2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Part 09

Tekadku dari tadi, adalah ingin menciptakan kepuasan yang sepuas - puasnya bagi wanita muda bernama Sheila dan kusebut Teh Sheila itu. Karena itu aku berusaha untuk membangkitkan gairahku sendiri. dibantu dengan oral sex yang dilakukan Teh Sheila terhadap penisku.

Lalu terjadilah hubungan sex yang kedua bersama calon buyer asset - assetku yang di Bangkok dan di Chiang Mai itu. Tentu di dalam ronde kedua durasinya jauh lebih lama. Sehingga kami sama - sama bersimbah keringat.

Lalu kami capai titik puncak secara bersamaan lagi, ketika Teh Sheila mencapai orgasme yang kelima, sementara aku berejakulasi untuk kedua kalinya.

“Nanti kita sama - sama pikirkan sematang mungkin Teh. Sekarang kita kan belum tau sifat masing - masing.”

“Saya juga tidak mau terburu - buru. Tapi saya ini wanita Dek. Wanita itu sifatnya menerima, bukan memilih. Tapi saya ingin mengurangi keraguan Dek Donny terhadap saya. Karena itu seandainya Dek Donny mau menikahi saya secara sah, saya siap.”

“Iya,” sahutku, “kalau menjadi pacar rahasia Teteh, saya siap. Tapi kalau untuk menikah secara sah, kita harus pertimbangkan dulu sematang mungkin.”

“Oke… sekarang kita mandi bareng yuk, “ajak Teh Sheila sambil duduk di pinggiran bedku. “Ayo… pengen nyabunin memek Teteh.. hehehee…”

“Saya juga pengen nyabunin kontol Adek… hihihihiii…” sahutnya sambil menepuk - nepuk penisku yang sudah terkulai lemas ini.

Lalu kami masuk ke dalam kamar mandi, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat. Di dalam kamar mandiku inilah kami saling sabun menyabuni. Dia menyabuni sekujur tubuhku baik bagian punggung mau pun bagian depanku. Aku pun menyabuni sekujur tubuh Teh Sheila baik bagian depan mau pun bagian belakangnya.

Dan… pada saat menyabuni bagian belakang tubuh wanita itulah aku melihat sesuatu yang sejak tadi tidak kelihatan, karena tertutup oleh rambutnya. Dan kini rambutnya digulubng dan diikat ke atas, seperti sanggul. Sehingga aku bisa melihat tatoo kecil di belikat kanannya. Ya, cuma tatoo kecil berbentuk tulisan dan sdetangkai bunga mawar merah.

Setelah melihat tatoo kecil itu aku bertanya dari belakang Teh Sheila, “Nama lengkap Teteh, Sheila Ros? Ros kan berarti bunga mawar.”

“Ros itu singkatan dari nama ayah saya Dek.”

“Coba saya tebak… nama ayah Teteh Rosando… Rosihan… Ros…”

“… Rosadi !” potong Teh Sheila ketika aku belum selesai menebak - nebak.

“Rosadi?” tanyaku agak kaget. Tapi kekagetanku kutindas dengan pikiran… aaah… orang bernama Rosadi kan banyak. Bukan hanya ayahku belaka…!

Lalu kami menyelesaikan mandi kami.

Aku pun tidak terlalu memikirkan masalah nama ayah Teh Sheila itu lagi.

Tapi setelah sama - sama mengenakan pakaian kembali, aku teringat beberapa foto almarhum ayahku yang dikirim dari handphone Donna. Lalu kukeluarkan handphone dari saku celana denimku.

Iseng kubuka foto - foto ayahku itu. Dan kuperlihatkan kepada Teh Sheila sambil bertanya, “Apakah Teteh kenal dengan orang di foto ini?”

Teh Sheila menatap foto di layar handphoneku sambil menyipitkan matanya.

“Lho… ini seperti foto ayah saya Dek… “gumamnya.

“Coba buka foto - foto lainnya. Kan banyak tuh foto bapak itu,” sahutku.

Teh Sheila mengikuti saranku. Membuka foto - foto Ayah almarhum yang cukup banyak kudapatkan dari handphone Donna.

“Dek Donny…! Ini foto - foto ayah saya…! Dari mana Dek Donny dapatkan foto - foto almarhum ayah saya ini?”

GIliran aku yang kaget. Benar - benar kaget. Tapi aku berusaha menjawab pertanyaan Teh Sheila itu, “Saya anak Pak Rosadi dari istri keduanya, Teh.”

“Iya saya tau, almarhum Ayah memang punya istri muda yang bernama Bu Ami.”

“Betul. Bu Ami itu ibu kandung saya Teh… !”

Teh Sheila terbelalak sambil memekik, “O my Gooood…! Jadi kalau begitu Dek Donny ini adek saya yang seayah berlainan ibu. Begitu kan?”

“Teh Sheila adalah kakak seayahku. Hmmm… dunia ini terkadang kecil sekali ya Teh?” ucapku sambil meremas tangan Teh Sheila.

“Iya. Kita ini kakak - beradik seayah berlainan ibu, berasal dari Jabar kok baru dipertemukan sekarang di negara yang jauh dari negara kita ya? Memang dunia ini terkadang terasa kecil Dek.”

“Kalau Teteh menikah lagi, saya malah punya hak sebagai walinya kan?”

“Ya iyalah. Karena kalau dilengkapkan, nama kita sama - sama Bin Rosadi. Dek Donny Bin Rosadi, saya Binti Rosadi. Jadi Dek Donny punya hak wali atas diri saya.”

“Iya. Berarti kita memang tidak bisa menikah Teh.”

“Iya. Tapi sudah kepalangan basah gini, saya ingin hubungan kita tetap dilanjutkan sampai kapan pun, tapi jangan sampai diketahui keluarga kita.”

“Iya Teh. Sebenarnya saya juga sudah merasakan getaran cinta di hati saya. Tapi sekarang sudah jelas kalau kita takkan bisa menikah secara sah.”

“Gak apa - apa. Tapi saya mohon, Dek Donny jangan putuskan hubungan kita ini, ya Dek. Soalnya saya sudah telanjur mencintai Dek Donny. Meski ternyata kita ini kakak beradik seayah, saya akan tetap mencintai Dek Donny…”

“Iya Teh. Saya juga sudah telanjur mencintai Teteh. Saya juga ingin melanjutkan hubungan ini sampai kapan pun.”

“Terimakasih Dek. Hmm… pantesan begitu berjumpa dengan Dek Donny tadi, hati saya bergetar lain dari biasanya. Padahal mungkin getaran batin dari hubungam sedarah kita…” ucap Teh Sheila dengan mata berlinang - linang.

“Terus masalah asset - asset yang mau dibeli oleh Teteh itu masih tetap akan diselesaikan besok di kantor Mr. Liauw?”

“Ooo… soal itu sih tetap jalan. Besok transaksinya di kantor Mr. Liauw. Atau kalau ingin lebih akurat lagi, transaksinya di bank saja, karena nominalnya sangat besar, jadi harus lewat RTGS.

“(RTGS = Real Time Gross Settlement / transfer berulang - ulang dalam sehari)

“Iya. Yang penting Mr. Liauw harus hadir, sebagai saksi utama dalam transaksi besok. Soalnya dia notaris kepercayaan almarhum Papa.”

Teh Sheila bertanya, kenapa ada Papa dan ada Ayah? Siapa yang dimaksud Papa olehku itu. Maka kuterangkanlah semuanya. Bahwa aku sejak bayi diadopsi oleh Pak Margono dan istrinya, yang lalu kusebut Papa dan Mama. Kujelaskan juga seluk beluk kehidupanku di Bangkok yang sangat disayang dan dimanjakan oleh kedua orang tua angkatku itu.

Kewmudian Teh Sheila pun menuturkan riwayat hidupnya. Bahwa dia dinikahi oleh seorang pengusaha yang asli Thailand selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Waktu menikah dengan Teh Sheila, lelaki Thailand itu berstatus duda beranak dua orang, setelah bertahun - tahun ditinggal mati oleh istrinya.

“Kira - kira suami saya almarhum nasibnya sama dengan Dek Donny. DIa diangkat anak oleh suami - istri dari Timur Tengah yang kebetulan tidak punya anak. Orang tua anbagkatnya itu kaya raya, karena punya pertambangan minyak bumi. Setelah kedua orang tua angkatnya meninggal, suamiku mendapat warisan yang cukup banyak berdasarkan surat wasiat juga.

“Tapi warisan yang cukup banyak itu dikembangkan oleh suami saya di Thailand ini, karena kampung halamannya di Thailand selatan. Ternyata almarhum sukses mengembangkan harfta warisan itu, sehingga dia tergolong taipan yang sangat disegani di negara ini, “lanjut Teh Sheila.

“Saya sendiri mendapat pesan terakhir darfi suami saya sebelum meninggal, bahwa saya harus mengembangkan usahanya di Thailand ini. Jangan mengadu untung di negara orang. Itulah sebabnya saya berminat untuk membeli asset - asset Dek Donny.”

“Ohya Dek… saya biasa dipanggil nama saja oleh adik - adik kandung saya. Dek Donny juga panggil nama saya aja langsung, gak usah pakai Teteh - Tetehan,” kata Teh Sheila lagi.

“Kalau begitu, panggil nama saya aja langfsung, gak usah pakai adek - adekan. Biar lebih dekat. Juga istilah saya, mendingan kita ganti dengan istilah aku aja ya. Biar lebih akrab.”

“Oke, “Sheila mengangguk, “Saya… eh aku setuju Don.”

“Nah… nyebut nama langsung gitu, terasa lebih dekat… lebih romantis. Kita kan sudah melakukan hubungan seperti suami - istri. Masa masih panggil Dek padaku?”

“Hihihihi… iya. Tapi Don… sekadar ngasih tgau aja, sekarang ini aku sedang berada di dalam masa subur. Aku malah berharfap hubungan yang kita lakjukan tadi bisa membuatku hamil. Gak apa - apa kan?”

“Gak apa - apa. Tapi kita gak bisa menikah secara sah. Gimana?”

“Biar aja. Aku malah mungkin takkan menikah seumur hidup, karena aku sudah menjadi milik Donny.”

Aku terharu mendengar ucapan kakak seayahku itu. Lalu kubelai rambutnya sambil berkata, “Semoga kita tetap saling mencintai sampai masa tua kita kelak ya.”

“Iya. Walau pun aku tidak bisa menikah dengan Donny, aku akan tetap mencintai dan menyayangi Donny sampai kapan pun… selama hayat masih dikandung badan.”

“Yep… artinya kita saat ini berjanji untuk tetap saling mencintai di seumur hidup kita, meski kita tak bisa menikah secara sah.”

“Iya aku berjanji untuk itu. Untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku Don.”

“Aku juga berjanji untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku, Sheila Sayang…”

“Ooooh… Donny… coba sebut lagi kata Sayang itu… rasanya tembus ke hatiku…”

“Sheila Sayaaaang… aku berjanji untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku, Cintaaaaa…” sahutku sambil membelai rambut Sheila.

Sheila sangat terpengaruh oleh kata Sayang dan Cinta yang kulontarkan. Sheila pun menanggapinya dengan ciuman mesra di bibirku. Lalu terdengar bisikannya di dekat telingaku, “Terima kasih Sayang. Saat ini hatiku sangat bahagiaaaaa…”

Beberapa saat kemudian Sheila bertanya, “Kapan rencanamu pulang ke Indonesia?”

“Setelah transaksi kita selesai,” sahutku.

“Berarti paling lambat lusa juga sudah terbang ke Jakarta?”

“Iya… begitulah.”

“Aku ikut, boleh nggak? Aku berat berpisah denganmu Honey.”

“Di kampung halaman aku sedang sibuk membangun café yang akan dikelola oleh ibu dan saudara kembarku. Nanti kalau aku sudah punya waktu luang, aku akan menelpon Sheila, agar terbang ke Jakarta… untuk melanjutkan langkah - langkah kita, ya Sayang.”

“Begitu ya. Tapi aku kan bisa tinggal di hotel. Jadi setelah kesibukan Donny selesai, temani aku di hotel.”

“Kalau memaksakan diri di tengah kesibukan, aku takut nantinya malah sama - sama kecewa.”

Sheila tercenung. Lalu berkata lirih, “Tapi nanti setelah berada di Indonesia, harus sering - sering call aku ya Honey.”

“Iya.”

“Apalagi kalau aku hamil, pasti maunya deketan terus sama Donny nanti.”

“Kalau hamil sih aku juga pasti sering datang ke Bangkok. Di rumah ini kita kan bebas melakukan apa saja.”

“Di rumahku juga bebas melakukan apa aja. Nanti kukasih alamat lengkap rumahku yang di Bangkok ini ya.”

“Iya.”

Setelah Sheila pulang ke rumahnya, entah kenapa… ada perasaan sepi yang mencengkram batinku. Aku harus mengakui bahwa pertemuan singkat dengan kakak seayahku itu telah meninggalkan bekas yang mendalam di hatiku.

Apakah aku benar - benar telah mencintai wanita yang usianya lebih tua dariku itu? Entahlah. Yang jelas aku sendiri merasa berat untuk berjauhan dengannya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu