2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

Aku hanya bisa menebak - nebak apa yang sedang Marsha pikirkan pada waktu ia mengelus - elus memeknya sendiri sambil memandang ke arahku yang tengah menyetubuhi ibunya ini.

Tapi aku yakin Marsha sedang amat terangsang menyaksikan aku yang sedang berdiri sambil mengentot memek ibunya ini. Karena itu aku akan berusaha jangan sampai ngecrot di dalam liang memek Bu Eti, karena aku harus menyetubuhi Marsha setelah Bu Eti orgasme nanti.

Karena itu aku semakin intensif menggesek - gesek kelentit Bu Eti ketika sedang mengentotnya ini.

Maka rintihan histeris Bu Eti pun semakin menggila dibuatnya, “Doooniiii… kibu sayang kamu Doooon… ini luar biasa enaknya… entot terussss… sambil gesek terus itilnya Sayaaaang… itilnyaaaaa… itttiiiiillllnyaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… ooooh Doonnniiii… belum pernah ibu merasakan segini enaknya waktu disetubuhi…

Kuikuti saja keinginan Bu Eti itu. Kutekan itilnya kuat - kuat, lalu kuputar - putar uijung jariku yang sedang menekan itilnya ini.

Dan tiba - tiba sekujur tubuh Bu Eti mengejang tegang. Tapi aku tidak cepat menghentikan entotanku. Aku tetap menggenjot kontolku dalam kecepatan tinggi. Sampai akhirnya kurasakan liang memek Bu Eti mengejut - ngejut. Lalu kuhentikan entotanku sambil memandang Marsha dan berkata, “Marsha Sayang… permintaanmu sudah kulaksanakan…

Bu Eti terkejut, “Ada Marsha?” cetusnya sambil menoleh ke arah Marsha yang sudah melangkah menghampiri meja makan.

Bu Eti sadar bahwa kontolku masih berada di dalam liang memeknya. Tapi ia lalu memegang tangan Marsha sambil berkata lirih, “Marsha Sayang… maafkan ibumu ini yaaa… ibu seolah sudah mencuri milikmu yang paling berharga darimu…”

Marsha malah mencium pipi ibunya, lalu berkata perlahan, “Ibu tidak usah minta maaf dariku, karena aku yang meminta Donny untuk menggauli Ibu… supaya semangat Ibu bangkit lagi secara normal… dan mulai saat ini, aku ijinkan Donny menggauli Ibu kapan pun Ibu dan Donny merasa membutuhkannya.”

“Sekarang giliran Marsha…” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek Bu Eti.

Marsha menghampiriku. Mencium bibirku dengan mesra. Lalu berucap perlahan, “Lukaku memang sudah sembuh. Aku jadi terangsang melihat Donny menyetubuhi Ibu tadi. Tapi aku ingin di atas meja ini juga, seperti Ibu tadi.”

Bu Eti turun dari meja dan bertanya, “Luka apa Sha?”

Aku yang menjawab, “Jujur, aku baru satu kali menyetubuhi Marsha. Ternyata dia masih perawan Bu.”

“Haaa?! Masih perawan? Jadi selama ini Jaka ngapain aja sama kamu Sha?”

“Punya almarhum gak pernah bisa ngaceng sempurna Bu. Jadi selama aku jadi istrinya, hanya digesek - gesek dalam jepitan pahaku aja. Sementara keperawananku tetap utuh.”

“Kok bisa kamu bertahan dengan almarhum selama dua tahun?” tanya Bu Eti.

“Yah… mungkin jalannya harus seperti ini. Kalau aku bercerai dengan almarhum, pasti aku takkan pernah bertemu dengan Donny… dan sekarang DOnnylah yang menjamin masa depanku… dan masa depan Ibu juga,” ucap Marsha sambil melepaskan kimononya. Kemudian naik ke atas meja makan. Dan menelentang di situ, dengan bokong berada di pinggiran meja, sementara kedua kakinya terjuntai ke lantai.

Bu Eti menggantikan tempat Marsha. Dia duduk di sofa bekas Marsha tadi, sambil memandang ke arah meja makan.

Aku sudah duduk di kursi, di antara kedua belah paha Marsha yang direntangkan. Dengan penuh gairah kuciumi memek Marsha yang bersih dari jembut ini.

Memang setelah diamati, memek Marsha pun berjengger, tapi hanya muncul sedikit jenggernya. Menurut para pakar, tidak semua memek gadis itu berjengger. Tapi banyak juga yang berjengger, meski masih perawan. Mujngkmin hal itu tergantung keturunan dari sananya. Buktinya memek Bunda dan Donna tidak berjengger, meski sudah tidak perawan lagi.

Dan sambil duduk di kursi makan, aku mulai menjilati memek Marsha. Seperti yang kulakukan kepada Bu Eti, aku pun melakukannya kepada putrinya. Menggesek - gesek kelentit Marsha dengan ujung jariku, sementara lidahku melahap bagian dalam yang berwarna pink itu.

Tentu saja kualirkan air liurku sebanyak mungkin, karena liang memek Marsha baru dipakai satu kali waktu keperawanannya kuambil. Pasti masih super sempit. Tidak bisa disamakan dengan liang memek ibunya.

Setelah celah memeknya kuanggap cukup basah, aku pun berdiri sambil meletakkan moncong kontolku di mulut vagina Marsha.

Lalu kudorong kontolku sekuat mungkin. Hmmm… kali ini tidak sesulit yang pertama tempo hari. Kepala penisku mulai melesak masuk ke arah yang tepat. Kudorong lagi sekuatnya… masuk lagi lebih dalam… kudorong lagi kuat - kuat… membenam lagi kontolku hampir separohnya.

Maka mulailah aku mengayun kontolku perlahan - lahan sambil menyentuhkan ujung jariku ke kelentitnya yang tampak nyempil dan mengkilap.

Dan… ketika aku mulai mempercepat entotanku, ujung jariku pun semakin gencar menggesek - gesek kelentitnya, seperti yang kulakukan pada Bu Eti tadi.

Pada saat itulah Bu Eti yang sudah mengenakan kimononya lagi menghampiri kami. Dia berdiri di pinggir meja makan sambil memegang sepasang toket anaknya. Bahkan kemudian ia menyelomoti pentil toket Marsha dengan gaya lesbian yang sedang mencumbu pasangan seksualnya.

Menyaksikan perbuatan Bu Eti itu, aku semakin bergairah untuk mengentot Marsha habis - habisan, sambil menggesek - gesek itilnya dengan ujung jariku.

Marsha pun mulai mendesah dan merintih, “Doooon… oooooo… oooooh… ini lebih enak daripada yang tempo hari Doooon… oooooohhhhhhh… Dooooooniiiiii… ooooooh… Ibuuuuuuu… ini luar biasa enaknyaaaaa… Doooooooonnnnn… entot terus Doooon… ooooh… aaaah… aaaaaah…

Cukup lama aku mengentot Marsha sambil berdiri di dekat meja makan itu. Tubuhku pun mulai dibanjiri keringat. Tubuh Marsha pun sudah mengkilap karena dibasahi keringatnya juga. Sementara Bu Eti tetap “tekun” menyelomoti pentil toket anaknya.

Kali ini aku tak mau menunda - nunda ejakulasi lagi. Karena fisikku mulai terasa letih.

Maka ketika Marsha sudah mulai berkelojotan, kupercepat entotanku. Dan ketika ia mengejang tegang, dengan liang memek berkedut - kedut, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Dengan keinginan berejakulasi di dalam liang memek Marsha.

Tapi apa daya… kontolku tetap tegar dan tak mau ejakulasi. Maka aku pun mengayun kembali kontolku di dalam liang memek Marsha yang semakin licin ini.

Sampai pada suatu saat aku berkata terengah, “Sekarang aku mau ngecrot nih Sayang…”

Tiba - tiba Bu Eti bergegas menghampiriku sambil menunjuk ke mulutnya sendiri yang ternganga. Aku mengerti apa maksudnya. Bahwa aku diminta memuntahkan pejuhku di dalam mulutnya. Maka aku pun mengangguk sambil mencabut kontolku, sementara Bu Eti sudah berjongkok di depanku.

Bu Eti menangkap kontolku, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Terasa kontolku disedot - sedot dengan kuatnya.

Dan… lendir kenikmatanku pun berlompatan di dalam mulut Bu Eti.

Crooottttt… crottttt… croooottttt… crottt… crooootttt… crettt… croooottttt…!

Dengan lahap Bu Eti menelan spermaku sampai habis. Glek… glekkk…!

Ternyata Marsha sudah duduk sambil menyaksikan perbuatan ibunya. Marsha tersenyum - senyum, lalu turun dari meja sambil memegang pergelangan tangan ibunya. “Sekarang Ibu harus tidur di kamarku ya,” ucap Marsha sambil tersenyum.

Bu Eti berdiri dan menyahut, “Nanti kamu terganggu Sha.”

“Nggak. Justru aku senang kalau tidur ditemani Ibu dan Donny. Pokoknya mulai saat ini, kalau Donny mau nginap di sini, Ibu harus tidur di kamarku,” ucap Marsha sambil menuntun tangan ibunya ke dalam kamarnya.

Aku pun mengambil baju dan celana piyamaku, mengikuti mereka ke dalam kamar Marsha.

Dalam keadaan masih telanjang, aku pun naik ke atas bed Marsha.

“Kita harus memanjakan Donny Bu… kita harus mengapit dia sampai bobo nanti,” ucap Marsha sambil merebahkan diri di sebelah kananku, sementara Bu Eti merebahkan diri di sebelah kiriku sambil melepaskan kimononya kembali.

“Bagaimana perasaan Donny sekarang?” tanya Marsha sambil mengusap - usap dada telanjangku.

“Sangat mengesankan,” sahutku, “Ini pengalaman pertama di dalam hidupku.”

Bu Eti malah memegang kontolku yang sudah lemas sambil, bertanya, “Masih kuat main lagi?”

“Masih. Dua-tiga kali lagi juga masih kuat,” sahutku sambil meraba - raba memek Bu Eti dangan tangan kiriku. Dan menggerayangi memek Marsha dengan tangan kananku.

Bu Eti bangkit. duduk di dekat panggulku, sambil mendekatkan mulutnya ke kontolku yang masih lemas ini. Lalu mengulum kontolku tanpa ragu - ragu lagi, meski Marsha berada di sebelah kananku.

Marsha pun duduk. Memperhatikan perilaku ibunya dengan serius. Mungkin dia sedang belajar bagaimana cara mengoral lelaki secara benar.

Bu Eti memang sudah tinggi jam terbangnya dalam hal mengoral lawan jenisnya. Ia menyelomoti leher dan moncong kontolku sambil mengalirkan air liurnya ke badan kontolku yang lalu dijadikan pelumas untuk mengurut - urutnya.

Tak lama kemudian, perasaan letih pun kulupakan. Karena kontolku sudah ngaceng lagi sebagai “hasil” felatio Bu Eti.

Lalu aku memegang tangan Marsha sambil berkata, “Aku mau main sama Ibu dulu, ya Sayang.”

“Iya, “Marsha mengangguk sambil tersenyum, “Nanti setelah selesai sama Ibu, main sama aku juga ya.”

“Oke,” ucapku sambil bangkit dan mencium pipi Marsha. Kemudian merayap ke atas perut Bu Eti yang sudah celentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya.

Kemudian kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Bu Eti, disusul dengan dorongan yang kuat dan… blessssss… langsung membenam seluruhnya, karena liang memeknya masih basah dan licin sekali.

Kembali aku bertamasya ke surga dunia. Mengentot Bu Eti dengan sepenuh gairahku. Sementara Marsha menyaksikan tontonan gratis ini, sambil mengelus-elus memeknya.

Bagiku, ini adalah ronde kedua. Tentu saja durasi entotanku jauh lebih lama dari yang pertama.

Rintihan - rintihan histeris Bu Eti pun berkumandang lagi di dalam kamar ini.

Sementara Marsha sujdah celentang sambil mengusap - usap memeknya.

Belasan menit kemudian, aku sudah berada di atas perut Marsha untuk menyetubuhinya lagi.

Begitulah… secara bergiliran kusetubuhi mereka, sampai lewat tengah malam.

Dan aku merasa suasana ini memang sangat menyenangkan. Sehingga aklu berjanji di dalam hati, untukk membahagiakan mereka berdua.

Sebulan kemudian…

Seperti yang sudah kuterangkan sebelumnya, kehidupanku selalu penuh dengan kejutan. Kebetulan kejutannya selalu menyenangkan.

Seperti yang terjadi pada suatu hari…

Aku bangun lebih siang dari biasanya. Karena hari ini hari Sabtu. Aku memang ingin beristirahat sepuasnya, agar keletihan bekas kesibukan di hari - hari kerja sirna.

Setelah mandi, aku membuat kopiku sendiri di coffee makerku. Seperti biasa kuset espresso double shot. Kemudian kubawa cangkir kecilku yang sudah berisi espresso tanpa gula itu ke ruang keluarga.

Bi Inah menghampiriku dan berkata sopan, “Maaf Den Boss… di luar ada tamu wanita muda sudah menunggu dari tadi. Satpam belum mengijinkannya masuk.”

Setelah meneguk kopi yang masih panas, aku berdiri dengan tanda tanya di benakku. Tamu siapa gerangan pagi - pagi sudah datang ke sini?

Seorang wanita muda berkulit putih bersih dan bertubuh tinggi montok, langsung berdiri karena aku menyapanya, “Siapa ya?”

Salah seorang satpam melangkah ke arahku. Tapi aku mengibaskan tanganku agar dia tidak mendekat.

“Ini Donny? Anak almarhum Kang Rosadi?” wanita itu balik bertanya.

“Betul, “aku mengangguk dengan perasaan heran karena dia bisa tahu nama almarhum ayah segala.

Tiba - tiba wanita itu memegang kedua tanganku, “Donny… aku Tita dari Serang. Aku ini adik kandung ayahmu Don.”

Tentu saja aku kaget setelah mendengar siapa wanita muda yang cantik itu. Spontan aku mencium tangannya sambil berkata, “Maaf… aku sudah sering dengar nama Tante. Tapi baru sekali ini berjumpa.”

Wanita itu memelukku erat - erat sambil bercucuran air mata. “Donny… Donny… aku jadi ingat almarhum ayahmu Don. Tapi ibumu masih ada kan?”

“Masih Tante… mari masuk ke dalam,” sahutku sambil memegang pergelangan Tante Tita dan menuntunnya ke dalam rumah.

Kupersilakan Tante Tita duduk di sofa ruang tamu. Aku pun duduk di samping kanannya. Sambil tetap memegang pergelangan tangannya.

“Dari siapa Tante tau alamat rumahku?”

“Dari Teh Faizah, istri Kang Zulkifli.”

“Ooo… dari Umi Faizah.”

“Iya. Dia bilang kalau mau datang ke rumah Donny harus pagi - pagi benar. Karena kalau sudah keburu berangkat ke kantor, susah ketemunya.”

“Iya Tante. Seneng aku bisa ketemu sama tanteku yang cantik ini,” sahutku sambil meremas tangan Tante Tita.

“Syukurlah kalau masih kelihatan cantik sih. Sekarang aku kan sudah gembrot gini.”

“Tante agak montok. Gak gembrot ah. Sedeng segini sih… sedeng - sedengnya seksi.”

“Hmmm… udah hafal sama perempuan seksi ya?” Tante Tita memijat hidungku, “Aku sengaja datang ke sini untuk urusan bisnis Don.”

“Bisnis apa?” tanyaku.

Tante Tita mengeluarkan sebuah map dari tasnya sambil berkata, “Aku punya beberapa bidang tanah di kota ini, yang mau dijual. Semuanya peninggalan almarhum suamiku.”

“Almarhum?! Memangnya suami Tante sudah meninggal?” tanyaku sambil membuka map plastik tebal itu.

“Iya. Almarhum meninggalkan beberapa bidang tanah yang lumayan banyak. Bertebaran di beberapa kota. Tapi aku hanya membawa SHM yang di kota ini aja. Semua sudah atas namaku. Tanah yang di kota lain akan kujual juga, kalau Donny berminat. Semuanya di Jawa Barat.”

Setelah mengamati beberapa fotocopy SHM itu aku lumayan kaget. Karena semuanya berada di lokasi strategis, luas - luas pula. Dan memang semuanya atas nama Tita Sarita.

“Almarhum suami Tante tuan tanah ya,” ucapku sambil menyimpan kembali fotocopy - fotocopy sertifikat hak milik itu ke dalam mapnya.

“Almarhum senang membeli tanah di sana - sini. Karena tanah itu walau pun dibom takkan hilang katanya,” sahut Tante Tita.

“Sebentar Tante…” ucapku sambil berdiri. Lalu melangkah ke ruanmg kerjaku yang berdampingan dengan kamarku.

Kubuka laptop dan kuamati salah satu fileku. File yang berisi harga pasaran tanah di setiap area yang ada di kota ini. Kututup laptop itu dan kubawa ke ruang tamu.

“Tadi ada tujuh lokasi ya Tante. Mau dijual berapa semua?” tanyaku langsung serius.

Tante Tita menyebutkan jumlah harga dari ketujuh bidang tanah itu.

Aku pun menghitung dengan kalkulator, disesuaikan dengan harga pasaran ketujuh bidang tanah itu. Memang setiap lokasi berbeda pasarannya dengan lokasi lain. Dan ketujuh bidang tanah yang akan dijual itu terletak di daerah termahal harga pasaran tanahnya.

Setelah menjumlahkan harga pasaran ketujuh bidang tanah itu, aku mengangguk -angguk. Karena harga yang ditawarkan oleh Tante Tita jauh lebih murah dari harga pasarannya. Hal ini membuatku bersemangat. Karena belakangan ini aku sedang mengikuti jejak usaha Papa almarhum, yakni bisnis properti.

“Serifikat aslinya tidak disimpan di bank?” tanyaku.

“Nggak. Aku gak pernah nyekolahin rumah atau pun tanah di bank Don.”

Aku tersenyum mendengar istilah “nyekolahin” itu, yang berarti menjadikan agunan untuk sejumlah pinjaman ke bank.

“Bagus. Istilah kredit harus diucapkan hutang oleh hati kita. Hutang yang berbunga pula. Ohya ada bangunan di atas tanah - tanah itu?”

“Tidak ada. Semuanya dipagar, supaya jangan ada gangguan.”

“Pakai apa tadi Tante ke sini?”

“Pakai travel. Terus disambung dengan taksi.”

“Kalau gitu aku ingin survey ke semua lokasi tanah yang mau dijual itu.”

“Boleh. Sekarang juga bisa.”

“Iya deh. Mumpung hari libur.”

Beberapa saat kemudian Tante Tita sudah berada di dalam sedan putihku yang mulai bergerak di atas jalan aspal.

“Dengan adik - adik ayah Donny, udah ketemu dengan siapa aja?” tanya Tante Tita yang duduk di samping kiriku.

“Baru dengan istrinya Oom Zulkifli dan Tante Neni. Sekarang dengan Tante Tita.”

“Berarti masih ada tiga orang lagi yang belum pernah juimpa denganmu.”

“Iya. Dengan Tante Maryani belum pernah ketemu kan?”

“Iya, belum. Tante Maryani itu adik langsung dari Tante Neni kan?”

“Iya. Oom Zulkifli almarhum, Tante Nenny, Tante Maryani dan aku itu adik kandung ayahmu yang seayah dan seibu. Tapi setelah kakekmu meninggal, ibuku alias nenekmu menikah lagi. Dan punya anak dua orang. Ika dan Hera.”

“Wah… kalau nama Ika dan Hera baru dengar sekarang Tante.”

“Carilah nanti. Donny sebagai pihak yang lebih muda, harus mendahului untuk menjumpai mereka, untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi. Alamat mereka akan kukasih semua nanti.”

“Iya Tante.”

“Kudengar Donny menerima warisan yang luar biasa gedenya dari ayah angkatmu ya?”

“Kira - kira begitulah.”

“Kamu paling beruntung di antara anak - anak ayahmu. Tapi kamu juga harus tahu, bahwa ayahmu punya istri lagi. Punya anak pula dua orang. Mungkin ibumu belum tau sampai sekarang. Hanya keluarga almarhum Kang Rosadi yang tahu.”

“Ohya?! Berarti aku punya dua saudara tiri?”

“Saudara seayah, bukan saudara tiri. Nanti kukasih alamatnya juga. Tapi jangan bilang - bilang sama ibumu. Nanti dia marah sama aku dan saudara - saudaraku, karena dianggap sekongkol dengan ayahmu.”

“Iya. Aku takkan bilang apa - apa sama Bunda. Ohya Tante… kalau aku boleh tau, usia Tante Sekarang berapa?”

“Tigapuluhtiga,” sahut Tante Tita.

“Haaa?! Tante kok kelihatan muda sekali. Tadinya aku mikir usia Tante di bawah duapuluhlima.”

“Terima kasih. Terus… dalam pandanganmu aku ini bagaimana?”

“Cantik dan seksi. Kalau bukan tanteku sendiri, pasti aku akan berusaha mendapatkan Tante.”

Tante Tita tersenyum manis. Manis sekali senyum adik ayahku itu…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu