2 November 2020
Penulis —  Neena

Diburu Nafsu Incest

**Part 13

Bu Faizah yang selanjutnya kupanggil Umi itu, memang wanita yang luar biasa dan sangat memuaskan di atas ranjang. sehingga aku berniat untuk tetap menjalin hubungan dengannya, meski sudah menikahi anaknya sekali pun.

Ketika ayunan penisku semakin kupergencar, rintihan demi rintihan Umi pun terdengar lagi, tapi dia berusaha mengecilkan “volume suara”nya. Rintihan - rintihannya seolah cuma bisikan di dekat telingaku.

“Doooon… semua ini luar biasa Doon… eeeeeh… entot terus Dooon… ooooooh… kontol Donny luar biasa enaknyaaaa… entot terusssss… entooooottttt… iyaaaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaa… oooo… oooo. oooobh Dooon enaaaak… enaaaak sekali kontolnyaaaaaaaa…

Rintihan - rintihan tertahan itu membuatku semakin bersemangat menyetubuhi Umi. Terutama karena goyang gelombang pinggulnya luar biasa enaknya.

Bahkan pada suatu saat, Umi berkelojotan lagi. “Maaa… mau lepas Dooon… barengin lagi Dooon…” ucapnya setengah berbisik.

Tapi mana mungkin aku ngecrot secepat itu. Masalahnya, ini adalah persetubuhan yang kedua bagiku. Dengan sendirinya durasi entotanku pun jadi jauh lebih lama. karena itu aku tetapo menggenjot batang kemaluanku, tanpa mempedulikan Umi yang sudah berkelojotan, kemudian mengejang tegang… dan akhirnya terkulai lemas.

Umi sudah orgasme. Tapi aku belum apa - apa. aku masih tetap menggenjot batang kemaluanku di dalam memek Umi yang sudah basah sekali ini.

Bahkan basah licinnya liang memek Umi ini membuatku semakin lancar menggenjot batang kemaluanku, tak ubahnya pebalap sepeda yang sedang menggenjot pedalnya.

Umi pun tak mau kalah. Dia semakin gila - gilaan mengayun pinggulnya dalam bentuk gelombang ombak menuju pantai. Padahal tubuhnya sudah bermandikan keringat, sementara keringat di tubuhku sendiri lebih basah lagi.

sampai pada suatu saat terdengar lagi bisikan terengah Umi, “Dooon.. aaaa… aaaaah… ini mau lepas lagi Dooon…”

Lalu Umi berkelojotan sambil mencengkram sepasang bahuku. Pada saati itulah kuayun penisku segencar mungkin. Karena aku pun sudah berada di titik krusial. Titik menjelang tibanya puncak kenikmatanku.

Lalu… ketika sekujur tubuh Umi mengejang tegang, sementara liang memeknya terasa bergerak - gerak erotis, pada saat itu pula kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin.

Lalu… berlompatanlah air mani dari moncong penisku.

Croooottttt… crot… crottt… croooottttttt… cret… crooootttttttt…!

Lalu aku pun terkulai di atas perut Umi. Sementara wanita setengah baya yang jelita itu pun terkapar lemas dengan kedua tangan direntangkan lebar - lebar.

Aku pun merebahkan diri di sampingnya. Sambil mempermainkan toketnya yang masih berbentuk indah itu.

“Ya udah… kembali ke kamar Lita gih. Takut dia bangun, nanti nyari - nyari,” kata Umi Faizah.

“Mau tidur sama Umi ah,” sahutku, “mau melukin Umi sepanjang malam.”

“Iiiih jangan, Sayang. Nanti Lita bisa ngamuk. Cepetan balik ke kamar Lita gih.”

“Nggak mau. Kan aku ke sini juga atas permintaan Lita.”

“Permintaan Lita gimana?”

Sebagai jawaban, kuceritakan semua yang telah dibicarakan oleh Adelita tadi. Bahwa Adelita merasa kasihan karena uminya tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun setelah suaminya meninggal. Bahwa Adelita telah merasakan betapa uminya sudah banyak berkorban untuknya, tapi Adelita belum pernah berkorban apa pun untuk uminya.

“Iiii… ini serius Don?” tanya Umi Faizah sambil duduk bersila di atas kasur.

“Serius Umi,” sahutku, “Kalau Umi gak percaya, tanyakan aja sendiri ke Lita sana.”

“Nggak ah. Malu…”

“Kenapa harus malu? Persetubuhan kita yang pertama tadi, Lita memang tidak tahu. tapi yang kedua barusan, memang atas permintaan Adelita yang ingin membahagiakan Umi.”

“Tapi rencana kalian untuk menikah tetap jalan kan?”

“Tetap jalan lah. Aku gak bentrok kok sama Lita. Aku malah seneng membayangkan kalau sudah kawin sama Lita… istriku seolah dua orang. Lita dan Umi. ‘

“Iya Don… terus terang aja, hati umi ini sudah Donny miliki, sejak di dalam mobil donny tadi. jadi mulai sekarang, kapan pun Donny menginginkan umi, akan umi ladeni. Demi Donny tercinta…” ucap Umi Faizah yang dilanjutkan dengan kecup mesranya di bibirku.

Lalu… kami tertidur sambil berpelukan. Dalam keadaan sama - sama telanjang bulat, tapi ditutupi oleh selimut tebal.

Esoknya, ketika hari masih gelap menjelang subuh, aku merasa ada yang membuat kepala penisku geli - geli tapi enak. Ketika kubuka mataku, ternyata Umi Faizah yang tengah mengoral penisku. Spontan alat kejantananku ini bangkit sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ngaceng berat…!

Rupanya Umi ingin memanfaatkan sisa waktu sebelum matahari menampakkan diri, dengan main di atas (WOT), yang kuladeni aja dengan sepenuh gairahku yang spontan bangkit ini.

Namun hanya belasan menit Umi main di atas, lalu ambruk di atas perutku. Dia sudah orgasme lagi…!

Lalu kami lanjutkan dalam posisi missionary yang suka disebut juga sebagai posisi konservatif alias MOT (man on top).

Nikmat juga mengentot Umi di hari menjelang subuh ini.

Bahkan ketika entotanku diperlambat, karena ingin mencium bibir sensual Umi Faizah, aku membisiki telinganya, “Umi… persetubuhan dengan Umi ini luar biasa enaknya. Fantastis dan sensasional.”

“Sama Don. Umi juga merasakan begitu. Bahkan waktu ayah Lita masih ada, umi belum pernah merasakan disetubuhi senikmat ini. Donny tau apa sebabnya? Karena umi melakukannya dengan cinta di hati umi.” Ucapan itu Umi lanjutkan dengan kecupan hangatnya di bibirku dan di sepasang pipiku.

Lalu ia menggoyangkan bokong gedenya kembali, sementara aku pun mulai menggencarkan kembali entotanku di hari menjelang subuh ini.

Sampai fajar menyingsing, bahkan sampai mentari muncul di ufuk timur, kami belum selesai melakukan hubungan sex yang sangat nikmat ini.

Sampai akhirnya… ketika Umi berkelojotan lagi untuk yang kesekian kalinya, aku pun menancapkan batang kemaluanku di dalam liang surgawi Umi Faizah.

Lalu terasa liang memek Umi berkejut - kejut kencang, sementara moncong penisku pun sedang menembak - nembakkan pejuhnya.

Crooottttt… crotttt… crooootttttt… crooot… croooottt… crooootttttt…!

Lalu kami terkapar sambil berciuman… dan akhirnya terkulai lemas, namun ciuman kami belum dilepaskan…!

Ketika aku masih berbaring di ranjang besi itu, sementara Umi sedang bersih - bersih di kamar mandi, terdengar pintu diketuk dari luar. Dalam keadaan telanjang aku melangkah ke pintu dan membukanya.

Yang mengetuk itu tak lain dari Adelita. “Bagaimana? Sukses?” tanyanya sambil memperhatikanku yang masih telanjang bulat.

Aku mengangguk sambil mengacungkan jempolku.

Adelita memelukku sambil berbisik, “Terima kasih ya Bang. Semoga semangat dan gairah Umi timbul kembali.”

Tak lama kemudian Umi muncul dari kamar mandi, dalam keadaan cuma dibelit handuk dari toket sampai ke pahanya.

Adelita menghambur ke dalam pelukan Umi. Lalu menciumi pipi sepasang pipi Umi. Lalu berkata, “Aku bahagia karena Umi telah bersedia meladeni pangeranku tercinta.”

“Iya,” sahut Umi salah tingkah, “Maafkan umi ya Lit. Umi memang sudah terlalu lama tidak merasakan sentuhan lelaki. Jadi… semuanya terjadilah…”

“Gak perlu minta maaf Umi. Kan aku yang meminta Bang Donny untuk melakukannya, sekaligus untuk membangkitkan semangat hidup Umi.”

Umi Faizah menciumi pipi Adelita sambil berkata, “Umi makin sayang padamju, Lit.”

Aku cuma bisa tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Lalu berkata kepada Adelita, “Cepat mandi gih. Aku akan membawamu ke kotaku. Umi juga harus ikut.”

“Siap Bang,” sahut Adelita sambil bersikap tegak, seperti sikap bawahan kepada komandannya.

Beberapa saat kemudian, setelah sarapan pagi dengan nasi goreng buatan Adelita, aku membawa ibu dan anaknya itu di dalam mobilku menuju kotaku.

Aku memang punya peninggalan Papa di kotaku, berupa dua rumah besar. Yang satu akan kujadikan tempat tinggal Adelita dan Umi (kalau beliau bersedia). Sedangkan yang satu lagi terlalu besar untuk rumah tinggal, karena tadinya pun dipakai untuk kantor Papa almarhum. Jadi bangunan itu pun kurenovasi sedemikian rupa, sehingga cocok untuk dijadikan kantor perusahaanku kelak.

Setibanya di kotaku, Umi dan Adelita kubawa ke rumah megah yang akan dijadikan tempatg tinggalku bersama mereka kelak (kalau aku sudah menikah dengan Adelita).

Rumah itu sudah lengkap dengan perabotannya yang serba mewah. Sehingga aku tak perlu menambahkan apa - apa lagi.

“Nah di sinilah kamu akan kutempatkan nanti setelah menikah,” kataku sambil menepuk bahu Adelita.

“Luar biasa… besar dan megah sekali rumah ini Bang,” sahut Adelita sambil memegang lenganku.

“Senang dengan rumah ini?” tanyaku.

“Tentu aja senang Bang. Bermimpi pun tidak pernah kalau Abang akan menempatkanku di rumah semegah dan se, eah ini. Perabotannya pun kelihatan serba impor ya Bang.”

“Iya, “aku mengangguk. Lalu menoleh ke arah Umi, “Bagaimana? Umi juga mau tinggal di rumah ini kan?”

“Tentu aja mau Don. Ini sih seperti rumah pejabat tinggi saking megah dan besarnya. Mmm… orang tua Donny tinggal di kota ini juga kan?”

“Iya.”

‘Tapi sekarang Donny masih tinggal bersama orang tua kan?”

“Betul Umi. Tinggal Bunda yang masih ada. Kalau ayah sudah meninggal. Nanti setelah melihat kantor perusahaan yang sebulan lagi akan dibuka, Umi dan Lita akan kubawa ke rumah ibuku. Supaya Bunda kenal dengan calon mantu dan besannya.”

“Mudah - mudahan aja ibu Donny setuju untuk menjadikan adelita sebagai calon menantunya ya.”

Setelah mereka puas melihat - lihat rumah itu, baik yang di lantai dasar mau pun di lantai dua, aku membawa mereka ke bangunan yang belum selesai direnovasinya. Bangunan yang kelak akan dijadikan kantor perusahaanku.

“Umi sih kalau disuruh pindah sekarang juga ke rumah itu, mau Don,” kata Umi dalam perjalanan dari rumah menuju calon kantorku itu.

“Nanti kalau Lita sudah ke Singapore lagi, Umi bisa tinggal di rumah itu,” sahutku.

Adelita menoleh ke belakang sambil berkata, “Biar Umi bisa berbulan madu sama Bang Donny. Hihihihiii…”

“Tapi Lita ghak keberatan kan kalau Umi tinggal di rumah itu setelah Lita ke Singapore lagi.”

“Sangat boleh. Biar Umi belajar jadi mertua orang tajir,” sahut Adelita, “Lagian aku merasa kasihan kalau Umi di kampung terus.”

“Lalu kapan kamu mau pulang ke Singapore?” tanyaku.

“Lho… kan Bu Yeyen bilang Bang Donny yang menentukan kapan aku harus kembali ke Singapore.”

“Aku sih inginnya kamu bersih dulu… biar aku bisa merasakan sesuatu darimu.”

“Iya Bang. Baru keluar kemaren… biasanya sih antara sepuluh harian aku mens.”

“Ya udah. Berarti kamu boleh kembali ke Singapore duapuluh hari lagi. Oke?”

“Siap Bang.”

Tak lama kemudian kami tiba di bangunan tiga lantai yang akan kujadikan kantor perusahaanku itu. “Nah… itu kantormu nanti, kalau akte pendirian perusahaannya sudah terbit. Aku sebagai owner hanya akan menjadi komisaris. Sementara kedudukan direktur akan kuserahkan padamu Lit.”

Adelita tersentak kaget. “Aku mau dijadikan direktur?”

“Iya, “aku mengangguk, “Emangnya kenapa? Nggak mau?”

“Bukan nggak mau. Tapi kira - kira aku mampu nggak ya jadi direktur perusahaan gede gitu. Kan baru lihat bangunan untuk kantornya pun sudah kebayang bakal gedenya perusahaan Abang itu.”

“Kan aku yang bakal ngatur semuanya nanti. Walau pun kedudukanku sebagai komisaris, dalam prakteknya aku yang akan membimbing dan mendampingi kamu nati Sayang. Pokoknya nanti di Singapore beli buku - buku tentang managemen dan leadership sebanyak mungkin. Lalu pelajari buku - buku itu sampai benar - benar menguasainya.

“Iya Bang. Tapi bimbing aku nanti sampai mampu menguasainya ya.”

“Iya. Aku juga mau kuliah lagi di sini. Karena bisa malu kalau anak buahku banyak yang sudah sarjana, sementara aku belum jadi sarjana.”

Ketika mobilku sudah meninggalkan bangunan untuk kantor perusahaanku itu, tiba - tiba handphoneku berdering. Kulihat siapa yang call, ternyata dari Bunda.

“Hallo Bunda Sayang…”

“Kamu di mana Don? Kok tadi malam gak pulang. Bikin bunda cemas dan gelisah.”

“Ini Bunda… aku nginap di rumah calon istriku. Sekarang juga mau dibawa ke rumah, agar Bunda bisa berkenalan sama calon istri dan calon besan Bunda. Siapin makanan yang enak - enak ya Bun.”

“Ntar… ntar… calon istri? Kok…”

“Nanti aja jelasinnya di rumah ya Bun. Soalnya aku lagi nyetir nih.”

“Iya, iyaaa…”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku melarikan mobilku dalam kecepatan tinggi. karena tak sabar, ingin segera mempertemukan Adelita dan Umi kepada Bunda.

Mudah -mudahan saja Bunda tidak merintangi niat baikku. Karena sebagai manusia normal, aku harus punya istri. sedangkan perempuan - perempuan yang hadir dalam kehidupanku, hampir semuanya takkan bisa kunikahi secara sah.

Setelah tiba di depan rumah baru kami yang dibeli dari Pak Wondo itu, Umi dan Adelita pun turun dari mobilku. Lalu mereka mengikuti langkahku menuju ke dalam rumahku.

“Bundaaaaaaa… ini kami dataaaang… “seruku setelah berada di dalam rumah.

Bunda pun muncul dan memperhatikan Adelita yang sedang mencium tangan Bunda. “Ini calon istrimu Don? Cantik sekali,” kata Bunda sambil mengelus rambut Adelita.

Tapi ketika bertemu pandang dengan Umi, Bunda terbelalak. Umi pun terbelalak.

“Faizah …?!” seru Bunda.

“Teh Ami?!” seru Umi Faizah sambil menghambur ke dalam pelukan Bunda. Lalu mereka sama - sama menangis.

Aku dan Adelita saling pandang. Dan sama - sama tidak mengerti. Kenapa Bunda bisa tahu nama Umi dan kenapa Umi bisa tahu nama Bunda?!

Setelah Bunda dan Umi Faizah duduk berdampingan sambil menyeka air mata mereka, aku bertanya, “Bunda… ini bagaimamna ceritanya? Kok Bunda bisa kenal dengan Umi Faizah?”

“Donny… suami Faizah ini adalah adik kandung ayahmu,” sahut Bunda. Lalu Bunda menoleh ke arah Umi Faizah, “Gadis cantik itu anak dari Zulkifli?”

“Iya Teh. Saya kawin kan cuma satu kali. Sejak Kang Zul meninggal sampai sekarang, saya tidak kawin lagi.”

“Nah Donny… dengar baik - baik,” kata Bunda, “Cewek itu anak pamanmu almarhum. Namanya Zulkifli. Dan Zulkifli itu adik kandung ayahmu… satu -satunya adik lelaki almarhum ayahmu. Jadi cewek itu… eh siama namamu Nak?” tanya Bunda kepada Adelita.

“Nama saya Adelita. Panggil Lita aja Tante.”

“Lita… mmm… panggil uwa aja ya, jangan pake tante - tantean.”

“Iya… hehehee…”

“Jadi…” kata Bunda lagi, “Donny dan Lita ini saudara sepupu. Lita harus manggil Kang sama Donny, karena ayah Donny ini abang kandung ayah Lita.”

“Iya Wa,” sahut Adelita.

“Tapi aku boleh kan menikah dengan Adelita? Maksudku apakah menikah dengan saudara sepupu itu tidak dilarang oleh agama kita?”

“Boleh, boleh, “Bunda mengangguk - angguk. Membuat dadaku plong kembali.

Tapi… diam -diam ada chat dari Imey. Isinya, “Don… kapan kita ketemuan?”

Spontan kujawab*, “Sebentar ya. Aku lagi meeting. “*

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu