2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Setelah ejakulasi, ada perasaan bersalah di dalam hatiku. Serasa telah menganiaya Mama. Tapi bukankah tadi mama pun menikmatinya?

Ya… bahkan setelah belasan menit beristirahat, Mama menggenggam penisku. Lalu menyelomotinya lagi dengan lahap dan binalnya. Penisku yang sudah lemas pun sedikit demi sedikit menegang kembali. Dan akhirnya ngaceng total lagi…!

Pada saat berikutnya, Mama menelentang sambil berkata, “Ayo Don. Entot mama lagi. Biar kamu tambah pinter kalau sudah punya istri kelak.”

Aku tidak langsung menyetubuhi Mama, karena mulai asyik untuk mengelus - elus memeknya yang berjembut sangat tipis itu. Bahkan lalu kataku, “Aku sering nonton film dewasa yang suka menjilati kemaluan perempuannya. Ajarin aku bagaimana caranya menjilati memek ya Mam…”

“Besok aja. Jembutnya harus dicukur dulu, biar enak jilatinnya,” sahut Mama, “Sekarang masukin lagi aja kontolmu. Mama udah kepengen lagi, Sayang.”

Terpaksa kuikuti keinginan Mama. Kubenamkan lagi penis ngacengku ke dalam liang memek Mama yang aku sudah tahu “jalannya”.

Lalu mulailah aku berpush up lagi di atas perut Mama… mulailah aku merasakan nikmatnya bersetubuh yang sering dikatakan sebagai nikmatnya surga dunia ini.

Hai… kok malah ngelamun terus?” Donna menepuk bahuku, membuatku kaget dan membuyarkan terawangan masa laluku.

“Memang banyak yang sedang kupikirkan,” sahutku sambil meringis.

“Udah waktunya masuk Don. Seperempat jam lagi juga filmnya diputar.”

“Ya udah masuki aja,” sahutku sambil memanggil waiter restoran sambil memberi kode bill. Waiter itu pun menghampiri sambil membawa baki kecil beserta bon yang harus kubayar.

Beberapa saat kemudian aku dan Donna sudah berada di dalam gedung bioskop.

Kami kebagian kursi yang paling belakang. Kebetulan jajaran kursi paling belakang ini hanya kami berdua isinya. Sehingga setelah lampu gedung bioskop dimatikan, Donna bebas menempelkan pipinya ke pipiku, sambil meremas - remas tanganku. Dan bahkan ia membisiki telingaku, “Kita harus kompak terus sampai tua kelak, ya Don.

“Iya Don. Hihihihi… kalau Bunda manggil Don aja, pasti kita sama - sama nengok ya.”

“Iya. Tapi itu juga salah satu tanda bahwa kita ini kompak.”

Kujawab dengan bisikan, “Kalau kompak, boleh dong aku nyobain punyamu.”

Donna menyahut dengan bisikan juga, “Sekarang sih aku lagi mens. Nanti kalau udah bersih, aku kasih. Asalkan jangan bikin aku hamil.”

Kuremas tangan Donna sambil berbisik, “Janji ya.”

“Iya. Tapi kalau udah dikasih, ajak aku main ke Bangkok ya.”

“Iya. Soal gampang itu sih. Perusahaan warisan dari almarhum Papa angkatku bukan hanya di Bangkok. Di Singapore juga ada.”

Lalu obrolan kami terputus, karena layar putih sudah menyuguhkan ceritanya, bukan sekadar memperlihatkan deretan nama - nama pemainnya lagi.

Tadi pada waktu aku sedang menerawang di resto itu, Donna kusuruh membelikan pizza dan martabak manis pesanan Bunda. Dan Donna membelinya dua - dua. Dua pizza dan dua martabak manis. Sambil nonton, kuambil pizzanya sepotong. Untuk menghilangkan ketegangan film horror yang tengah kami tonton. Donna juga sama, mengambilnya sepotong, lalu menyantapnya.

Setelah filmnya the end, barulah kami terbebas dari ketegangan itu.

Lalu kami pun pulang dengan menggunakan taksi. Di dalam taksi pun Donna memperlihatkan sikap romantisnya padaku. Tapi karena dia sedang menstruasi, aku pun tidak melangkah terlalu jauh. Hanya membiarkan pipi kami bertempelan sambil saling remas tangan.

“Aku ingin beli mobil. Tapi susahnya aku belum hafal jalan - jalan di kota ini. Bisa - bisa malah nyasar terus. Berarti aku harus punya sopir juga,” kataku.

“Aku aja sopirnya,” sahut Donna.

“Emangnya kamu bisa nyetir?”

“Bisa. SIM juga udah punya.”

“Besok bisa antar aku nyari mobil?”

“Bisa. Kebetulan besok aku kebagian jatah libur.”

“Besok kan bukan hari Minggu, bukan pula tanggal merah. Kok bisa libur?”

“Jatah libur di tempat kerjaku digilir. Tidak selalu hari Minggu. Karena hari Minggu tokonya tetap buka. Jadi kalau minggu ini aku kebagian jatah libur hari Selasa, minggu depan bisa Rabu, bisa Kamis atau hari apa aja, tergantung jadwal libur masing - masing.”

“Resign aja deh dari tempat kerjamu.”

“Lho… terus aku mau kerja apa?”

“Kalau kamu mau, jagain aja galleryku yang di Singapore.”

“Gallery apa?”

“Gallery lukisan, patung dan berbagai hiasan dinding yang terbuat dari kayu jati diukir. Semuanya asli dari Indonesia.”

“Gajinya gede dong.”

“Pasti jauh lebih gede daripada gajimu sekarang.”

“Tapi… di Singapore hawanya panas ya?”

“Panaslah. Malah lebih panas dari Jakarta. Di Bangkok juga udaranya panas. Kalau mau yang udaranya dingin, harus di Thailand utara.”

“Kamu buka perusahaan di kota ini aja Don. Soalnya kalau aku pindah ke Singapore, kasian Bunda, gak ada temannya. Lagian aku sendiri suka gak kerasan tinggal di tempat yang panas. Badan keringatan mulu. Sehari bisa dua atau tiga kali ganti pakaian.”

“Aku memang ingin juga buka usaha di sini. Tapi harus dipikirkan dulu apa jenis usahanya.”

“Bagaimana kalau buka pabrik mainan anak - anak? Pemasarannya pasti lancar terus.”

“Usulmu boleh juga. Tapi aku ingin memproduksi sesuatu yang bisa diekspor ke Singapore dan Thailand. Supaya aku bisa jadi eksportir sekaligus importir.”

“Maksudmu eksportir sekaligus importir gimana?”

“Barang yang diekspor ke Singapore dan Thailand, importirnya perusahaanku juga di sana. Jadi nggak usah nyari lagi importir di Singapore dan Bangkok. Tapi itu baru rencana. Soalnya aku ingin melakukan survey dulu apa kira - kira yang laku dijual di Singapore dan Thailand.”

Tak lama kemudian taksi yang kami tumpangi tiba di depan rumah Bunda.

Setelah membayar taksi, Donna mengeluarkan kunci cadangan yang dibekalnya tadi. Kemudian kunci cadangan itu dipakai untuk membuka pintu depan. Kami pun masuk. Sementara Bunda tidak kelihatan. Mungkin sudah tidur. Padahal aku membawa oleh - oleh pizza dan martabak manis sesuai dengan permintaannya.

“Mungkin Mama sudah tidur. Mungkin juga sedang teler. Aku udah ngantuk berat,” ucap Donna perlahan, sambil mendekap pinggangku.

Aku cuma tersenyum mendengar kata - kata saudara kembarku itu. Tapi ia mengangsurkan bibirnya ke dekat bibirku sambil bergumam, “Cium bibirku dulu sebelum tidur.”

Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya, lalu mencium bibirnya dengan ketat. Sementara Donna memejamkan matanya, seolah sangat menikmati ciumanku.

“Oke good night Brother,” ucap Donna setelah bibirnya kulepaskan.

“Sleep tight and have a nice dream. Good night Sista,” sahutku.

Pizza dan martabak manis kuletakkan di atas meja ruang makan, kemudian kubuka pintu kamar Bunda.

Dan… apa yang kulihat? Bunda sedang menelungkup di atas ranjang, dalam keadaan… telanjang bulat…!

Sedangkan udara di kamar sempit ini bau alkohol yang sangat menyengat di hidung.

Persis seperti dugaan Donna, bahwa Bunda sedang teler.

Cepat kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Kulepaskan juga celana dan baju kausku. Lalu kuganti dengan celana pendek dan kaus oblong serba putih.

“Bunda… !” panggilku perlahan sambil menggoyangkan bokongnya yang tidak tertutup apa - apa. Bahkan kemaluan Bunda pun tampak karena kaki kirinya terjuntai ke lantai, sementara kaki kanannya berada di atas kasur bertilamkan kain seprai lusuh.

Lalu… setan dari mana yang membuat penisku ini tiba - tiba menegang ini?

Entahlah. Tapi aku berusaha untuk membantu Bunda, minimal agar posisi badannya jangan “kacau” begini.

Maka kugulingkan badan Bunda sampai menelentang di tengah ranjang besi jadul itu.

Pemandangan yang kusaksikan malah lebih parah lagi. Dalam keadaan celentang, Bunda begitu menggiurkan kelihatannya. Badannya yang putih mulus, wajahnya yang lebih cantik daripada wajah Mama almarhumah membuat batinku berdesir - desir.

Tadi waktu bersama Donna, sebenarnya nafsuku sudah terpancing dan membutuhkan penyaluran. Lalu kini aku melihat Bunda dalam keadaan seperti itu pula. Sedangkan aku baru siang tadi tahu bahwa wanita cantik itu ibu kandungku.

Dalam perasaan bingung, kukunci pintu keluar, lalu melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Biarlah… kalau Bunda menanyakan kenapa aku telanjang, akan kujawab karena dia juga telanjang.

Kemudian aku naik ke atas ranjang tua ini. Merebahkan diri di samping Bunda, sambil meletakkan tanganku di atas payudaranya. Namun sesaat kemudian tanganku merayap ke perutnya… bahkan lalu kuletakkan di atas kemaluan Bunda yang jembutnya lebat sekali itu, sambil sesekali memperhatikan reaksi Bunda.

Tiba - tiba Bunda duduk dengan mata tetap terpejam. Lalu meraba - raba lenganku, dadaku, perutku dan batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.

“Ini Donny?” tanya Bunda dengan mata terbuka tapi pandangannya tampak kosong.

“Iya Bun… pizza dan martabaknya kuletakkan di atas meja makan,” sahutku.

“Aaah… besok aja makannya… kontolmu ini lebih penting… gede sekali ya kontolmu ini… pasti enak kalau dientotin ke memekku… hihihiii… daku udah lama gak ngerasain enaknya kontol Bang… masukin aja kontolmu ini ke memekku Bang… ayo… jangan ngulur waktu… nanti kereta apinya keburu berangkat…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu