2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Part 30

Rintihan dan rengekan manja Marsha makin lama makin menjadi - jadi.

“Dooon… ooo… oooohhhh… Doooon… aku seperti melayang - layang gini Dooon… oooooh… Doooon… yang seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya… dan ooooh… Dooooniiiii… ini indah dan nikmat sekali Doooon…”

Bahkan setelah lebih dari setengah jam aku menyetubuhinya, Marsha mulai berkelojotan. Pasti dia mau orgasme. Aku pun tak mau kenikmatannya berubah menjadi siksaan. Karena itu aku pun menggencarkan entotanku.

Dan… manakala Marsha mengejang tegang, dengan perut agaj terangkat ke atas, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin… sampai terasda mentok di dasar liang memek Marsha.

Lalu terjadilah sesuatu yang teramat indah. Bahwa liang memek Marsha berkedut - kedut kencang, bersamaan dengan mengejut - ngejutnya kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croootttt… croootttt… croooooooootttttt… crottttt… crooootttt… crottttt… crooootttttt…!

Kami sama - sama terkapar dan terkulai.

Tapi aku ingin segera membuktikan darah yang kulihat membalut kontolku waktu sedang mengentot Marsha. Maka kucabut kontolku dan langsung menyelidiki “keadaan” di bawah memek Marsha. Ternyata memang ada genangan dan percikan darah yang sudah mengering di kain seprai, persis di bawah kemaluan Marsha.

“Marshaku Sayang… aku bingung nih…” ucapku.

Spontan Marsha duduk. “Bingung kenapa Don?”

“Sebelum kusetubuhi tadi, Marsha masih perawan.”

“Ohya?! Mungkin aja. Karena almarhum tak pernah berhasil memasukkan penisnya ke dalam vaginaku,” ucap Marsha.

“Sebelum menikah denganku, almarhum sudah mengidap DM.”

“Diabetes melitus maksudnya?”

“Iya. Penyakit itu juga yang merenggut nyawanya.”

“Coba jelasin sedetail mungkin. Apa sebenarnya yang pernah Marsha alami selama menjadi istrinya?”

Marsha pun menjelaskan secara mendetail seperti yang kuminta. Bahwa penis almarhum Oom Jaka tidak pernah sempurna ereksinya. Lalu dicarinya akal. Penis almarhum hanya dijepit oleh kedua pangkal paha Marsha yang sudah dilumuri lotion. Lalu penis almarhum diayun dalam jepitan pangkal paha Marsha yang sudah dilicinkan oleh lotion.

“Aku masih awam dalam masalah sex. Karena itu aku mengira keperawananku sudah hilang dengan sendirinya. Tapi… ternyata aku masih perawan tadi ya …” ucapnya sambil memperhatikan darah yang sudah mengering di kain seprai itu, “Pantesan tadi pada awalnya ada rasa sakit sedikit… tapi lalu rasa sakit itu hilang setelah penis Donny mengentot liang vaginaku.

Aku pun melingkarkan lenganku di leher Marsha sambil berkata, “Tapi keperawananmu sudah kuambil Sayang. Apakah Marsha menyesal?”

“Nggak lah. Aku malah merasa bahagia karena telah menyerahkannya kepada cowok yang kucintai. Entah kenapa, sejak dibawa ke lantai dua ini, aku sudah jatuh cinta padamu Don. Dan ketika Donny menyetubuhiku tadi, cinta ini semakin mendalam. Aku… aku sangat mencintaimu Don…”

Lalu kupagut bibir yang agak ternganga itu dengan mesra… mesra sekali. Karena sebenarnya hatiku pun merasa bahagia atas semua yang telah terjadi ini.

Setelah ciumanku terurai, kupegang kedua tangan Marsha sambil berkata, “Aku pun merasa bahagia karena telah memilikimu. Mmm… karena ada luka akibat robeknya jangat perawanmu, aku takkan menyetubuhimu dulu selama tiga - empat hari. Nanti setelah luka di dalam vaginamu sembuh, barulah aku akan menyetubuhimu lagi.

Marsha mengangguk sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum wanita muda yang ternyata masih suci sebelum kusetubuhi tadi.

“Sekarang Marsha tinggal sama siapa di rumah?” tanyaku.

“Dengan ibuku. Tadinya dia tinggal di kampung. Tapi setelah Oom Jaka meninggal, dia tinggal di rumahku. Mungkin agar aku tidak kesepian tinggal sendiri.”

“Rumah itu sudah milik sendiri?”

“Bukan. Itu rumah kontrakan. Almarhum mengontrak rumah itu selama dua tahun. Tiga bulan lagi juga masa kontraknya habis.”

“Terus tadinya rencana Marsha bagaimana setelah kontrakannya habis? Mau diperpanjang?”

“Punya duit dari mana buat memperpanjang kontrakan rumah itu? Yah, tadinya sih kalau kontrakannya sudah habis mau pulang aja ke kampung. Ke rumah ibuku.”

Aku lalu teringat ke sebuah rumah yang tadinya akan kuberikan kepada Gayatri. Tapi karena hubunganku dengan Gayatri sudah diputuskan, apa salahnya kalau kuberikan kepada Marsha? Ya… Marsha berhak untuk mendapatkan rumah itu. Karena hatiku merasa bahagia setelah memilikinya dalam tempo sesingkat ini.

Maka setelah sama - sama mandi dan berkeramas, kuajak Marsha ke luar.

Sebelum menuju rumah yang akan kuberikan padanya itu, kubawa dulu Marsha ke factory outlet langgananku. Kubelikan beberapa helai gaun yang layak dipakai oleh Marsha. Kubelikan juga celana jeans, celana corduroy dan celana katun nbeserta baju - baju kausnya. Tak lupa, Marsha pun kubelikan beha dan celana dalam bermerk paling terkenal di seantero jagat ini.

Kemudian kubawa Marsha ke rumah yang akan kuberikan itu. Sebuah rumah yang lumayan megah. Rumah yang terdiri dari 2 lantai, berbentuk kotak minimalis. Di lantai bawah ada dua kamar tidur, di lantai dua pun ada kamar dua buah. Tentu saja kitchen, ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarganya ada. Perabotannya pun sudah lengkap.

Tentu saja Marsha terkejut dan gembira sekali mendapatkan rumah yang cukup besar untuk ukuran keluarga kecil itu.

Bertubi - tubi Marsha mendaratkan ciumannya di pipi dan bibirku. Ucapan terima kasih pun berkali - kali ia ucapkan.

Setelah lonjakan kegembiraannya mereda, ia bertanya, “Bolehkah ibuku dibawa ke sini Sayang?”

“Tentu saja boleh. Malah aku senang kalau Marsha ada teman di sini. Nanti akan kucarikan pembantu juga. Karewna Marsha akan kuaktifkan di perusahaanku. Ohya, pendidikan terakhir Marsha sampai mana?”

“Cuma D3 di bidang kesekretarisan.”

“Oke. Kalau begitu Marsha akan kujadikan sekretaris pribadiku nanti ya. SUpaya mata Marsha terbuka… bahwa dunia ini luas sekali.”

“Iya Sayang. Aku sih dijadikan apa pun siap. Asalkan jangan disuruh menghentikan cintaku padamu.”

“Oooo… kalau yang satu itu takkan mungkin terjadi. Ayo sekarang kita jemput ibumu ke Sumedang.”

“Sebentar… aku ingin pakai gaun baruku dulu. Boleh?”

“Tentu aja boleh. Ayo gantilah pakaianmu di kamar mana akan dipilih sebagai kamarmu Sayang?”

“Kamar itu aja. Kelihatannya paling lengkap fiurniturenya kan?”

“Iya. Itu memang kamar utama. Pakailah gaun termahal dari FO tadi ya Sayang.”

“Iya Donnyku Sayang, “Marsha menjinjing beberapa kantong plastik berisi pakaian dari FO langgananku tadi. Lalu masuk ke dalam kamar paling depan, yang Marsha pilih sebagai kamarnya. Aku pun mengikutinya dari belakang, karena ingin menyaksikan seperti apa bentuk Marsha setelah mengenakan gaun termahal di FO langgananku itu.

Marsha tahu bahwa aku sudah berada di dalam kamar utama itu. Tapi tanpa keraguan dia menelanjangi dirinya, kemudian mengenakan beha dan celana dalam baru yang harganya sulit dijangkau oleh golongan menengah ke bawah itu.

“Donny akan sering nginap di sini nanti kan?” tanya Marsha setelah mengenakan beha dan celana dalam baru itu.

Aku bergerak ke belakangnya. Lalu memeluknya dari belakang sambil berkata, “Tentu saja Sayang. Setelah luka di dalam vaginamu benar - benar sembuh, aku akan sering ngionap di sini. Tapi tentu tak bisa tiap hari aku menginap di sini, karena pekerjaanku bertumpuk terus, terkadang sampai larut malam aku masih bergelut dengan komputerku.

“Iya Sayang… soal itu sih aku mengerti. Sangat mengerti.”

“Sekarang memekmu masih terasa perih kan?”

“Iya… rada perih sedikit. Penismu kegedean kali… hihihihiii…”

“Emangnya penis almarhum seperti apa?”

“Jauh lebih kecil daripada penis Donny. Gak bisa ereksi sempurna pula. Hanya tegak tali… tegang tapi terkulai. Akibat penyakitnya itu. Punya Donny kan ereksinya sempurna. Keras sekali. Makanya gak terlalu sulit memasuki liang vaginaku yang masih perawan juga. Kudengare orang lain suka kesulitan di malam pertamanya.

Kemudian Marsha mengenakan gaun yang kuanjurkan untuk dipakai itu. Gaun sutra berwarna hijau tosca polos, tanpa corak secuwilku. Tapi gaun itu memang gaun impor. Sehingga setelah mengenakan gaun itu, Marsha jadi tampak lebih cantik.

“Hmmm… Marsha jadi makin cantik dalam balutan gaun baru ini. Aku bangga memilikimu Sayang,” ucapku disusul dengan kecupan mesra di bibirnya. “Tapi ada yang lupa tadi ya… aku lupa membelikan sepatu untukmu.”

“Ah, jangan dipikirkan Don. Sepatu kan bisa kapan - kapan lagi belinya. Pakaian aja sudah berjuta - juta tadi belinya. Bikin aku malu sama Donny.”

“Kubelikan gaun dengan pabriknya sekali pun, nilai Marsha jauh lebih mahal di hatiku,” sahutku yang kususul dengan ciuman hangat di pipinya.

Hari mulai malam ketika sedan putihku sudah kularikan menuju Sumedang. Tapi belum malam benar. Ketika sedan putihku tiba di depan rumah Marsha, jam tanganku baru menunjukkan pukul 20.30.

Setelah Marsha mengetuk pintu sambil berseru, “Buuu… !”, pintu pun dibuka oleh seorang wanita setengah baya. Ternyata ibunya Marsha masih kelihatan muda. Pasti dia kawin dini dengan ayah Marsha dahulu.

“Ini anak teh Ami Bu,” kata Marsha setelah masuk ke dalam rumah sederhana itu.

“Oh… iya… iya… kan waktu Jaka meninggal juga datang, lalu ibunya datang beberapa saat kemudian,” sahut wanita setengah baya yang masih memancarkan paaras eloknya itu.

Aku pun lalu mencium tangan ibunya Marsha, yang dilanjutkan dengan cipika - cipiki.

“Siapa namamu Nak?” tanya ibunya Marsha.

“Donny Bu.”

“Sekarang Ibu ganti pakaian dulu. Kami akan membawa Ibu ke suatu tempat yang luar biasa nyamannya,” kata Marsha sambil memegang bahu ibunya.

“Malam - malam begini mau piknik?”

“Bukan mau piknik Bu. Mauj memperlihatkan sesuatu yang… ah… nanti aja jelasinnya. Biar jadi kejutan buat Ibu. Sekarang ganti baju dulu. Sekalian bawa baju untuk ganti Bu. Karena kita akan menginap di sana.”

“Iya, iyaaa…” sahut wanita setengah baya itu sambil melangkah ke dalam.

“Ibumu masih muda sekali,” ucapku sambil menepuk tangan Marsha yang sudah sama - sama duduk di ruang tamu.

“Ibu melahirkanku pada waktu usianya baru enambelas tahun. Maklum Ibu tinggal di kampung. Umur limabelas juga sudah dikawinkan.”

“Berarti sekarang umur Ibu baru empatpuluhan.”

“Tigapuluhsembilan menuju empatpuluh.”

“Pantasan kelihatannya masih muda sekali.”

Pantaslah Marsha cantik, karena ibunya juga cantik. Membuatku teringat ucapan orang - orang tua, bahwa “buah jatuh takkan jauh dari pohonnya”.

Beberapa saat kemudian, ibunya Marsha sudah muncul dengan mengenakan baju jubah hitam, dengan hijab hitam pula. Tapi dalam pakaian muslimah itu ibunya Marsha malah kelihatan lebih cantik lagi. Membuatkuj teringat pada Gayatri dan ibunya (Tante Agatha).

Kami bertiga pun berangkat

Beberapa saat kemudian, Marsha dan ibunya sudah berada di dalam sedan putihku, yang sudah kujalankan kembali menuju kotaku. Marsha duduk di samping kiriku, ibunya duduk di belakang.

“Nama Ibu siapa?” tanyaku pada suatu saat kepada Marsha.

“Eti…” sahut Marsha, “lengkapnya sih Eti Rohaeti.”

“Antik namanya ya.”

“Iya… nama jadul,” sahut Marsha sambil menoleh ke belakang dan berkata kepada ibunya, “Bu… aku dan Donny sudah saling mencintai. Gak apa - apa kan?”

“Gak apa - apa. Malah bagus. Daripada kelamaan menjanda, bisa menimbulkan banyak fitnah.”

“Maksudku… aku kan mantan istri pamannya. Gak apa - apa?”

“Gak apa - apa. Setahu ibu sih yang dilarang itu mengawini mantan istri ayah atau mantan suami ibu. Kalau mantan istri paman sih tidak ada ketentuannya. Apalagi Jaka itu kan paman dari pihak ibunya Donny.”

Tanpa keraguan, meski di belakang ada ibunya, Marsha mengecup pipi kiriku sambil berkata setengah berbisik, “Dengar sendiri kan apa kata Ibu barusan?”

Aku cuma tersenyum.

Sedan putihku meluncur terus di tengah kegelapan malam.

Jalanan yang lengang membuatku bisa lebih cepat mencapai rumah yang sudah kuberikan kepada Marsha itu.

Bu Eti turun dari sedan putihku sambil celingukan. “Wah… rumah ini megah sekali Sha. Rumah punya siapa ini Sha?” tanya Bu Eti kepada anaknya.

Aku yang menjawab, “Rumah ini punya Marsha Bu.”

Bu Eti terbelalak. Mengguncang bahu Marsha sambil bertanya, “Beneran ini rumahmu Sha?”

“Iya Bu. Dan Ibu harus tinggal di sini juga. Karena aku kesepian kalau harus tinggal sendirian di rumah sebesar ini.”

Marsha mengantar ibunya untuk mengitari setiap penjuru rumah baru ini. Sementara aku duduk saja di ruang keluarga, sambil merasakan letihnya bekas nyetir tadi.

Tak lama kemudian Marsha muncul tanpa ibunya.

“Ibu pengen di kamar lantai dua Don. Dia seneng sekali di situ.”

“Iya biarin aja. Malah bagus. Di lantai bawah ada yang nunggu, di lantai atas juga ada yang nunggu. Biar selalu bersih .”

“Ibu sih rajin Don. Pasti lantai dua dibikin bersih dan mengkilap nanti. Coba samperin dulu Ibu gih. Aku mau ganti baju dulu, sekalian mau masak air. Donny mau bikin minuman apa?”

“Di kitchen ada kulkas. Di situ banyak soft drink botol dan kaleng. Gak usah masak air segala. Kalau mau minum yang panas, kan ada dispencer.”

“Oh iyaaa… aku mau ganti baju dulu ya,” ucap Marsha sambil melangkah ke dalam kamar utama, “Samperin Ibu dulu di atas Don. Biar dia ngerasa sudah diijinkan oleh Donny untuk menempati kamar di lantai dua itu.”

“Rumah ini sudah menjadi milikmu Sayang. Jadi kalau mau melakukan apa pun tak usah minta izin lagi dariku,” ucapku. Tapi aku melangkah juga ke tangga menuju lantai atas.

Di lantai dua ada dua kamar juga seperti di bawah. Kulihat kamar di paling pinggir menyala lampunya. Berarti Bu Eti memilih kamar yang jendelanya menghadap ke arah jalan. Mungkin supaya bisa memandang keramaian lalu lintas manusia dan kendaraan di siang hari.

Kubuka pintu kamar itu. Mungkin Bu Eti sedang memindahkan pakaiannya dari tas pakaian ke lemari yang masih kosong itu.

Tapi apa yang kulihat? Ibunya Marsha itu sedang rebahan, dengan hanya mengenakan lingerie. Kaki kirinyha terselonjor, tapi kaki kanannya menekuk dengan telapak kaki menginjak kasur sementara lututnya terlipat seperti sedang berjongkok. Masalahnya… paha dan betisnya begitu putih… begitu mulus…

Oi Maaak… apa yang sedang terjadi di dalam batinku ini? Kenapa kontolku langsung ngaceng menyaksikan pemandangan yang sangat indah itu? Aku pun iseng melangkah ke depannya, karena Bu Eti membelakangi pintu yang kumasuki barusan. Dan… edaaaan… apa yang kulihat benar - benar membuatku tergetar hebat.

Apakah dia biasa tidur tanpa celana dalam atau bagaimana?

Aku berusaha menindas segala hal yang bisa merusak suasana ini. Lalu aku keluar lagi dari kamar di lantai dua itu. Dan menuju kamar Marsha lagi di lantai bawah.

Kulihat Marsha sudah mengenakan kimono putih. Aku pun berusaha untuk melupakan apa yang sudah kulihat di lantai dua barusan.

“Ibu sudah tidur nyenyak di atas,” ucapku sambil merebahkan diri di atas bed.

“Udah tidur? Hmm… Ibu memang terbiasa tidur setelah sholat isya. Tapi jam tiga atau setengah empat sudah bangun lagi biasanya sih. Donnyku mau tidur di sini sekarang kan?”

“Nggak. Aku mau tidur di rumah Bunda. Besok pagi aku ke sini, sekalian jemput Marsha untuk mulai bekerja di kantorku.”

“Aku mulai bekerja besok pagi?”

“Selama sebulan ikut training dulu. Besok ada sekretaris senior yang akan melatih Marsha. Sekretaris senior itu bernama Wien. Aku biasa memanggilnya Mbak Wien. Dia itu sekretaris dirut. Dan nanti, kalau sudah aktif, kedudukan Marsha lebih tinggi dan lebih santai daripada dia. Karen dia itu sekretaris dirut, sementara Marsha akan menjadi sekretaris komut.

“Iya, aku mengerti Don.”

“Tapi meski pun akan menduduki jabatan yang lebih tinggi dari Mbak Wien, Marsha harus mengikuti pelatihannya dengan patuh dan disiplin ya.”

“Siap Bossku…”

“Sekarang aku mau pulang dul;u. Jangan lupa kunci semua pintu keluar. Tapi gak usah takut, di sini sangat aman. Karena senantiasa dijaga oleh satpam.”

Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam sedan putihku, meninggalkan rumah Marsha, menuju rumah Bunda.

Jujur… sejak melihat paha putih mulus ibunya Marsha tadi, aku terangsang sekali. Tapi aku tak mau merusak suasana yang sudah kuatur sedemikian rapinya.

Tapi hasrat biologisku harus disalurkan kepada… Bunda…!

Untung aku punya ibu kandung yang selalu mengerti keinginanku, termasuk dalam masalah sex.

Hari memang sudah larut malam ketika aku tiba di rujmah Bunda. Dan aku selalu membekal kunci cadangan untuk membuka pintu garasi. Dari garasi aku bisa masuk ke kamar Bunda tanpa harus membuka kunci lain lagi.

Kebetulan Bunda baru selesai mandi ketika aku masuk ke dalam kamarnya.

“Tengah malam gini kok mandi Bun?” sambutku sambil memeluk Bunda yang cuma melilitkan handuk di badannya.

“Tadi café ramai sekali. Sampai jam duabelas malam baru bubar. Ada anak orang gedean ulang tahun,” sahut Bunda, “Makanya malam - malam juga bunda mandi, supaya gak bau keringat dan bumbu masakan.”

“Berarti sekalian nyediain memek bersih dong buat anak kesayangan Bunda ini,” sahutku sambil melepaskan handuk itu dari tubuh Bunda. Dan Bunda tersayang itu pun langsung telanjang bulat di depan mataku.

“Hmmm… udah kangen ya sama memek bunda,” ucap Bunda sambil memijat hidungku.

“Iya Bun… dari tadi siang aku inget terus sama Bunda,” sahutku sambil memeluk Bunda dari belakang, sambil merayapkan tanganku ke bawah perutnya pula. “Wow… memek Bunda baru dicukur nih… asyiiiik… bisa nyaman menjilatinya… !”

Bunda merayap ke atas bed, lalu celentang sambil berkata, “Jilatin deh memek bunda sepuasmu Sayang.”

“Sebentar… pintunya harus dikunci dulu. Biar Donna jangan nyelonong ke sini. Aku cuma ingin ngentot Bunda malam ini,” ucapku sambil bergerak ke arah pintu, lalu menguncinya.

“Donna gak bakalan ganggu kita. Dia kan lagi mens.”

“Ohya?! Baguslah… aku memang ingin konsentrasi sama Bunda aja malam ini,” sahutku sambil melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Setelah telanjang aku pun melompat ke atas bed Bunda. Menghimpit Bunda yang sudah celentang pasrah.

Aku mulai dengan mencium bibir Bunda. Kemudian mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya.

Lalu melorot turun sampai wajahku berhadapan langsung dengan memek Bunda yang baru dicukur bersih itu.

Dengan lahap kujilati memek Bunda yang sudah dingangakan oleh Bunda sendiri, sementara jari tengahku pun diselusupkan ke dalam liang memek Bunda. Untuk mengotak - atik di dalam liang memek Bunda.

Tak cuma itu. Aku pun melanjutkannya dengan menjilati kelentit Bunda sambil sesekali mengisapnya kuat - kuat, sehingga kelentit Bunda jadi tampak agak “mancung”.

Bunda menggeliat - gliat dan mendesah - desah sambil mengusap - usap rambutku. Entah seperti apa pikiran Bunda dalam saat - saat seperti ini. Tapi Bunda takkan tahu bahwa sekali ini aku sedang membayangkan sedang siap - siap untuk menyetubuhi ibunya Marsha…!

Ya… jujur saja. Kali ini aku tidak benar - benar kangen sama Bunda. Aku hanya ingin menyalurkan nafsuku yang tersekap di dalam jiwaku ini. Menyalurkan keringinanku untuk menggaul;I perempuan setengah baya. Karena aku selalu mendapatkan kepuasan plus setiap kali menyetubuhi wanita setengah baya.

Aku sudah hafal “jalan” menuju liang sanggama Bunda. Maka ketika aku mendorong kontolku yang sudah ngaceng berat ini… kontolku langsung amblas ke dalam liang memek Bunda… bleeessss…!

Lalu mulailah aku mengayun kontolku, yang bisa langsung dalam kecepatan normal. Karena aku sudah hafal seluk - beluk memek Bunda.

Seperti biasa, rintihan - rintihan bunda mulai terdengar. Tapi Bunda sudah bisa mengontrol diri. Rintihannya seolah bisikan di telingaku. Tidak pernah meraung - raung keras.

“Aaaaah… Doooon… aaaaah… Dooooniiii… aaaaaah… Dooooon… bunda tak bisa lagi ditinggalkan terlalu lama olehmu Sayang… karena kamu selalu membuat bunda puas… ooooohhhh… entot terus Dooon… iyaaaa… iyaaaaaa… iyaaaaaaa… iiiiyaaaaaa… entot terus Sayaaaang… entooooot …

Aku sendiri memang sedang sangat bergairah untuk mengentot Bunda. Karena diam - diam aku sedang membayangkan sesuatu… membayangkan sedang mengentot memek ibunya Marsha yang berjembut tebal itu…!

Aku hanya ingin menyalurkan hasrat biologisku. Karena itu, ketika Bunda berkata “nanti lepasin bareng ya, biar nikmat”, aku mengiyakan saja.

Memang malam ini aku ingin menyalurkan nafsu birahiku. Tapi bukan ingin berlama - lama menyalurkannya.

Maka ketika Bunda mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku. Tak ubahnya pebalap sepeda yang sedang melakukan sprint ketika garis finisdh sudah tampak di mata mereka.

Kuentot liang memek Bunda segencar mungkin. Lalu ketika Bunda mengejang tegang, aku p[un menancapkan kontolku sedalam mungkin, sehingga moncong kontolku mentok di dasar liang mmemek Bunda.

Pada saat itulah aku dan Bunda sama - sama menahan nafas. Lalu detik - detik terindah itu pun terjadi. Bahwa ketika liang memek Bunda berkedut - kedut kencang, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir surgawiku.

Jrottttttt… jrooootttt… crettt… jropooootttttt… jrottttt… jrooootttt… jrooootttt…!

Kami pun terkapar dan terkulai lemas di pantai kepuasan.

Lalu tertidur dengan nyenyaknya, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.

Esok paginya aku terbangun sambil menggeliat. Bunda tidak ada lagi di atas bednya. Mungkin dia sudah berangkat ke pasar untuk belanja kebutuhan café.

Aku pun turun dari bed, langsung masuk ke kamar mandi Bunda. Dan mandi sebersih mungkin.

Selesai mandi kupakai pakaian formal yang kuambil dari kamarku. Karena aku mau ke kantor, tapi mau menjemput Marsha dulu di rumah yang sudah kuhibahkan padanya itu.

Bunda pun muncul dari belakang, sambil membawa sepiring toaster (roti bakar) isi daging. Bunda sudah tahu benar kesukaanku, roti bakar isi daging, tapi jangan pakai daging kornet. Kecuali kalau kornet impor. Karena kornet lokal tak ada yang enak. Dagingnya pun malah dihancurin begitu. Sementara kalau kornet impor, digodognya mnenggunakan susu murni.

Karena itu Bunda suka pakai daging cincang yang ditumis sendiri, untuk isi roti bakarku.

Kopi yang digunakan pun bukan kopi biasa, tapi kopi arabica Aceh Gayo, yang menurutku paling enak di dunia (asalkan jangan beli merk asal - asalan).

Setelah menghabiskan roti bakar dan kopi panas, aku pun pamitan pada Bunda untuk berangkat ke kantor. Aku tidak menyampaikan kata sepatah pun mengenai mantan istri Oom Jaka itu. Karena aku ingin merahasiakannya.

Kemudian aku menjemput Marsha di rumahnya.

Bu Eti mengantarkan kepergian anaknya sampai pintu pagar. “Pulangnya kirimin oleh - oleh yaaa, “serunya yang dijawab dengan anggukan kepala Marsha.

Setelah mobilku bergerak, aku berkata, “Nanti waktu Marshaku training, aku akan membelikan pakaian buat Ibu.”

“Nggak usah terlalu ngerepotin Don,” sahut Marsha.

“Di rumah Ibu gak pernah pakai jilbab kan?” tanyaku.

“Nggak. Dia hanya pakai jilbab kalau mau bepergian aja,” sahut Marsha.

“Aku ingin beliin daster, kimono dan sebagainya. Pokoknya untuk sehari - hari di rumah aja. Tapi kalau pakaian untuk bepergian, nanti Ibu akan kuajak serta. Biar beliau memilih sendiri pakaian yang disenanginya.”

“Oleh - oleh untuk Ibu sih cukup aneh kedengarannya.”

“Memangnya apa yang paling disenanginya?”

“Main PS. dia sering asyik sendiri di rumah sambil main PS.”

“Hahahaaa… masa sih?!”

“Serius. Coba nanti beliin DVD game untuk PS yang baru, pasti dia senang sekali.”

“Tapi sekarang kan Ibu gak bawa PS playernya.”

“Iya. Mungkin disangkanya hanya semalam dua malam dibawa ke sini. Padahal sekalian dibawa pindah.”

“Nanti deh kubeliin PS playernya.”

“Dia sih gak usah yang canggih - canggih Don. Dibeliin PS satu juga senang.”

“Hush… PS sekarang kan sudah PS empat. Masa masih mau beli PS satu?”

“Takutnya kalau terlalu canggih, Ibu malah kesulitan mainkannya. Maksimal PS dua aja deh.”

“Memangnya masih ada toko yang jual PS dua?”

“Nggak tau. Gak pernah lihat - lihat ke toko yang jual PS sih. Aku malah gak suka main PS. Abisin waktu doang.”

“By the way… memeknya masih terasa perih gak?”

“Sudah agak mendingan. Mungkin besok sih sembuh total. Kenapa? Donny udah gak sabar ya… pengen ML lagi denganku?”

“Gak sih. Aku ingin mengutamakan kesembuhan lukanya dulu.”

Tak lama kemudian sedan putihku sudah tiba di tempat parkir khusus buatku di parkiran kantorku. Di sini hanya 2 mobil yang boleh parkir. Mobil komut dan mobil dirut.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu