2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Transaksi itu berjalan mulus. Hanya 4 jam aku dan Sheila berada di bank, disaksikan oleh Mr. Liauw, selesailah transaksi yang jumlahnya melebihi dollar dari koper - koper di dalam bunker kamar Papa itu.

Aku dan Sheila merahasiakan hubungan keluarga di antara kami berdua kepada siapa pun yang berada di Thailand ini. Sehingga Mr. Liauw meminta aku dan Sheila berjabatan tangan, tanda sudah selesainya RTGS dari perusahaan Sheila ke rekening pribadiku. Kuikuti saja saran Mr. Liauw itu, untuk berjabatan tangan dengan Sheila seolah kami bukan kakak adik.

Setelah keluar dari bank, Sheila masih sempat berbisik padaku, “Tolong carikan rumah yang tidak terlalu jauh dari rumahmu nanti ya. Kalau sudah ada, tell me by phone. Dan aku akan mentransfer dananya ke rekeningmu, Honey.”

“Oke,” sahutku sambil mengangguk. Kemudian kami berpisah di depan bank internasional itu, Sheila masuk ke dalam mobilnya yang disopiri oleh orang Thailand, sementara aku masuk ke dalam mobil peninggalan Papa yang kukemudikan sendiri.

Aku sudah merasa lega, karena uang dollar peninggalan Papa sudah masuk ke rekeningku, sementara hasil penjualan asset - asset itu pun sudah masuk ke dalam rekeningku. Sehingga boleh dibilang rekeningku gendut sekali kini.

Lalu mau kuapakan duit yang sangat banyak itu?

Entahlah. Aku belum punya rencana yang matang. Sementara bangunan untuk usaha kuliner Bunda dan Donna itu kecil sekali dibandingkan dengan besarnya dana yang tersimpan di rekening pribadiku..

Setibanya di rumah megah peninggalan Papa yang akan tetap kupertahankan itu, kukumpulkan pegawai - pegawai wanita. Kuberitah bahwa mereka tetap akan ditempatkan di ditu dulu, sambil menunggu pembangunan café di kotaku selesai. Karena mereka akan dijadikan waiters di café itu, dengan gaji tetap setara dengan gaji mereka di Bangkok.

Mereka cuma mengikuti arahanku saja.

Lalu aku mandi sebersih mungkin. Dan dua jam kemudian aku sudah berada di dalam pesawat terbang yang akan membawaku ke Singapore.

Setibanya di bandara Changi Singapore (saat itu belum ada Jewel Changi Airport), aku menggunakan taksi menuju Lavender Street dan chek in di sebuah hotel kecil langgananku. Memang hotel ini bukan hotel besar, tapi terasa nyaman. Karena kalau mau makan tinggal nyebrang jalan saja, ada food market di situ, yang makanannya murah - murah.

Sekarang aku sudah berada di level menengah ke atas, bahkan mungkin tergolong level atas, mengingat saldo di rekeningku sedemikian gendutnya. Tapi aku tak mau kelihatan orang kaya. Karena itu aku tidak mau menginap di hotel five star, karena aku tahu di Singapore ini serba mahal. Dan aku tidak mau menghambur - hamburkan uang peninggalan Papa hanya untuk sekadar kesenangan sesaat.

Di hotel kecil ini kusimpan tas pakaianku, lalu menyebrang jalan menuju food market itu. Ada penjual fishcake yang besar - besar di situ, yang paling kusukai. Cukup beli dua buah saja, perutku sudah terasa kenyang. Minumnya cuma Coffee O (istilah kopi pahit di Singapore).

Yang lucu di foodmarket ini aku sering mendengar kata “aaaa” di ujung kalimat yang diucapkannya. Misalnya kalau bertanya seperti ini, “How are you aaa?” atau “Smoking no good aaa”.

Hahahaaa… Chinese Singapore sama lucunya dengan orang India kalau ngomong bahasa Inggris, yang aksennya terdengar khas, dengan kepala digoyang - goyang pula.

Setelah menghabiskan fishcake dan kopi O, aku mencegat taksi menuju gallery peninggalan Papa, yang sekarang sudah menjadi milikku.

Setelah Papa meninggal, aku baru satu kali mendatangi gallery yang cukup besar ini. Dan kini adalah kunjungan yang kedua.

Gallery ini selalu banyak pengunjung dan pembelinya. Tapi ada sesuatu yang menarik bagiku, yang kini sudah kutemukan di antara sekian banyak pegawai gallery ini.

Yang menarik adalah sosok cewek bernama Adelita, yang usianya baru 22 tahun itu (hanya 2 tahun lebih tua dariku). Di mataku Adelita itu cantik sekaligus manis. Terutama kalau sudah tersenyum, lesung pipitnya selalu menghiasi sepasang pipinya itu. Adelita yang biasa dipanggil Adel itu orang Indonesia, karena pegawai di gallery ini orang Indonesia semua.

“Apa kabar Del?” tanyaku.

“Baik Boss,” sahutnya sambil tersenyum. Lagi - lagi lesung pipitnya tampak menghiasi sepasang pipi yang putih agak kemerahan itu (dimerahkan oleh make up).

Aku sadar bahwa Adelita seperti caper padaku pada kunjungan pertamaku sebulan yang lalu. Kini pun ia tampak seperti ingin eksis di mataku.

“Kalau Boss sudah datang ke sini, rasanya suasana gallery ini jadi seger,” ucapnya sambil tersipu.

“Lebih seger lagi kalau kamu menemaniku di hotel nanti malam,” sahutku membuatnya agak tersentak. Lalu kelihatan seperti berpikir.

“Mmm… kapan Boss pulang ke Bangkok?” ia menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan.

“Sekarang pulangnya ke Jakarta, bukan ke Bangkok lagi,” sahutku sambil memegang tangannya yang diletakkan di atas kaca etalase.

“Duh jadi pengen mudik. Soalnya sudah dua tahun gak pernah mudik.”

“Mudik itu apa?” tanyaku.

“Pulang kampung. Hihihiiii…”

“Ooo… aku kan lahir besar di Bangkok. Makanya banyak kata - kata dalam bahasa Indonesia yang belum kukenal.”

“Iya. Mungkin di Bangkok hanya diajari bahasa baku oleh orang tua Boss ya.”

“Ya begitulah,” sahutku sambil terus - terusan memperhatikan wajah Adelita yang jauh di atas rata - rata menurutku, “Jadi sekarang ada keinginan mudik?”

“Ada sih. Tapi entah bakal dikasih ijin atau tidak sama Bu Yeyen. Lagian belum punya buat tiket pesawatnya.”

“Lho… gajimu dipakai apa aja?”

“Kan tiap bulan juga transfer ke orang tua Boss. Maklumlah, sekarang saya jadi tulang punggung keluarga,” sahutnya sambil menunduk.

Aku mengangguk - angguk lalu berkata, “Ya udah kalau kamu ingin pulang, bareng aja sama aku besok pagi. Soal ijin dari Bu Yeyen, biar aku yang akan mintakan ijinnya.”

“Siap Boss, siap…”

“Jadi nanti malam kamu ke hotelku aja ya. Ini alamatnya,” kataku sambil memberikan kartu nama hotel yang tadi kuambil dari front desk.

Adelita menjemput kartu nama itu dan membacanya sambil berkata, “Di Lavender street ya Boss? Dekat Lavender street sih. Pake taksi setengah jam juga nyampe.”

“Bisa kan langsung ke hotel itu? Biar besok pagi bisa langsung ke airport,” kataku.

“Maaf Boss… tiket pesawatnya mau dibeliin sama Boss?”

“Ya iyalah. Bu Yeyen ke mana? Kok dari tadi gak kelihatan.”

“Lagi ngecek barang yang baru datang di gudang Boss.”

“Owh, pantesan dari tadi gak kelihatan batang hidungnya.”

“Jadi… nanti saya harus ikutan nginep di hotel Boss?”

“Iya. Mau pisah kamar denganku boleh. Sekamar denganku juga gak apa - apa. Bednya ada dua kok.”

“Mmm… bagaimana baiknya menurut Boss aja.”

“Kalau menurutku sih mendingan sekamar. Biar bisa ngobrol dulu sebelum tidur.”

“Iya Boss. Tapi saya mau ngambil pakaian dulu dari wisma.”

“Oke,” sahutku, “Tapi gak usah ngomong - ngomong sama Bu Yeyen kalau kamu mau nginap di hotelku ya.”

“Siap Boss.”

Kemudian aku melangkah ke belakang, menuju gudang gallery ini.

Di dalam gudang tampak Bu Yeyen, manager gallery ini, yang tampak sedang menghitung hiasan dinding berupa ukiran - ukiran dari kayu jati.

Barang - barang yang dijual di gallery ini hampir 100% didatangkan dari Indonesia, berupa barang hasil pengrajin di tanah airku. Dan kelihatannya barang - barang hasil pengrajin Indonesia itu laku keras di gallery ini. Mayoritas pembelinya pun turis bule atau dari China dan Jepang.

Bu Yeyen tampak asyik menghitung barang - barang seni di depan matanya, sehingga tidak menyadari kehadiranku yang datang dari belakangnya.

Maka tangan nakalku pun menepuk bokong gedenya dengan sedikit remasan, “Hallo Bu Yeyen… !” sapaku.

Bu Yeyen terkejut dan menoleh ke arahku. “Eeeh… Boss… kirain siapa… hihihii… apa kabar Boss?” tanyanya dengan sikap sopan tapi centil.

“Baik - baik aja. Bagaimana perkembangan gallery ini?”

“Omzetnya meningkat terus Boss. Makanya volume impor dari Indonesia pun naik duapuluhlima persen. Maaf, gak enak ngomong di gudang gini. Mari ke ruang tamu Boss.”

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah Bu Yeyen menuju ruang tamu.

Sesaat kemudian aku sudah duduk di sofa ruang tamu. Bu Yeyen duduk di depanku.

Aku menepuk kulit sofa yang sedang kududuki sambil berkata, “Sini dong duduknya. Gak usah terlalu formal seperti dengan Papa almarhum. Sama aku sih santai aja.”

“Iya,” sahut Bu Yeyen sambil berdiri, lalu pindah duduknya ke sebelah kiriku.

“Bu Yeyen kelihatannya tambah seksi aja sih?” ucapku sambil memegang lututnya yang terbuka di bawah spanroknya. Saat itu Bu Yeyen mengenakan blazer dan spanrok serba abu - abu, dengan blouse putih bersih.

“Hihihihi… Boss bisa aja. Saya kan sudah tua Boss,” sahutnya tersipu, tapi tetap dengan sikap centil.

“Aaah… tua gimana? Emang usia Bu Yeyen sekarang berapa?”

“Tigapuluhlima Boss.”

“Tigapuluhlima sih belum tua Bu. Masih bisa hamil kan?”

“Ya masih Boss. Hihihiii… emangnya Boss mau hamilin saya?”

Aku agak tersentak mendengar pertanyaan frontal itu. Tapi aku punya naluri cepat tanggap. “Boleh… emangnya Bu Yeyen gak punyua suami?”

“Sejak bekerja di gallery ini, saya sudah janda Boss.”

“Ohya? Anaknya berapa orang?”

“Dua orang Boss. Tapi kedua - duanya dibawa sama mantan suami.”

“Kalau Bu Yeyen janda sih, boleh dong aku mengisi masa kesepiannya,” ucapku sambil berusaha menyelinapkan tanganku ke balik spanrok abu - abu manager gallery ini.

“Boleh banget kalau Boss sih yang menghangatkan kesepian saya,” ucapnya sambil merenggangkan pahanya, seolah mempersilakan tanganku menyelundup lebih jauh ke dalam.

Meski agak susah, karena ia mengenakan spanrok dengan belahan di sebelah kanannya, namun tanganku berhasil juga menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan menemukan kemaluan yang berjembut tipis, tipis sekali.

Bu Yeyen terengah, lalu berbisik ke telingaku, “Mendingan di sana Boss, supaya lebih bebas, “ia menunjuk ke sebuah pintu yang aku tahu sebagai ruang istirahat Papa kalau sedang berada di Singapore. Bahkan Papa suka tidur di situ.

“Iya,” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Bu Yeyen. Lalu kami melangkah ke dalam kamar yang sering Papa pakai dahulu.

Setelah kami berada di dalam kamar yang kualitasnya tak kalah dengan kamar hotel five star, Bu Yeyen menutupkan pintu kembali sekaligus menguncikannya. “Gak nyangka Boss mau juga menghangati saya yang sudah lima tahun menjanda ini,” ucapnya sambil melepaskan blazer abu - abunya, lalu menggantungkannya di kapstok.

Aku pun berdiri di belakangnya sambil berbisik, “Boss yang bijaksana kan punya kewajiban untuk membantu anak buahnya yang punya masalah.”

“Sekalian sambil menyelam minum air ya Boss,” ucapnya sambil melepaskan blouse putihnya.

“Begitulah kira - kira,” sahutku sambil membantu membuka kancing beha Bu Yeyen yang terletak di punggungnya.

Beha itu pun dilepaskan oleh pemiliknya. Sementara aku masih berada di belakang wanita setengah baya itu. Tapi lewat cermin besar di depan Bu Yeyen, aku bisa melihat gedenya sepasang toket manager gallery ini. Maka dari belakang Bu Yeyen aku memeluknya, dengan kedua tangan memegang sepasang toket gedenya.

“Apa pun yang Boss mau, pasti saya kasih,” sahut Bu Yeyen sambil menurunkan spanrok dan melepaskannya. Lalu ia memutar badannya, jadi berhadapan denganku, dalam keadaan tinggal bercelana dalam saja. Wooow… memang seksi sekali manager galleryku itu. Toket yang gede, pinggang yang ramping dan bokong yang gede sekali.

Dengan telaten Bu Yeyen melepaskan kancing kemeja tangan pendekku satu persatu, kemudian melepaskan dan menggantungkannya di kapstok. Lalu ia berjongkok di depanku, sambil menurunkan ritsleting celana corduroyku sekalian melepaskannya dari kedua kakiku.

Tak cuma itu. Ia juga menurunkan celana dalamku sekalian melepaskannya dari kedua kakiku. Dan… ia terbelalak sambil memegang batang kemaluanku yang sudah mulai ngaceng ini. “Ooooh…! Punya Boss ini… luar biasa gede dan panjangnya…!” ucapnya perlahan.

Aku pun menelentang di atas bed, sambil membiarkan Bu Yeyen memegang batang kemaluanku disertai dengan remasan perlahan.

Lalu… tanpa kusuruh poun Bu Yeyen memasukkan setengah dari batang kemaluanku ke dalam mulutnya. Dan terasalah betapa binal lidahnya menggeluti penisku yang berada di dalam mulutnya. Sementara tangannya memegang batang kemaluanku yang tidak terkulum oleh mulutnya.

Permainan felatio “(wanita mengoral penis)” pun dimulai. Air liurnya dialirkan ke batang kemaluanku yang tak terkulum olehnya, lalu dijadikan pelicin untuk mengurut - urut batang kemaluanku, sementara moncong dan leher penisku digeluti oleh bibir dan lidahnya.

Tentu saja aksi Bu Yeyen itu membuat penisku semakin ngaceng… ceng ceng ceng.

Dengan tangan kanan kanan tetap memegang penisku yang sedang diselomotinya, tangan kirinya pun digunakan untuk melepaskan celana dalamnya. Dan tanpa membuang - buang waktu lagi Bu Yeyen berlutut dengab kedua lutut berada di kanan - kiri pinggulku, sementara memeknya tepat berada di atas penisku.

Lalu pinggulnya diturunkan sambil tetap memegang batang kemaluanku yang sudah diarahkan ke sasaran utamanya.

Blessssss… batang kemaluanku mulai menyeruak ke dalam liang memek berjembut tipis dan jarang itu.

Lalu pinggul Bu Yeyen mulai naik turun perlahan - lahan, sehingga penisku jadi maju - mundur di dalam liang memeknya yang terasa empuk - empuk legit ini.

Tapi sebenarnya aku kurang suka dengan posisi WOT ini, karena menurutku banyak kekurangannya. Karena itu aku hanya membiarkan Bu Yeyen beraksi belasan menit saja di atas penisku. Lalu aku mengajaknya berubah ke posisi missionary.

Bu Yeyen pun setuju. Ia langsung menelentang di atas bed, sehingga penisku terlepas dari liang memeknya.

Bu Yeyen merentangkan sepasang pahanya lebar - lebar ketika aku sudah meletakkan moncong penisku di mulut vagina wanita setengah baya itu.

Dan kudorong penisku sekuat tenaga… blesssss… melesak masuk lagi ke dalam liang memek Bu Yeyen yang berperawakan seksi habis itu.

Aku pun menjatuhkan dadaku ke atas sepasang toket gede Bu Yeyen, sambil bertanya, “Dulu Papa pernah ngentot Bu Yeyen juga?”

“Iiiih… nggak pernah Boss. Pak Margono almarhum sangat cuek orangnya. Setelah istrinya meninggal juga tetap cuek. Gak pernah bercanda atau mengganggu cewek mana pun.”

“Nggak seperti aku ya?”

“Hehehee… iya… putra Pak Margono ini memang supel sih. Nggak banyak sikap protokoler. Jadi anak buah Boss pun pada suka.”

Aku tiddak menanggapinya. karena aku mulai mengentotnya, dengan gerakan yang langsung cepat. Soalnya aku ingat bahwa sebentar lagi gallery bakal tutup. Karena itu aku berusaha untuk ejakulasi sebelum jam tutup gallery.

Bu Yeyen pun menanggapi aksiku dengan menggoyang pinggulnya, memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas ke atas kasur. Sehingga penisku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh dinding liang memek Bu Yeyen yang terasa bergerinjal -gerinjal ini. Hmmm… luar biasa nikmatnya…!

Aku pun mengentotnya sambil meremas - remas toket kanannya dengan tangan kiriku, sementara mulutku asyik mengemut pentil toket kirinya. Hal Ini membuat goyangan pinggul Bu Yeyen semakin menjadi - jadi.

Hampir setengah jam aku menyetubuhi manager galleryku itu. Sampai akhirnya Bu Yeyen merintih di dekat telingaku, “Boss… dudududuuuuh… saya mau lepas Bossssss.. oooohhhhh… oooo… ooooooh…”

Aku pun semakin mempercepat entotanku. Maju mundur maju mundur maju mundur maju… sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Bu Yeyen.

Pada saat itu pula sekujur tubuh Bu Yeyen mengejang tegang, sementara liang memeknya terasa seperti belitan ular yang seolah ingin menghancurkan penisku. Disusul dengan kedat - kedut kencang di dasar liang memeknya. Disusul dengan tembakan air maniku secara beruntun… crotttt… croooot… croooottttt…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu