2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Seorang wanita setengah baya, mengenakan sweater merah dan celana legging hitam memasuki ruang kerjaku, diantar oleh petugas security. Dia adalah Mei Hwa yang biasa kupanggil Cici saja, mengingat usianya yang sudah 40 tahunan, jauh lebih tua dariku. Tapi kalau dilihat secara seksama sekali pun orang yang belum kenal dia takkan menyangka kalau usianya sudah 40 tahun.

Cici Mei Hwa aktif sebagai broker properti yang independen (berdiri sendiri, tidak berlindung pada corporation mana pun). Dia baru saja berhasil menjual rumah yang super besar padaku, di atas tanah seluas 5000 meter persegi (setengah hektar). Rumah tiga lantai yang dikelilingi oleh taman dan lapangan rumput untuk bermain anak - anak itu, tadinya kubeli untuk Gayatri dan Mamanya (Tante Agatha).

Waktu selesai melakukan transaksi rumah super besar itulah Mei Hwa menawarkan sesuatu padaku. Menyarankan agar aku menjadi seorang developer. Sedangkan tanahnya bisa beli lewat dia. Tapi aku belum memutuskan apa - apa saat itu. Dan menyarankan agar hal itu dirundingkan di kantorku pada hari ini. Ya, Cici Mei Hwa datang ke ruang kerjaku ini adalah untuk melanjutkan pembicaraan dua minggu yang lalu itu.

Setelah duduk di ruang tamu, Cici Mei Hwa mengeluarkan berkas fotocopy surat - surat dan gambar tanah yang akan dijual itu sambil berkata, “Ini letaknya sekitar limabelas kilometer dari batas kota, “katanya, “Luas keseluruhan duaratuslimapuluh hektar Boss. Jadi, bisa dibikin perumahan besar, dengan view yang sangat indah di sekitarnya.

“Almarhum papaku juga usahanya antara lain jadi developer di Thailand, Ci,” kataku.

“Nah kalau gitu kan hitung - hitung mengikuti jejak papanya Boss.”

“Tanah seluas itu berapa harga per meternya?”

“Saya mau kasih harga mati aja ya.”

“Silakan.”

Kemudian wanita berdarah chinese itu menyebutkan harga yang luar biasa murahnya menurutku. Tapi sebagai seorang pebisnis, aku tidak memperlihatkan kekagetanku.

“Mungkin harus disurvey dulu ke lokasi ya?” ucapku sambil melirik ke arah jam tanganku yang menunjukkan pukul sebelas siang.

“Boleh,” sahut Cici Mei Hwa, “Saya siap untuk mengantarkan Boss ke lokasi. Makanya saya pakai sepatu kayak gini. Gak jauh kok, tidak sampai limabelas kilometer dari batas kota. Dari sini sejam juga nyampe. Tapi kalau bisa bawa jaket Boss. Di sana udaranya dingin.”

“Oke. Jaket sih ada tuh menggantung di kapstok. Ohya, Cici pakai apa ke sini?”

“Pake taksi Boss. Belum punya mobil sih.”

“Terus duit profit dari properti dipakai apa aja?”

“Cuma buat makan dan biaya rumah sakit suami Boss.”

“Lho… suaminya sakit apa?”

“Kena stroke berat. Sudah enam bulan di rumah sakit, sampai sekarang masih dalam kondisi koma.”

“Ohya?! Yang nunggu di rumah sakit siapa? Anak Cici?”

“Hehehe… saya belum punya anak Boss.”

Aku terlongong. Masalahnya sudah lama aku menyimpan perasaan suka menyaksikan keseharian Cici Mei Hwa yang senantiasa rapi dalam berpakaian, tidak berlebihan dalam memake up wajahnya, sehingga tampak kharismatik di mataku.

Dan… diam - diam otak kotorku membayangkan, seperti apa ya rasanya Cici Mei Hwa ini? Seperti apa bentuk tubuhnya kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?

Hahahaaa…!

Ketika dia sudah berada di dalam mobilku yang kukemudikan ke arah luar kota, pikiran itu tetap saja bersemayam di dalam benakku. Bahkan makin lama makin ngeres.

“Jadi Cici belum pernah melahirkan?” tanyaku di belakang setir.

“Belum Boss,” sahut Cici Mei Hwa yang duduk di samping kiriku.

“Terus suaminya sudah enam bulan koma?”

“Iya Boss. Kalau secara akal sehat sih sudah hopeless.”

“Santai aja Ci,” kataku sambil memegang tangan kanannya, “aku siap kok memberi nafkah batin sama Cici kalau suaminya sudah hopeless gitu.”

“Hihihihiii… kayak yang iya aja Big Boss bisa memberi nafkah batin pada saya yang sudah tua ini.”

“Ci… aku pengagum wanita setengah baya kok. Cici belum tua lho. Kalau sudah menopause, baru bisa disebuit tua.”

“Masih jauh menopause sih. Paling cepat juga limabelas tahun lagi.”

“Berarti libido Cici masih normal kan?

“Masih lah,” sahutnya sambil balas meremas tangan kiriku, “Tapi hari ini masih ngedrop libidonya.”

“Kenapa?”

“Lagi merah. Mungkin dua hari lagi baru bersih.”

“Hahahaaaa… gak apa - apa Ci. Yang penting aku booking dulu dari sekarang ya,” ucapku dengan senyum getir.

“Saya nggak pernah selingkuh lho.”

“SIM Ci.”

“SIM apa? SIM A apa C?”

“Selingkuh Itu Mengesankan.”

“Hihihiii… Boss bisa bercanda juga ya.”

“Kalau dengan wanita cantik aku suka bercanda.”

“Boss ini punya daya tarik yang luar biasa. Baru sekali ini saya tergoda oleh cowok yang bukan suami saya.”

“Masa sih?”

“Berani sumpah, biasanya saya selalu profesional Boss. Gak pernah mikir macem - macem. Tapi sayang sekarang saya belum bersih.”

“Sekarang kan hari Senin. Berarti Rabu udah bersih?” tanyaku.

“Mudah - mudahan… tapi yang sudah pasti benar - benar bersih sih Kamis.”

“Kalau gitu kita ketemuan hari Kamis aja ya. Di rumah yang baru kubeli dari Cici itu.”

“Iya.”

Mobilku meluncur terus ke luar kota.

“Nanti kalau tanah yang mau dilihat itu deal, Boss mau turun sendiri sebagai leadernya?”

“Cici mau kalau jadi leadernya?”

“Mungkin bagusnya adek saya, karena dia sudah S2 manajemen. Kalau saya kuliah juga DO. Karena keburu jadi IRT.”

“Cici punya adek juga?”

“Punya, ya itu yang saya tawarkan untuk membantu Boss memimpin perusahaan developer. Adek saya cantik lho. Nanti Boss malah kepincut sama dia.”

“Umurnya berapa tahun?”

“Mmm… duapuluhtujuh.”

“Duapuluhtujuh tahun udah S2 ya.”

“Iya. Tekun sih Lingling itu.”

“Lingling?! Namanya?”

“Iya. Nama adik saya itu Lingling.”

“Tapi aku sukanya sama wanita setengah baya seperti Cici ini.”

“Hihihi… yang bener?!”

“Bener Ci.”

“Maaf… di depan belok ke kiri Boss.”

“Iya,” sahutku sambil mengurangi kecepatan mobilku. Kemudian belok ke kiri seperti yang diarahkan oleh Cici Mei Hwa. Mobilku mulai menginjak jalan yang belum diaspal. Masih berbatu - batu kerikil. Suasananya pun sepi sekali. Tidak kelihatan orang atau pun kendaraan lewat.

“Nah di sebelah kanan itu… yang ada pohon pisangnya itu mulai masuk perbatasan tanahnya Boss. Terus ke atas, lumayan jauh.”

“Wah… sebagian besar masih hutan gitu ya Ci,” kataku sambil menghentikan mobilku. Karena makin ke dalam makin banyak batu - batu besarnya.

“Iya. Makanya mau dijual dengan harga yang sangat murah juga, karena masih banyak pohon - pohonnya. Itu pohon - pohon kayu bagus Boss. Bukan hutan sembarang hutan. Kayunya bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan nantinya. Mau turun ke luar?”

“Gak usah. Nanti aja menjelang transaksi kita survey secara teliti. Surveynya harus dibantu oleh orang teknik sipil.”

“Boss… tanah yang mau dijual ini sudah ada master plannya. Ijin - ijin pun sudah lengkap. Makanya kalau Boss gak mau pusing lagi, tinggal jalanin master plan yang sudah ada aja.”

“Emang tadinya mau dibuat apa?”

“Perumahan juga. Ada rencana untuk bikin sekolah dari SD sampai SMA. Ada rencana bangun ruko - ruko juga. Pokoknya seolah bakal jadi kota kecil yang mandiri Boss.”

“Lalu kenapa gak dilanjutkan rencananya?”

“Keburu bangkrut perusahaannya Boss. Orangnya juga sudah pindah ke luar negeri.”

“Orang Indonesia?”

“Iya.”

“Terus siapa pemilik tanah itu sekarang?”

“Masih punya dia. Tapi sudah dikuasakan kepada saya untuk menjualnya.”

“Surat - surat aslinya ada sama Cici?”

“Iya Boss. Semuanya ada sama saya. Surat kuasanya juga dibuat di notaris. Jadi nanti Boss seolah mau transaksi dengan saya aja.”

“Sudah lama surat kuasa itu dibuat?”

“Kurang lebih tiga bulan yang lalu. Masih berlaku kok. Surat kuasa itu berlaku selama setahun.”

“Jadi nanti transaksinya di notaris itu juga?”

“Betul Boss.”

“Fee yang akan Cici dapatkan pasti banyak sekali ya?”

“Cuma dua persen Boss. Fee dari jual beli tanah mana bisa gede - gede?!”

“Dua persen dari transaksi milyaran kan jadi gede juga. Ayo kita turun Ci,” kataku sambil turun dari mobil dan bergegas membukakan pintu kiri depan, untuk membantu turunnya Cici Mei Hwa, karena mobilku lumayan tinggi, takut dia jatuh pula nanti.

Tapi pada waktu Cici Mei Hwa mau turun, aku sekaligus mendekap pinggangnya, lalu mengangkatnya sambil mendorong pintu mobilku dengan kakiku, sampai tertutup lagi. Sementara Cici Mei Hwa masih terangkat dengan dekapanku di pinggangnya.

Dan… begitu dia kuturunkan, bibirnya langsung menyergap bibirku.

Ternyata dia agresif juga. Atau hanya padaku dia berperilaku agresif? Entahlah.

Yang jelas kubalas ciumannya itu dengan lumatan. Tapi aku tak berani berlama - lama melumat bibirnya, karena takut ada orang lewat nanti.

Lalu kami melangkah ke arah hutan pohon kayu rasamala itu.

Sebenarnya aku juga tidak tahu untuk apa aku memasuki hutan pepohonan kayu yang katanya termasuk bagus buat bangunan itu. Mungkin aku hanya ingin melakukan sesuatu dengan Cici Mei Hwa. Tapi bukankah dia sedang menstruasi?

Ya, kalau sekadar memeluk dan menciuminya, kan bisa saja.

Dan setelah berada di tengah hutan yang lengang itu, aku pun mendekapnya dari belakang. “Udah gak sabar nunggu Cici bersih.”

“Lusa pasti saya kasih Boss. Tapi tanah ini pasti jadi dibeli oleh Boss kan?”

“Harganya benar - benar sudah mati segitu?” tanyaku sambil menyelinapkan tanganku ke balik mantel merahnya… menyelinap terus sampai menemukan payudaranya yang tidak besar tapi hangat sekali.

Tapi sesaat kemudian dia menepiskan tanganku dari balik behanya, “Sebentar Boss… saya mau pipis dulu… dingin sekali sih udaranya kan?”

“Iya. Aku juga mau pipis,” sahutku, sambil mengikuti langkah Cici Mei Hwa menuju bukit yang tidak terlalu tinggi. Bukit itu gundul, tidak ada pepohonan besar, hanya ditumbuhi oleh rerumputan liar.

Celana legging hitam itu pun dipelorotkan. Cici Mei Hwa mengeluarkan softex dari balik celana dalamnya, “Tuh lihat, takut Boss nyangka saya bohong, saya pakai ini karena sedang mens.”

“Tapi penutup datang bulannya bersih Ci? Gak kelihatan ada darahnya setitik pun,” kataku.

Dia memperhatikan softex itu dengan seksama sambil bergumam, “Iya sih… apa mungkin sudah bersih mulai hari ini ya?”

Aku jadi semakin bersemangat. Kusembulkan batang kemaluanku, lalu kencing sambil membelakangi wanita yang tampak seperti di bawah 30 tahunan itu. Setelah kencing, kudekatkan penisku yang agak ngaceng tapi belum ereksi total itu ke dekat Cici Mei Hwa yang sedang kencing sambil berjongkok.

“Hahahaaa… berarti nasibku bagus kan Ci. Sekarang kontolku bisa dimasukkan ke dalam memek Cici kan?”

“O my God!! Kontol Boss luar biasa panjang dan gedenya gini… !” serunya sambil memegangi penisku dengan tangan agak gemetaran. Sementara aku mengamati memeknya yang berjembut agak lebat itu.

“Iya Ci… gimana? Kita ngewe aja di sini sekarang?”

“Jangan di sini Boss. Memang di sini sepi sekali. Tapi kadang - kadang suka ada orang yang melintas ke sini. Ada juga yang suka menyabit rumput untuk makanan kambing atau kerbau di sini.”

“Kalau gitu di rumah yang baru kubeli dari Cici aja yuk.”

“Nah… kalau di sana sih boleh. Tempatnya nyaman dan serba mewah lah.”

“Sekarang kita langsung menuju ke sana yuk.”

“Emangnya Boss sudah puas melihat lokasi untuk perumahan ini?”

“Puas deh. Lokasinya indah sekali. Tapi nanti harus banyak yang diratakan tanahnya.”

“Zaman sekarang perumahan elit malah banyak yang berbukit - bukit tanahnya Boss. Malah banyak rumah mewah yang letaknya di pinggir tebing, lalu membuat lantai pertama di bawah, sekalian untuk menikmati keindahan di luarnya.”

“Iya. Nanti aku mau konsultasi dulu dengan arsiteknya.”

Lalu kami menuruni bukit itu sambil bergandengan. Lenganku melingkar di pinggangnya, lengan Cici Mei Hwa pun melingkar di pinggangku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu