2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

Sampai sekarang, Budhe Anah adalah wanita favorit pasangat ngentot Budi.

Bukannya gimana, tapi karena memek Budhe Anah memang paling tembam dan kedut2annya paling heboh.

Tapi meskipun begitu, memek Bu Siska pasti jadi vagina utama bagi Budi, karena selain sebagai pemilik sah kontol Budi setelah Rani, Bu Siska adalah calon ibu anak pertama Budi kan? Hehehe…

Selamat mengkhayalkin memek dan susu STW

Uai sarapan (sambil ciuman dan pegang-pegang susu Budhe), aku berolah raga, berlari santai mengikuti jogging track sekeliling bagunan utama rumah besar itu, 5 kali saja. Setelah sejenak mengeringkan keringat, kuceburkan diri dan berenang mengitari kolam sampai empat kali. Badanku terasa bugar lagi…

Budhe tampak masih membersihkan bagian dalam rumah, kamarku, kamar ibu, kamar tamu dan dua kamar lainnya yang merupakan kamar Rani istriku dan mbak Rina kakak iparku. Meski anak-anak kandung ibu itu tidak tinggal disini, keadaan kamarnya tetap bersih dan dibiarkan rapi seperti sediakala saat mereka masih menempati.

Untuk pekerjaan seberat ini, Budhe dibantu oleh Bi Siti, Mbak Nur dan si Sur yang setahun lebih muda dariku. Bi Siti adalah istri mang Darja, sopir ibu, mbak Nur istri Kang Asep yang juga sopir mobil ibu yang lain, sementara si Sur adalah anak Bi Siti dan Mang Darja yang sejak lahir tinggal bersama keluarga ini.

Pengurus kebun bunga alias gardener ada dua, Bi Munah dan Kang Hasan, suami istri yang sudah lama juga bekerja untuk keluarga ibuku. Satu lagi pekerja rumah tangga ibu adalah Pak Yo, pria tertua yang dibawa dari Indonesia Timur oleh Om Jim dulu, ia menjabat sebagai pengawal alias bodyguard kalau ibu bepergian kemana-mana di Jakarta.

Entah karena Budhe adalah wanita terbaru yang rutin kusetubuhi, ataukah karena tubuhnya memang punya ‘kelezatan’ tersendiri, aku jadi benar-benar menikmati setiap momen kami berduaan di rumah. Ijin dan restu dari ibu menjadi motifasi utama bagiku untuk mengeksploitasi seluruh potensi kenikmatan seks dari tubuh Budhe, perempuan paruhbaya yang meski telah berumur 50-an tahun tapi masih menyimpan terlalu banyak pesona birahi.

Siangnya saat aku tengah asik membaca buku-buku mata kuliah di ruang perpustakaan rumah, Budhe masuk membawa sepiring penganan berupa kue-kue tradisional yang ia buat tadi pagi.

“Aden pasti belum lapar, tapi gak baik membiarkan perut kosong di waktu makan siang den, bisa kena maag nanti di hari tua…” ujarnya, sepoci teh hijau ditemani piring berisi kue itu ia letakkan di meja depanku.

“Kerjaan Budhe dah kelar semua den, aden gak mita apa-apa lagi?” lanjutnya, lalu menarik sebuah korsi mendekat ke tempatku, kami jadi seperti berhimpit, duduk berdampingan. Kedua tangannya ia letakkan di menjulur bebas di meja baca. Wajahnya tersenyum manis padaku…

Kubalas senyumannya dengan sebuah kecupan mesra di bibir Budhe… Tanganku merangkul bahunya, menarik tubuh Budhe jadi makin menempel di badanku.

“Hmmm, iya sayang… Budhe gak cape? Dari subuh tadi kulihat gak pernah istirahat, mau aku pijitin badannya Budhe?” aku balik bertanya begitu karena kupikir Budhe lah yang perlu melepas kepenatan akibat pekerjaan dan persetubuhan denganku hampir 2 jam pagi tadi!

“Ah, aden… Budhe sudah biasa kerja begini, tiap hari, dari kecil… ,” tangan Budhe balas merangkul di leherku, wajah kami jadi semakin dekat. Sesaat kemudian kami terlibat adu bibir, kulumat dengan lembut, lidahnya menjelajah rongga mulutku. Sebentar saja kami berciuman, lalu ia melepaskan pelukan setelah kurasa cukup untuk sekedar bermesra ria mencairkan suasana.

“Budhe cantik sekali…” gumamku pelan sambil membelai permukaan buah dadanya yang kini berlapis baju kebaya hijau seperti biasa.

“Aden juga ganteng, cakep, imut…”

“Aku sayang Budhe…”

“Budhe juga jatuh cinta sama aden…”

Kembali kami berciuman, tanganku kini malah menyusup kebalik kebaya dan BH nya.

“Aku mau jadi suami Budhe…”

“Sekarang kan sudah den… namanya suami itu kan satu-satunya yang boleh nidurin istrinya, nah Budhe ini sekarang sudah jadi istri aden…”

“Hmmm iya juga sih, tapi aku mau lebih dari itu… aku mau hamili Budhe…” jemariku memilin puting susunya…

“Sssssshhhhh… deeennn… geliii…” desahnya, tangan Budhe menghentikan aksi pelintir puting susu itu, digenggamnya tanganku dari luar kebayanya.

“Umur segini bahaya kalau melahirkan, sudah gak boleh lagi den…” lanjutnya menjelaskan.

“Kenapa gak boleh budhe? Bahaya apa?” aku tak mengerti maksudnya.

“Budhe orang bodoh den, sekolah cuma sampe SD, tapi kata bidan desa tempat Budhe melahirkan dulu, perempuan sudah umur 50 tahun gak baik kalau hamil… gampang keguguran…”

“Apa itu keguguran Budhe?”

Dasar aku bodoh juga, umur 18 tahun tapi belum tahu apa itu keguguran.

“Itu lho den, bayinya meninggal dalam perut…”

“Ooohhh… begitu ya Budhe…”

Ah, mungkin itu yang dimaksud salah satu temanku dulu waktu bikin geger gara-gara menggugurkan kandungan pacarnya yang hamil! Aku ingat sekarang!

“Perempuan itu serba susah den, enak jadi laki-laki…”

“Susahnya apa Budhe?”

“Yaah, kayak budhe ini, ditinggal mati bapaknya anak-anak, Budhe harus pontang panting cari rejeki untuk biaya sekolah anak-anak Budhe…” wajah Budhe menunduk, tatapannya seperti menerawang, aku jadi ingin mendengar kisah hidupnya. Maka kekecup pipi Budhe sambil membelai rambutnya.

“Budhe ini yatim piatu sejak umur 2 tahun den, diasuh sama bibinya Budhe di kampung, dia hanya seorang buruh miskin juga, cuma bisa sekolahin Budhe sampai kelas 4 SD, sudah itu Budhe harus bantu kerja di kebun metik cengkeh… ,” ia melanjutkan cerita hidupnya, aku mendengar dengan serius sambil terus memeluk tubuh Budhe.

Rasa sayangku jadi bertambah pada perempuan paruhbaya ini, karena merasa masa laluku tak jauh beda dengannya.

“Terusin ceritanya Budhe, aku pengen denger semua kisah hidup Budhe,” kueratkan pelukan kami, Budhe tersenyum lalu mencium lagi pipiku, wangi nafasnya terhirup saat hidung kami bertemu.

“Oh… Budhe sayang…” aku bergumam pelan saat telapaknya meremas mesra tanganku.

“Aden gak bosen denger cerita Budhe?”

“Gak Budhe, aku justru senang…”

Budhe membelai rambutku, mengecup dahiku dan melanjutkan kisahnya…

“Umur 18 tahun Budhe nikah dengan bapaknya anak-anak, dia berasal dari desa lain, jauh dari kampung Budhe. Orangnya berpendidikan den, makanya Alhamdulillah sejak nikah Budhe gak lagi jadi buruh petik di kebun orang…”

“Alhamdulillah syukur ya Budhe…” kataku memotong… Budhe menuangkan teh ke cangkir dan menyodorkan padaku, kuminum sedikit lalu balas menyodorkan balik padanya.

“Minum sama-sama Budhe, dari cangkir yang sama, Budhe kan istriku…”

Ia tersenyum manis sekali, dan kami menyeruput teh hangat itu dari satu cangkir secara bersamaan, mesra sekali…

Tak berapa lama kemudian, Budhe melanjutkan cerita itu, tubuh kami makin rapat menempel… telapak tanganku masih ‘parkir’ di permukaan buah dadanya.

“Suami Budhe sebenarnya gak kaya, Waktu itu Budhe punya usaha bikin batako, lebih dari cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari bahkan menabung untuk sekolahin anak-anak… kelak setelah mereka besar,” ia berhenti sejenak untuk minum teh, aku yang menyodorkan, ah makin mesra aja, berasa sedang melayani istriku…

Hehehe, padahal dengan Rani atau ibu aku jarang banget begini. Apalagi dengan Bu Hesti, boro-boro, paling langsung main sosor dan buru-buru ngentooottt!!! Wakakakak

“Terusin Budhe…” pintaku setelah dua kali ia menyeruput minuman hangat itu.

“Dari usaha suami Budhe yang punya pabrik batako kecil-kecilan, kami bisa beli rumah, juga kebun sendiri. Tambah bahagia karena tiap tahun Budhe hamil… sampai tahun kelima aja, anak Budhe jadi lima juga…” kulihat Budhe tersenyum malu saat aku mendelik mendengar ia bilang “tiap tahun hamil!”

Uh, terbayang secantik apa Budhe diusia mudanya sampai suaminya mungkin tak bosan-bosan meniduri istri moleknya ini! Tapi aku tak mau menyela cerita Budhe, aku diam saja, jadi pendengar yang baik agar Budhe merasa plong menuangkan kisah hidupnya.

“Karena punya anak kecil yang masih bayi dan balita, Budhe jadi gak sempat ikut bantuin suami kerja di pabrik den, akibatnya Buhde gak ngerti gimana cara bisnis, Budhe hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya sekedar ngurusin anak dan bersih-bersih rumah…”

Kubelai pipinya yang halus mulus, belum ada kerutan tanda penuaan di wajah Budhe meski umurnya setengah abad lebih… tak ada juga bekas kosmetik sedikitpun di wajahnya, Budhe tak pernah pakai make up apapun, hanya pernah kulihat Budhe melumuri wajahnya dengan ramuan tradisional semacam bedak cair buatan sendiri dari bahan herbal yang ia dapatkan dari kebun di rumah.

“Lima tahun sejak pernikahan itulah Budhe merasakan bahagia, den…” berhenti lagi untuk menuangkan teh ke ‘cangkir cinta’ kami.

“Musibah datang waktu anak bungsu Budhe baru berumur 8 bulan… mobil angkutan batako yang dibawa suami Budhe kecelakaan masuk jurang…” terhenti lagi, nafasnya seperti tercekat sedetik…

Budhe menghela nafas panjang, aku meremas telapak tangannya, coba memberi ‘dukungan moral’ dan simpati pada perempuan yang kusayangi ini.

“Astaga… Budhe…” ungkapku terkejut. Tanganku meremas telapaknya yang bergetar halus. Kubelai kepala Budhe, mataku menatapi wajah manisnya, ia tertunduk lesu, kesedihannya menguat…

“Budhe kehilangan sekali waktu itu den, dia luka parah dan meninggal di perjalanan ke rumah sakit… Budhe stress berat setelah itu, Budhe mikirin gimana membesarkan anak-anak yang masih kecil ini sendirian…” ia meneteskan air mata… aku menyandarkan kepalanya di bahuku. Kuambil Tissue untuk mengusap pipinya yang mulai basah.

“Sejak itu Budhe kerja keras jalanin usaha peninggalan almarhum, walaupun Budhe gak punya pengalaman samasekali, apalagi pendidikan…” diam lagi, ia mengambil nafas panjang, kusodorkan teh… Budhe meminumnya.

“Mau gimana lagi den, Budhe cuma perempuan bodoh, gak pernah sekolah tinggi, pengalaman gak ada, habislah usaha batako itu bangkrut, Budhe jual semua harta peninggalan bapak untuk sekedar membesarkan anak-anak… itupun hanya cukup sampai si sulung dan yang nomor dua tamat SMP aja… buat ngelanjutin sekolah mereka semua, Budhe hutang sana-sini…

“Sudah, Budhe… jangan sedih… semuanya sudah berlalu, dan sekarang Budhe punya aku, punya ibu, Bu Hesti dan orang-orang baik yang sayang sama Budhe… ,” kucoba menenangkan perasaannya, tak kuminta ia melanjutkan. Kualihkan perhatian Budhe dari kesedihan itu dengan cara mencium bibirnya… awalnya ia tak bereaksi, tapi ketika tangannya kuremas lembut, Budhe balas melumat mesra, meski matanya masih memancarkan kesedihan.

“Makasih den…” ujarnya pelan di dekat telingaku lalu justru melanjutkan penuturan yang sempat terpotong, aku merasa gagal mengalihkan perhatiannya. Padahal sudah kutebak, cerita ini pasti akan mengungkap sisi terburuk dari lembaran sejarah hidup Budhe. Benar saja…

“Yang paling menyakitkan den… Budhe kena tipu orang sampai gak mampu bayar meski semua harta sudah Budhe jual, sampai deennn… sampai…” ia ragu melanjutkan, wajahnya berubah pucat… bibirnya bergetar…

“Sampai apa Budhe?” kejarku penasaran…

“Sampai Budhe… Budhe… jual diri deeeeennnnn… Huuuuuuuu… Budhe dosa besar deeennnnn… Budhe dijadiin pelacur sama orang-orang itu deeeen… huuuuu… huuuhuuuu… Budhe perempuan kotooorr deeennn… ,” tangis Budhe meledak seketika, aku makin terkejut, dengan reflek kupeluk Budhe erat dan mencium rambutnya yang digelung keatas.

Bisa kurasakan hancurnya hati Budhe dan anak-anaknya waktu itu… Kuberi ia kesempatan untuk menumpahkan segala kesedihannya padaku, kubayangkan ia adalah ibuku sendiri, dan akupun ikut bersedih, air mataku ikut menetes… Maka ketika ia akan melanjutkan cerita ‘horor’ itu, tanganku membekap mulutnya…

“Budhe sayang, maafkan aku, Budi gak mau dengar lagi cerita itu… semua bukan salah Budhe… mau gimanapun hitam hidup Budhe aku tetap cinta sama Budhe…” hanya itu kalimat yang bisa keluar dari mulutku, memberinya simpati.

Tubuh kami makin rapat, Budhe mengetatkan pelukannya, seakan tak mau lepas. Begitu juga denganku, rasanya tak ingin kulepaskan Budhe yang makin kusayangi ini.

“Budhe… kalau saja waktu itu terjadi aku sudah dewasa dan mengetahuinya, pastilah aku akan menolong Budhe, mengangkat Budhe dari ‘kubangan’ dunia kotor dan jahat itu, dan menjadikan Budhe istriku!” ucapku spontan sambil membelai punggung Budhe yang mulai mereda tangisnya.

Mendengar kata-kataku yang terakhir, Budhe mengangkat wajah yang tadi tertunduk di dadaku, ia mendongak lalu menatap dengan pandangan sayu…

“Deeen… seandainya umur Budhe belum setua ini, Budhe juga pasti akan tergila-gila sama den Budi, aden laki terbaik yang pernah Budhe kenal… Budhe juga jatuh cinta sama aden…” ujarnya pelan, matanya yang sayu makin dalam menatapku, kami saling pandang penuh misteri. Ada gemuruh di hatiku…

Aku menundukkan wajah, bibir kami kembali bertemu, kali ini dengan perasaan penuh rindu. Budhe melumat bibirku kuat, aku balas mempererat pelukan, buah dada besar itu tergencet badan kami. Cukup lama aku dan Budhe saling pagut, dengan perasaan penuh kasih…

Beberapa menit kemudian, setelah pelukan kami melonggar dan pertautan bibir kami terlepas, nafas Budhe agak tenang, air matanya pun sudah berhenti menetes. Menyisakan mata yang sembab, Budhe tampak semakin cantik saja…

“Ndoro nyonya yang selametin Budhe dari kehidupan kotor itu, den… Gak ngerti gimana ndoro tahu dimana Budhe waktu itu. Beliau datang dengan polisi, Budhe dibawa ke rumahnya, waktu itu masih di Kalimantan… Makanya Budhe berhutang banyak sama ndoro nyonya, rasanya gak akan pernah bisa balas hutang kebaikan ndoro sama Budhe…

“Ssssttt… kami semua sayang sama Budhe… ibu sudah anggap Budhe kakak kandungnya…” sambil mencium bagian belakang leher Budhe aku bicara lagi, pelan. Masih mencoba mengalihkan pikiran Budhe dari kisah sedih masa lalu itu.

“Budhe sekarang sudah jadi istriku…” lagi-lagi kujulurkan lidah dan menjilat kulit persis dibelakang telinga Budhe, ia mendesis…

“Istriku yang manis…” kataku sambil meremas buah dadanya yang kini terpegang tanganku.

“Iiihhh adeeeeennnn… Gelliiiihhh… Budhe lagi sedih kok digodaiiiinnnn,” rengeknya manja…

Tapi tangan Budhe malah ia julurkan ke selangkanganku… ups… kontolku belum bangun benar…

“Dan seksyeeiihhhhh…” kupelintir puting susunya.

“Aaaaahhhh aden… nakkaaaalllll,” dicubitnya kemaluanku, hohoho si perkasa langsung bangun!

“Dan susunya gedeeeeeee…”

“Haaaaaahhhh ddeeennnnnn,” menjerit Budhe sekarang, digenggamnya kepala penisku…

Ini tanda Budhe mulai horny… maka tangan kiriku meluncur juga kebawah, aku sedikit menunduk untuk menjangkau ujung kain batik panjang yang ia kenakan. Kuangkat pelan keatas, Budhe bangkit berdiri sejenak agar kain itu bisa tersingkap melewati bokongnya yang besar. Rupanya aku sudah berhasil ‘mengusir’ bayangan kelam yang membuatnya sedih tadi.

“Juga bermemek nikmat…” terus kubisiki telinganya dengan kata-kata seronok yang membuatnya makin ‘terbakar’.

“Adduh deeennnn… Budhe bisa gak tahan kalau diginiin… aden sayaang ooouuhhhhhh,” agak keras ia mendesah saat jari telunjukku menekan-nekan clitorisnya, celana dalam itu makin basah…

“Deeeeeeennnn…” panggilnya serak…

“Iya sayaaaang?” aku jawab dengan mesra…

“Ayo cumbuin Budhe di kamar…” ia berkata sambil menatap, kelopak matanya nyaris tertutup…

“Iya Budhe… mau di kamarku? Atau di kamar ibu?”

“Di kamar tamu aja ya deeen… Budhe pengen sekali-sekali main disitu… boleh?,” suaranya masih terdengar berat, Budhe rupanya sudah benar-benar dikuasai nafsu.

“Baik sayangku…” ujarku kemudian bangkit berdiri, diikuti Budhe, dengan lembut kurangkul bahunya dan menuntun perempuan itu berjalan kearah kamar tamu.

Ada dua kamar untuk tamu di rumah ini, satu di dekat perpustakaan pribadi tempat dimana kami sekarang, satu lagi di samping ruang tengah. Yang dekat ini springbed nya ada 2 ukuran kecil (twin), yang disana ukuran besar (king size). Kubawa ia berjalan ke kamar tamu yang lebih jauh. Sepanjang jalan itu kami berciuman, saling memagut bibir, saling meremas.

Setiba di dekat tempat tidur kamar itu, aku tak serta merta membaringkan tubuh Budhe, melainkan dengan gerakan lambat ‘mengupas’ badan semok itu dari semua pakaian yang ia kenakan, mulai dari kain jarik, stagen, celana dalam, baju kebaya dan terakhir BH nya. Begitu juga dengan Budhe, dilukarnya semua pakaianku satu persatu.

Baru kemudian dengan pelan kubaringkan tubuh bahenolnya di tengah kasur, tak mendorong dengan tangan, tapi dengan wajahku yang mendesak bibir dan badan Budhe mundur, lalu rebah… Kulepas tautan bibir kami, mulutku turun kebawah, pelan dan lembut menangkap puting susunya, bergilir mengulum satu persatu, kiri kanan kiri kanan…

Terus ke perutnya, menggelitik pusar Budhe dengan lidah, turun lagi ke paha bagian bawah, melompati daerah segitiga kemaluan tembem itu, langsung ke lutut, kujilati naik keatas, pelan, budhe makin keras saja mendesah. Sampai di dekat vagina, lidahku pindah ke paha yang lain, mulai lagi dari atas lutut, ke bagian luar paha, keatas lagi bagian dalam, mendekati pangkal paha, desahan Budhe berubah jadi jeritan!

Kuputar-putar jilatan lidah di sekeliling garis batas memeknya, mungkin sepuluh kali putaran, sampai kulit dekat bibir vaginanya mengkilap, basah oleh air liurku, Budhe makin keras menjerit…

“Hoooohhhhhh deeeennnnnn ayyooooohhhh Budheee gak tahhaaaannnnnnnnn ayo deeennnn masukiiiiiiinnnnnnn…” jeritnya memohon dengan sangat agar segera disetubuhi…

“Baiklah Budhe sayang…” ujarku, sebenarnya aku mau jilatin semua bagian tubuhnya, dari ujung rambut sampai ujung kaki… tapi kasihan juga melihat Budhe yang mengemis memohon dengan sangat untuk disegerakan.

Kuposisikan diri diatas badan bongsornya, lalu dengan pelan penuh kelembutan kulesakkan batang penis yang telah mengeras itu masuk kedalam vaginanya…

“Budhe gak tahhaaaan deeeeennnn… maap… bisa mati kegelian Budhe kalo aden terus jilatin badan Budhe gituuuuhhhhhh ooooouuuuhhhh deen nikmatnyaaaahhhhhhhhh deeeeennnn ooouuuhhhhhh…”

Mulailah aku menggoyang dengan posisi benar-benar menindih tubuhnya, tak bertumpu pada tangan atau lututku seperti gaya senggama biasa. Untung badan Budhe besar dan tubuhku kecil, jadi ia tak terlalu merasakan berat badanku. Apalagi kemaluan besar dan panjang milikku itu memompa keluar masuk vaginanya dengan pelan dan teratur, membuat Budhe benar-benar mabuk kepayang, lupa segala-galanya.

Persetubuhanku dengan Budhe kali ini benar-benar romantis. Gara-gara cerita sedih Budhe tadi aku jadi makin dalam menyayangi perempuan paruhbaya ini. Simpatiku padanya membuat perasaanku benar-benar seperti orang yang lagi kangen, aku merasa Budhe seperti kekasih yang lama sekali terpisah dan kini bertemu dengan sejuta rasa bahagia.

Perasaan inilah yang kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan tubuh kami bercinta saat ini. Tak hanya kenikmatan seksual yang kami berdua rasakan, tapi juga kepuasan batin. Dimataku Budhe sekarang tak ubahnya seorang bidadari cantik yang sempurna luar dalam. Seluruh pesona dan sari tubuhnya ia persembahkan untukku dengan penghayatan begitu mendalam, terasa dari gemulai tubuhnya yang penuh kelembutan mengimbangi goyangan pinggulku, pelan namun bertenaga dan sangat memabukkan.

Tiga kali kami berganti gaya bercinta, kalau di awal tadi aku mulai dengan gaya konvensional dimana aku menggenjot Budhe dari atas, setelah orgasme keduanya ia minta berjongkok diatas pinggulku, dan kini Budhe minta disetubuhi dengan posisi ia berbaring menghadap samping. Nikmat sekali gaya ini, aku mengangkat kaki kanan Budhe dan menyandarkan paha dan betisnya di bahuku, dengan posisiku yang berjongkok dan tubuh Budhe yang miring kearah kiri, aku masuk dan menggoyang pelan.

“Ooooouuuhhhhhh aden sayaaaang… Budhe hampiiiirrrrrrrr Budhe hampiiiirrrr muncak lagiiiiiiiihhhh!!!”

“Yaaaaaaahhhh Budheeeee, ayooo sayangkuuuuuuu keluarin yang banyak Budheeee ooooouuuuhhhhhhhh,”

“Iyyaaahhh sayaaaang ooouuuuhhh iyaaaaahhhhh deeeeeennnnn tekkan yang kuaaatttt deeeennn oooooouuhhhhh deeen Budhe munchaaaaaaakk aaaahhhh,” Teriaknya panjang mengakhiri gaya ketiga yang kupraktekkan untuk pertama kali ini.

Kutancapkan sedalam mungkin penisku dan mendiamkannya di dalam vagina Budhe untuk beberapa saat agar ia semakin maksimal meraih orgasme! Aku masih belum merasa akan ejakulasi, namun demi melihat ekspresi kepuasan Budhe meraih orgasme barusan, aku merasa senang, kesedihan Budhe sebelum kami bersenggama tadi sudah hilang tak berbekas lagi di wajahnya.

“Budhe puas sayang???” Tanyaku setelah nafasnya mulai tenang dan aku mencabut pertautan kelamin kami.

Kubaringkan tubuh disamping Budhe yang menyambut dengan pelukan mesra, kami berciuman sesaat, mempertemukan bibir layaknya sepasang kekasih yang sedang melepas rasa rindu.

“Bangeeeettt den… aden yang belum…”

“Gakpapa Budhe, istirahat dulu, nunggu Budhe bangkit lagi…”

“Den Budi baik banget sama Budhe… ngerti kalau Budhe cape…”

“Harus itu Budhe… aku kan suami Budhe sekarang…”

“Yaoloh deeenn, bikin GR Budhe aja aden ini…” sahutnya menanggapi, dicubitnya kulit paha dekat kemaluanku.

“Budhe bisa bayangin aden pasti banyak punya pacar di kampus… pasti banyak gadis cantik yang tergila-gila sama aden…”

“Memang banyak yang mau jadi pacarku Budhe, tapi aku gak tertarik… aku suka sama wanita seumur ibu atau Budhe begini…” ujarku, kuraih buah dada Budhe, tangannya membantu menyorongkan payudara itu ke mulutku, rupanya Budhe sudah hapal kesukaanku meneteki payudara besar seperti miliknya.

“Oh iya, Budhe gak ngerti sama aden, kenapa sih sukanya sama orang sudah tua seperti Budhe gini? Bener aden gak punya pacar lain di kampus?”

“Beneran Budhe, suwwerrr! Bukan cuma karena aku sudah punya Rani, tapi memang seleraku sama ibu-ibu, perempuan dewasa seperti ibuku, tante Hesti dan juga Budhe ini…” lagi-lagi kusedot puting buah dada Budhe.

“Kok bisa gitu ya den? Aneh banget aden sukanya sama orang tua… Uuufffff… deeeennn geliiii…” Budhe melenguh.

“Aku gak ngerti juga kenapa Budhe, mungkin karena aku kurang dapat kasih sayang dari ibu kandungku sejak kecil, jadinya aku mencari figur ibu-ibu di wanita-wanita yang kukenal, kalaupun aku punya pacar yang muda pastilah karena wanita itu keibuan… ,” jelasku agak panjang lalu kembali mengulum pentil susunya.

“Hmmmm gitu ya den, Budhe jadi ngerti sekarang, ndoro nyonya juga pernah cerita ini ke Budhe… pantasan aden jadi lebih milih orang yang lebih tua… ganti yang kanan den, biar susu Budhe gak gde sebelah… hihihi…” ia berkata sambil menyorongkan puting susunya yang lain, lucu juga Budheku ini.

“Sssssshhhhhh… deeeennnnn… uuuuffffhhh…” lanjut Budhe mendesis, aku terus mengenyot, penisku mengeras lagi mendengar suara desahannya yang terdengar makin intens, ia terlihat sudah terangsang dan ingin dicumbu kembali.

“Mau lagi deeen? Ssssshhhhh… uuuuhhh…” Budhe meremas rambutku.

Aku hanya mengangguk sambil terus menikmati kedua puting payudara besar Budhe.

“Aden mau gaya apa?” Woww! Ada kemajuan juga Budheku ini, menanyakan pada lawan mainnya ‘mau pakai gaya apa’, oumaigoshhh!!! Pertanyaan yang membuat nafsu kelelakianku kembali bergolak! Segera kulepaskan pentil susu yang sudah 10 menit kukenyoti itu dan turun dari tempat tidur, kutarik lengan Budhe agar bergeser ke pinggir, kakinya ia juntaikan kebawah, pahanya mengangkang, kudorong badannya agar miring ke belakang, kedua siku Budhe menyangga tubuhnya agar tak berbaring.

“Aden suka banget gaya ini ya? Kenapa sih den?”

“Karena aku bisa goyang sambil liatin kontolku keluar masuk memek Budhe yang lezat ini!” Ujarku mantap, lalu dengan semangat kulesakkan barang besar dan panjang andalanku itu ke memek Budhe yang sudah menganga seperti tak sabar menunggu coblosan.

“Hoooooohhhhhhh Budheeeeee!!! Ennaaaaakkkkkk aaaaaggghhhhh!!!” aku langsung berteriak merasakan nikmatnya jepitan barang Budhe dengan posisi ini.

“Aaaaaaaahhhhhhhh deeeeeennnnnnnnn ennaaaknyaaaaahhhhh konthol adeeennnnnnnn oooooouuuhhhhh!!!” Nah, ini teriakan ‘ngentot’, bukan ‘bercinta’!

“Iyyaaahhhh Budhe oooouuuhhh memmek Budhe rasanyaah tambah njepiiiiittt ooooooohhhhhhhhh,” aku menggoyang lebih cepat, menekan lebih kuat dan mencoblos memeknya lebih keras.

Belum lagi sepuluh menit digoyang begitu, Budhe sudah menggapai puncak lagi. Ia menjerit panjang, mencengkeram keras tanganku yang sedang asik meremas susunya.

“Ganti gaya lagi Budhe,” aku mencabut kontol dari memeknya, dan duduk berselonjor kaki di pinggir kasur empuk itu.

Kuminta Budhe menungging membelakangi, ia cepat sekali mengerti keinginanku, bisa jadi itu adalah hasil Budhe mengintip aku ngentotin ibu dan Bu Hesti.

“Gini Den?” ia langsung ambil posisi menyorongkan bokongnya tepat di depan pangkal pahaku, mendekatkan memeknya kearah kontolku yang mengacung tegang.

“Yeeessss Budheeee ooooohhhhhhh mantaaapppp!!!” sekali dorong amblas sudah kontolku tertelan memek berbibir tembem itu.

“Hoooohhhh deeennnn ennaknyaaaaaaaahhhhhh oooouuuhhhhhh kontool aden rasanyaaa lebih bessaaaarrrrrrrrr!!!” balasnya menjerit.

Budhe sekarang yang aktif memaju mundurkan pantatnya, menghantarkan liang nikmat itu tercoblos penis besarku, sambil sesekali ikut mengangkat pinggang agar kontolku makin dalam masuk memeknya. Aku melihat dengan jelas pertautan kedua alat kelamin beda jenis itu, keluar masuk keluar lagi masuk lagi. Sungguh asik menyaksikan proses maju mundurnya penisku ke memek Budhe, benar-benar membuatku semakin semangat ikut menggenjot dengan cara mengangkat-angkat pinggangku saat pantat Budhe menjauh.

Plaaakkk! plaaaakkkkk! plaaaakkkk! Suara telapak tanganku menampar pantatnya. Ini lagi yang membuatku makin geregetan, semoknya pantat besar Budhe! Ia terus berteriak histeris meraih detik demi detik kenikmatan yang berasal dari alat kelamin kami yang sedang saling gesek itu. Sampai beberapa saat kemudian, Budhe kembali orgasme.

“Hhhoooohhhhhh adeeeennnnnn! Budhe muncaak laggiiihhh!! ooouuuuuuhhhhh deeeennnn!!!” teriaknya panjang, pantatnya ia hempaskan keras kearah pangkal pahaku.

Kuangkat pinggangku untuk semakin menancapkan kontolku saat ia orgasme, kusorongkan juga badanku kedepan dan meraih kedua buah dadanya dengan tanganku. Kuremas keras agar ia makin maksimal menikmati puncak birahi yang entah keberapa kalinya itu.

Ganti posisi lagi setelahnya, aku pindah ke sofa dan duduk disitu, kuminta Budhe menduduki pahaku yang sedikit menggelosor kearah pinggir. Sreeepppp… masuk lagi kontolku ke memeknya, kali ini kami berhadapan, posisi susunya tepat di depan wajahku, memudahkan mulutku mencaplok puting susunya. Tangan Budhe berpegangan di sandaran tempat duduk berbusa tebal dan empuk itu.

“Hadduuhhh deeeennnnnn enaknya gaya iniiiiihhhh oooouuuhhhhhh, koon thooolll aden jadiih berasa lebih masssuuuukkkkk aaahhhhhhhh,”

“Iya Budheeee ooouuuhhh ayo goyang yang keras budheee ooouuuhhh,”

Creeek creeekk crreeeekk creeekkk, bunyi gesekan alat kelamin kami yang bertaut ketat, dengan pelumas lendir kental, semakin membuat kami bersemangat. Goyangan Budhe makin cepat dan bertenaga, mulutku sampai ikut tertarik-tarik akibat goyangan susu besarnya.

Ejakulasiku rasanya sebentar lagi, Budhe terus menggoyang pantatnya turun naik, sesekali mengulek, di dalam memeknya terasa kedutan-kedutan yang ooouh nikmat betuuuuullll…

“Budheeeeeee oooouuuhhhhh akuuuu kelluaaarrrrrrrrr kelluuuaaaaarrr kelluaaarrrrrr aaaahhhhhh yeeessss yeeessss yeeesss Budheeeeee aaaaaaaaahhhhhh yeeeeeeessss oooohhhhhhh!!!” jeritku panjang.

Di waktu yang bersamaan Budhe kembali melepas, teriakannya tak kalah histeris. Dipeluknya kepalaku erat sekali sampai aku susah bernafas akibat hidung dan mulut yang terbekap buah dada besarnya. Untung cuma setengah menit saja Budhe melepas, kalau lebih dari itu aku pasti semaput!

“Ffffuuuaaaahhhh…” aku mendengus lega ketika Budhe melepaskan pelukannya, pelan sekali ia mengangkat pinggang, kontolku tercabut, belepotan pangkal pahaku oleh lendir campur sperma putih yang meluber keluar dari vaginanya, karena sebagian cairan kental itu menetes di seputar pangkal kontolku.

“Hadduhhh deeeeennnn lemas Budheeeee sayang…” ujarnya, ia menghempaskan badan ke tempat tidur, telentang disitu.

“Sini den, peluk Budhe…” dengan seyum manis ia memintaku berbaring disampingnya, aku mengerti, Budhe butuh kemesraan setelah acara berpacu dalam birahi itu…

“Budhe cantik sekali…” bisikku saat kami sudah mulai berpelukan mesra sambil berbaring melepas lelah.

“Aden juga ganteng banget… Budhe beruntung…” ia mencium pipiku.

“Aku juga beruntung dapat Budhe yang manis, badan montok, kulit mulus, memek tembem, susu besar…”

“Apalagi Budhe, untung banget dapat aden yang cakep… kontolnya panjang lagi gede… mainnya lama pulak…” lalu ia melumat bibirku

“Memek budhe lezat,” balas kusedot lidahnya

“Kontol aden bikin Budhe mabok…”

“Memek Budhe njepit sempit,”

“Kontol aden gak ada tandingannya,”

“Memek Budhe gak ada duanya…” aku meraih susunya

“Hihihi… memek Budhe kan emang satu den…” ia bangkit bangun lalu duduk melipat kaki dan menggulung rambut hitamnya keatas leher.

“Mau kemana Budhe?”

“Gak kemana kok den, Budhe cuma mau bersihin punya aden yang enak ini…” jawabnya, kupikir Budhe akan ke toilet untuk membersihkan memek, ternyata setelah menggulung rambut, Budhe meraih pangkal batang penisku dan menunduk lalu menjilat-jilat perlahan.

Benar saja ia membersihkan penis berlumuran lendir itu dengan cara menjilat dan menyedot sampai kesat semua cairan kental sisa persetubuhan yang menempel disana.

Geli-geli rasanya ketika baru saja ejakulasi langsung dibelai lidah begini…

Indahnya hari ini… bercinta dengan perempuan paruhbaya idolaku diakhiri dengan acara mesra-mesra dan Budhe membersihkan kemaluanku. Lelah di badan membuat kami kemudian tertidur dalam keadaan telanjang…

“Den, aden… bangun sayang…” samar-samar terdengar suara Budhe, kakiku terasa digoyang-goyangkan.

Perlahan-lahan mataku membuka, tampak Budhe sedang mengenakan pakaiannya satu persatu. Aku bangkit terduduk, lalu mencium bibirnya mesra.

“Jam berapa ini sayang?” ujarku.

“Sudah magrib den, Budhe mau ke belakang dulu… takut telat kelewatan waktu…” ia tak melanjutkan, aku mengerti maksud kata ‘lewat waktu…’ itu.

Mendengar perkataannya, aku jadi malu sendiri, beragama sama dengan Budhe, tapi tak pernah sekalipun shalat, sudah setahun lamanya!

Tak lama kemudian ia berlalu keluar, aku melangkah gontai masih sempoyongan ke kamar mandi. Kubuka kran untuk mengisi bathtube lalu berendam di kehangatan air bercampur busa putih yang menutupi hampir seluruh tubuhku.

Tak sampai sejam aku sudah berada di meja makan, menyantap hidangan yang tersaji disitu, disuapi oleh Budhe yang duduk berhimpitan disampingku, mirip sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Hari ini memang istimewa karena sejak pagi tadi hingga esok dini hari hanya aku dan Budhe yang ada di dalam rumah.

“Tadi Budhe tanya Mang Darja jam berapa ibu minta dijemput, kata dia jam 4 subuh, Den…” Budhe bicara setelah aku melahap suapan terakhir yang diberikannya.

“Hmm… enak dong buat kita Budhe,” ujarku

“Maksud aden?”

“Malam ini aku bisa bobo di kamar Budhe, kita bisa mesra-mesraan disitu,”

“Kamar Budhe kan kecil den, mending di kamar aden aja…”

“Gakpapa Budhe, aku ingin tahu gimana rasanya tinggal di kamar Budhe,”

“Aden ini ada-ada aja, kamar Budhe gak punya tempat tidur besar kayak kamar aden atau kamar ndoro nyonya. Nanti aden bisa jatuh waktu tidur, aden kan suka tidur guling-guling kesana kemari,” ungkapnya.

“Hehehe, Budhe tau aja, tapi aku tetap pengin tidur di kamar Budhe…”

“Kalau begitu terserah aden aja, Budhe sih senang banget kalau tidur sama aden, enak…” ia tak melanjutkan.

“Enak gimana, Budhe?”

“Ya enak den, waktu bangun bisa langsung nganu… hihihii… malu ah ngomongnya,” jawab Budhe, ia pura-pura menutup mata dengan telapak tangan.

Kucolek pantat Budhe yang sedang berdiri merapikan meja makan.

“Hehehe, kalau yang itu sih biar aku gak tidur sama Budhe tetap aja bisa, kan tiap bangunin aku pagi hari Budhe bisa minta…”

“Malu ah den, aden kan tidurnya sama ndoro nyonya terus, kalau Budhe keseringan minta diituin sama aden, Ndoro Nyonya bisa-bisa marahin Budhe…”

“Gaaaaakkk laah Budhe sayangkuuuuuuhhhhh, ibuku sudah bicara panjang lebar masalah ini, aku boleh tidur sama Budhe kapan aja aku mau, yang penting gak sampe maksain Budhe…”

“Maksa gimana den? Lha wong Budhe yang seneng kok… digituin sama aden…” kata Budhe lalu berjalan menuju dapur.

Aku mengikutinya, membantu Budhe membawa beberapa alat makan yang kotor ke tempat cucian piring. Awalnya Budhe menolak kubantu, tapi karena aku bersikeras akhirnya ia menerima juga.

“Makasih ya Den, Budhe bersukur kerja di rumah ini, ndoro nyonya dan anak-anaknya termasuk aden baik banget sama Budhe…” ungkapnya setelah cuci piring itu selesai.

Kupeluk pinggang Budhe dengan tangan kiri, lalu bak pengantin baru kami berjalan beriringan ke kamarnya di belakang.

Seperti yang tadi ia sarankan, malam ini aku harus tidur lebih awal dari biasanya. Karena paling tidak jam 4.30 besok ibu sampai di rumah. setiba di kamarnya aku langsung memeluk erat, pembicaraan mesra di meja makan dan di dapur tadi rupanya membuat gelora Budhe bangkit, demikian juga denganku. Terlihat dari reaksinya saat kami berpelukan, Budhe langsung menyambar mulutku, mengulum bibirku atas dan bawah bergiliran, lidahnya pun ia julurkan memasuki rongga mulutku, kubalas dengan menghisap.

“Lepasin baju Budhe den… ooohhhh…” nafasnya tersenggal seperti orang sesak.

Aku mengangguk, jemariku dengan cekatan segera membuka satu persatu pelapis tubuh yang ia kenakan. Kusisakan BH dan celana dalam putih Budhe tetap melekat sambil memberi kesempatan Budhe untuk juga melukar pakaianku hingga aku bugil.

Pelan sekali kubaringkan tubuh Budhe lalu merangkak mensejajarkan diri diatasnya. Mulutku menarik tali BH di kedua sisi bahunya, setelah itu lidahku mulai melipir kulit halus Budhe dari leher turun ke dada.

“Heeeeuhhhh… aden sayaaaaang…”

Tak ada se-centi meterpun kulit mulus di bagian atas dada Budhe yang kulewati, aku bahkan membuat seberkas cupang pada leher jenjangnya. Budhe sempat terkejut saat menyadari lehernya kusedot sampai merah.

“Addeeennn oooouuuhhh, Budhe malu kalau dilihat sama Ndoro Nyonya deeennnn…” rintihnya memprotes perbuatanku itu.

“Ah gakpapa Budhe… ibu sudah tahu kok hubungan kita…” jawabku terus melanjutkan penjelajahan lidah di tubuhnya, wajahku turun ke perut Budhe, kulompati dulu buah dada yang masih setengahnya tertutup BH melorot itu.

Maksudku agar Budhe makin penasaran dan nanti mengemis minta disegerakan! Rintihan Budhe terus terdengar, bercampur jeritan saat lidahku membelai-belai lekukan pusar di tengah perutnya.

“Hadduh deeeeennnn oooouuuhhhh… isepin deeennnn…” keluh budhe sembari menyodorkan payudara besarnya.

Kuabaikan permohonan itu meski tiga kali ia mengulang-ulangnya. Aku terus saja berlanjut menjilat habis permukaan perut Budhe, dan saat mendekati daerah segitiga itu aku lagi-lagi sengaja tak sama sekali menyentuh bibir vaginanya.

“Eeeeuurrrggghhhhhh… addeeeennn inniihh namanyaaah nyiksa Budhe sayaaang…” keluhnya lagi, memprotes aksiku yang tak segera menjilat memeknya seperti biasa.

Kualihkan mulutku jauh menuju kakinya, Budhe kaget, tak menyangka aku akan mengulum satu persatu jari kakinya yang putih mulus dan sangat bersih.

“Hheeuuuhhhhh apa-apaan ini deeennn oooouuhhhhh, kaki Budhe kottoor sayaaaang ooooohhhhh geliiiiiiii… adeeeen sayaaaang…” Budhe melenguh panjang, badannya menggeliat sampai melengkung keatas akibat menahan geli campur nikmat.

“Siapa bilang kaki Budhe kotor? Ini kaki bersih banget kok Budhe… nikmatin aja ya sayang…” ucapku di sela-sela mengulum jari-jari kakinya.

“Hooooohhhhh adeeennnn ampuuunnn gelliiiiii deeen… Budhe jadi gak tahhaaan… ooouuuhhhh bisa cepat muncaaak kalo aden giniin ooohhhh,”

Dari kakinya, lidahku merayap keatas, megulas-ulas permukaan betisnya yang montok, lalu pahanya, Budhe makin kelonjotan. Lompat lagi keatas, kedua tanganku menangkap buah dada yang terlalu besar untuk kugenggam itu, lidahku berkeliling memutar dari lingkar terluar buah dadanya, lingkaran itu makin lama semakin kecil dan akhirnya mendarat di puting susu Budhe.

“Aaaaaaaaaaiiiiiiiihhhhhh deeeeeeeeennnn ooooooouuuuhhhhh,”

Sebagai penggemar toked gede, tentu aku mau berlama-lama menghisap puting sambil meremas-remas gunung kembarnya, namun mendengar jeritan Budhe terus memelas memintaku segera menindihnya, aku buru-buru pindah kebawah dan menyosor memek Budhe yang omaigat sudah becek itu dengan mulutku, menyedot cairan kental yang ternyata terus meleleh dari dalam liang kewanitaannya.

“Kok sudah becek ya Budhe?” tanyaku sejenak.

“Hiiiiyyaaa den, maap, Budhe sudah 2 kali muncak waktu aden jilatin kaki sama susu Budhe barusan…” jawabnya malu.

Sebenarnya, dari sorot mata yang sayu itu kutahu Budhe ingin segera memeknya disogok-sogok, tapi demi kenikmatan maksimal yang ingin kupersembahkan pada Budhe malam ini, dan juga kelezatan cairan kelaminnya yang terus mengalir lumayan deras, aku kembali menenggelamkan wajahku diantara pangkal pahanya, dan merojok-rojokkan lidahku kedalam memeknya.

“Hoooohhhhhhh addeeeennnnnnn!!!” jerit Budhe lebih keras lagi ketika jari telunjuk dan lidahku berebut masuk ke liang nikmatnya.

“Budhe bisa muncak lagiiiiii kalo gini deeeeeeennn oooouuuuhhhhhh,”

Setelah puas ‘menghabisi’ memek Budhe dengan lidah dan jariku, barulah aku ingin memulai bagian utama dari persetubuhan ini.

Namun ketika aku baru merangkak keatas tubuhnya, Budhe berusaha bangun dan menolak.

“Nanti dulu den… Budhe sudah tiga kali muncak, aden jangan curang gitu, sekarang giliran Budhe puasin aden…”

Terkejut juga aku dengan sikapnya, karena baru kali ini sejak pertama kami bersetubuh Budhe bersikap aktif dimana ia minta diberi kesempatan untuk memuasi aku. Ini sesuatu yang baru! Dan, ini baru sesuatu!!!

Aku dimintanya berbaring telentang, lalu ia bersimpuh dengan kaki tertekuk di dekat pinggangku. Budhe menunduk, tangannya sudah memegang penisku, dikocoknya sebentar, kemudian mendaratkan lidahnya di kepala kontolku.

“Aaaahhhh Budheeeee…” aku mendesah

“Enak den?” sambil bertanya ia mengedipkan sebelah mata, ah binal juga ‘istri baruku’ yang berwajah manis ini!

“Hoooohhhhh Budheeee ennaaaakkkk jilatannyaaaaahhhhh,” giliran aku yang menjerit sekarang, saat lidah Budhe membelai-belai leher kemaluanku yang ada uratnya.

Rupanya ia mengerti benar disitulah titik ternikmat kemaluan pria, dijilatnya berulang-ulang sampai aku terus-terusan menjerit.

Banyak kemajuan juga Budheku ini, padahal baru tiga hari ia bergabung dalam ‘club ngentot’ kami. Namun kemampuannya memuaskan lawan main seakan sudah bisa disetarakan dengan ibu dan Bu Hesti. Malahan dalam hal-hal tertentu Budhe lebih piawai! Buktinya sekarang ini ia sudah lihai mengocok batang panjang penisku yang ‘tersisa di luar’ saat mulutnya mengulum.

“Suddaah Budheee, ayo naikin badanku…” ujarku tak sabar.

Kalau tadi Budhe gak tahan ingin segera ditusuk, sekarang giliran aku yang kebelet ingin segera ditunggangi. Budhe menurut, dengan masih memegang kontol besar yang barusan dihisapnya, ia berjongkok diatas pinggangku, lalu secara perlahan menurunkan pinggul, menuntun batang penis besar itu membelah vagina tembemnya.

Blesss… sempurna sudah kontolku masuk dalam memek Budhe. Ia tak buru-buru mengocok turun naik melainkan meraih dua bantal untuk mengganjal kepala dan bagian atas tubuhku, hal ini ia maksudkan agar aku tak perlu mengangkat badan keatas kalau ingin menetek susunya di posisi senggama seperti ini. Budhe lalu memegang kedua buah dada yang ia sodorkan padaku.

“Sambil isepin den…” ujarnya bersemangat.

“Iyaah Budhe…” kataku menyambut sodoran buah dadanya.

Bersamaan dengan mulutku yang kini menetek, Budhe pun mulai menggoyang pinggul, berputar pelan, maju mundur dan kiri kanan. Gerakan itu membuat kontolku berasa diperah, apalagi Budhe juga sesekali mengkedut-kedutkan otot dalam vaginanya sehingga kurasakan kepala kontolku tersedot keras! Nikmat sekali!

“Hooooohhhhh ennaaknyaaaaahhhh memek iniiiihhh Budheeeeh,”

“Hiiyyaahh deeennnn ooohhh, kontol aden juga marem bangeeeet… memek Budhe rasanya sesek deeeennn… penuuuuhhhh… oooooohhhhh…” tak bosan-bosannya ia memuji ukuran alat kelaminku, sama dengan pujian dari Bu Hesti dan ibuku.

Mengingat besok aku harus bangun agak dini hari untuk menyambut ibu, seperti juga disarankan oleh Budhe tadi, kami berusaha membuat persetubuhan malam ini menjadi lebih pendek dari biasanya.

Bagi Budhe hal ini tentu sangat mudah karena ia, seperti juga ibuku dan Bu Hesti, adalah tipe perempuan multi orgasme yang bisa meraih puncak kepuasan seks berulang-ulang dalam waktu singkat. Tapi tidak bagiku, karena sesingkat-singkatnya percintaan kali ini, aku tetap saja baru bisa berejakulasi setelah 40-an menit menggenjot tubuh Budhe, sementara ia sendiri telah berkali-kali berkontraksi di tengah aku yang terus-menerus asik melesakkan penis dalam vaginanya.

Setelah tiga kali berganti gaya, barulah aku berhasil menggapai ejakulasi dengan menyemprotkan sperma di mulut Budhe, itupun setelah ia menjepit buah zakarku diantara kedua susunya yang berukuran besar. Semburan sperma kental itu langsung ditelannya habis!

Terkejut juga Budhe saat aku meminta ia melakukan ‘tits fuck service’, rupanya ia tak pernah sama sekali melakukannya. Dengan polos ia juga mengakui kalau sejak sering mengintip aku dan ibu bersetubuh, tak pernah ia melihat aku menjepitkan kontol diantara susu ibuku lalu menyemprot sperma ke wajah atau mulut seperti yang kami perbuat tadi.

Pantas Budhe tak terlalu terkejut tiap kali kuminta ia menungging, mengangkang miring, ngentot di ayunan atau bercinta di dapur. (kalaupun kaget, diakuinya ia cuma berpura-pura… hehehe… dasar Budhe nakal!)

Ternyata sebagian besar permainan seksku dengan ibu di rumah ini ia intip!

Berbeda dengan ibuku dan Bu Hesti yang belakangan sangat doyan menyebut kata-kata jorok ketika bersenggama, tak satupun kata-kata kotor keluar dari desahan maupun jeritan Budhe. Paling hanya “kontholl”, “memek”, “ngewek” dan “entot” yang ia ucapkan. Tak ada nama binatang ataupun profesi tuna susila seperti gigolo, lonte, pecun, sundal dan sejenisnya.

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu