2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 28

Setelah selesai menempatkan dan mengurus Tante Santi, aku pun pulang ke rumah Bunda. Memang hampir tiap malam aku menyetubuhi Tante Santi selama ini. Tapi rasa kangenku pada Bunda makin lama makin menjadi - jadi.

Biar bagaimana, tubuh Bunda adalah yang terindah bagi jiwaku. Karena Bunda mampu menyejukkan hatiku setiap kali batinku digoda nafsu.

“Bagaimana Santi sudah ditempatkan di perusahaanmu?” tanya Bunda ketika aku baru muncul di kamarnya, pada saat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

“Sudah,” sahutku sambil mendekap pinggang Bunda dari belakang dan berusaha menyelinapkan tanganku lewat dasternya yang sudah kusingkapkan dari belakang.

“Bunda lagi datang bulan Sayang,” ucap Bunda sambil menepiskan tanganku dari balik dasternya.

“Ziaaaah… aku lagi kangen banget sama Bunda. Beneran Bunda lagi merah?” tanyaku dalam kekecewaan.

“Bener. Sejak kemaren datangnya, sekarang lagi banyak - banyaknya. Sama Dina aja gih. Temui dia di kamar tamu.”

“Tante Dina kakaknya Tante Santi?” tanyaku.

“Iya. Dia juga ingin ditempatkan seperti Santi. Temui dia gih. Mudah - mudahan aja belum tidur. Kalau Donna sih dari tadi juga sudah nyenyak tidur,” ucap Bunda.

Tanpa membantah, aku mengangguk. Lalu keluar dari kamar Bunda, menuju pintu kamar tamu.

Ketika aku membuka pintu kamar tamu ini, yang ternyata tidak dikunci, tampak Tante Dina sedang duduk di sofa sambil nonton televisi kecil di depannya.

“Belum tidur Tante?” sapaku sambil menghampiri adik Bunda itu.

Tante Dina terkejut dan menoleh, “Eee… Donny…! Jam segini baru pulang?” ucapnya sambil berdiri. Lalu kucium tangannya, disusul dengan cipika - cipiki sebagaimana biasanya kalau berttemu dengan tante - tanteku.

Dan pada waktu cipika - cipiki inilah aku merasakan sesuatu yang istimewa dari adik Bunda ini. Karena pada waktu cipika - cipiki, aku memeluknya erat -erat. Sehingga aku merasakan betapa pepal padatnya tubuh tanteku yang satu ini.

“Tante gak sama Oom Marta?” tanyaku setelah duduk berdampingan di satu - satunya sofa yang ada di kamar tamu itu.

“Oom Marta sudah mati …!” sahut Tante Dina dengan suara bernada geram.

“Lho… mati kenapa? Kecelakaan atau…”

“Mati di hatiku,” ucap Tante Dina memotong.

“Ooo… berarti dia masih hidup, tapi sudah mati di hati Tante?”

“Iya, “Tante Dina mengangguk sambil tersenyum getir, “dia lebih suka sama pelayan toko daripada sama aku. Nyebelin kan?”

“Jadi dia selingkuh sama pelayan toko?”

“Iya. Mending kalau pelayan toko itu cantik. Wajahnya aja kayak… aaaah… pokoknya jelek dah.”

“Kan rumput di pekarangan rumah tetangga suka tampak lebih hijau daripada di pekarangan rumah sendiri Tante.”

“Hmmm… “Tante Dina tersenyum sinis.

“Jadi sekarang status Tante janda?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.

“Iya… sekarang sih aku bebas mau ngapain juga,” sahutnya sambil merapatkan pipinya yang hangat ke pipiku.

Aku semakin terpancing, ingin merasakan tanteku yang satu ini. Tanteku yang bertoket gede, berbokong semok, berkacamata tapi tampak anggun itu. Maka sambil memegang pergelangan tangannya, aku berkata, “Ngobrolnya di kamarku aja yuk.”

“Emangnya kalau di sini kenapa?”

“Di sini gak ada AC nya. Tivinya juga kecil.”

“Takut dimarahi bundamu.”

“Dijamin Bunda takkan marah. Apa pun yang kulakukan, Bunda tak pernah marah.”

“Iya sih. Kamu kan seolah anak yang hilang, lalu tiba - tiba muncul setelah dewasa dan ganteng gini. Jadi tulang punggung keluarga pula. Pastilah kamu sangat dimanjakan oleh bundamu…” ucap Tante Dina sambil berdiri. Lalu mengikuti langkahku keluar dari kamar tamu menuju kamarku.

Setelah berada di dalam kamarku, Tante Dina menoleh ke sekeliling kamarku sambil menggeleng - geleng dengan senyum di bibirnya. Setelah pintu kamarku ditutup dan dikuncikan, aku mendekap pinggang Tante Dina dari belakang sambil berbisik ke dekat telinganya, “Di sini Tante berteriak setinggi langit pun takkan terdengar apa - apa keluar.

Tante Dina memutar badannya, jadi berhadapan denganku, “Setelah ngobrolnya selesai, aku harus balik lagi ke kamar tadi?”

“Nggak. Tante gak keberatan menemaniku bobo di sini kan?”

“Bundamu kalau tau aku tidur di sini gak bakalan marah?” tanyanya dengan sorot ragu.

“Bunda subuh juga sudah sibuk belanja ke pasar. Donna pun sibuk menata café dengan pegawai café. Tengah hari Bunda baru bisa meninggalkan café. Sementara Donna sampai malam nongkrong id café terus. Santai aja Tante,” sahutku. Tapi aku tak berani bilang bahwa aku menemui Tante Dina adalah atas saran Bunda.

Lalu Tantge Dina duduk di sofa, berdampingan denganku. Dan berkata, “Ohya Don… Santi kan sudah ditempatkan di perusahaanmu. Aku juga kasih kerjaan dong. Tapi aku cuma punya ijazah es-satu. Gak seperti Santi yang sudah es-dua.”

“Tante Santi sudah kutempatkan sebagai dirut di salah satu perusahaanku. Gak apa - apa kalau Tante kutermpatkan sebagai wakil dirut?”

“Gak apa - apa. Meski Santi itu adikku, tapi aku juga tau diri. Dia kan sudah es-dua. Wajar kalau aku jadi wakilnya.”

“Jadi masalah kerjaan selesai. Sekarang aku ingin melenyapkan kepenasarananku,” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke balik baju kausnya. Dan yakin bahwa dia tak mengenakan beha karena kedua pentilnya membayang dari luar.

Dan aku mulai memegang toket gedenya yang terasa masih kencang, seperti belum pernah menyusui anak.

Ketika aku mulai asyik mengelus - elus pentil toketnya yang masih tertutupi baju kausnya, Tante Dina bertanya perlahan, “Toketku masih kenceng kan?”

“Iya Tante. Seperti belum pernah netekin bayi,” sahutku.

“Aku memang belum punya anak Don.”

“Wah asyik dong. Berarti anunya masih sempit.”

“Anunya apa? Memek? Ya jelaslah masih sempit, karena belum pernah dilewati kepala bayi,” sahut Tante Dina sambil menarik zipper celana corduroy biru tuaku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. “Wow… kontolmu gede gini Don… aaaah… bikin aku horny aja…”

“Aku juga udah lama tergiur sama Tante. Baru sekarang bakal kesampaian kayaknya.”

“Ayo deh. Sebagai tanda terimakasihku padamu, apa pun keinginanmu akan kuladeni,” sahut Tante Dina sambil melepaskan baju kaus dan celana pendeknya.

Lalu tubuh seksi Tante Dina yang anggun itu pun telanjang bulat di hadapanku kini. Sepasang toket gedenya… bokong semoknya… bahkan memeknya yang tercukur bersih itu sudah terpampang di depan mataku.

Oooo… betapa menggiurkannya adik kandung Bunda yang satu itu…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu