2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

Dua bulan sejak pertemuanku kembali dengan Hesti, ia mengundangku ke pesta ulang tahun pernikahan mereka di Bogor. Pesta kecil itu hanya dihadiri oleh beberapa kerabat saja, dari keluarga suami Hesti dan koleganya di kampus. Aku hadir dengan ‘pasangan tetapku’ sejak menjanda, Budi.

Hesti (atau suaminya) rupanya sudah menceritakan ke’janda’an ku pada kerabat dekatnya sehingga beberapa mata lelaki termasuk keluarga suami Hesti begitu bersemangat berkenalan denganku, aku GR juga. Kuyakin semua yang tadi berkenalan denganku pasti berharap dapat mengambil hati dan simpati dari aku.

Siapa sih yang tidak mau denganku? Janda dua anak dengan perusahaan multinasional yang berkembang pesat ini masih menyisakan terlalu banyak pesona yang diinginkan lelaki manapun. Tua muda remaja sampai kakek-kakek di pesta itu sering kali ‘tertangkap basah’ sedang melirik gatal kearahku. Sementara si tuan rumah justru asik dengan suamiku eh anak angkatku, mereka ngobrol tentang materi kuliah, serius sekali kedengarannya.

Hesti sudah akrab dengan Budi sejak aku saling memperkenalkan mereka dulu. Dan Hesti- yang juga dosen akuntansi Budi itu- ibarat monitor yang kupakai mengawasi Budi di kampus. Hesti hampir tiap hari melapori aku tentang perkembangannya, dari pergaulan di lingkungan kampus hingga daya tangkap Budi terhadap pelajaran yang diberikannya.

Diakhir pesta, hanya kami-aku, Budi, Hesti dan suaminya yang masih asik mengobrol santai. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Seluruh undangan dan kerabat sudah pergi dan anak-anak Hesti sudah berangkat tidur rupanya. Budi terlibat obrolan serius dengan suami Hesti, tak tahu apa yang mereka bicarakan.

Aku dengan hesti duduk di pojok halaman depan, jauh dari mereka. Kami bercanda tentang segala rahasia rumahtangga kami. Hesti yang terlebih dahulu menceritakan masalahnya, ternyata suami Hesti impoten! Aku terhenyak juga mendengarnya karena sejak melahirkan anak keempat yang sekarang sudah berumur 10 tahun, pak Hendro (suami Hesti) yang umurnya memang jauh diatas hesti itu menderita penyakit kencing manis yang cukup akut, ditambah dengan terjadinya sebuah kecelakaan lalulintas yang sialnya semakin memperparah penyakitnya sampai kemudian jadilah ia impoten.

“Hes, kenapa ketawa? Suami sakit begitu kok diketawain?” tanyaku setengah berbisik

“hihi… santai aja Sis, aku ngga terlalu mikirin itu,” jawabnya berbisik pula

“emang kamu selingkuh ya! Pasti deh! Nah lo! Ketauan, dasar liar kamu itu ngga berubah dari dulu, iya kan?” langsung main tuduh saja aku. Tapi aku kenal benar si Hesti, sejak remaja dulu, ia memang doyan gonta-ganti pacar, jadi kalau sekarang pun ia masih begitu tentu wajar saja.

“hihihi… Siska, siska, kamu kayak nggak tau aku aja sis?” yang begituan sih aku kan jagonya, hahaha,” brengsek si Hesti, tertawanya membuat Budi dan Pak Hendro sampai menoleh kepada kami.

“Hey! Ini urusan perempuan, laki-laki kagak bolehikut campur!” katanya kepada pak Hendro, ia setengah berteriak karena jarak antara tempat kami yang cukup jauh sekitar 15 meter.

“Jangan keterlaluan ah, Hes! Kan ngga enak ama suami kamu?” aku menepiskan tangan di depan wajahnya, mengingatkannya akan perasaan pak Hendro kalau tahu pembicaraan kami.

“Duu.. du.. du, putri malu, segitunya kamu ya? Itu masalahku, lha kamu sendiri apa ngga selingkuh ayooo?” sergahnya tiba-tiba saat aku hendak kembali mengingatkannya agar tak terlalu keras bicara. Aku tak enak pada pak Hendro, lelaki tua itu cukup berwibawa dan membuatku sungkan.

“ayo, kamu ngapain kalo pas lagi ngebet banget kepingin begitu? Masa sih mau swalayan terus? Beli vibrator? Nggak seru dong sis?”

“Jadi benar kamu berselingkuh? Sama siapa?” aku tak memperdulikan pertanyaan beruntunnya, malah terus mengejar jawaban dari Hesti.

“sudah kubilang, kalau aku sih gampang aja, Sis. Barang begituan banyak dimana-mana! Mau yang chinese, arab atau bahkan afrika yang hiiiihhhh!”

“Heeeesss! Jangan keterlaluan begitu ah, jadi benar kan kamu selingkuh?”

“Yaaaahhhh… apa boleh buat Sis, kamu sudah tahu suamiku tak mampu lagi,” wajahnya berubah serius sekarang.

“Trus… sama siapa?” kejarku

“Emang kamu mau? Ntar aku cariin dech…” ia mencoba mengalihkan

“Enggak, enggak, aku mau tahu siapa selingkuhanmu, pokoknya harus tahu!” ujarku pura-pura marah.

“iya.. iya… tapi jangan marah begitu dooong, aku kan Cuma becanda?”

“jadi kamu ngga selingkuh? Trus gimana ngatasi libido kamu yang hhhh itu?”

“aku ada affair dengan seseorang, Sis,” jawabnya datar, dan kali ini mimik mukanya jujur

“siapa itu Hes,”

“temanku di kampus,” ia berkata sambil menunduk, aku jadi seperti polisi yang sedang memeriksa tersangka maling.

“Dosen? Pegawai administrasi UI?”

“hek eh,” ia mengangguk. Asistenku sendiri, Sis, tapi Please kamu jangan cerita orang lain ya?” ia merajuk

“Hesti, hesti. Kamu pikir aku ini siapa sih? Kamu kan sahabatku dari dulu, Hes. Ngga mungkin lah aku mau ngomong sama orang lain,” aku merangkul pundaknya dan meremas jemari tangan kirinya, untuk menyakinkannya atas kata-kataku.

“tapi aku takut, sis,” sambungnya kemudian

“takut apa? Hey, biasanya kamu dulu perempuan yang paling berani di sekolah,”

“dia… dia… dia suami orang, Sis,” ia tertunduk lagi, seperti menekan perasaan malu.

“Hes, kamu jangan gitu dong! Aku kan sudah bilang kalau selingkuh itu jangan sama orang yang…” belum lagi kuselesaikan kata-kataku yang cenderung menghakimi itu, Hesti memotong.

“Tuh kan, iya.. iya aku tahu aku salah, tapi mau gimana Sis? Masa mau begituan sama mahasiswaku? Celaka dong, ngga ada wibawa aku jadinya,”

“Trus… mmm, kenapa ngga cari yang komersiil aja?”

“gigolo maksudmu?”

“mmm!” aku mengangguk

“pssst… aku pernah,” bisiknya

“trus.. trus?” tambah penasaran aku jadinya

“ngga cocok, seringkali aku pake G tapi yang cocok ngga ketemu, mau terus cari yang gitu aku takut,” terhenti lagi, matanya melirik ke arah suaminya yang masih saja asik ngobrol dengan Budi.

“aku takut penyakit, Sis. Soalnya temanku yang dosen kimia di Fakultas Kedokteran ada yang kena, sekarang sudah koit, iiiihhh aku ngeri dech,” jelasnya sambil menyorongkan wajah padaku, wajahnya tampak sedikit khawatir. Mungkin membayangkan nasib temannya itu.

“sekarang do’i meninggal, sis. Mmmm teman ku yang kena AIDS itu, iiihhhh!”

“emang kamu kena juga? Kok kayak takut banget,”

“enggak-enggak, tapi waktu itu aku langsung check ke laboratorium…”

“nah lo!” aku memotong

“week! Hasilnya negatif!”

“sampe segitu takutnya, Hes?” tanyaku

“so.. soalnya G yang doi pernah pake, pernah juga aku rasain… iiihh kapok dech aku, Sis,” ia merinding lalu memelukku. Hesti dan aku memang dari sejak SMA dulu sudah sehati, seperti sudah kukatakan sebelumnya, dulu kami selalu berbagi masalah, berbagi persahabatan, cerita dan tidak ada rahasia diantara kami.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu