2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 15

Café itu sudah mulai dibuka. Di hari grand opening saja café itu tampak ramai sekali. Bunda dan Donna jadi sibuk mengelola café itu. Dengan penuh semangat kelihatannya. Dan aku senang menyaksikan semuanya itu.

Namun ketika Bunda dan Donna sedang sibuk - sibuknya, aku teringat seseorang yang seolah terabaikan olehku. Anak Tante Ratih yang bernama Imey itu. Aku ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat yang sepi dan nyaman.

Tapi apakah aku sudah bertekad mau menikahinya?

Tidak.

Setelah dipikir - pikir, aku akan menunda segala rencana pernikahanku. Karena usiaku pun baru akan menginjak 21 tahun. Aku bisa saja menyetubuhi cewek mana pun. Tapi untuk menikah secara resmi, nanti dulu. Mungkin kalau usiaku sudah benar - benar dewasa, barulah aku akan menikah secara resmi.

Lagian kalau pun aku harus menikah nanti, aku tak mau menikah dengan cewek yang masih ada hubungan keluarga denganku. Kalau menikah dengan familiku sendiri, akan terkesan bahwa aku sudah tidak laku lagi, sehingga harus menikah dengan familiku sendiri. Baik Adelita mau pun Imey kan masih famili dekat denganku.

Kalaulah mereka ingin kecipratan hartaku, baik… akan kulimpahi mereka dengan harta. Tapi jangan ingin menikah secara sah denganku. Karena calon istriku haruslah cewek yang tiada hubungan darah denganku. Bahkan menurut teori, perkawinan antar famili dekat itu punya resiko akan melahirkan anak yang cacat.

Selain daripada itu, aku punya rencana lain yang masih kusimpan di dalam hatiku. Bahwa aku ingin agar Donna menikah duluan, barulah aku akan menikah belakangan.

Lalu bagaimana dengan Adelita?

Aku akan menempatkannya di perusahaanku dan meningkatkan taraf kehidupannya. Tapi soal menikah, harus kupikirkan dulu matang - matang.

Lalu bagaimana dengan anak Tante Ratih yang sudah “ditawarkan” untuk dijadikan istriku itu?

Inilah anehnya. Bahwa ketika aku sudah merencanakan untuk mengajak Imey jalan - jalan ke tempat yang tenhang dan romantis, tiba - tiba handphoneku berdering.

Kulihat yang call nomor yang tidak kukenal. Biasanya aku tak pernah mengangkat nomor yang tidak kukenal, karena di zaman sekarang ada saja yang diam - diam mau menipu lewat hape. Tapi kali ini kuangkat juga call itu.

“Hallo…”

“Hallo… ini Donny kan?”

“Iya. Ini dengan siapa ya?”

“Aku Gandhi Don…!”

“Gandhi Bangkok?”

“Iya.”

“Kok kamu pakai nomor Indonesia?”

“Aku memang sedang berada di kotamu Don.”

“Ohya?! Di mana? Di hotel?”

“Bukan. Aku kan punya tante di kota ini. Adikku juga tinggal di rumah tanteku ini, karena dia kuliah di kota ini.”

“Ya udah… kirimkan aja alamat lengkapnya. Aku segera meluncur ke sana.”

“Oke… !”

Lalu alamat lengkap rumah yang ditumpangi oleh Gandhi itu dismskan.

Ini benar - benar kejutan. Bahwa sahabatku dari Bangkok tiba - tiba berada di kota ini.

Gandhi memang sahabat baikku sejak kecil. Karena orang tuanya pun tinggal dan punya usaha di Bangkok. Sebagai sesama orang Indonesia, aku dan Gandhi lalu menjadi sahabat, meski kuliahnya beda universitas denganku.

Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam mobilku yang telah menginjak jalan aspal, menuju alamat rumah yang dismskan oleh Gandhi.

Sekarang aku sudah mulai hafal jalan - jalan di kota ini, karena sering berkeliling dan menghafalkan jalan - jalannya. Memang terdengar aneh juga bahwa aku di usia yang hampir 21 tahun ini baru hafal jalan di kota kelahiranku ini. Maklum sejak bayi sampai dewasa aku tinggal di Bangkok, sehingga aku merasa asing di kota kelahiranku sendiri.

Alamat yang tercantum di sms dari Gandhi itu ternyata sebuah rumah yang cukup megah. Aku pun turun dari mobil, menghampiri seporang wanita setengah baya yang tengah menyirami pot - pot bunga di pekarangan rumahnya. Melihat dari housecoat yang dikenakannya, aku yakin wanita itu bukan pembantu. Karena bahan housecoatnya pun terlihat mahal.

Maka dengan sopan aku berkata dari belakangnya, “Selamat sore Bu.”

Wanita itu tampak agak kaget. Menoleh padaku dan menyahut, “Sore… ooooh… ini sahabat Gandhi yang dari Bangkok ya?”

“Betul Bu. Saya Donny, sahabat Gandhi di Bangkok. Tapi sekarang sudah jadi orang sini,” sahutku sambil menjabat tangan wanita separoh baya yang cantik itu.

“Iya, iya… ayo masuk Don,” ucap wanita itu ramah sambil mendahuluiku melangkah ke dalam rumah megahnya.

Di dalam rumahnya wanita itu berseru, “Gandhi…! Ini temanmu datang…!”

Terdengar sahutan Gandhi dari lantai atas, “Iya Tante… !”

Kemudian terdengar bunyi langkah dari lantai atas menuju tangga dan muncullah Gandhi, sahabat karibku. “Hahahahaaa…! Akhirnya kita ketemu lagi di sini ya?” sambutnya sambil menghambur ke dalam pelukanku. Disusul dengan tepukan - tepukan Gandhi di punggungku.

Kemudian Gandhi mengajakku duduk di ruang tamu. “Tante Sin… ini sahabat karibku yang dari Bangkok tapi kelahiran kota ini.”

Wanita yang dipanggil Tante Sin itu tersenyum dan menyahut, “Iya barusan sudah berkenalan sama tante.”

Kemudian wanita itu masuk ke dalam.

“Dalam rangka apa kamu ke Indonesia Dhi?” tanyaku setelah duduk di sofa ruang tamu.

“Nengok adikku. Sekalian ingin jalan - jalan aja di kota kelahiranmu ini.”

“Kamu kelahiran Semarang kan?”

“Iya. Tapi sama seperti kamu, sejak kecil sudah dibawa ke Bangkok. Sementara adikku tinggal di sini,” sahut Gandhi yang dilanjutkan dengan bisikan, “tanteku kan gak punya anak. Makanya dia maksa ingin merawat dan membesarkan adikku.”

“Ogitu…”

“Nah… itu adikku, baru pulang kuliah,” kata Gandhi sambil menunjuk ke luar. Di mana seorang gadis tampak berjalan di teras depan dan masuk ke dalam.

“Tri… sini… ini sahabatku yang sama - sama tinggal di Bangkok,” kata Gandhi kepada adiknya.

Gadis itu menghampiri Gandhi, lalu menoleh padaku.

Oooo… maaaak! Cantik sekali adik Gandhi itu…!

Memang seperti pepatah China, setinggi - tingginya gunung, pasti ada gunung lain yang lebih tinggi. Kalau kusinonimkan, secantik - cantiknya perempuan pasti ada yang lebih cantik lagi. Ya… tadinya aku merasa Adelita dan Imey sebagai cewek tercantik di mataku. Ternyata adik Gandhi itu… lebih cantik lagi…

Ketika ia berjabatan tangan denganku, adik Gandhi itu menyebutkan namanya, “Gayatri…”

Ooo, pantesan dipanggil Tri… rupanya nama adik Gandhi itu Gayatri.

“Nama ayahku kan Gunadi,” kata Gandhi, “karena itu anak - anaknya berawal dengan hurup G semua. Gandhi, Gayatri dan Galia.”

“Ooo, begitu ya?” sahutku sambil menoleh ke arah Gayatri, “Sudah semester berapa kuliahnya?”

“Baru semester dua Bang,” sahut gayatri dengan senyum manis. Hmm… gak nyangka Gandhi punya adik secantik dan seimut itu. Ramah dan murah senyum pula.

Lalu otakku menghitung dengan cepat. Dan mengambil kesimpulan bahwa usia Gayatri itu delapanbelas tahunan. Otakku pun cepat mengatur rencana. Bahwa seandainya Gayatri bisa kujadikan pacarku, maka Donna akan kujodohkan dengan Gandhi. Hahaha… belum apa - apa sudah punya niat “barter” segala.

Lalu kami bertiga ngobrol ke barat ke timur, sampai akhirnya Gayatri berkata kepada abangnya, “Mas Gandhi… kita nonton yuk. Ada film yang lagi ngetop tuh.”

“Boleh, “Gandhi mengangguk, “Gimana Don? Kamu mau kan nonton bioskop? Mumpung kita masih sama - sama di Indonesia.”

“Ayo…” sahutku sambil mengangguk.

“Kalau gitu, aku mau mandi dulu ya Mas,” kata Gayatri kepada Gandhi.

“Iya. Tapi mandinya jangan pake lama.”

“Nggak lah… eeeh… Tante Sin mau diajak juga?” tanya Gayatri kepada kakaknya.

“Nggak usah lah. Kita bertiga aja. Acara anak muda…”

Beberapa saat kemudian, aku dan Gandhi bersama adiknya sudah berada di dalam mobilku menuju mall yang ada gedung teaternya, yang pernah dimasuki olehku bersama Donna waktu aku baru tiba di kota ini dahulu.

Dari dalam gedung teater inilah aku merasa mulai melangkah di alam baru. Bahwa Gayatri duduk diapit oleh Gandhi di sebelah kirinya, sementara aku di sebelah kanannya. Ketika lampu sudah dipadamkan, tangan kiriku memberanikan diri memegang tangan kanan Gayatri. Mudah - mudahan saja dia tidak menepiskan peganganku.

Ternyata… Gayatri malah meremas tanganku dengan hangat dan lembut. Bahkan ketika remasan tangannya terhenti, aku menjauhkan tanganku dari tangannya. Tapi justru Gayatri yang menarik tanganku pada tempat semula, pada tangan kursi yang kami duduki. Lalu… ia meremas tanganku lagi di kegelapan gedung yang sedang memutar film ini.

Akibatnya, sedikit pun aku tak memperhatikan jalannya kisah di film yang sedang kami tonton kitu. Aku lebih memikirkan indahnya remasa tangan lembut dan hangat Gayatri ini.

Sampai film tamat, aku tidak mengerti apa yang barusan dipertunjukkan di layar putih itu. Lalu aku mengajak mereka makan malam di resto yang ada di dalam kompleks mall itu juga.

Di dalam resto itu, setiap kali aku menatap Gayatri, ia menanggapinya dengan senyum tersipu - sipu.

Dan kebetulan Gandhi mau ke toilet dulu, sehingga aku punya kesempatan untuk mengatakannya, “Tri… sudah punya pacar belum?”

“Belum, “Gayatri menggeleng.

“Kalau begitu aku mau jujur ya… aku suka kamu Tri. Mungkin terlalu cepat aku mengatakannya. Tapi aku takut keduluan sama cowok lain.”

“Jadi ceritanya love at first sight nih?” tanya Gayatri dengan senyum manisnya lagi.

“Iya,” sahutku, “Bisa dijawab sebelum Gandhi keluar dari toilet?”

Gayatri tertunduk sejenak. Lalu menyahut tenang, “Kalau untuk hubungan serius, aku mau. Tapi kalau sekadar pacar - pacaran aja sih gak mau.”

“Tentu saja aku serius Tri. Jujur… belum pernah aku seperti ini. Langsung jatuh hati pada pandangan pertama.”

“Memangnya Bang Donny belum punya pacar?” tanyanya.

“Kalau sudah punya, tentu aku takkan nembak kamu Tri.”

Gayatri tersenyum lagi. Membuat hatiku berbunga - bunga lagi.

“Oke… oke. Jadi sekarang kita jadian ya,” ucapku sambil memegang tangan Gayatri.

Adik Gandhi itu menatapku dengan senyum manis lagi. Lalu mengangguk perlahan.

Tak lama kemudian Gandhi muncul lagi, hampir bersamaan dengan datangnya para waiters yang akan menghidangkan makanan pesanan kami.

“Jadi mau berapa lama kamu tinggal di Indonesia, Dhi?” tanyaku ketika waiters tengah meletakkan makanan pesanan kami di atas meja makan.

Gandhi menjawab, “Sekarang kan hari Selasa ya. Hari Kamis juga aku akan pulang lagi ke Bangkok.”

“Sudah beli tiket pesawatnya?”

“Belum. Besok aja,” sahut Gandhi.

Lalu kukeluarkan uang dollar Amerika pecahan 100 USD dua puluh lembar. Kuberikan semuanya kepada Gandhi sambil berkata, “Ini untuk nambah - nambah beli tiket.”

“Wow… ini sih dipakai buat tiket pulang pergi juga masih banyak lebihnya Don. Thanks ya.”

“Sama - sama. Aku juga bulan dep[an mau ke Bangkok. Mau nengok rumah dan para karyawan yang ditinggalkan.”

“Ajak tuh Gayatri sekalian.”

“Kalau dia mau… boleh aja. Sudah sering ke Bangkok kan?” tanyaku kepada gayatri.

“Baru tiga kali. Aku sih ingin ke Singapore,” sahut Gayatri.

“Pulang dari Bangkok pasti aku mampir di Singapore dulu, karena ada perusahaan juga di sana,” sahutku.

“Donny sih perusahaannya di mana - mana Tri,” kata Gandhi kepada adiknya, “Di Thailand ada, di Singapore juga ada.”

“Yang di Thailand sudah dijual semua Dhi,” timpalku, “Tinggal rumah danb gallery aja yang tidak dijual.”

“Di Singapore ada berapa perusahaan?” tanya Gandhi.

“Hanya dua. Kan yang lain - lainnya sengaja kujual, untuk hijrah ke sini. Ke kota kelahiranku ini,” sahutku.

Lalu kami makan bersama.

Pada saat itu Gayatri duduk berdampingan dengan Gandhi. Sementara aku duduk di depan mereka, terbatas oleh meja restoran. Pada waktu makan itulah Gayatri berkali - kali menatapku dengan senyum manisnya yang seolah memancarkan cahaya gemilang dari sepasang bibirnya. Dan aku jadi salah tingkah, karena masih takut - takut kelihatan oleh Gandhi.

Pada waktu makan bersama itulah Gandhi berkata kepada adiknya, “Donny itu sahabat karibku di Bangkok. Tapi jangan samakan dia denganku. Dia itu pebisnis kelas internasional, sementara aku masih anak kuliahan semata.”

Aku jadi salah tingkah juga mendengar Gandhi mempromosikan diriku. Maka kataku, “Gak usah terlalu berlebihanlah menyanjung diriku Dhi.”

“Kenyataannya memang begitu kok. Hahahaaaa. Donny memang selalu merendah Tri. Dia tak pernah pamer kepada siapa pun. Tapi aku tau benar siapa dia, karena dia itu sahabat karibku.”

Gayatri hanya mengangguk - angguk sambil tersenyum.

“Gandhi… aku mau terus terang padamu ya,” kataku.

“Terus terang tentang masalah apa?”

“Mmm… aku sudah janjian sama Gayatri.”

“Ha?! Kapan jadiannya? “Gandhi terbelalak seperti kaget dan heran.

“Barusan, ketika kamu sedang di toilet.”

“Bener Tri?” Gandhi menoleh kepada adiknya.

Gayatri mengangguk sambil tersenyum..

“Syukurlah, “Gandhi mengelus - elus rambut adiknya. lalu menoleh padaku, “Kamu bisa bikin serangan kilat begitu Don?! Ditinggal ke toilet sebentar saja tau - tau sudah jadian sama adikku.”

“Memang sengaja, aku nembak Gayatri di belakangmu. Supaya Gayatri menerimaku dengan hati yang tulus. Kalau di depanmu, bisa timbul kesan dipaksa olehmu untuk menerimaku.”

“Ooo, aku gak pernah maksa adikku. Apalagi dalam masalah pribadi begitu. Aku sih berusaha demokratis saja. Kecuali kalau adikku berada di dalam bahaya, baru aku akan melindunginya.”

“Jadi kamu sudah merestui hubunganku dengan Gayatri?” tanyaku.

“Iya… aku merestui kalian berdua. Aku malah merasa bebanku jadi berkurang. Karena aku bisa menitipkan adikku padamu. Menitipkan dalam segalanya.”

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Dua hari kemudian, aku dan Gayatri mengantarkan Gandhi ke Bandara Soetta. Dan menunggu sampai Gandhi masuk ke pintu keberangkatan internasional.

Di dalam mobilku, waktu pergi ke bandara, Gayatri duduk di belakang. Gandhi duduk di sampingku. Pada waktu meninggalkan bandara, Gayatri duduk di sampingku. Hanya berdua saja dengannya.

Inilah detik - detik yang menyenangkan bagiku. Detik - detik yang membuat batinku berbunga - bunga. Terlebih setelah berada di jalan tol, Gayatri mulai menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku. Sehingga dunia ini seolah milik kami berdua saja.

Biasanya kalau sudah dekat dengan cewek begini, otakku langsung ngeres. Berpikir ke arah seksual. Membayangkan seperti apa cewek itu kalau sudah kutelanjangi.

Tapi kali ini tidak. Dengan duduknya Gayatri di sampingku saja, aku sudah merasa bahagia. Tanpa memikirkan masalah seks sedikit pun.

Terlebih ketika Gayatri mencium pipiku pada saat aku sedang konsen mengemudikan mobilku. Pada saat itulah kupinggirkan mobilku sampai di bahu jalan, menyalakan lampu hazard dan menghentikannya. Hanya untuk mencium bibir Gayatri untuk pertama kalinya…!

Lalu aku berkata sambil meremas tangan halus dan hangatnya, “Aku bahagia sekali Tri. Karena aku telah menemukan cewek yang kucari selama ini.”

“Sama Bang,” sahutnya perlahan, “aku juga merasa bahagia karena telah menjadi cewek Bang Donny.”

Tak lama kemudian aku pun mulai menjalankan lagi mobilku.

“Kita cari makan dulu di kota ya. Perutku lapar,” kataku.

“Hihihi… iya Bang. Aku juga lapar.”

“Gayatri mau makan apa sekarang?”

“Aku sih gak fanatik sama makanan Bang. Mau masaskan Jawa boleh, masakan Padang boleh. Chinese food juga boleh, asalkan yang halal.”

“Ohya Tri… kalau dilihat dari wajah, kulit dan postur, kamu kelihatan kebule - bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”

“Mamaku memang campuran Indo dengan Belgia Bang.”

“Ohya? Pantesan kamu cantik sekali Tri,” kataku.

“Di mana - mana juga cewek sih cantik. Gak mungkin ganteng kan?”

“Tapi jujur aja, kamu adalah cewek tercantik di antara cewek - cewek yang pernah kukenal. Ohya… berarti Gandhi juga ada turunan Indo-Belgia? Kok Gandhi gak kelihatan unsur bulenya?”

“Mas Gandhi itu kakak seayah beda ibu Bang. Ibu Mas Gandhi meninggal beberapa saat setelah melahirkan Mas Gandhi. Kemudian Papa menikah lagi dengan mamaku. Punya anak lagi, aku dan Galia, adikku.”

“Ooo… begitu. Aku sering main dengan Gandhi di Bangkok. Tapi aku belum pernah ketemu sama papa dan mamamu Tri.”

“Nanti kalau aku ikut ke Bangkok, pasti Bang Donny ketemu dengan Papa dan Mama.”

“Kalau Tante Sin itu keluarga dari papamu atau mamamu?”

“Tante Sin itu adik kandung Mama.”

“Berarti dia Indo Belgia juga kan?”

“Iya Bang. Kasian Tante Sin itu. Tidak punya anak, makanya dia maksa agar aku tinggal bersamanya sejak kecil. “Dan aku diperlakukan dengan sangat baik olehnya. Seperti perlakuan ibu kepada anak kandungnya saja.”

“Suaminya ke mana?”

“Suaminya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Sudah tua sih. Tapi kaya raya.”

Tak lama kemudian aku membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan tradisional Jawa. Untuk menyesuaikan dengan Gayatri yang ada darah Jawa dari papanya.

Kemudian kami makan siang di rumah makan itu.

Setelah selesai makan, kubawa Gayatri ke sebuah toko perhiasan yang sangat terkenal di Jakarta. Di situlah kubelikan cincin emas putih bertatahkan berlian berbentuk icon love.

Setelah ada yang ngepas di jari manis Gayatri, aku berkata, “Ini adalah tanda keseriusanku padamu, Sayang.”

Gayatri tersipu dan menyahut, “Terima kasih Bang… cincinnya mahal sekali. Lebih mahal dari harga mobil…”

“Dirimu jauh lebih mahal lagi di hatiku. Aku bahkan merasa dirimu adalah sosok yang paling berharga di dalam hatiku, Beib…”

“Aku juga sangat mencintai Bang Donny,” sahut Gayatri yang disusul dengan kecupan mesranya di bibirku. Tanpa mempedulikan bahwa saat itu kami sedang berada di dalam toko perhiasan.

Begitulah… aku menganggap hubunganku dengan Gayatri merupakan hubungan yang positif. Tanpa mengumbar nafsu birahi. Dan aku cukup bahagia dengan hanya melihat wajah cantiknya. Kemudian memegang tangan halus dan hangatnya. Disusul dengan kecupan mesra di bibir tipis merekahnya.

Mungkin inilah yang disebut cinta sejati. Cinta tanpa dikuasai nafsu sex.

Dan aku bertekad, hanya akan melakukan semuanya di malam pertama pernikahanku dengannya kelak.

Tapi benarkah aku sudah “sesuci” itu, sehingga aku seolah tak peduli lagi pada masalah sex?

Hahahaaa… tidak juga.

Setelah mengantarkan Gayatri ke rumahnya, aku langsung pulang ke rumah Bunda ketika jam tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Café sudah tutup. Bunda pun tampak baru pulang.

“Mana Donna Bun?” tanyaku.

“Sudah tidur,” sahut Bunda, “Kecapean dia. Tadi banyak sekali yang makan di café kita.”

Lalu kupeluk Bunda dari belakang sambil berbisik, “Bunda kecapean juga?”

“Ya begitulah,” sahut Bunda.

“Padahal aku kangen sama memek Bunda…” bisikku.

“Hihihi… sama dong, bunda juga kangen. Tapi Bunda mau mandi dulu ya.”

“Aku juga mau mandi. Ini baru pulang dari Jakarta Bun. Abis nganterin teman dari Bangkok ke Bandara Soetta. Mandi bareng aja ya.”

Bunda menarik pergelangan tanganku ke arah kamar mandi, “Ayolah mandi bareng sama bunda. Udah lama gak ngerasain disabunin sama kamu, Sayang.”

Di dalam kamar mandi Bunda langsung menelanjangi dirinya. Aku pun sama, melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Lalu memeluk Bunda dari belakang, sambil berkata setengah berbisik, “Walau pun aku sudah punya istri kelak, hubungan rahasia kita harus tetap berjalan ya Bun.”

Bunda menyahut, “Iya. Kalau bunda sih jelas takkan mau kawin lai. Jadi satu - satu orang yang bisa meredakan godaan birahi bunda hanya kamu Sayang.”

Pada waktu memeluk Bunda dari belakang inilah tangan kananku mulai merayap ke bawah perut Bunda, sementara tangan kiriku naik ke arah toketnya.

“Terus rencana pernikahanmu dengan anak Oom Zulkifli itu kapan?” tanya Bunda.

“Takkan ada pernikahan dengan siapa pun yang ada hubungan famili dengan kita. Kalau sudah waktunya menikah, aku hanya mau menikah dengan cewek yang tidak ada hubungan darah dengan kita.”

“Ohya? Jadi Adelita mau dijadikan apa?”

“Jadikan simpanan aja sih boleh. Tapi nikah secara resmi aku gak mau Bun. Lagian umurku sekarang baru mau menginjak duapuluhsatu tahun. Nanti aja nikah sih sembilan atau sepuluh tahun lagi.”

“Mmm… sebenarnya bunda juga setuju kalau kamju tidak menikah dengan cewek yang ada hnubungan darah dengan kita. Kesannya seperti gak laku sama orang luar.”

“Lagian menurut para ahli, perkawinan dengan famili dekat itu tidak baik Bun. Bisa menghasilkan keturunan yang cacat.”

“Iya. Dulu bunda juga pernah baca masalah itu. Jadi, pasangan yang ada hubungan darahnya, bisa sama - sama muncul kekurangannya. Sehingga bisa menghasilkan anak yang memiliki kekurangan yang lebih dominan. Syukurlah kalau kamu sudah punya pendirian seperti itu.”

“Iya Bunda,” sahutku yang mulai asyik menyelusup - nyelusupkan jari tangan kananku ke dalam liang kewanitaan Bunda.

“Don…”

“Ya?”

“Udah lama juga kamu gak nyetubuhin bunda ya?”

“Perasaan sih seminggu yang lalu aku masih sempat ngentot Bunda.”

“Oh iya ya. Seminggu serasa tujuh bulan Don.”

“Kalau Bunda ingin kuentot tiap hari, kitanya harus diam di tempat yang terpencil dari kesibukan dong.”

“Terus yang ngurusin café siapa? Tapi gak apa - apa deh seminggu sekali juga. Yang penting bunda dapet jatah darimu secara tyeratur. Karena nafsu bunda ini gede Don.”

Lalu keran shower utama diputar. Air hangat pun memancar dari atas kepala kami. Setelah kepala dan tubuh kami basah, shower dimatikan lagi. Karena kami akan gantian menyabuni. Awalnya Bunda yang menyabuni tubuhku. Kemudian aku yang menyabuni tubuh indah ibu kandungku yang cantik itu.

Pada waktu menyabuni Bunda ini, yang paling menyenangkan adalah waktu menyabuni memeknya yang tembem dan selalu bersih dari jembut ini. Bahkan tak dapat kupungkiri, bahwa setiap kali aku sedang menyabuni memek Bunda, pastilah batang kemaluanku langsung “hidup”. Membesar dan menegang.

Biasanya Bunda kurang suka diajak bersetubuh sambil berdiri di kamar mandi. Tapi kali ini beda dari biasanya. Ketika aku masih asyik menyabuni memeknya, Bunda memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini. Lalu Bunda mundur sampai punggungnya merapat ke dinding. Lalu berkata, “Ayo masukin kontolmu Don…

Bunda menarik penisku ke arah memeknya. Aku menurut saja, melingkarkan lenganku di leher Bunda, sementara Bunda sedang mengarah - arahkan moncong penisku ke mulut vaginanya.

Setelah mendapat isyarat dari Bunda, kudorong penisku sekuatnya. Dan… blesssss… langsung melesak ke dalam liang memek Bunda yang sangat licin oleh air sabun yang belum dibilas itu.

Sebelum mengayun batang kemaluanku, masih sempat aku membisiki Bunda, “Mau nyobain kontol bule nggak Bun?”

“Haaa?! Kontol bule?!”

“Iya. Aku punya teman bule dua orang. Dua - duanya ganteng Bun. Tampang mereka mirip aktor - aktor dari Hollywood deh.”

“Memang kamu sudah bosan sama Bunda, sampai mau ngajak orang bule segala buat ngentot bunda?”

“Bukan gitu Bun. Jujur, aku merasa memperlakukan Bunda secara kurang adil. Aku kan sudah cus sana cus sini, sementara Bunda hanya digauli olehku saja seorang. Coba di rumah ini aja, aku bisa ngentot dua orang. Bunda dan Donna. Sedangkan Bunda kan hanya disetubuhi olehku seorang. Gak adil kan?”

“Ah, sudahlah jangan berpikiran seperti kitu Don. Bunda sih digauli sama kamu seminggu sekali juga sudah puas.”

“Kali aja Bunda ingin mencoba dithreesome atau difoursome. Dientot sama dua orang pasti lebih puas daripada dientot oleh seorang doang Bun. Kebetulan teman - temanku yang bule itu pada seneng sama perempuan setengah baya.”

“Threesome kayak yang di film - film bokep itu?”

“Iya. Bahkan kalau Bunda mau, digangbang juga bisa.”

“Gangbang itu apa Don?”

“Diantre sama cowok lebih dari tiga orang.”

“Iiiihhh… dengernya juga merinding. Udah ah… jangan ngomong kitu lagi. Ayo entotin kontolmu… jangan direndem terus.”

Aku pun mulai mengentot Bunda sambil berdiri dan memeluk lehernya, sementara Bunda mendekap pinggangku erat - erat.

Namun gilanya, ketika aku sedang asyik - asyiknya mengentot Bunda sambil berdiri begini, aku malah membayangkan tengah mengentot Gayatri…!

Tidak! Itu bayangan yang keliru! Aku takkan mengganggu kehormatan Gayatri sebelum dia menjadi istriku yang sah. Dan itu masih lama… sampai Gayatri menggondol S1-nya baru akan menikahinya.

Sementara itu Bunda mulai meringis - ringis. Dan akhirnya berkata, “Lanjutin di atas tempat tidur aja yok. Sambil berdiri begini pegel kaki bunda, Don.”

“Tapi kita kan harus menyelesaikan mandi dulu Bun.”

“Iya,” sahut Bunda sambil memutar keran di warna merah (tanda untuk air panas).

Lalu kami sama - sama membilas tubuh kami sampai bersih dari busa sabun.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu