ke dalam amplop. Uang ini baru akan kuberikan kalau Mbak Reni bersedia kusetubuhi. Kalau tidak mau, ya sudah… dia hanya mendapatkan 5000 baht itu saja.

Amplop berisi uang itu kusimpan di dalam laci meja tulisku, lalu menunggu masuknya Mbak Reni yang sekarang sedang mandi dulu.

Seperti biasa, kalau sudah malam aku selalu mengenakan baju dan celana piyama. Terkadang juga suka mengenakan kimpono pria.

Sejam kemudian, pintu kamarku dibuka dari luar. Tampak Mbak Reni dalam dasternya yang berwarna hijau pucuk daun polos, masuk ke dalam kamarku. Kemudian menutupkan kembali pintu itu.

Menurutku Mbak Reni adalah pegawai yang tercantik di rumah besar ini. Makanya pilihanku jatuh padanya.

“Ada apa Den nyuruh saya ke sini?” tanya Mbak Reni setelah kusuruh duduk di sofa dekat bedku.

“Ini Mbak,” sahutku sambil menurunkan celana piyamaku dan menyembulkan penisku yang sedang ngaceng, “Kontolku ini ngaceng terus Mbak… apa Mbak bisa bantu aku supaya nggak ngaceng lagi?”

“Den…! “seru Mbak Reni perlahan, “Ti… titit Den Donny gede banget… !”

“Eeee… pertanyaanku bukan gede kecilnya kontolku. Pertanyaanku bagaimana caranya supaya kontolku ini bisa lemas lagi?”

“Ber… berarti Den Donny harus menyetubuhi saya sampai ngecrot. Kalau sudah ngecrot pasti nggak ngaceng lagi.”

“Nah maksudku juga begitu.”

“Tapi saya kan punya suami Den. Kalau Lili, Mita dan Nora masih lajang tuh.”

“Iiiih… gak mau. Makanya aku milih Mbak Reni tau gak?” tanyaku sambil duduk di samping Mbak Reni.

“Emangnya kenapa memilih saya Den?”

“Karena Mbak Reni paling cantik di antara semua perempuan yang bekerja di rumah ini.”

“Terima kasih. Tapi saya punya suami Den. Saya belum pernah selingkuh.”

“Suami Mbak Reni kerja di Arab kan?”

“Iya. Dia jadi TKI di Arab, saya jadi TKW di sini.”

“Berarti takkan ketahuan juga sama suami Mbak. Dari Arab ke Bangkok kan sangat jauh Mbak.”

Mbak Reni tertunduk membisu. Entah sedang berpikir entah akan menolak.

Maka kupegang bahu perempuan 25 tahunan itu sambil berkata, “Pokoknya kalau Mbak kabulkan permintaanku, pasti aku akan menyayangi Mbak nanti.”

Dia masih tetap membisu. Aku pun jadi tak sabaran. Maka kuselusupkan tangan kiriku ke balik daster bagian dadanya, sampai menyentuh payudaranya yang terasa kenyal dan hangat. Rupanya dia seperti Mama, kalau sudah malam tidak suka mengenakan beha. Sehingga tangan kiriku bisa lanbgsung memegang payudaranya.

Ternyata dia tidak meronta. Bahkan berkata setengah berbisik, “Jangan sampai orang - orang tau nanti, ya Den.”

“Iya dong. Aku kan nggak pernah ngomong kalau gak ada yang penting - penting amat sih,” sahutku sambil merayapkan tangan kananku ke paha Mbak Reni di balik dasternya. Merayap terus sampai ke pangkalnya, sampai menyentuh celana dalamnya. Sementara tangan kiriku mulai meremas - remas payudara di balik dasternya juga.

Tiba - tiba Mbak Reni mencium bibirku dengan hangatnya. Pada saat yang sama aku sudah menyentuh kemaluannya yang ternyata bersih dari jembut alias plontos.

Ketika aku mulai menyelundupkan jari tengahku ke dalam celah memeknya, ciuman Mbak Reni pun semakin ketat, seolah tak mau melepaskan lagi bibirku.

Kemudian terdengar bisikannya, “Den… kalau sudah dibeginiin saya suka langsung horny… ayo Den… masukin aja tititnya ke memek saya…”

Aku mengangguk sambil melepaskan kedua tanganku dari daster jurumasak cantik itu. Kemudian kukuncikan dulu pintu kamarku dan meraih pergelangan tangan Mbak Reni agar naik ke atas bed. Di situlah Mbak Reni menanggalkan dasternya tanpa kuminta. Sementara aku pun melepaskan baju dan celana piyamaku. Dia pun melepaskan celana dalamnya, sehingga kami berdua jadi sama - sama telanjang bulat.

Dengan segenap gairah muda aku merayap ke atas perut Mbak Reni. Dan ketika wajahku berada di atas wajah cantiknya, Mbak Reni merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu kupagut bibir sensualnya yang tipis merekah itu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu