2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 12

SAku memang sangat lama menyetubuhi Tante Ratih di ronde kedua ini. Maklum namanya juga ronde kedua, tentu saja durasinya lebih lama daripada ronde pertama. Tapi Tante Ratih takkan tahu bahwa di ronde kedua ini aku melakukannya dengan terawangan melayang ke mana - mana. Terutama teringat pada Adelita yang sudah berulang - ulang mengirimkan sms, berisi kerinduannya padaku yang teramat sangat.

Esok paginya, aku melarikan mobilku menuju ke arah timur, ke luar kota. Untuk mendatangi rumah Adelita yang letaknya cukup jauh dari kotaku, sekitar 120 kilometer jauhnya.

Untuk mencapai alamat rumah Adelita tidak mudah. Karena setelah melewati kilometer 100, maka 20 kilometer berikutnya harus melewati jalan yang belum diaspal. Lubang - lubang berlumpur pun harus kulewati. Tapi aku tetap bersemangat untuk berjumpa dengan Adelita yang sudah sangat kurindukan itu, sekaligus untuk memenuhi janjiku bakal mengunjungi rumahnya.

Akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah potongan zaman kolonial Belanda, tapi tampak megah sekali. Bahkan mungkin rumah itu paling megah di antara rumah - rumah di kampung ini. Apakah ini rumah orang tua Adelita?

Tanpa ragu aku mengetuk pintu depan rumah tempo doeloe ini.

Lalu muncul seorang wanita kebule - bulean tapi mengenakan hijab dan jubah muslimah putih bersih. Wanita setengah baya yang cantik dan kebule - bulean itu menyapaku, “Mau ketemu siapa dek?”

Spontan aku bertanya, “Apakah di sini rumah Adelita?”

“Oh, iya. Apakah Adek ini bossnya Lita di Singapore yang bernama Donny itu?” tanyanya dengan sikap berubah, jadi sangat ramah.

“Betul Bu, “aku mengangguk, “Apakah Ibu ini mamanya Adelita?”

“Iya. Silakan masuk Dek,” kata wanita setengah baya itu sambil membuka pintu rumahnya semakin lebar.

Aku pun dipersilakan duduk di salah satu kursi ukiran kayu jati, yang joknya terasa menggunakan pegas. Mungkin umur kursi yang kududuki ini sudah seratus tahunan, tapi tampak sangat terawat.

Wanita berhijab yang cantik rupawan itu pun duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku, dibatasi oleh meja kecil yang bundar dan kakinya berukir pula.

“Lita sedang belanja ke kota. Baru saja berangkat. Apa Dek Donny bersedia menunggunya?”

“Nggak apa - apa bu. Biar saya tunggu aja sampai dia pulang.”

“Tapi masih lama lho Lita pulangnya. Biasanya kalau belanja ke kota, bisa tiga atau empat jam baru pulang.”

“O, begitu ya? Mmm… pake apa dia perginya Bu?”

“Pake angkutan umum Dek. Lita kan belum punya motor. Biasanya anak sebaya dia pada pake motor di sini.”

“Kalau Lita mau, dia bisa beli motor - motor aja sih. Tapi dia kan tinggal di Singapore selama ini. Ohya… Ibu tau ke mana tujuan Lita belanjanya?”

“Tau Dek. Dia selalu belanja di toko langganan saya.”

“Kalau begitu, Ibu bersedia ikut saya menyusul Lita, supaya dia tidak kelamaan pulangnya?”

“Mmmm… boleh deh,” sahut wanita itu sambil bangkit dari kursinya, “Dek Donny udah gak sabar lagi ingin bertemu dengan Lita ya?”

“Hehehee… iya Bu.”

“Saya sih gak usah ganti baju dulu. Yang dipakai ini juga masih bersih kan?”

“Iya Bu. Masih bersih. Pokoknya meski berhijab, Ibu tetap kelihatan cantik.”

“Masa?” wanita itu mencubit pipiku tanpa ragu.

Meski rikuh kujawab juga, “Betul Bu. Pantesan Adelita cantik. Pastui menurun dari mamanya, ya Bu.”

“Mungkin,” sahut mamanya Adelita tampak bangga.

Beberapa saat kemudian wanita berhijab yang tampak kebule - bulean itu sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sudah kujalankan kembali di atas jalan yang banyak lubang berlumpurnya.

“Maaf Bu, kalau boleh taju, Ibu ini asli mana? Dari Eropa atau Amerika?” tanyaku di belakang setirku. “Saya asli Lebanon Dek.”

“Ooo… kalau Lebanon sih berarti Arab juga ya Bu.”

“Iya.”

“Jadi Adelita itu berdarah campuran Indonesia - Lebanon ya.”

Pikirku, pantesan Adelita cantik sekali.

Tapi aku tidak mengatakan hal itu. Aku malah menanyakan hal lain, “Ibu kan sudah jadi WNI ya?”

“Sejak lahir saya sudah WNI. Karena saya dilahirkan di sini. Sebelum saya lahir, orang tua saya sudah jadi WNI.”

“Bagaimana ceritanya sehingga orang tua Ibu bisa tinggal di Indonesia, lalu menjadi WNI?”

“Waktu itu orang tua saya sengaja mengungsi ke Indonesia. Karena di Lebanon sedang terjadi perang besar - besaran. Lalu mereka merasa kerasan tinggal di Indonesia, kemudian mendaftar untuk menjadi WNI. Cukup lama prosesnya, sampai lebih dari sepuluh tahun, barulah mereka menerima surat kewarganegaraannya.

“Waktu masih muda, Ibu pasti cantik sekali,” ucapku nyelonong ke lain arah. Bahkan dengan pikiran ngeres pula. Membayangkan jika dia telanjang bulat seperti apa ya?

Tapi pikiran itu cepat kutepiskan, karena aku sudah berniat menikahi Adelita. Masa calon mertuaku mau dijahilin pula?

“Ya jelas cantik lah,” sahutnya, “Sekarang juga masih cantik kan?”

Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Lalu mengangguk, “Iya. Saya mau jujur aja, Ibu ini cantik sekali. Kalau bukan mamanya Adelita sih pasti udah saya godain.”

“Hihihihiii… “wanita itu ketawa sambil menggenggam tangan kiriku, “Seneng sama wanita setengah baya ya?”

Aku mengangguk. Lalu spontan teringat Mama almarhumah, teringat Bunda, teringat Tante Ratih dan wanita - wanita setengah baya lain yang pernah hadir dalam kehidupanku.

Bagiku, wanita setengah baya itu punya greget tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan cewek muda belia.

“Nanti bisa - bisa Dek Donny bakal ngintipin saya juga dong,” kata mamanya Adelita, lagi - lagi sambil menggenggam dan meremas - remas tanganku.

Aku jadi keceplosan. Sahutku, “Nggak usah nanti, sekarang juga ingin ngintip. Tapi gimana caranya? Pakaian Ibu sangat tertutup begitu…”

“Serius?” tanyanya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.

“Sangat serius Bu,” sahutku yang dengan spontan mengecup pipi kanannya itu.

“Kalau gitu putar balik aja. Gak usah ngejar Lita. Biarkan dia belanja dengan tenang dan pulang pada waktunya.”

“Jadi…?!”

“Mumpung saya lagi ngebet sama Dik Donny, mendingan balik lagi ke rumah saya. Nanti saya bikin Dek Donny takkan bisa melupakan saya.”

Penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita setengah baya yang cantik itu, aku pun memutar mobilku yang kebetulan belum jauh meninggalkan rumah wanita itu.

“Kalau boleh tau, nama asli Ibu apa?”

“Nama saya Faizah, pakai husup z jangan pakai J. Faizah itu artinya berjaya. Tapi almarhum ayah Lita suka manggil saya Zah saja.”

Aku cuma mengangguk - angguk, sambil menghafalkan namanya, Faizah… Faizah… Faizah.

Dan… waktu menyetir kembali ke rumah wanita itu, penisku mulai ngaceng seolah minta “sesuatu”.

Setibanya di rumah bergaya zaman kolonial Belanda itu, Bu Faizah langsung membawaku ke dalam. “Itu kamar Adelita…” ucapnya sambil menunjuk ke pintu di sebelah kiriku. “Dan itu kamar saya,” ucapnya sambil menunjuk pintu kamar yang berada di sebelah kanannya.

Pintu yang di sebelah kanan kami itu dibuka. Lalu Bu Faizah menarik lenganku, mengajak masuk ke dalam. Setelah aku berada di dalam kamar yang tercium harum parfum khas timur tengah, Bu Faizah menguncikan pintu itu. Pada waktu dia sedang menguncikan pintu itu, aku pun mendekapnya dari belakang sambil berbisik ke dekat telinganya, “Bu Faizah punya daya pesona yang luar biasa.

Bu Faizah memutar badannya jadi berhadapan denganku, “Dek Donny juga punya daya pesona yang luar biasa. Saya belum pernah mendekati teman Adelita, apalagi menggodanya. Tapi Dek Donny ini seolah memancarkan aura yang bisa memikat hati perempuan mana pun.”

Ucapan itu dilanjutkan dengan pagutan di bibirku, yang kusambut dengan lumatan, dibalas dengan lumatannya pula.

Ini memang aneh tapi nyata. Bahwa setiap berdekatan dengan wanita setengah baya, selalu saja nafsuku bergejolak. Apalagi dengan wanita setengah baya yang cantik dan seolah memancarkan daya pesonanya seperti Bu Faizah ini.

Lalu terdengar bisikan Bu Faizah di dekat telingaku, “Dek Donny ingin agar jubah putih ini dilepaskan ya?”

“Iya Bu… dari tadi saya membayangkan seperti apa indahnya tubuh Bu Faizah kalau jubah putih dan jilbabnya sudah dilepaskan,” sahutku jujur.

Bu Faizah mengangguk sambil tersenyum. Sambil melepaskan jilbab dari kepalanya, sehingga rambutnya yang hitam legam dan agak ikal itu terurai lepas sam\pai punggungnya. Baju jubah putih bersihnyha pun ditanggalkan

Wow… betapa indahnya tubuh perempuan yang kutaksir usianya kepala empat itu. Tubuh yang sangat putih dan mulus itu benar - benar mirip bentuk guitar Spanyol. Ke atas tegap, dengan payudara yang pasti montok di balik behanya, dengan pinggang ramping dan bokong gede yang… aaaah… tubuh yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam serba hitam itu teramat sangat menggiurkan…

Tanpa basa basi lagi aku pun menanggalkan celana jeans dan baju kausku. Tinggal celana dalam yang kubiarkan masih melekat di tubuhku.

Aku pun berdiri di depannya, namun kedua tanganku bergerak ke punggungnya, karena ingin melepaskan kancing behanya, sekaligus ingin menyaksikan seperti apa bentuk toket gedenya itu…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu