2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Tidak lama kemudian Mr. Liauw datang sesuai janji lewat handphone setibanya aku di bandara tadi.

Mr. Liauw kuterima di ruang kerja yang dahulu biasa dipakai sebagai ruang kerja Papa almarhum.

Begitu duduk di ruang kerja Papa, Mr. Liauw berkata, “Maaf saya mengganggu Boss, sehingga harus buru - buru pulang dari Indonesia. Soalnya saya takut menyampaikan pesan lisan kepada saya pada waktu Pak Margono masih ada. Pesan itu sangat rahasia, katanya. Tapi saya sampai lupa menyampaikan pesan itu.

“Apa isi pesannya Oom?” tanyaku tak sabaran.

“Almarhum bilang, bahwa kalau beliau sudah tiada, ada surat - surat penting di safe deposit box, yang nomor kuncinya sudah dikasih tau kepada Boss. Betul kan almarhum sudah ngasih tau nomor kunci brankas itu?”

“Iya, “aku mengangguk.

“Terus… semua surat - surat penting dalam brankas itu diwariskan kepada Boss.”

“Iya… iya… terus apa lagi pesannya?”

“Nanti kalau ada kesulitan mengurus surat - surat penting ini, Boss disuruh menghubungi orang ini di Jakarta,” kata Mr. Liauw sambil menyerahkan secarik kartu nama.

Kubaca nama yang tertera berikut alamat orang di kartu nama itu. Mrs. Tania berikut alamat lengkap rumah dan kantornya di Jakarta.

“Mungkin orang ini termasuk kepercayaan Papa juga ya Oom?” kataku sambil memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetku.

“Pasti. Almarhum Pak Margono tidak pernah menyerahkan hal - hal penting kepada orang yang belum menjadi kepercayaannya.”

Tak lama kemudian Tante Reni datang dan meletakkan snack berikut dua gelas lemon tea di atas meja di depan sofa yang sedang diduduki oleh Mr. Liauw, sementara aku duduk di depannya, dibatasi oleh meja kecil yang 100% terbuat dari kaca tebal itu.

“Silakan diminum Oom,” kataku sambil meraih gelas yang berada di dekatku.

“Terima kasih,” sahut Mr. Liauw sambil meraih gelas lemon tea yang berada di dekatnya.

“Oom… sebenarnya saya mau pindah ke Indonesia saja,” kataku ketika Mr. Liauw sedang menikmati lemon tea dan snack yang terhidang di depannya.

“Terus kuliah Boss bagaimana nanti?”

“Kuliah di Indonesia aja. Soalnya ada beberapa alasan kuat yang membuat saya harus tinggal di Indonesia. Oom bisa kan mencarikan orang yang mampu membeli semua asset saya di Bangkok dan di Chiang Mai?”

“Mau dijual semua? Tidak sayang kah?” Mr. Liauw menatapku dengan sorot seius.

“Sayang sih sayang. Tapi uang hasil penjualannya kan bakal saya pakai usaha di Indonesia nantinya.”

“Semuanya mau dijual?”

“Iya perusahaan peninggalan Papa dan rumah rumah di Bangkok akan saya jual semua, kecuali rumah yang ini dan yang di Khao Yai, akan saya pertahankan. Takkan dijual.”

“Kalau tekadnya memang sudah bulat, nanti akan saya carikan calon buyernya.”

“Silakan. Sukur - sukur kalau Oom sudah menemukan buyernya sebelum saya pulang ke Indonesia lagi.”

“Mau berapa lama di sini sekarang?”

“Paling juga sepuluh hari lagi saya akan kembali ke Indonesia, kemudian akan tinggal di sana selama berbulan - bulan. Karena ada yang sedang saya bangun di sana.”

“Asset - asset yang di Singapore bagaimana?”

“Yang di Singapore semuanya akan saya pertahankan. Karena prospek masa depannya sangat bagus.”

Sebelum Mr. Liauw pulang, aku masih sempat berjanji akan memberitahu apa isi surat - surat penting yang tersimpan di dalam brankas itu. Soalnya aku masih capek setelah menempuh penerbangan menuju Bangkok ini. Sedangkan aku tahu di mana letak brankas itu. Di dalam bunker yang letaknya tepat di bawah tempat tidur almarhum Papa.

Tapi setelah Mr. Liauw pulang, kupaksakan juga untuk memeriksa apa isi brankas itu. Settelah berada di dalam kamar Papa, aku langsung menuju bed yang ada roda kecil di bawahnya. Ini menguntungkan, karena aku tak usah menguras tenaga uintuk mendorong bed itu, sampai pintu bunkernya tidak terhalangi lagi dan bisa dibuka (setelah nomor rahasianya kupijit - pijit).

Kemudian pintu bunker yang terbuat dari besi itu kubuka. Aku pun turun ke dalam bunker itu. Puluhan koper bertumpuk di dalam bunker itu, sementara brankasnya nyempil di sudut.

Dahulu aku memang tahu bahwa brankas itu ada isinya. Tapi hanya beberapoa buah map yang tidak menarik hatiku. Sehingga aku tak pernah bertanya kepada Papa tentang isi map - map itu apa saja. Juga koper - koper itu tak pernah kutanya apa isinya. Aku hanya berpikir, mungkin isinya cuma pakaian yang sudah tidak terpakai lagi.

Tapi sebelum membuka brankas itu aku iseng membuka salah satu koper itu.

Astagaaaa…! Koper itu penuh dengan uang dollar Amerika pecahan 100 USD!

Tanganku sampai gemetaran pada waktu menyentuh uang di dalam koper itu.

Tapi koper itu kututup dan kusimpan di tempat semula. Dengan pikiran gembira bercampur bingung. Gila… uang sebanyak itu mau diapain? Entahlah. Aku belum bisa memikirkannya.

Lalu kubuka brankas itu setelah memutar nomor rahasianya yang masih tetap kuingat. Masih seperti dahulu. Isinya cuma beberapa buah map. Maka kukeluarkan semua map itu. Dan kulihat satu persatu. Ternyata isinya sertifikat - sertifikat rumah di Indonesia semua. 2 rumah di Jakarta, 3 rumah di Bandung, 2 rumah di Jogja, 1 rumah di Semarang dan 5 rumah berikut sebuah perusahaan yang masih berjalan di Surabaya, 1 villa di Puncak dan 1 villa di Batu Malang.

Yang mengharukan adalah surat dari Papa yang kutemukan dari brankas itu. Isinya.

Donny Anakku Sayang,

Waktu kamu membaca surat ini, mungkin papa sudah tiada, menyusul Mama di alam abadi.

_

Perlu kamu ketahui, bahwa baik papa mau pun Mama sudah tidak punya sanak saudara lagi. Sehingga papa putuskan untuk mewariskan semua harta benda papa kepadamu, anakku.

Di dalam surat wasiat yang papa titipkan ke notaris Liauw, sudah papa jelaskan bahwa sebenarnya kamu bukan anak kandung papa dan Mama Tapi kami menyayangimu lebih dari kepada anak kandung kami sendiri.

Karena itu papa tidak ingin melihatmu sengsara setelah papa tinggalkan. Karena itu, semua uang dollar yang ada di dalam 47 buah koper itu pun papa wariskan kepadamu. Semoga kamu bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Kalau bisa, kembangkanlah uang itu dengan cara yang terbaik bagimu kelak.

Papa ingin agar semua harta benda yang diwariskan padamu itu digunakan untuk kebaikan dan masa depanmu. Jadilah orang yang lebih sukses daripada papa, ya anakku.

_

Margono

Setelah membaca surat dari Papa almarhum, air mataku tak tertahankan lagi, mengucur dengan derasnya. Semuanya terbayang lagi di mataku. Termasuk skandalku dengan Mama, yang seakan membuatku jadi oposisi Papa.

Lalu aku bergumam di dalam bunker itu. “Pesan Papa akan kulaksanakan sebaik - baiknya. Semoga Papa dan Mama beristirahat dengan tenang di alam kekal sana.”

Setelah menutupkan brankas dan mengambil semua map berisi surat - surat penting itu, aku pun naik ke atas lagi. Kututup dan kukuncikan kembali pintu bunker. Kemudian kudorong bed yang dahulu biasa dipakai tidur oleh Papa almarhum. Kemudian meletakkan map - map itu di ruang kerja. Dan masuk ke dalam kamarku.

Tak lama kemudian pintu kamarku diketuk dari luar.

Kujawab, “Masuk aja, gak dikunci.”

Ternyata Tante Reni yang membuka pintu dan bedrdiri di ambangnya. “Makan siang sudah disiapkan di ruang makan, Sayang.”

“Iya Tante. Aku memang lapar nih,” sahutku sambil mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama.

Di ruang makan, sikap Tante Reni masih seperti dulu. Berdiri di belakang kursiku, untuk menyiapkan sesuatu yang kurang bagiku.

“Tante duduk aja, jangan seperti dulu lagi,” ucapku sambil menarik kursi yang di samping kursiku, “Sekalian temani aku makan ya.”

Sambil tersenyum Tante Reni duduk juga di kursi itu.

Tapi Tante Reni tetap menyeduk nasi untuk piringku, lalu meletakkan piring berisi nasi itu di depanku.

“Itu sayur lodeh ya?”

“Iya. Mau?”

“Mau,” sahutku.

Tante Reni pun menyeduk sayur lodeh itu ke dalam mangkok kecil. Lalu medletakkan mangkok itu di dekat piringku. Lalu aku minta goreng ikan laut dan sambal. Tante Reni pun meladeniku lagi.

“Gak enak diladeni sama tanteku sendiri,” kataku sambil menepuk pantat Tante Reni.

“Kan Donny sudah kuanggap sebagai suamiku sendiri. Wajar kalau istri meladeni suami kan?”

“Surat perceraian dengan suami Tante sudah datang?” tanyaku sambil mulai makan.

“Sudah. baru datang kemaren,” sahut Tante Reni sambil mulai makan juga, menemaniku.

“Orang - orang yang kerja di sini sudah tau kalau Tante ini tanteku?”

“Belum. Nanti Donny aja yang jelasinnya.”

“Orang Indonesia yang bekerja di sini tinggal berapa orang?”

“Masih lengkap seperti dulu. Selain aku, ada Lili… Mita… Nora… Wati dan Ica. Laki - lakinya Taufik dan Banu. Itu saja.”

Setelah selesai makan, aku berkata kepada Tante Reni, “Bisa panggil pegawai yang perempuan saja, tapi semuanya harus hadir di sini.”

“Iya… sebentar ya… mau ta kumpulin dulu.”

Kemudian semua “karyawati” dikumpulkan di ruang makan. Mereka berdiri sambil menundukkan kepala semua. Kusebutkan bahwa sebenarnya Tante Reni itu adik bungsu ibu kandungku. Kusebutkan juga bahwa rumah ini akan dijual (padahal tidak akan kujual sampai kapan pun). Namun mereka semua bisa memilih, apakah mau kupindahkan ke Khao Yai yang udaranya sejuk itu, tidak seperti Bangkok yang panasnya melebihi Jakarta, atau mau dipindahkan ke Surabaya, atau mau resign saja.

Ternyata mereka memilih dipindahkan ke Surabaya saja, karena mereka lebih suka tinggal di tanah air, dengan gaji tetap sama dengan gaji di Bangkok.

Sementara Tante Reni kuputuskan untuk tinggal di Jakarta, agar tidak terlalu jauh dariku.

Setelah semua pegawai wanita dibubarkan, kupanggil pegawai - pegawai pria yang hanya dua orang itu. Semua pegawai di rumah peninggalan Papa ini berasal dari Indonesia, termasuk yang prianya.

Taufik dan Banu, demikian nama kedua pegawai pria itu, kuberitahu bahwa mereka ditugaskan untuk menjaga dan membersihkan rumah peninggalan Papa ini, sementara pegawai wanita akan dipindahkan ke Indonesia semua. Karena tidak efisien lagi kalau mereka tetap dipekerjakan di rumah ini, yang tiada kegiatan seperti waktu masih ada Papa dan Mama dahulu.

Kedua pegawai pria itu pun tidak membantah. Dan menyatakan siap setia kepadaku sebagai satu - satunya ahli waris Papa dalam surat wasiat yang ditinggalkannya.

Kemudian kedua pegawai pria itu kupersilakan kembali ke tempatnya masing - masing.

Tinggallah aku dan Tante Reni yang masih berada di ruang makan itu.

Kemudian kuajak Tante Reni ikut ke kamarku.

“Kangen sama aku nggak?” tanyaku setelah berada di dalam kamarku.

“Banget kangennya,” sahut Tante Reni yang saat itu hanya mengenakan gaun batik Thailand yang terbuat dari kain goyang dan tipis.

“Tapi Tante besok harus terbang ke Jakarta dan menetap di sana secara permanen.”

“Iya, “Tante Reni mengangguk, “Kalau Donny mau pindah ke Indonesia, aku juga takkan kuat pisah terlalu lama dengan Donny.”

“Sekarang masih ikut KB?” tanyaku sambil menarik tangan Tante Reni dan mendudukkannya di pangkuanku.

“Masih, “Tante Reni mengangguk di pangkuanku, “Kan surat cerainya juga baru diterima kemaren. Nanti aja setelah berada di Indoinesia, baru dilepas spiralnya. Gak apa - apa kan?”

“Iya. Bagaimana baiknya aja,” sahutku sambil merayapkan tanganku ke balik gaun batik Thailandnya. Begitu tanganku berada di pangkal pahanya, aku langsung menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan langsung menjamah kemaluannya yang sudah sangat kurindukan.

“Di Indonesia sudah ketemu dengan kakak - kakakku?” tanya Tante Reni tanpa mempedulikan tanganku yang sedang mengelus - elus memeknya.

“Baru ketemu dengan Tante Ratih doang. Kalau dengan saudara - saudara kandungku sih sudah ketemu semua. Teh Siska, Teh Nenden dan Donna, saudara kembarku.”

“Dengan saudara yang seayah beda ibu sudah ketemu?”

“Haaa?! Memangnya almarhum Ayah punya istri berapa?”

“Istrinya dua orang. Dan bunda Donny istri kedua.”

“Owh… gitu ya? Berarti aku punya saudara seayah berlainan ibu dong.”

“Punya, tiga orang. Cewek semua. Umurnya di atas Siska dan Nenden. Namanya sudah pada lupa, karena aku baru ketemu satu kali dengan mereka.”

“Baru tau sekarang kalau Ayah punya istri lain selain Bunda.”

“Aku tau istri tuanya Kang Rosadi ketika mau minta uang jajan padanya. Karena Ayah Donny sangat pemurah, bahkan tergolong royal. Sehingga sampai tua pun dia tidak kaya - kaya, karena royalnya itu…”

“Tapi aku harus ketemu dengan mereka. Karena mereka itu kakak - kakakku.”

“Iya. Kakak seayah. Bahkan Donny punya hak wali kepada mereka. Oooo… ooooh… Dooon… kalau memekku sudah dipegang - pegang gini… aku jadi horny nih…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu