2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Part 08

Tante Reni terasa sekali sangat mencintaiku. Setelah menelanjangi dirinya, dengan hati - hati ia menanggalkan baju dan celana piyamaku. Sehingga aku langsung telanjang bulat, karena sengaja aku tidak mengenakan celana dalam saat itu, supaya “instant”. Dan kekangenannya ditumpahkan dengan meraihku ke atas bed, lalu mendorong dadaku agar celentang. Mulutnya pun langsung menyergap peniskuyang sudah dipegangnya dengan segenap kehangatannya.

Begitu trampilnya Tante Reni mengoral penisku, mengulum dan menggelutkan lidahnya di moncong dan leher penisku, sementara tangannya pun aktif mengurut - urut batang kemaluanku yang tidak terkulum olehnya, dibantu oleh air liur yang dialirkan dari mulutnya.

Lalu Tante Reni berlutut, dengan kedua lutut berada di kanan kiri, dengan kemaluan yang berada di atas penis ngacengku. Sambil memegang penisku, Tante Reni menurunkan memeknya perlahan - lahan. Dan perlahan - lahan pula penisku menyeruak ke dalam liang memek tanteku. Masih susah juga masuknya. Tapi Tante Reni memaksakan memeknya untuk “menelan” batang kemaluanku.

Tante Reni pun menjatuhkan dadanya ke atas dadaku. Yang kusambut dengan pelukan di lehernya, ditanggapi dengan ciuman mesranya di bibirku. Lalu Tante Reni sendiri yang mengayun memeknya, seolah dia yang sedang mengentotku. Karena memang demikian kenyataannya. bahwa aku hanya mendiamkan penisku, tapi bisa keluar masuk di dalam cengkraman liang memek tanteku yang aduhai itu.

Memang kalau dipikir - pikir memek perempuan - perempuan yang berasal dari keluarga Bunda ini hampir sama rasanya. Hanya kesannya yang berlainan.

Seperti memek Tante Reni ini, terasa mirip - mirip memek Teh Nenden. Sempit dan legit tapi cepat terlicinkan oleh lendir libidonya sendiri.

Lebih dari seperempat jam Tante Reni menyetubuhiku dalam posisi WOT ini. Sampai akhirnya ia keletihan sendiri, lalu menggulingkan badannya sambil mendekap pinggangku, jadi celentang, sementara penisku masih tetap berada di dalam liang memeknya.

Kini giliranku untuk beraksi. Mengayun penisku dengan gencarnya, karena liang memek Tante Reni sudah basah. Mungkin barusan dia sudah orgasme tapi tidak mau memberitahu padaku karena malu, mungkin.

Sebenarnya aku juga sudah sangat kangen pada Tante Reni yang sebelumnya selalu kupanggil Mbak karena belum tahu bahwa dia itu adik bungsu Bunda. Tante Reni yang tadinya begitu mengabdi padaku. Dan sekarang pun tetap menganggapku sebagai kekasih tercintanya.

Itulah sebabnya aku habis - habisan mengentotnya sambil mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya. Membuat Tante Reni semakin bersemamngat menggoyang pinggulnya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Bahkan ketika aku menyedot - nyedot lehernya kuat - kuat, sehingga meninggalkan bekas merah kebiruan, dia tidak caomplain sepatah kata pun.

Rintihan demi rintihannya pun mulai berlontaran tanpa terkendali lagi.

“Don… oooooh… Dooooon… aku cinta padamu Doooon… aku tak mau berpisah lagi dengan, mu Sayaaaang… aku sudah telanjur mencintaimu Dooonny… ooooh… Donny… entot terus Dooon… entooooooot… dentooooot… iyaaaaaa… iyaaaaaaa… iyaaaaaaaa… Doooon… kontolmu bikin aku gilaaaaaaaaa…

Kamarku memang kedap suara sejak dahulu. Karena aku serinbg menyetelkan musik keras - keras dan tak mau ditegur oleh Papa almarhum. Karena itu aku tak kuatir dengan rintihan - rintihan Tante Reni yang makin lama makin menjadi - jadi.

Namun pada suatu saat dia merintih terengah, “Barengin Doon… aku mau lepas Don… ayo barengin Dooon…”

Aku mencoba mengikuti keinginan Tante Reni, meski masih asyik dan ingin berlama - lama mengentotnya.

Lalu kupercepat entotanku agar aku lebih cepat ejakulasi seperti yang diinginkannya. Berhasil… Ketik Tante Reni klapak - klepek lalu mengejang tegang, kutancapkan penisku sedalam mungkin di dalam liang sanggama Tante Reni. Pada saat itu pula liang sanggama Tante Reni terasa seperti memilin - milin batang kemaluanku, lalu terasa mengejut - ngejut kencang…

Kami sama - sama terkapar lemas. Disusul dengan ciuman mesra Tante Reni. Dan ucapan lirihnya, “Kemaren aku kuatir sekali… takut Donny akan menghindariku setelah tau aku ini adik bundamu.”

“Aku tidak sejahat itu Tante,” sahutku sambil mencabut batang kemaluanku dari liang memek tanteku.

Kemudian kami mandi bareng. Membuat terawanganku melayang - layang ke masa laluku. Masa ketika Mama masih hidup. Yang selalu memanjakanku pada waktu memandikanku. Bahkan akhirnya kewanitaan Mama pun diserahkan padaku.

Aaaah… aku sedih sekali kalau ingat smeuanya itu. Karena tak kusangka kalau ibu angkat yang sangat menyayangiku itu akan cepat pergi untuk selama - lamanya.

“Tante besok ke Jakarta ya,” kataku ketika Tante Reni sedang menyabuniku.

“Apa pun yang Donny minta, akan kulaksanakan,” sahut Tante Reni, “Tapi apa yang harus kulakukan di Jakarta nanti?”

“Papa mewariskan dua buah rumah di Jakarta. Nanti akan kuberikan alamat - alamatnya. Yang satu di daerah Kebayoran Baru, yang satu lagi di daerah Menteng. Untuk itu, Tante harus menemui yang dikuasakan oleh Papa untuk mengurus dan menjaga rumah - rumah itu. Bilang aja Tante diutus oleh anak tunggal Pak Margono.

“Jadi tugasku apa?” tanya Tante Reni.

“Tante pilih di antara kedua rumah itu, mana yang lebih nyaman untuk Tante tinggali. Maka kelak rumah itu adalah tempat tinggal Tante. Dan aku memang akan pindah ke Indonesia,” ucapku yang mulai gantian menyabuni tubuh seksi tanteku, “Jadi kita akan tetap sering berjumpa setelah Tante tinggal di Jakarta nanti.

“Iya, iya… mmm… Donny akan tinggal di rumah yang kupilih itu juga?”

“Aku akan tinggal di rumah Bunda. Karena ingin memantau Bunda terus. Takut beliau jadi peminum lagi. Tapi usahaku akan dipusatkan di Jakarta nantinya. Jadi kita tetap akan sering ketemuan.”

“Bunda masih suka minum?”

“Pada waktu aku baru datang, masih. Tapi setelah kubujuk - bujuk, lalu berhenti. Sekarang Donna yang kusuruh mengawasi Bunda terus.”

“Rumah bundamu itu harusnya direnovasi Don.”

“Rumah itu sudah ditinggalkan. Sekarang Bunda tinggal di rumah Pak Wondo, yang punya tanah kosong di samping rumah Bunda itu. Tanah kosongnya pun sudah kubeli dan mulai dibangun.”

“owh… syukurlah. Kasian Teh Ami itu… setelah ditinggal suami malah tenggelam dalam minuman keras. Sehingga rumah tuanya tidak terurus.”

“Tante manggil Teh Ami ya sama Bunda?”

“Iya.”

Pada saat itu tangan bersabun cairku sudah tiba di kemaluan Tante Reni. Dengan nakal aku menyabuninya, sambil memasukkan jemariku ke dalam liang memek tanteku. Dan… diam - diam penisku mulai menegang lagi perlahan - lahan tapi pasti.

Maka pada suatu saat kudesakkan Tante Reni ke dinding kamar mandi, lalu kusabuni lagi memeknya agar licin liangnya. Lalu kuletakkan moncong penisku di permukaan vaginanya. Tante Reni pun membantu memegangi leher penisku, agar arahnya tepat.

Lalu… bleeesssssssss… batang kemaluanku membenam lagi ke dalam liang memek tanteku.

“Udah kangen ya ngentot sambil berdiri gini?” ucap Tante Reni sambil mendekap pinggangku erat - erat.

“Iya… ngentot sambil berdiri gini suka mendatangkan sensasi yang lebih indah,” sahutku sambil mulai mengayun penisku.

Lagi - lagi kunikmati gesekan - gesekan syur antara batang kemaluanku dengan dinding liang sanggama Tante Reni.

Tapi belasan menit kemudian bokong Tante Reni kuangkat… lalu kubawa ke dalam kamarku dan kulanjutkan mengentotnya di atas bed.

Semua ini kulakukan agar aku terkesan sedang merayakan semacam farewell party*(pesta perpisahan)*. Karena besok pagi ia harus terbang ke Indonesia.

Dan esok paginya, ketika hari masih gelap menjelang subuh, Tante Reni berangkat menuju bandara, dengan menggunakan taksi. Tentu saja setelah aku membekali uang yang cukup banyak. Cukup untuk hidup di Jakarta selama berbulan - bulan.

Empat jam setelah Tante Reni berangkat, aku menelepon bank internasional yang cabangnya ada di Indonesia. Bank yang sudah puluhan tahun digunakan oleh almarhum Papa. Aku meminta jasa security bank itu untuk mengangkut koper - koper berisi USdollar yang tersimpan di bunker itu, karena merasa lebih aman dan praktis untuk menyimpannya di bank.

Pegawai bank pun ikut bersama petugas security dan menghitung jumlah uang di setiap koper itu. Kemudian semua uang dollar itu dimasukkan ke dalam mobil security yang cukup luas boxnya. Sampai tengah hari barulah tugas mereka selesai.

Sejam kemudian datang telepon dari bank, yang menerangkan bahwa semua uang US dollar itu sudah masuk ke dalam rekening pribadiku. Jumlahnya sangat banyak. Kalau dirupiahkan lebih dari 2T.

Aku pun merasa lega, karena merasa sudah mengamankan uang peninggalan Papa itu. Di dalam kamar Papa aku menatap lukisan foto Papa yang masih tetap tergantung di dinding kamar almarhum. Di depan foto itu aku bergumam, “Papa… uang peninggalan Papa sudah diamankan. Supaya aku bisa berbisnis di tanah air kita nanti.

Tiba - tiba handphoneku berdering. Ketika kulihat layar hapeku, ternyata dari Mr. Liauw. Maka tanpa diminta pun aku melaporkan penemuanku di dalam brankas itu, yang isinya sertifikat - sertifikat beberapa rumah di Indonesia. Tapi 47 koper yang berisi dollar itu tidak kulaporkan.

“Baguslah kalau begitu. Nanti silakan Boss urus segala sesuatunya dengan Mrs. Tania di Jakarta. Tapi sekarang ini saya mau melaporkan masalah lain. Nanti sore akan datang seorang calon buyer yang akan menjadi calon pembeli segala asset Boss di Bangkok dan di Choiang Mai itu. Namanya Mrs. Sheila. Dia istri seorang pengusaha besar dari kota Khon Kaen.

“O begitu? Oom mau mendampingi dia nanti sore?” tanyaku.

“Tidak. Kebetulan saya ada masalah klien yang harus diurus sore ini. Jadi silakan saja berhubungan langsung dengan Mrs. Sheila nanti. Kan nanti juga perjanjian jual belinya akan diurus oleh saya juga. Kebetulan Mrs. Sheila itu sudah lama menjadi klien saya juga,” sahut Mr. Liauw di hapeku.

“Dia akan datang ke rumah saya kan?”

“Betul. Makanya dia memilih di luar jam kerja. Kalau negosiasinya di rumah kan bisa dilakukan secara familiar.”

“Oke deh. Saya tunggu kedatangannya. Terima kasih Oom Liauw.”

“Sama - sama. Semoga negosiasinya lancar ya.”

Setelah hubungan seluler dengan Mr. Liauw ditutup, aku jadi teringat pada Tante Reni yang sudah berangkat sejak tadi subuh. Ada perasaan cemas juga di hatiku, sehingga kuambil lagi handphoneku dan kupijat nomor handphone Tante Reni.

“Hallo?”

“Tante sudah mendarat di SoekarnoHatta kan?”

“Sudah. Ini malah sudah tiba di kantor Mrs. Tania.”

“Kalau belum bisa masuk ke dalam salah satu rumah, nginep di hotel aja dulu.”

“Kayaknya gak usah Don. Ibu Tania itu kelihatannya sangat baik dan ramah. Sebentar lagi beliau mau mengantarkanku ke rumah - rumah yang sesuai dengan fofocopy sertifikatnya.”

“Sambil bawa - bawa tas pakaian kan?”

“Iyalah. Gak apa - apa. Tas pakaiannya kecil kok. Aku kan nggak bawa banyak pakaian. Nanti beli aja di Jakarta. Dollar pemberian Donny kan sangat banyak.”

“Iya Tante. Jaga diri baik - baik ya.”

“Iya Don. Juga Donny… jaga diri baik - baik ya Sayang.”

Setelah menutup hubungan selulerku dengan Tante Reni, aku menyetelkan musik instrumental di dalam ruang kerja yang dahulu dijadikan ruang kerja Papa. Volumenya perlahan sekali, asal terdengar di telingaku saja.

Sorenya, tamu itu benar - benar datang. Tadinya kupikir calon buyer itu sudah tua, karena mendengar suaminya sudah meninggal seperti Mr. Liauw di telepon tadi.

Tapi ternyata yang mengaku bernama Sheila itu seorang perempuan muda. Paling juga usianya baru 30an.

“Saya kira ownernya sudah tua, ternyata malah jauh lebih muda daripada saya ya?” ucap Mrs. Sheila wsktu baru duduk di sofa ruang tamu.

“Saya juga nyangka calon buyernya sudah tua. Karena Mr. Liauw bilang calon buyernya sudah tiga tahun ditinggal meninggal oleh suaminya. Ternyata Ibu Sheila masih sangat muda. Paling juga baru duapuluhlimaan ya Bu?”

“Hush… umur saya sudah tigapuluhsatu Dek. Mmm… gak apa - apa kan panggil Adek sama Anda?”

“Gak apa - apa. Manggil nama langsung juga gak apa - apa Bu.”

“Sepertinya lebih menyenangkan kalau dipanggil Teteh atau Kak atau Mbak gitu. Biar jangan terlalu formal ngobrolnya.”

“Ibu aslinya dari Indonesia sebelah mana?”

“Saya orang Jabar Dek.”

“Kalau gitu saya panggil Teteh aja ya. Kebetulan saya juga orang Jabar. Cuma sejak bayi sampai dewasa di Bangkok ini. Baru satu kali pulang ke Indonesia, malah gak tau jalan. Untung ada saudara kembar saya yang jadi penunjuknya.”

“Punya saudara klembar segala? Lucu dong kalau jalan barengan.”

“Saudara kembar saya cewqek Bu eh Teh. Kalau jalan barengan malah disangka sama pacar.”

“Hihihiiii… saudara kembarnya pasti cantik ya. Soalnya Dek Donny juga tampan gitu.”

“Iyualah kalau cowok gak mungkin dibilang cantik. Malah Teteh yang cantik di mata saya.”

“Ohya?! Terima kasih, “perempuan yang kupanggil Teh Sheila itu tersenyum manis. Manis sekali. Membuatku salah tingkah, soalnya sikap permpuan 31 tahun itu seolah mengundangku. Tapi kutindas pikiran ngeresku, karena kali ini tamuku adalah tamu bisnis. Bukan tamu pribadi.

Untungnya dia mulai menyadari maksud kedatangannya ke rumahku ini. “Kemaren, begitu mendengar kabar dari Mr. Liauw, konsultan saya langsung mengobservasi asset - asset Dek Donny di Bangkok dan di Chiang Mai, termasuk dua perusahaan yang ada di kedua kota itu. Jadi… mau dibuka dalam harga berapa Dek?

Aku tercenung sejenak. Lalu kujawab harga keseluruhan asset yang mau dijual itu.

Sebenarnya harga itu masih bisa ditawar. Dan aku menunggu berapa dia mau menawarnya. Kalau rasional, akau kulepas semua asset yang sudah ditawarkan itu.

Tapi Teh Sheila malah bertanya soal lain, “Dek Donny sudah punya istri?”

“Belum Teh. Masih kuliah sih.”

Tiba - tiba Teh Sheila berdiri dan menjabat tanganku, “Oke… saya akan beli sesuai dengan harga yang Dek Donny minta tadi. Tapi ada syaratnya.”

“Apa syaratnya Teh?” tanyaku rikuh, karena tanganku masih digenggamnya. Bahkan ujung telunjukknya mengorek - ngorek telapak tanganku, membuatku geli.

“Dek Donny harus jadi pacar rahasia saya. Oke?”

Aku terkejut. Karena tak menyangka kalau wanita tinggi langsing berwajah cantik itu ingin jadi pacar gelapku…!

“Syarat yang sangat menyenangkan. Tapi seminggu lagi juga saya mau pulang ke Indoinesia Teh.”

“Gak apa - apa. Saya juga lebih sering tinggal di Indonesia,” sahut wanita muda bernama Sheila itu sambil memasukkan tangan ke dalam tas yang dibawanya. Lalu dia mengeluarkan tiga ikat US dollar pecahan 100 USD dari dalam tasnya. Lalu menyerahkan ketiga ikat uang dollar Amerika itu padaku, “Ini sebagai tanda jadi saja.

Kuterima uang 30.000 USD itu dengan perasaan seolah bermimpi. Uang yang kalau kurupiahkan lebih dari 400 juta rupiah itu, bukan uang sedikit. Tapi dia hanya menganggapnya sebagai tanda jadi atau tanda keseriusan. Bahwa wanita muda itu langsung menyetujui harga yang kuajukan, tanpa menawar lagi. Syaratnya…

Yang jelas aku menulis tanda terima di sehelai kwitansi. Karena yang diberikannya bukan uang sedikit. Kemudian kuserahkan kwitansi itu padanya.

Wanita muda itu memasukkan tanda terima dariku ke dalam tasnya. Lalu menghampiriku dan berbisik di dekat telingaku, “Terus… bisa sekarang langsung kencan?”

“Boleh,” sahutku sambil mengangguk.

“Mau di hotel atau di villa?”

“Di sini juga bisa,” sahutku sambil menunjuk ke pintu kamarku yang tepat berada di samping ruang tamu itu, “Security lebih terjamin.”

Mata bening indah Teh Sheila seolah memancarkan sinar kebahagiannya. Lalu ia berdiri sambil berkata perlahan, “Oke.”

Aku pun melangkah dan membuka pintu kamarku sambil bergaya ala bellboy di hotel - hotel berbintang lima, “Silakan masuk Madame…”

Kemudian ia masuk ke dalam kamarku yang lebih mewah daripada kamar hotel five star. Sejak Papa meninggal aku memang mengupgrade kamarku sedemikian rupa, sampai benar - benar layak untuk kamar seorang eksekutif muda.

Begitu masuk ke dalam kamarku, yang pintunya sudah kututup dan kukuncikan, Teh Sheila menghampiriku, sehingga harum parfum mahalnya tersiar ke penciumanku. Ia melingkarkan lengannya di leherku sambil bergumam perlahan, “Sejak suami saya meninggal, baru kali ini saya mderasa benar - benar terpesona oleh daya tarik seorang lelaki muda.

Lalu dengan hangatnya ia mencium bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat pula.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu