2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

Genap sebulan sudah sejak kami (aku, Bu Siska dan Bu Hesti) pertama kali melakukan pesta seks 3some di villa milik ibu. Sejak saat itu kami ketagihan main bertiga, setiap ada kesempatan dan waktu luang kami bersamaan, pasti salah satu dari kami akan saling mengajak bertemu, entah di rumah, di ruang kerja kantor ibu atau bahkan di hotel untuk mencari suasana dan tempat baru.

Sabtu dan minggu biasanya adalah waktu luang yang sering tersedia bagi kami bertiga, ibu menerapkan 5 hari kerja di perusahaannya, Bu Hesti juga biasanya memberi kuliah setengah hari saja pada hari sabtu, otomatis satu setengah hari kami punya kesempatan berlibur. Kadang sering juga kalau ibu tak tahan ingin ngewek bertiga, ia menelpon Bu Hesti dan aku untuk datang ke kantor, lalu kami melakukannya di ruang kerja ibu yang memiliki kamar istirahat berisi tempat tidur luas dan bathtube besar di kamar mandi persis di belakang ruang kerjanya.

Kalau sudah 3some, tak pernah sebentar, minimal 2 jam kami habiskan untuk satu ronde permainan yang biasanya membuat kedua perempuan paruhbaya itu mengalami orgasme belasan kali!

Uniknya, setiap kali habis bersenggama, wajah Bu Hesti dan ibuku pasti tambah cerah dan ceria, lebih bersinar dari sebelum ngentot! Kami benar-benar jadi mahluk maniak seks yang tak jemu-jemunya saling memuaskan.

Hingga suatu ketika, setelah baru saja habis main bertiga di rumah, seingatku itu hari minggu. Siang jam 13.30, Hp Bu Hesti berdering, awalnya ia malas menjawab, bahkan menengok kearah Hp itupun tidak. Aku yang saat itu kebetulan berjalan di dekat tempat ia meletakkan hp nya melirik dan membaca layar kecil hp itu, tertulis caller ID “Susi Anakku”…

“Telpon dari rumah tante…” Kataku memberitahu Bu Hesti yang tengah beradu bibir dengan ibu di atas tempat tidur.

“Siapa Bud?”

“Mbak Susi, Tante”

“Ooohhh… sini bawa Hpnya…” kata Bu Hesti sembari menjulurkan tangan kearahku, segera kuberikan Hp itu padanya.

“Hallooo Sus, ada apa? Haaaahhhhh???? Masa??? Kapan??? Kok Bisa???” Ekspresi wajah Bu Hesti berubah 180 derajat dari yang tadinya ceria jadi seperti orang tersambar petir, pucat!

“Iya iya iya… mama ke Bandung sekarang juga, ini lagi sama Tante Siska di rumahnya… iya sayang mama sekarang kesana…” Nadanya seperti ingin menangis… Ibuku sampai melongo penasaran

“Ada apa Hes?” Tanya ibu sesaat setelah telpon ditutup.

Bu Hesti seketika menghambur memeluk dan langsung menangis histeris diatas bahu ibuku…

“Suamiku Siiiiisssss… suamikuuuuu… suamiku meninggal…” Katanya terisak dan terbata-bata.

Mendengar itu aku jadi ikut terkejut dan ikut memeluk tubuh kedua perempuan yang kusayangi itu.

“Sabar ya tante… ayo segera berpakaian, Budi yang nyetir, kita ke Bandung sekarang…” Ujarku berusaha menenangkan Bu Hesti.

Dosen yang biasanya ceria itu terus menangis, kali ini di pundakku. Ibu segera memasangkan semua pakaiannya, merapikan rambut Bu Hesti yang awut-awutan, lalu ia beranjak mengambil pakaian di lemari untuk dirinya.

Beberapa saat setelah itu kami sudah berada dalam kendaraan dan meluncur kearah jalan tol. Waktu tempuh paling cepat ke Bandung saat itu sekitar 6 jam. Jadi aku minta mang Darja, sopir ibu juga ikut, dan kami memakai SUV yang cukup besar agar ibu dan Bu Hesti bisa tidur beristirahat menenangkan dirinya yang tengah shock berat.

Pukul 21.30 malam kami sampai di rumah mbak Susi, anak tertua Bu Hesti yang tinggal di Bandung. Sebelum meninggal, suami Bu Hesti memang ada disana, menengok cucunya yang baru 3 hari lahir. Mbak Susi menuturkan bahwa ia tak melihat gejala mencurigakan sehingga tak menyangka sama sekali kalau bapaknya yang memang telah menderita diabetes akut itu tiba-tiba meninggal saat menonton tv di kamar.

Isak tangis kelima anak Bu Hesti masih terdengar saat aku dan ibu menengok jenazah suaminya yang sudah terbujur kaku.

Minggu yang kelabu, tak hanya bagi Bu Hesti dan keluarganya, tapi juga bagi Bu Siska yang merupakan sahabat terdekatnya itu. Akupun turut terbawa suasana sedih, aku terus berada di dekat ibuku dan memeluknya, mata ibu sembab memerah karena air matanya terus mengucur merasakan kesedihan hati sahabat terbaiknya.

Malam kian larut, menjelang jam 1 dini hari, dengan pertimbangan menjaga kesehatan, aku mengajak ibu untuk pamit dari sana dan menginap di hotel terdekat.

Setelah berpamitan dan berjanji akan datang lagi pada keesokan harinya, kami meninggalkan rumah mbak Susi untuk cek in di Hotel Horison Bandung. Sampai di kamar, ibu masih tak kunjung reda sedihnya, kupeluk dia dan berusaha menenangkan.

“Permisi Bu, Budi buka pakaiannya, mau dilap dengan handuk hangat biar segar… ibu belum mandi sejak tadi pagi…” Kataku.

“Iya sayang…” Jawabnya pendek, kucium keningnya sejenak lalu beranjak ke kamar mandi. Mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air panas dari kran wastafel lalu kembali kearah ibu dan mulai melap tubuhnya, kuawali dari wajah, leher, bahu, punggung, lengan, dada dan terakhir kakinya. Dengan telaten dan lembut kulakukan semua itu pada orang yang telah sangat berjasa membesarkanku ini.

Selesai mengelap, kubantu ibu mengenakan baju tidur yang kami bawa dari rumah sebelum berangkat. Lalu kuminta ia memejamkan mata dan beristirahat. Beberapa saat kemudian ibupun tampak tertidur. Lelah sekali rupanya, wajahnya menunjukkan ekspresi keletihan, mungkin karena ikut berduka dan bersedih dengan peristiwa hari ini.

Akupun naik ke tempat tidur dan berbaring sambil memeluk ibu, orang yang sangat kucintai ini. Malam itu kami sama sekali tak melakukan aktivitas seks, karena tak tepat suasana tentunya. Beberapa saat kemudian akupun tertidur.

Jam menunjukkan pukul 8 pagi, kami sudah berada di rumah duka lagi. Aku tetap mendampingi ibu, tak mau jauh dari perempuan yang harus kujaga ini. Ibu berkerudung hitam hari itu, untuk menghormati keluarga Bu Hesti yang beragama Islam, akupun berkopiah.

Oh iya, aku lupa menjelaskan bahwa Bu Siska beragama Kristen sementara aku beragama Islam, namun meski aku telah diangkat anak oleh nya, tapi Bu Siska dan anak-anaknya adalah keluarga yang sangat demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan beragama. Ia tak pernah sedetikpun memaksa atau meminta aku untuk mengganti agama, ibu paham itu sangat sensitif dan pribadi.

Begitu pula terhadap anak-anaknya, aku tahu ibu pernah berpesan kepada Rani kalau kelak ia resmi menjadi istriku maka ia harus menuruti agamaku, karena bagi Bu Siska, meski ia sendiri adalah seorang Kristen, ia mengerti kalau suami adalah pemimpin atau imam dalam keluarga. Hal inilah yang membuatku sangat hormat dan kagum pada prinsip yang dianut ibu angkatku itu.

Pemakaman dilakukan tak jauh dari rumah mbak Susi, Bandung dipilih karena almarhum suami Bu Hesti memang pernah meminta agar dimakamkan dekat makam kedua orangtuanya jika kelak ia meninggal dunia. Mertua Bu Hesti orang asli Sunda. Tadinya aku tak tahu apa agama Bu Hesti, tapi hari ini baru kutahu ia beragama Islam, ikut suami rupanya…

Samar-samar ketika di pemakaman, kudengar dosenku itu berdoa menggunakan doa Islam. Demikian juga dengan kelima anaknya.

Sudah 5 hari sejak meninggalnya suami Bu Hesti, dosenku itu masih tampak menyisakan kesedihan di wajahnya. Ia mengambil cuti panjang selama seminggu untuk mengurus acara tahlil dan yasinan di rumahnya dan rumah anaknya. Karenanya seminggu pula aku tak bertemu Bu Hesti di kampus, rasanya kangen sekali, tapi mau gimana lagi, aku harus kuliah dan saat di rumah aku juga sibuk belajar.

Tepat seminggu kemudian, aku dan ibu mengunjungi Bu Hesti di rumahnya yang tampak sudah sepi. Kulihat hanya 2 orang pembantu yang menyambut kami di gerbang. Mereka bilang Bu Hesti masih mengurung diri di kamar, jarang makan dan masih berduka.

Aku dan ibu memang sengaja datang kesana hari itu untuk mencoba menghibur Bu Hesti, siapa tahu dengan kehadiran kami, kesedihannya bisa berkurang, demikian kata ibu semalam sebelumnya.

Aku menunggu di ruang tamu, salahsatu pembantu rumah tangga disana membuatkan minuman hangat untukku. Sambil menonton tv aku menunggu ibu yang masuk ke kamar sahabat baiknya itu. Pastilah ibu sedang berusaha mengurangi kesedihan Bu Hesti, aku tak berani ikut-ikutan masuk kamarnya dan memilih duduk di ruang tamu ini.

Sejam kemudian, saat aku mulai merasa ngantuk, tiba-tiba pintu kamar Bu Hesti terbuka, aku menoleh kearah sana, tampak ibu yang masih berpelukan dengan sahabatnya itu berjalan beriringan keluar kamar menuju teras depan. Saat lewat disampingku, ibu melirik sambil mengedipkan kedua matanya dan memberiku tanda untuk mengikutinya.

Wajah Bu Hesti masih sembab, ibu mendudukkannya di sebuah korsi panjang di teras itu, akupun diberi kode oleh ibu untuk duduk mengapitnya, jadi sekarang Bu Hesti duduk di tengah, Bu Siska di kirinya, aku di sebelah kanannya. Ibu masih memeluk bagian atas tubuh sahabatnya itu, Bu Hesti menyandarkan kepalanya pada celah antara leher dan bahu ibu.

“Tante… yang sabar ya… aku dan ibu selalu mikirin tante, kami ikut sedih kalau tante terus-terusan begini…” ujarku pada Bu Hesti yang dengan lemah menatapku… Lalu kuberanikan diri mengecup pipinya dengan sangat lembut. Ibu tersenyum dan mengangguk memberi persetujuan pada kata-kataku tadi. Tangannya membelai rambut Bu Hesti.

“Sis…” panggilnya tiba-tiba, pelan sekali suara itu, terdengar serak pula, mungkin sudah seminggu ia tak pernah bicara.

“Apa sayang…” Jawab ibuku tak kalah lembutnya.

“Gue boleh nginap di rumah Lu? Buuudd… tante boleh ikut pulang sama kalian kan?”

“Ya ampun Hesti sayangkuuuuuuu… rumah gue ya rumah elu juga sayaaaang…” sahut ibu sambil kembali mencium rambut Bu Hesti.

“Tante… Budi adalah orang yang akan paling bahagia kalau tante mau tinggal bersama kami di rumah… bukan sekedar nginap…” Bisikku mendekatkan wajah ke telinganya…

Berhasiiilll!!!

Bu hesti tersenyum tipis…

“Makasih Sis, elu memang sahabat sejati gue… makasih Bud, tante terharu sama kasih sayang kalian…” lanjutnya

Aku memberinya sebuah ciuman di bibir… lalu membisikinya lagi.

“I Love You Tante…” kataku pelan dan mesra setelah mencium, Bu Hesti tersenyum lagi, kali ini menampakkan gigi-giginya yang putih dan rapi.

“I love you too sayang…” balasnya lalu juga mencium bibirku, aku mencoba sedikit melumat bibir bagian bawah Bu Hesti, dan ia tersenyum bahagia…

Hari itu kami berhasil “membawa pulang” Bu Hesti ke rumah ibuku. Malam itu juga, kami tidur bertiga di kamarku. Dan meski tak melakukan aktiffitas seksual bertiga dengan pertimbangan Bu Hesti yang masih menyisakan perasaan duka, diam-diam, setelah perempuan itu terlelap, aku dan ibu menyelinap keluar menuju kamar ibu, dan kami melakukannya disana!

Kugenjoti tubuh ibu yang sudah seminggu sejak hari duka keluarga Bu Hesti tak pernah kusentuh akibat ibu yang ikut terbawa suasana duka. Semalam itu aku sampai 3 kali klimaks menyemprotkan spermaku banyak sekali dalam vaginanya. Tak terhitung berapa kali ibu berkontraksi mencapai puncak orgasme! Yang jelas, baru jam 5 subuh kami selesai mengadu kelamin sampai puas.

Keesokan harinya kami bertiga bangun hampir bersamaan. Sama-sama bangun jam 11.30 siang! Aku dan ibu heran juga, padahal Bu Hesti semalam sudah tertidur sejak pukul 21.00, lama sekali, hampir 14 jam!

Setelah 2 hari disana dan Bu Hesti terlihat agak tenang, barulah aku menanyakan kenapa ia selalu tidur lama sekali dua malam ini. Ternyata kata Bu Dosenku itu karena selama seminggu ia tak pernah bisa memejamkan mata lebih dari 10 menit saja dalam semalam! Ah kasihan sekali guru seksku yang cantik ini, begitu berdukanya ia hingga tak bisa tidur selama seminggu!

4 Hari sudah Bu Hesti menginap bersama kami di rumah, kini aku dan ibu tak lagi canggung bermain seks disampingnya yang sedang tidur. Karena sejak hari ketiga disini ia sudah mulai bisa tertawa tiap kali aku membuat joke-joke konyol untuk mencandainya. Ibu juga selalu berusaha menghibur, tak kenal lelah.

Hingga di hari keenam, Bu Hesti dengan polos memintaku untuk menyetubuhinya. Saat itu ibu sedang di kantor dan aku baru pulang dari kampus.

“Bud, tante pengeeennnn…” rengeknya manja saat aku baru saja memasuki pintu gerbang samping. Tangannya menggayut lenganku dan kami berjalan beriringan memasuki rumah.

“bener tante?” kataku setengah tak percaya

“Ayoo ahh tante malu…” ujarnya sambil menggamit manja di lenganku dan mengajak ke kamar ibu.

Pukul 18.00 seingatku hari itu pertama kali kusetubuhi lagi Bu Hesti setalah ‘libur’ 10 hari lebih! Aku sangat rindu memeknya, dan iapun begitu kangen kontolku! Maka dengan antusias kulayani perempuan berlibido sangat tinggi itu sampai ia tak mampu lagi bangun dari tempat tidur! Tak hanya lendir yang keluar dari memeknya, sperma ku pun tercecer sana sini di permukaan kain sprei.

Suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar ketika kami sama-sama mengambil nafas panjang setelah pergumulan berdurasi 45 menit itu.

Bu Siska muncul dari balik pintu kamar mengagetkan kami yang baru saja melewati puncak kenikmatan.

“Wooowwwww!!!” Teriak ibu kegirangan melihat wajah sahabatnya tampak ceria dan sudah bisa menikmati aktivitas seks denganku.

“Haahhh ibu kapan datangnya?” tanyaku, aku segera bangkit dan duduk di pinggiran tempat tidur.

“Sudah sejak 30 menit yang lalu sayang… sejak orgasme ke 6 Hesti! Hihihihiiiiii” ia cekikikan merasa menang karena tak ketahuan mengintip permainan kami.

Sementara Bu Hesti yang masih lemas cuma bisa tersenyum malu.

“Ada sisa buat ibu?” lanjut Bu Siska, dengan sedikit tergesa melepas satu persatu kancing depan pakaian kerjanya. Namun begitu akan melepas bagian lengan jas berwarna biru tua itu, aku berdiri menghentikan gerakannya.

Mataku langsung melotot seketika bagian depan jas kerja itu terbuka, menunjukkan susu besar ibu mengintip dibalik BH berukuran 40 yang nyaris tak cukup menutupi ukuran buah dadanya!! Secepat itu aku kembali terangsang menyaksikan pemandangan yang berjarak tak sampai 20 centimeter dari wajahku. Kontolku pun segera bangun dan mengeras lagi.

Kupaksa ia berbaring di samping Bu Hesti yang cuma senyum-senyum menyaksikan ulahku. Kutarik BH itu ke arah atas dengan cara menggigit, seketika penyangga susu itu tersingkap dan mempertontonkan payudara Bu Siska yang sudah masuk dalam katagori berukuran brutal! Hehehe ibuku TOBRUT!!!

Setelah menyingkap rok kerja berwarna sama dengan jasnya hingga ke bawah pinggul, lanjut kuangkat dan mengangkangkan kedua kakinya. Masih menggunakan mulut, kugigit pinggiran celana dalam yang ia pakai dan menariknya kearah paha, melewati betis dan meloloskannya melalui kedua kaki seksi ibu angkatku itu.

Segera kuserbu memeknya yang berjembut lebat dengan lidah dan mulutku. Tak puas begitu, hidungku pun kujejalkan di celah paha itu dan kupakai menyodok-nyodok lubang memek perempuan yang sebentar lagi akan mengandung bayi hasil semprotan spermaku di dalam rahimnya!

Ibu berteriak kegelian, aku tak peduli, malah semakin sadis menyedot-nyedot bibir memeknya dan menariknya mirip seperti anak kecil makan jajanan ketan yang elastis! Ibu berteriak kegirangan merasakan geli dan nikmat di selangkangan, dan akibat terlalu lama diperlakukan begitu, ia orgasme setelah kira-kira 7 menit saja aku menservice alat kelaminnya.

Maka kusedot semua cairan yang keluar dari memek nikmat yang sangat tembem tempat dimana dulu 23 dan 17 tahun lalu, calon istriku Rani dan kak Rina keluar dan melihat dunia untuk pertama kalinya! Inilah memek alias tempek alias pepek alias vagina terindah dan ternikmat diantara ‘barang sejenis’ yang pernah aku entot dengan kontolku!

Sesudah memberinya sedikit jeda untuk mengambil nafas, kuentot ibu habis-habisan disamping Bu Hesti yang cuma bisa menonton karena sudah terlalu lelah kubantai. Ku jejalkan kontol besarku sejadi jadinya di memek ibu, kubentangkan kakinya kiri kanan dan kutusuk memeknya dari segala arah. Bu Hesti sampai berdecak heran, karena ini pertama kali ia melihat aku “ngentot” atau bahkan “memperkosa” ibu yang masih berpakaian lengkap, dengan sangat keras dan seperti barbar tak beradab!!!!

Emang ada gak sih adab-adab mengentot? Hehehe

Demikian pula sebaliknya, saat ibu berada diatas tubuhku, ia menghempas sejadi jadinya sambil menempeleng wajahku dengan keras, ia berteriak kegirangan seperti orang gila dan lupa ingatan. Kamar yang sudah penuh bau mesum itu kini dipenuhi lagi oleh bebunyian tanpa arti yang bercampur teriakan nama-nama binatang seperti anjing, bangsat, pelacur, setan, lonte, gigolo, pecun, sundal.

Sangat riuh seperti dua orang mabuk yang berkelahi sambil saling sumpah serapah! Itulah seni ngentot antara aku dan Bu Siska yang kemudian hari ditiru pula oleh Bu Hesti.

Disela-sela beberapa kali orgasme yang dialami ibu, kusempatkan sejenak berpindah mencolok memek Bu Hesti dengan kontolku, ia memang masih lemas tak bertenaga dan hanya pasrah ketika kugenjot. Tapi perempuan yang baru saja lepas dari rasa duka itu tetap tersenyum menikmati. Baru setelah melihat Bu Siska bangkit lagi semangatnya, aku kembali ke memek tembem ibu.

Panjang juga pertarungan kami, sampai lupa menghitung sudah kocokan keberapa ribuan akhirnya aku klimaks dan menumpahkan cairan sperma di dalam memek calon mertuaku itu.

Imbang sudah pelayanan seksualku pada kedua istri gelapku ini. Puas sudah keduanya menikmati birahi dari kontol besarku. Demikian pula aku, sangat puas sudah menumpahkan sperma masing-masing 1 kali ke dalam memek mereka berdua.

Aku ambruk menggelosor dan berbaring diantara dua tubuh bahenol perempuan paruhbaya bersusu besar ini. Tanganku menjulur kebawah kiri kanan, merabai memek mereka yang terasa masih basah, memek ibu malah becek bajir! Sementara kedua perempuan yang berusia dua kali lipat umurku itu memeluk dari samping, bergiliran kukecup wajah, bibir dan susu besar mereka.

Lalu serempak kami saling cium, seperti mau bertukar lidah dan ludah. Saat aku berciuman bibir dengan Bu Siska, Bu Hesti masuk menyela ditengah dengan menjulurkan lidah, aku dan ibu berebutan menyedot lidah Bu Hesti. Saat mereka mengadu bibir, aku menyela, demikian pula saat Bu Hesti memadu bibir denganku, ibu menyela ditengah.

Beberapa saat setelah kami cukup lama berdiam, aku membuka pembicaraan… kami bertiga masih berpelukan diatas tempat tidur.

“Bu… gimana masalah kehamilan ibu, gimana kalau Rani tau?” tanyaku tiba-tiba ingat dengan calon istriku itu…

Ohya, menstruasi ibu sudah 3 hari molor dari biasanya, pertanda awal bahwa ia kemungkinan positif hamil. Kemarin kulihat ibu membeli alat tester kehamilan tapi aku lupa menanyakan gimana hasilnya. Karena aku sudah yakin ibu pasti hamil oleh banyaknya tumpahan spermaku dalam memeknya saat sama-sama meraih puncak kepuasan bercinta dalam sebulan ini.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu