2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 22

Rumah yang kubeli lewat Cici Mei Hwa itu besar sekali. Dibandingkan dengan rumah peninggalan almarhum Papa di Bangkok juga masih besaran rumah ini. Rumah ini terdiri dari tiga lantai. Berdiri di atas tanah 5000 meter persegi. Dan tanah seluas itu hampir habis oleh bangunan rumahnya. Tak cuma itu, di belakang rumah besar ini ada tanah kosong seluas 1 hektar yang ikut dijualkan oleh Cici Mei Hwa juga.

Rumah besar itu memang miring sekali harganya. Karena Cici Mei Hwa mendapatkan penawaran dari bank yang menyita rumah yang lengkap dengan segala peralatannya tersebut. Menurut keterangan Cici Mei Hwa, rumah tersebut disita dari seorang pengusaha besar yang macet kreditnya selama bertahun - tahun. Dengan sendirinya aku membeli rumah tersebut dengan harga lelang.

Tadinya aku ingin menyediakan rumah ini untuk Gayatri dan mamanya (Tante Agatha). Tapi setelah aku memiliki hubungan dengan Liza, pikiranku jadi penuh keraguan. Biarlah rumah besar itu akan kujadikan semacam investasi saja. Untuk apa - apanya, nanti saja kupikirkan lagi.

Memang membingungkan punya rumah yang terlalu besar begitu. Kamarnya saja ada 14 buah. Di lantai dasar ada 6 kamar. Di lantai dua, 4 kamar, di lantai tiga empat kamar.

Kalau aku punya anak selusin, barulah rumah itu akan kujadikan tempat tinggalku.

Belum lagi tanah yang di sehektar di belakangnya itu. Mau dijadikan apa?

Entahlah.

Yang jelas aku sedang berada di jalan menuju rumah besar itu, sambil membawa Cici Mei Hwa di dalam mobilku.

Tiga orang pembantu yang dahulu dipekerjakan oleh majikan lama mereka, kurekrut lagi. Mereka hanya ditugaskan untuk membersihkan dan membereskan rumah besar itu, masing - masing satu lantai. Sementara di luar rumah pun harus selalu dibersihkan oleh mereka bertiga.

Cici Mei Hwa kubawa langsung ke lantai tiga, agar lebih nyaman dan tidak ada gangguan.

“Rumah ini mau diapakan nantinya Boss?” tanya Cici Mei Hwa setelah berada di kamar pilihanku pada lantai tiga.

“Untuk sementara hanya akan kuanggap sebagai investasi saja. Belum ada rencana apa - apa,” sahutku sambil memeluk wanita setengah baya yang kelihatan masih sangat muda itu.

“Maaf Boss, boleh saya ke kamar mandi dulu sebentar?”

“Mau ngapain? Kedinginan lagi dan mau pipis lagi?”

“Ingin yakin dulu bahwa saya sudah bersih. Takut diem - diem ada flex darah lagi.”

“Oh, iya iyaaa. Silakan.”

Cici Mei Hwa pun masuk ke dalam kamar mandi. Tiba - tiba handphoneku berdering. Haaaa…! Dari Teh Sheila… kakak seayahku yang telah membeli sebagian besar asset almarhum Papa di Thailand itu…!

“Sehat. Donny kok lama banget gak ke Bangkok lagi?”

“Aku masih sibuk melanjutkan beberapa perusahaan ayah angkatku di Indonesia Teh. Ohya… apakah Teteh masih berminat untuk membeli rumah di Indonesia?”

“Iyalah. Aku kan ingin juga punya asset di tanah air.”

“Nah… kebetulan Teh. Ini ada rumah yang megah dan besar sekali. Tanahnya pun limabelasribu meter persegi.”

“Wow…! Bagus itu. Aku sekalian ingin buka perusahaan juga di tanah air. Coba fotoin setiap bagian pentingnya ya Don. Sekaligus cantumkan harganya. Kalau cocok, aku akan secepatnya terbang ke tanah air. Sekaligus ingin ketemuan sama Donny. Emangnya Donny gak kangen sama aku?”

“Kangen sekali Teh. Nanti kalau kita ketemu lagi, habisin perasaan kangen kita ya.”

“Iya Don. Aku malah ingin sekali hamil sama Donny. Tempo hari gak jadi skih. Padahal saat itu aku sedang berada di masa subur.”

“Para suami istri yang tiap hari hidup bersama juga kan gak langsung hamil semua. Ada juga yang terlambat… setelah beberapa tahun menikah, baru bisa punya anak.”

“Iya sih. Oke… kirimin foto - foto rumah itu, ya Don. Ini aku mau terima tamu bisnis dulu.”

“Iya Teh. Semoga bisnisnya sukses terus yaaa…”

“Amiiiin…”

Baru saja hubungan seluler dengan kakak seayahku itu ditutup. Datang lagi call dari… Imey…!

Kasihan juga anak Tante Ratih yang sudah dijodoh - jodohkan denganku itu. Dia sering nelepon dan menanyakan kapan bisa ketemuan. Tapki jawabanku cuma ntar… ntar… aku masih sibuk. Padahal apa salahnya kalau kuajak saja ketemuan di suatu tempat.

Lalu :

“Hallo Mey? Apa kabar?”

“Sakit.”

“Sakit apa?”

“Sakit hati. Aku sangat ingin ketemu, tapi Donny sibuk terus.”

“Memang begitulah keadaanku Mey. Aku kan sedang mengurus perusahaan baru. Nanti kalau sudah tiba saatnya, pasti aku akan datang untuk menjemputmu.”

“Kalau aku datang ke kantor Donny boleh nggak?”

“Sekarang aku sedang berada di luar kota Sayang. Nanti kalau sudah pulang akan kukasihtau.”

Setwlah hubungan seluler dengan Imey ditutup, aku jadi tersenyum sendiri. Rasanya belakangan ini aku sibuk ngurusin memek mulu. Tapi gak apalah. Mumpung masih muda. Yang penting bisnis jangan diterlantarkan.

Cici Mei Hwa pun muncul dari kamar mandi.

“Memang saya sudah bersih Boss,” kata wanita setengah baya bermata sipit itu.

“Sukurlah, “sambutku sambil meraih pinggangnya ke arah sofa. Lalu kududukkan dia di atas pangkuanku.

Tentu saja bukan sekadar mendudukkannya di atas pangkuanku. Karena aku pun muilai melepaskan baju sweater merahnya. Sehingga kelihatan bahwa di balik sweater merah itu masih ada kaus singlet wanita. Dan kaus singlet itu pun kulepaskan, sehingga tinggal beha putih yang masih melekat di dadanya.

Meski beha itu belum dilepaskan, aku sudah bisa melihat bahwa payudaranya kecil. Untuk membuktikannya, kulepaskan juga beha putih itu.

“Hihihi… toket saya kecil Boss. Kalau toket adikku memang gede tuh,” ucapnya sambil tersenyum malu - malu.

“Toket kecil gini malah enak menggenggamnya. Dengan satu tangan saja bisa tergenggam semua,” sahutku sambil mengenggam toket kirinya.

Mei Hwa pun menyergap bibirku ke dalam ciuman ketat dan hangatnya. Sementara tanganku sudah berpindah tempat, menyelusupp ke balik celana leggingnya, untuk meremas bokongnya yang lumayan gede. Lalu menyelusup lagi ke balik celana dalamnya, sampai menemukan “sesuatu” yang berambut lebat. Mencari - cari di antara kerimbunan jembut itu, sampai menemukan celahnya yang hangat dan agak basah serta licin.

Jemariku menyelidik sampai masuk ke dalam liangnya… hmmm… jemariku menemukan liang yang masih kecil. Maklum dia belum pernah melahirkan.

Mei Hwa tetap asyik melumat bibirku. Tapi tangannya pun ikut beraksi. Menarik ritsleting celana panjangku. Lalu menyelundup ke balik celana dalamku. Menggenggam batang kemaluanku yang masih agak lemas ini. Namun berkat remasan lembutnya, penisku pun mulai ngaceng. Bahkan sudah siap tempur.

Lalu terdengar suara Mei Hwa, “Sudah ngaceng nih. Masukin aja kontolnya Boss. Saya sudah horny berat…”

“Ayo, di sana aja,” sahutku sambil menunjuk ke arah bed.

Mei Hwa mengangguk. Lalu mengikuti langkahku menuju bed. Di situlah ia melepaskan celana legging hitam dan celana dalam putihnya. Sehingga jadi telanjang bulat di depan mataku.

Aku pun menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai sampai benar - benar telanjang bulat, seperti Mei Hwa.

Sesaat kuperhatikan tubuh Mei Hwa yang langsing tapi berbokong gede itu. Lalu kuterkam dia dengan penuh nafsu.

Mei Hwa menyambutku dengan ciuman dan lumatan hangat di bibirku. Dengan lengan melingkari leherku. Sementara aku mulai giat mencolek - colekkan moncong penisku di mulut vagina Mei Hwa yang terintangi jembutnya ini. Namun akhirnya aku menemukan celah memeknya. Dan kudorong penisku sekuat tenaga.

Akhirnya penisku berhasil menerobos liang memek wanita setengah baya itu.

Blesssssssss… melesak masuk ke dalam liang sempit tapi sudah licin ini.

Mei Hwa menatapku dengan sorot jinak. Dan berkata, “Gak nyangka Boss mau sama saya yang sudah tua ini.”

“Aku ini penggemar wanita setengah baya Ci. Apalagi kalau wanitanya secantik Cici ini,” sahutku sambil mengayun penisku perlahan - lahan. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal.

“Dudududuuuuuuh… Booossss… kontol Boss ini bukan hanya gede tapi juga panjang sekali. Sampai terasa nyundul - nyundul dasar liang memek saya Boss…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu