2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 14

Adelita memang belum banyak mengenal sex. Sehingga belum tahu juga bagaimana caranya untuk mengulur kedatangan orgasmenya. Baru belassan menit aku menyetubuhinya, Adelita sudah berkelojotan. Lalu mengejang tegang. Dan terasalah kedutan - kedutan liang memeknya, disusul dengan membanjirnya lendir libidonya, membasahi liang memeknya yang sudah merekah laksana bunga mekar.

Ketika Adelita sudah terkapar lemah lunglai, aku segera pindah ke atas perut Umi yang masih tersenyum - senyum centil sambil mengusap - usap memek tembemnya.

Umi menyambut “kembali”nya aku dengan merentangkan sepasang pahanya lebar - lebar. Aku pun meletakkan “topi baja”ku tepat di mulut memeknya yang ternganga dan kemerahan itu. Lalu kudorong dan… bleeessssssss… melesak amblas ke dalam liang memek Umi Faizah yang masih basah licin ini.

Umi pun menyambutku dengan peljukan hangatnya di leherku. Lalu menempelkan sepasang bibir sensualnya di bibirku, disusul dengan lumatan dan isapannya yang berlangsung lama sekali. Sehingga ketika aku mulai mengentot memek aduhainya, bibirku seolah direkat oleh sepasang bibir dan lidah Umi yang tak mau melepaskannya.

Umi memperlihatkan agresifitasnya lagi. Mulai mengayun pinggulnya lagi, dalam bentuk gelombang lautan di tengah samudera, terkadang dalam bentuk ombak bergulung - gulung menuju pantai.

Goyangannya ini mirip gerakan pinggul perempuan Arab yang tengah menarikan belly dance. Karena perutnya pun bergetar - getar erotis, membuatku semakin bersemangat untuk mengentotnya habis - habisan.

Lalu… rintihan - rintihan erotisnya berlontaran lagi dari mulut Umi. “Dooon… aaaaah… Dooon… aaaaaaaahhhhh… Doooon… kontolmu memang luar biasa Doooon… luar biasa enaknyaaaaa… entottt terusssssss Dooon… entoooooooot teruuuuussssssss… entoooooootttth …

Terlebih setelah aku menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan dan harum parfum khas timur tengah, semakin menggila juga rintihan - rintihannya. Bahkan ketika aku berusah mencupang lehernya, Umi malah mendekap kepalaku, seolah jangan dilepas lagi cupanganku ini.

Mungkin Umi senang kalau lehernya disedot sekuat tenaga, sampai menimbulkan bekas merah kehitaman ini.

Karena Umi menghendakinya, maka aku pun tak canggung - canggung lagi untuk menyedot - nyedot lehernya sekuat mungkin, sehingga meninggalkan totol - totol merah kehitaman sebesar uang logam limaratusan. Sudah lebih dari lima totol membekas di lehernya.

Lalu aku pindah untuk mencupangi toket gedenya. Juga Umi tampak suka sekali. Sehingga bekas totol - totol merah itu bukan hanya di lehernya saja, melainkan juga di sepasang toket gedenya…!

Tampaknya Adelita sudah duduk sambil tersenyum - senyum menyaksikan perbuatanku “ngerjain” uminya.

Begitu lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga akhirnya Umi kelojotan lagi, dengan mata terp[ejam - pejam. Lalu ia mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… disusul dengan gerakan liang memeknya yang seolah seekor ular yang tengah membelit batang kemaluanku, disusul dengan kedutan - kedutan yang mengiringi meluapnya lendir libido, membuat liang kemaluan Umi jadi semakin becek.

Cepat aku pindah lagi ke atas perut Adelita. Mengentotnya lagi dengan gairah birahi yang belum mereda.

Dan akhirnya aku memuntahkan air maniku di dalam liang memek Adelita.

Crotttt… crooooooootttt… crooootttttttt… crotttt… croooottttttt… crotttt… crooootttt…!

Lalu kami terdampar di pantai kepuasan.

Dan akhirnya kami bertiga tertidur pulas, dalam keadaan masih telanjang semua.

Esok paginya, setelah mandi aku bersiap - siap untuk pulang ke kotaku.

Tapi Umi mencegahku, “Nanti… jangan pulang dulu. Umi mau masakin makanan khas Lebanon deh buat Donny.”

Aku mengangguk, sambil ingin tahu juga seperti apa masakan Lebanon yang sedang dimasak oleh Umi itu.

Adelita pun tampak ikut membantu uminya di dapur.

Maka sambil menunggu masakan Lebanon siap, aku rebahan di atas dipan kayu jati beralaskan tikar, di teras depan rumah Umi.

Baru saja beberapa menit aku rebahan di atas dipan kayu jati itu, tiba - tiba tampak seorang wanita tinggi montok melangkah di pekarangan depan dan menghampiriku sambil mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum…”

Aku spontan bangkit dan menyahut, “Alaikum salam.”

Lalu aku turun dari dipan kayu jati itu dan berseru ke dalam, “Lita… ada tamu nih… !”

“Yaaa…” sahut Adelita dari dalam rumah.

Lalu Adelita muncul dan berseru, “Tante Neni… !”

Adelita mencium tangan wanita tinggi montok itu, lalu cipika - cipiki.

Lalu Adelita menoleh padaku, “Bang kenalin nih, Tante Neni… adik ayahku, berarti adik ayah Abang juga.”

“Lho… ini siapa Lit?” tanya wanita yang kira - kira sebaya dengan Umi itu, sambil menunjuk padaku yang sudah berdiri di depannya.

Adelita menyahut, “Ini… anak Uwa Rosadi, Tante.”

“Ya Tuhaaaan! Kamu anak Kang Rosadi?” seru wanita yang dipanggil Tante Neni itu. Sambil mengelus - elus rambutku. Aku pun mencium tangannya, lalu membiarkan wanita itu mencium pipi kanan dan pipi kiriku.

“Siapa namamu Nak?” tanya wanita yang ternyata tanteku itu.

“Donny Tante,” sahutku.

Adelita menambahkan, “Dia anak kembar Uwa Rosadi yang diadopsi oleh pengusaha dari Bangkok itu, Tante.”

“Ooooh… iya… iyaaaa…! Saudara kembarnya yang bernama Donna itu kan?”

“Betul Tante,” sahutku dengan sikap sopan.

Tante Neni geleng - geleng kepala sambil berdecak - decak, “Cek… cek… cek…! Waktu masih bayi kamu kan diadopsi oleh sahabat ayahmu, Don. Sekarang tau - tau sudah gede gini. Masya Allooooh…”

“Umi mana?” tanya Tante Neni kepada Adelita.

“Ada. Lagi masak di dapur,” sahut Adelita, “silakan masuk ke dalam Tante.”

Tante Neni masuk ke dalam. Lalu terdengar suara Umi sedang ngobrol dengan Tante Neni di dapur. Sementara aku mengajak Adelita ke dalam kamarnya. Kukeluarkan amplop besar dari dalam tasku. Amplop yang sudah berisi segepok uang dollar Amerika pecahan 100 USD.

“Ini uang untuk dibagi dua dengan Umi nanti, ya Sayang,” kataku sambil menyerahkan amplop coklat muda berisi segepok uang dollar Amerika itu.

Adelita melihat isi amplop itu lalu berkata, “Bang… ini uangnya banyak banget?!”

“Nggak apa - apa. kamu kan pasti banyak kebutuhan selama di sini. Umi juga mungkin membutuhkanduit itu. Nanti tukarin dulu duitnya di money changer kalau mau dibelanjakan ya.”

“Ya Bang. terima kasiiih…” sahut Adelita dilanjutkan dengan ciuman mesranya di bibir dan di sepasang pipiku.

Setelah menyimpan amplop berisi uang itu, Adelita berkata, “Aku mau bantuin Umi dulu di dapur ya Bang.”

Aku mengangguk. Lalu keluar lagi dari kamar Adelita. Duduk - duduk lagi di atas dipan jati itu. Sambil memperhatikan keadaan di sekitar rumah bergaya zaman kolonial Belanda ini.

Sepi sekali suasananya. Hanya sesekali ada motor yang melintas. Tidak ada satu pun mobil yang lewat.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau aku harus tinggal di kampung sesunyi dan selengang ini.

Tiba - tiba Adelita muncul di ambang pintu, “Bang mari kita makan berjamaah. “ajaknya.

Aku pun berdiri, lalu mengikuti Adelita menuju ke ruang makan.

“Ayo Don makan dulu, biar jangan jajan di jalan nanti,” kata Umi sambil menunjuk ke makanan Lebanon hasil masakannya.

“Ini apa Umi?” tanyaku ke wadah persegi panjang. Isinya seperti nasi, tapi dicampur entah dengan apa. Hanya ada taburan seledri di atasnya.

“Ini nasi pilaf. Nasi yang sudah diaduk dengan bihun,” sahutnya. “Kalau ini namanya kefta, terbuat dari daging kambing muda yang dicincang lalu diaduk dengan bumbu.” Umi menunjuk ke gumpalan daging cincang yang ditusuk oleh tusukan sate, tapi tiap tusuk hanya ada segumpal daging cincang sebesar telor bebek, yang tampaknya dimatangkan dengan arang membara seperti sate.

“Masakan Lebanon sebenarnya banyak. Tapi di sini sulit mencari bahannya. Nah… kita makan seadanya aja ya,” kata Umi.

Aku langsung mengambil daging cincang yang ditusuk oleh tusukan sate itu, sudah gak tahan ingin mencobanya. Ternyata enak sekali.

“Wah… kefta ini enak sekali Umi,” kataku sambil meletakkan sisa gigitanku di piring. Lalu mengambil nasi pilaf yang dicampur merata dengan bihun itu. Dan mulai makan bersama.

“Nanti kalau Donny menikah dengan Lita, umi akan masakin bermacam - macam masakan Lebanon. Kan teman umi yang berasal dari Lebanon banyak juga. mereka semua sudah pada jadi warganegara Indonesia,” kata Umi sambil menuangkan nasi pilaf ke piringnya.

Buatku, sebenarnya makanan yang kami santap ini termasuk amat sederhana. Makan nasi pilaf hanya dedngan satu macam teman nasinya, ya kefta ini. Soalnya aku sejak kecil dibiasakan makan dengan banyak teman nasinya, waktu aku masih tinggal di Bangkok.

Tapi untuk menyenangkan Umi, berkali - kali kukatakan enak, enak dan enak. Biar Umi merasa senang dan bahagia. Bahkan kalau tidak ada Tante Neni, mungkin aku akan berkata, enak Umi… tapi lebih enak memek Umi…! Hahahahaaaa…!

Pada waktu aku masih makan, Adelita berkata padaku, “Bang… rumah Tante Neni ini searah dengan jalan pulang Abang nanti. Bisa kan beliau numpang sama Abang?”

“Boleh,” sahutku sambil melirik ke tanteku yang berperawakan seksi abis itu.

Hmmm… apakah aku ini benar - benar berjiwa incest, sehingga aku selalu tergiur oleh famili dekatku sendiri? Enyahlah. Yang jelas pada waktu makan bersama ini, pikiranku ngeres terus. Malah bertanya - tanya di dalam hati, seperti apa ya Tante Neni yang tinggi montok itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?

Padahal jelas Tante Neni itu adik kandung ayahku almarhum. Tapi mungkin karena sejak bayi sampai dewasa aku tidak pernah berjumpa dengan keluarga Bunda mau pun dengan keluarga almarhum Ayah. Sehingga begitu bertemu, aku merasa seperti berjumpa dengan orang asing.

Beberapa saat kemudian, seperti yang sudah diminta Adelita, Tante Neni sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sudah kuhidupkan mesnnya. Sementara Umi dan Adelita berdiri di samping kanan mobilku.

“Ati - ati di jalan ya Bang,” kata Adelita sambil memegangi pintu di sebeah kananku, yang jendelanya masih terbuka.

Umi pin berkata, “Sering - sering datang ke sini ya Don.”

Aku cuma mengangguk sambil kiss bye (cium jauh). Kemudian mobilku meninggalkan pekarangan rumah bergaya zaman kolonial Belanda itu. Umi dan Adelita melambaikan tangannya, yang kubalas dengan lambaian tangan juga. Lalu jendela kaca ditutup semua setelah menyalakan AC. Dan mobilku mulai menginjak jalanan berluibang penuh lumpur sejauh 20 kilometer.

“Namanya jodoh begitu ya Don. Dengan Lita malah pertama kalinya berjumpa malah di Singapore,” ucap Tante Neni yang saat itu mengenakan gaun hitam yang terbuat dari sutera hitam polos, dengan manik - manik di sekitar lehernya. Berbeda dengan Umi yang senantiasa memakai baju jubah dan berjilbab, Tante Neni inki tidak mengenakan hijab dan baju muslimah.

“Iya Tante,” sahutku.

“Terus kawinnya kapan?” tanyanya.

“Masih lama Tante. Masih banyak yang harus diurus. Lita juga masih dipertahankan untuk tetap bekerja di Singapore,” sahutku.

“Iya. Donny juga harus belajar dulu dong… belajar menggauli istri, supaya istrinya puas. Hihihiii…”

“Hehehee… iya Tante. Emangnya Tante mau ngajarin aku?”

“Hihihihiiii… Donny… ada - ada aja. Masa mau diajarin sama tantemu sendiri?”

“Tapi… aku mau diajarin kalau sama Tante sih. Soalnya Tante… seksi banget sih.”

“Masa sih?!” cetus Tante Neni bernada senang mendengar pujianku. Mudah - mudahan umpan pancingku mendapat hasil…!

“Serius Tante. Tadi begitu melihat Tante… wow… ada wanita seseksi itu… siapa ya? Eeeeh… ternyata Tante adik kandung Ayah.”

“Iya. Ayahmu kan punya adik empat. Yang adik langsung, ya ayah Lita itu. Kemudian dari ayah Lita ke tante. Dari tante ke Tante Tita, lalu yang bungsu Tante Yani.”

“Iya Tante,” sahutku.

Mobilku tidak bisa bergerak cepat, karena banyak lubang yang harus dihindari, kalau bisa. Kalau tidak bisa, ya hajar saja. Karena mobilku tidak bisa berlari cepat, aku jadi sempat memegang paha Tante Neni yang masih tertutup gaun sutedra hitamnya. Sambil berkata, “Ya Tante yaaa… ajarin aku please…

Tante Neni terdiam. Lalu bertanya dengan nada serius, “Mau kapan belajarnya?”

“Sekarang aja. Mumpung kita lagi sama - sama gini,” sahutku sambil memijat - mijat paha gempal yang sedang kupegang, tapi belum bisa memegang langsung, baru sebatas memegang terhalang oleh gaunnya.

“Ya udah. Nanti aja di rumah tante ya.”

“Emangnya di rumah Tante gak ada orang lain?”

“Ada. Pembantu.”

“Emangnya Tante gak punya suami?”

“Nasib tante sama dengan ibunya Lita. Suami tante sudah meninggal dua tahun yang lalu.”

“Owh. Tante punya anak?”

“Punya tiga orang. Cowok dua orang, cewek seorang. Tapi mereka pada jauh. Yang cowok ada yang di Medan, ada yang di Surabaya. Yang cewek di Jakarta.”

“Pada kerja semua?”

“Yang cowok sih iya. Pada kerja. Kalau yang cewek masih kuliah di Jakarta.”

“Terus Tannte sendirian terus di rumah?”

“Kan ada pembantu yang nginep di rumah.”

Lalu kami terdiam sejenak.

Tapi tangan Tante Neni tidak diam. Tangannya merayap ke arah ritsleting celana jeansku, sambil berkata, “Kayak gimana sih penis cowok yang harus diajarin ini.”

Meski Tante Neni baru memegang ritsleting celana jeansku, si johny langsung bereaksi. Jadi menegang dengan cepatnya. Dan ketika berhasil menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku, penisku sudah benar - benar ngaceng.

“Waaaaw…! “pekik Tante Neni, “Segede dan sepanjang ini kontolmu Don…! Sudah ngaceng pula… !”

“Soalnya udah ngebayangin dijeblosin ke dalam memek Tante. Hihihiiiii… jangan marah tante ya.”

“Masa sih? Emangnya tante ini seperti apa di dalam pandangan Donny?”

“Pokoknya Tante sangat menggiurkan di mataku.”

Tante Neni tampak senang mendengar ucapanku. Lalu ia menarik gaunnya ke perutnya, sisusul dengan penurunan celana dalamnya sampai di lutut. Dan menarik tangan kiriku, lalu menempelkannya di permukaan memeknya yang bersih dari jembut, sehingga terasa benar tembemnya memek Tante Neni ini. Jauh lebih tembem daripada memek Umi.

“Waaaah… Tante… nanti mau dikasihin sama aku memek Tante ini?” tanyaku sambil mengusap - usap permukaan memek Tante Neni.

“Iya. Nanti tante kasih sama Donny… sampai benar - benar puas.”

“Hahaaayyyy! Mimpi apa aku tadi malam ya? Tau - tau bakal ketiban rejeki nomplok !”

“Tapi rahasiakan ya Don. Jangan sampai Lita tau.”

“Tentu aja harus kurahasiakan Tante. Percaya deh, mulutku bukan ember bocor,” sahutku sambil tetap anteng menggerayangi memek Tante Neni, karena belum bisa tancap gas di atas jalan yang berlubang - lubang penuh lumpur ini.

Namun tak lama kemudian mobilku sudah dekat dengan jalan aspal yang mulus. Tante Neni pun tgahu itu. Lalu ia menjauhkan tanganku dari memeknya. Kemudian ditariknya celana dalamnya ke tempat semula. Tapi gaunnya masih tersingkap sampai perutnya. Sehingga paha gempal dan putih mulusnya seolah dipamerkan padaku.

Di dalam hati, aku berkata, untung tadi pagi aku gak ngentot Umi dan Adelita lagi. Sehingga aku punya power sekarang, buat ngentot tanteku yang tinggi montok ini. Bahkan mungkin aku mampu menyetubuhinya dua atau tiga set nanti. Pokoknya aku akan menyetubuhinya sepuasku, seperti yang dia katakan tadi.

Tak lama kemudian mobilku sudah menginjak jalan aspal. Sehingga aku bisa melarikan mobilku dengan kecepatan tinggi. Tapi aku tidak mau ngebut, karena takut SIM internasionalku dicabut oleh polisi.

Begitu mobilku berada di atas jalan aspal, Tante Neni berkata, “Dari sini rumah tante hanya duapuluhdua kilometer Don. Kalau jalanan sepi gini sih gak sampai setengah jam juga nyampe.”

“Iya Tante. Aku udah gak sabar nih. Pengen merasakan indahnya menggumuli Tante yang seksi abis gitu.”

“Tante juga udah horny Don. Udah kebayang digumulin sama cowok tampan dan masih sangat muda seperti Donny. Kontolnya gagah pula… ya gede ya panjang… hmmm kebayang…”

Meski sedang melarikan mobil dalam kecepatan yang lumayan tinggi, aku masih sempat menggerfakkan tangan kiriku yang nganggur (karena mobilku matic), untuk merayapi poaha Tante Neni yang dipamerkan terus itu. Terasa padat sintal paha Tante Neni ini.

Namun pada suatu saat Tante Neni menepiskan tangan kiriku, lalu menurunkan kembali gaun hitamnya, untuk menutupi sepasang kakinya yang indah dan membangkitkan nafsu birahiku itu.

“Rumah tante sudah dekat Don,” kata Tante Neni, “Setelah billboard reklame itu cuma dua rumah lagi… rumah tante yang ketiga setelah reklame susu murni itu.”

Mendengar ucpaan Tante Neni itu kupelankan kecepatan mobilku. Papan reklame itu pun sudah terlewat. Kemudian Tante Neni menyuruhku membelokkan mobil ke pekarangan rumah yang tidak terlalu besar, tapi tampak artistik bentuknya, dengan gaya yang sedang ngetrend di masa kini, gaya minimalis.

Mobilku bisa dimasukkan ke pekarangannya, lalu kuhentikan di depan pavilyun seperti yang disarankan oleh Tante Neni.

Tante Neni turun duluan, lalu membuka kunci pavilyun itu sambil melambaikan tangannya padaku.

Aku pun turun dari mobil, lalu masuk ke dalam pavilyun seperti yang diminta oleh Tante Neni.

Lalu Tante Neni berkata, “Lihat ya… itu kan ada pintu. Nah… pintu itu sebenarnya menuju ke kamar tante. Nanti tante buka pintu itu dari sana. Donny masuk aja ke kamar tante kalau pintunya sudah dibuka. Kita harus agak rahasia - rahasiaan. Takut si bibi tau, entar nafsu pula setelah melihat tante bawa cowok setampan ini.

Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum.

“Tunggu sebentar ya, tante mau masuk ke rumah dulu,” kata Tante Neni sambil melangkah ke luar lagi, ke depan mobilku. Lalu kututupkan pintu pavilyun dari dalam, sekaligus menguncikannya, sambil menunggu pintu menuju kamar Tante Neni itu dibuka.

Tak lama kemudian pintu itu dibuka oleh Tante Neni dan menyuruhku masuk ke kamarnya lewat pintu itu.

“Nanti malam tidur di sini aja ya. Biar bisa abis -abisan sama tante nanti malam,” kata Tante Neni sambil melepaskan gaunnya, lalu menggantinya dengan kimono berwarna orange.

“Boleh, “aku mengangguk.

“Nah… kalau begitu tante akan mengijinkan si bibi pulang sekarang. Karena nanti malam tante ada yang jagain… keponakan yang tampan ini,” ucapnya sambil mengecup pipiku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu