2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

Tak lama setelah ibuku dan Bu Hesti meninggalkan rumah, aku kembali ke teras belakang… Dari arah dapur Budhe terlihat berjalan mendekat.

“Kopinya diminum den…” kata Budhe Anah datar, tangannya meletakkan sepiring kue-kue tradisional yang ia buat sendiri sejak subuh tadi.

“Duduk sini Budhe…” ajakku dengan meraih tangan kirinya.

Dag dig dug juga perasaanku melakukan hal ini pada perempuan yang sudah 10 hari kujadikan objek fantasi seks yang liar di pikiranku.

“Maaf Den, Budhe duduk di bawah aja… gak biasa duduk di korsi gitu… maklum orang kampung… hehehe…” tolaknya sopan, dengan halus pula pegangan tanganku di lengannya ia lepaskan.

Budhe melirik dan tersenyum manis saat bokong besarnya menyentuh lantai teras yang menghadap ke taman dan kolam renang. Kuanggap senyuman itu adalah ajakan sehingga dengan perasaan masih bergetar aku segera pindah dari korsi meja makan itu dan ikut duduk berselonjor kaki persis sampingnya.

Sebenarnya aku sudah tak tahan ingin segera menggumuli tubuh montok perempuan paruhbaya berpayudara gede ini, mengingat kejadian-kejadian sebelumnya yang menunjukkan ia memang ‘bisa’ dan mau dientot dengan mudah, karena seperti yang dikatakan oleh Bu Hesti dan ibuku, Budhe sudah lama sekali ‘puasa birahi’ sejak suami pertamanya meninggal.

Namun aku ingat juga pesan ibu semalam bahwa aku harus mengawali hal ini dengan penuh kelembutan untuk membuat Budhe tak merasa seperti ‘budak seks’. Aku setuju dengan pendapat itu, meski Budhe cuma seorang pembantu rumah tangga, tapi ia juga adalah seorang ibu dari 5 anak bahkan nenek dari beberapa cucu.

“Aden mau Budhe pijitin?” kata Budhe membuka pembicaraan, ia menjulurkan tangan kearah betisku.

Duduknya digeser turun ke undakan lantai yang lebih bawah dari tempatku berselonjor agar tangannya mudah menjangkau kakiku.

“Lho… Budhe gak cape dari subuh tadi kerja di dapur?”

“Enggak Den, sudah biasa Budhe bangun jam setengah lima, sholat subuh terus masak…” jawabnya.

Tanpa menunggu persetujuanku, kedua tangan Budhe sudah mendarat di betisku lalu mulai mengurut pelan dan lembut, dari arah lutut ke kaki.

“Budhe lihat tadi pagi sekali aden sudah olah raga, pasti badannya juga pegal-pegal, ya kan?” lanjutnya.

“Huk… uh… hmmhhh…” aku mengangguk saja sambil bergumam.

Tangan-tangan yang tampak putih halus dan mulus dengan jemari lentik itu mulai juga memijat bagian belakang betisku sekarang.

Aku menikmatinya sambil memandang Budhe dari belakang, kuperhatikan dari rambut panjang yang ia ikat kebelakang ala Jawa, turun ke leher mulus yang terbuka sampai batas daster longgar yang ia kenakan. Kebetulan pakaian itu tak berlengan sehingga ketika Budhe menjulurkan tangan untuk menjangkau bagian bawah kakiku yang akan ia pijat, keteknya terlihat.

Wow!! Aku benar-benar kagum pada kebersihan ketek Budhe yang sama sekali tak ditumbuhi rambut, meski ia sendiri punya bulu-bulu halus di bagian lengan dan kakinya. Kata orang, perempuan yang memiliki bulu-bulu halus di tangan dan kaki punya libido yang lebih tinggi dari perempuan pada umumnya. Aku percaya dengan anggapan itu, mengingat waktu Budhe ‘main lesbong’ dengan Bu Hesti di villa, kulihat ia cukup bersemangat saat berciuman maupun mengoral memek dosen akuntansiku itu.

“Tapi Budhe juga kan gak kalah capenya, sejak subuh tadi kerja siapin semua sarapan dan bikin jajanan… Budhe mau dipijat juga?” aku balik menawarkan diri, maksudku sih agar aku juga bisa menyentuh bagian-bagian tubuhnya…

Sebelum ia menjawab, tanganku sudah mendarat di bagian atas punggungnya, menekan-nekan titik refleksi yang pernah kupelajari dari buku kesehatan tradisional Tionghoa.

“Iiihh Aden bisa mijit juga ya?” ternyata ia tak menolak.

“ya Budhe, aku pernah baca dan sering coba mijitin ibu, katanya pijatanku enak…”

“Bener den, ini juga Budhe ngerasa pijatan aden pas, gak terlalu keras tapi gak terlalu pelan…” katanya sambil tetap melanjutkan memijat bagian belakang betisku.

Saat Budhe menunduk, celah daster bagian depan yang terletak di bawah ketiaknya ikut turun, menampakkan sedikit pinggiran susu besar itu. Masih berlapis BH warna cream cerah dengan hiasan berenda di pinggir. Ah, susu wanita paruhbaya adalah point pertama yang selalu membuat nafsuku bangkit! Tanganku mengarah pelan-pelan menuju kesana dengan melewati bahu kirinya, pura-pura memberi pijatan pada leher Budhe dengan beberapa tekanan lembut agar ia tak merasa bahwa aku ingin cepat-cepat membawa telapak tangan menuju ke dadanya.

“Den Budi masih ingat gak kalau dulu Budhe sering bikinin jus tomat, waktu aden masih SMA kelas 1…” Budhe bertanya begitu mungkin untuk mengalihkan perhatian pada tangannya yang kini sudah menuju keatas lututku, tidak memijat, malah mengelus sampai pinggir celana kolor yang kukenakan. Untung aku pakai celana dalam, sebab kalau tidak, tentu Budhe sekarang sudah menyaksikan ada tenda berbentuk prisma bertiang tunggal di tengah selangkanganku!

Hehehe… maksudku aku pasti ketahuan sudah ngaceng berat! Masih pakai cd ketat beginipun kontolku yang sudah tegang sejak tadi, tercetak jelas dibalik celana berbahan katun ini, untung juga kontolku menghadap ke atas, kalau tadi menghadap ke bawah, pastilah aku akan ‘membenarkan’ posisinya karena merasa tak nyaman dengan kontol ngaceng menghadap ke bawah!

“Iya Budi ingat, jus tomat kan emang kegemaranku, beda dengan Rani dan mbak Rina yang doyan jus wortel… jus buatan Budhe paling sedap…” kataku memuji. Budhe tersenyum membalas.

“Masa sih Den?”

“Iya Budhe, bener, aku gak bohong… mungkin Budhe nyampur juice itu pake ini ya?” aku berkata begitu sambil mencolek pinggiran buah dadanya.

Walaupun masih berlapis BH dan daster kekenyalan susu Budhe terasa sekali. Otakku mulai menebak-nebak ukuran toked yang tergolong brutal size ini.

“Eeehhh aden… nakaaallll…” ia menjerit, Budhe melirik dengan tatapan lucu, seperti senang dengan kelakuanku.

Aku jadi tambah berani…

“Susu Budhe bagus…”

“Hihihiii… emang aden pernah lihat?”

“Gak sih, tapi dari luar aja sudah kelihatan montoknya…”

“Aden ngeres!” ujarnya lagi sambil mencubit pahaku.

“Pasti lebih besar dari susu ibuku…” tanganku kini kedepan dan memegangnya, tidak meremas. Budhe diam saja. Dan karena ia tak mencoba menghentikan aktifitas nakal itu, akupun membiarkan telapakku ‘terparkir’ disana, bukannya memijat leher Budhe lagi.

“Budhe…” panggilku dengan suara yang mulai serak…

“iii… iii… iiya den?” tergagap juga Budhe, kulihat ada sedikit getaran di bibirnya…

“Aku pengen jadi pacar Budhe…” kataku spontan, kutahu itu terlalu cepat. Tapi aku memang rasanya ingin cepat-cepat menggeluti tubuh yang sekarang berlapis daster bermotif bunga merah dengan warna dasar putih ini.

Budhe tampak terkejut dengan pengakuan polosku.

“Astagfirulloh Deeeennn… Budhe ini sudah tua, jelek, nenek-nenek, badan sudah kendor, sudah peyot deeeeennnn…” sahutnya tersenyum. Budhe menatapku, kali ini wajahnya menunjukkan mimik agak bingung, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kuungkapkan.

“Serius Budhe, dimataku Budhe benar-benar manis…”

“Ah aden, jangan muji ketinggian gitu, ntar Budhe terbang loh…” Jawabnya mencoba kembali mencairkan suasana yang tadinya menjurus kaku…

“Iya, mau sekalian kuajak Budhe terbang ke sorga di langit ketujuh… hehehe,” kali ini aku berkata sambil mulai meremas buah dadanya, dari luar pakaian. Aku semakin yakin, susu Budhe Anah lebih kenyal dari punya ibu, apalagi punya Bu Hesti.

“Ssssshhhhh… deeeen… uuuhhh… tangannya… ssshhhhh mmmhhh” ucapan Budhe terputus, ia mendesah meresapi kenakalan tanganku yang kini membelai disitu. Ini jelas lampu hijau, dari tadi juga tak ada satupun kalimat penolakan darinya…

“Sudah berapa lama Budhe gak beginian?” tanyaku sambil terus meremas lembut buah dadanya.

“Sssshhhhh… ssshhhh ssuu dah lama sekaliii deeenn… mmmhhh”

“Berapa tahun Budhe?” tanganku pindah ke susunya yang kanan.

“Auuuhhhhh… adeennn, geliii dennn…” desahnya.

“Berapa lama Budhe?” kuulang pertanyaan itu dengan berbisik, karena disaat yang sama aku menjulurkan bibir kearah pipinya.

“Hhhh… uuuhhh… kira-kira sudah 15 tahun den… sejak ditinggal mati bapaknya anak-anak…”

“Kasihan Budheku sayang…” ujarku lalu mencium pipinya, kemudian mencoba menjilat daun telinganya.

“Aaaaaauuhhhhh addeeennnnn!” Jerit Budhe spontan saat lidahku membelai belai telinganya yang tampak besih dan sehat sekali, kukitari daerah bagian luar, sampai di belakang kupingnya aku menjilat-jilat lagi disana, desahan Budhe tambah keras.

“Budhe mau jadi pacarku?”

“Mmmmmmhhhh… uuuhhhhh…” hanya desahan itu terdengar, Budhe menatap, dengan kelopak mata yang hampir tertutup, dan wajah pasrah.

Aku yakin ia juga sudah tak tahan ingin segera diperlakukan sama dengan yang sering diintipnya saat aku main dengan ibu atau Bu Hesti.

“Budhe cantik, Budhe bahenol, senyum Budhe manis sekali, aku naksir Budhe…” kubelai pipinya…

“Adeeennn… Budhe malu… Aden itu masih muda, gagah, tampan, ganteng…” Ia tertunduk meski sekilas kulihat raut wajahnya yang tersanjung…

Aku paham, itu adalah ekspresi bahagia seorang wanita saat menerima pujian yang tak disangka-sangka, apalagi dari anak muda seperti aku, yang seharusnya memperlakukan dia sebagai pembantu. Kuyakin, seperti sering kulihat dari hubungan antara ibu dan para pekerja rumah tangga disini, semua pasti merasa bangga dan sangat beruntung diperlakukan dengan sangat layak oleh ibuku.

“Budhe… aku naksir sama Budhe karena senyum Budhe manis, sikap Budhe yang lembut, badan Budhe yang bagus, dan…” sengaja kuhentikan kalimatku…

“Dan apa den???” Budhe penasaran karena aku tak segera meneruskan kata-kata pujian padanya.

Malah kini tanganku menyusup ke celah antara leher daster dan susunya, secepat itu pula tanganku melewati BH besar yang kutaksir bernomor 40 lebih! Mempertemukan ibujari dan telunjukku dengan puting susunya yang ternyata sudah keras, pertanda pemiliknya sudah sangat horny!

“Dan susu Budhe yang besar ini…” akhirnya keluar juga kata-kata nekat itu!

Kupelintir puting Budhe dengan lembut, ia terus mendesah. Sebenarnya sampai disini aku bisa saja langsung mulai menyetubuhi Budhe dengan kontolku yang terasa sudah sangat sesak di celana. Tapi aku sudah janji akan memperlakukan Budhe dengan cara yang lembut, bertahap dan halus, layaknya wanita terhormat.

“Aku sayang Budhe…” ujarku lagi, membisiki pelan dan mesra telinganya.

“Adeennn… ooohhh… Budhe jelek… Budhe sudah tua…” katanya tergagap dan lagi-lagi menunduk malu…

Kuraih pipi Budhe dengan telapak tanganku, sementara kegiatan meremas susu dan memelintir putingnya yang sudah mengeras kuhentikan.

“Gak Budhe, Budhe itu cantik luar dalam, Budhe itu baik, Budhe itu layak dicintai, layak dibahagiakan, Budhe berhak mendapat kepuasan hidup seperti yang Budhe lihat pada diriku, keluarga ibu dan Bu Hesti…” setelah berkata begitu, kucium bibir Budhe.

Awalnya ia gugup, bingung seperti tak tahu harus bilang apa, pipinya tampak memerah. Aku lanjut menjilat bibirnya, dan begitu bibir seksi perempuan desa yang manis itu terbuka, lidahku masuk, mencoba menjelajah sekujur dinding dalamnya. Ia masih saja pasif. Tapi saat kubuka mataku, Budhe terpejam seperti menahan desakan nafsunya sendiri.

“Adeeennn… yakin mau beginian sama Budhe?” ia bertanya sambil menjauhkan wajah dariku.

“Iya Budhe… Kenapa? gak percaya?” aku meraih tangan kanan Budhe dan menariknya kearah wajahku, lalu kucium punggung dan telapaknya. Mata Budhe mendelik.

Dari ibu aku belajar sedikit aspek psikologi perempuan, bahwa mereka akan sangat bahagia saat menyadari pria yang diyakininya berderajat lebih tinggi dari dirinya, apalagi lebih muda dan ganteng memperlakukan perempuan yang lebih tua dengan cara seperti yang kulakukan sekarang. Memuji, mencium tangan, berkata lemah lembut serta penuh kasih sayang.

“Aaahhh adeeennn… Budhe cu… cuma pembantu den…” tergagap Budhe menanggapi aksiku mencium tangannya, bahkan sekarang aku mengulum jari tangan halus dan lentik itu dengan pelan satu-persatu, diawali dari jali kelingking, jari manis, sampai ibujarinya… tak hanya tangan kanan, tangan kirinyapun kuperlakukan sama.

“Ooohhh deeennn maapin Budhe… Budhe maluu deennn… Budhe gak layak diperlakukan seperti ini, Budhe sudah tua deen… masih banyak cewek lain yang pasti tergila-gila sama Den Budi…” lanjutnya lagi.

Kuyakin Budhe sebenarnya sudah berasa dirinya seperti diawang-awang. Diperlakukan bak istri maharaja oleh pangeran yang lebih muda jauh dari umurnya!

Sekonyong-konyong ia hendak menundukkan badan dan bersimpuh di hadapanku. Tentu aku mencegah, kuraih bahu perempuan bertubuh montok itu dan menegakkannya kembali, kami berhadapan lagi, wajah Budhe masih tertunduk. Tanganku lalu mengangkat pelan dagunya keatas. Kuberi ia ciuman di bibir… Kali ini Budhe membalas, ia menggerakkan lidah dan mencoba memasuki mulutku, berhasil, aku segera menyambut lidah Budhe dan dengan antusias menyedotnya.

“Aaaaaahhhh… adeennnn… “lenguhnya manja, tak lagi malu-malu seperti tadi…

“Aden yakin…?”

“Bukan yakin lagi Budhe, tapi harus! Aku harus jadi pacar Budhe,” Jawabku kembali menerkam bibirnya, tanganku meremas payudara besar itu makin kuat. Desahan Budhe pun mulai keras terdengar.

“Adduuuhhh Deeennnn oooouuuhhhhh deeennnn” desahnya makin kencang.

“Enak Budhe?” Tanyaku disela-sela ciuman dan remasan itu.

Ia cuma mengangguk lalu kembali mencium, ada kemajuan, kali ini ia yang menerkam lebih dahulu.

“Budhe suka?” tanyaku lagi saat ia kini mencium pipiku.

Budhe mengangguk, lalu mulut dan lidahnya menjalar pelan kearah leherku, aku mendongak memberinya ruang untuk menjilat disana. Ah… nikmatnya tarian lidah Budhe… Turun lagi sedikit kebawah menuju dadaku, aku mengangkat baju kaos yang kukenakan, melepaskannya hingga kini bagian atas tubuhku terbuka.

“Budhe suka den… tapi rasanya mustahil aden yang muda, tampan dan gagah ini mau sama Budhe…” ia berkata sambil mendongak, menatapku manja.

“Jangan gitu Budhe, aku yang tergila-gila wajah dan tubuh Budhe…” sahutku pelan, menyambut sajian raut muka manis dengan bibir yang sedikit ia moyongkan. Aku pun melumat.

“Mmmm… mmmmm… hhhhh… mhhhhh… deeennnnnn” gumam Budhe.

“Aden gak malu kalau nanti ketahuan ndoro nyonya?”

“Gak Budhe… ibu sangat pengertian dan juga sayang sama Budhe… ini juga aku berani beginian sama Budhe setelah dapat restu dari ibu dan Bu Hesti” jawabku mantap.

Tanganku berusaha melepas tali daster di bahu Budhe agar bagian atas tubuhnya terbuka. Budhe membantu meloloskan dari lengannya. Pakaian yang bagiku sangat seksi itu jadi melorot ke bawah susunya. Budhe juga menggeser tali BH yang menggantung di kedua bahunya, kusambut dengan menarik cup yang tampak tak cukup untuk menyangga payudara berukuran besar itu.

“Oh… indahnya susu Budhe…” gumamku seketika menyaksikan pesona bukit kembar berukuran besar yang kini tersaji hanya beberapa centi meter saja dari mataku.

“Maap den, susu Budhe sudah kendor…”

“Tapi aku suka bentuknya yang besar ini Budhe, lebih besar dari punya ibu…” jawabku mengabaikan.

Tak menunggu lama mulutku langsung menyerbu kesana, tangan Budhe malah menyodorkan susu besar itu ke mulutku, seolah ingin aku menelan mentah-mentah daging kenyal berbentuk baskom dengan puting yang berwarna kecoklatan ini. Aerola diseputar puting susu Budhe lebih lebar dari punya ibu maupun Bu Hesti.

“Aaaaahhhhh adeeennnn… enaaakkkk… geliiii…” Budhe menjerit lebih keras lagi tiap kali aku memperkuat sedotan pada puting buah dadanya yang memang menggemaskan.

Aku hampir lupa kalau Budhe juga tentu ingin memegang dan merasakan seperti apa ukuran kontolku. Segera kuraih tangan kiri Budhe yang menganggur, sementara tangan kanannya masih memegang payudara yang ia sodorkan pada mulutku, persis seperti ibu yang lagi menyusui bayi.

Pelan tapi pasti kutuntun tangan Budhe menyusup dibalik celana kolor dan cawatku. Begitu telapak nya menyentuh kepala kontolku, Budhe terkejut membeliak…

“Haaahhhh… deeennnn Budiiihhh” Jeritnya, mata perempuan paruhbaya itu melotot kearah kontolku yang tampak sudah keluar dari celana.

“Kenapa Budhe???”

“Gede bangeeetttttt dennnnn!!!” suaranya meninggi, kaget dan tak percaya pada apa yang ia lihat.

“Tangan Budhe gak bisa megang punya aden…” lanjutnya lagi.

Budhe berusaha meremas, walau diameter kontolku tak sebanding dengan panjang lingkar jari-jari tangannya hingga barang besar andalanku itu hanya terpengang setengah saja!

“Budhe mau masukin itu ke anunya Budhe?”

“Iiihhh ngeri deeen, punya Budhe sudah lama gak dimasukin anunya laki… apalagi segede ini den, Budhe gak pernah lihat yang sebesar anu kuda beginiihh… yok oloh… bisa robek barang Budhe deeeeenn…?”

“Budhe mau?”

“Iiii… iii… iiiiya… den…” Ia mengangguk ragu dan tergagap, tapi dengan wajah penuh harap…

“Mau kan Budhe?” aku menegaskan.

“Iiiya den… mau… Budhe mau… mau banget deeennn oohhh” akhirnya ia tegas menjawab.

Tiba-tiba Budhe berdiri di depanku, kedua tangannya meloloskan daster seksi itu kebawah, hanya memeknya yang masih tertutup celana dalam…

“Den… sebenarnya Budhe minder karena sudah tua, sudah nenek-nenek, tapi kalau emang aden pengen nggg… nggg nganu sama Budhe… mmm maksud Budhe ng… ng… ngewek sama Budhe, Budhe senang banget Den…” ungkapnya polos…

Namun ketika ia akan melorotkan celana dalam bermotif renda berwarna sama dengan BH nya yang masih terkait di punggung, aku mencegah, kuraih lagi ujung daster yang masih tersangkut di lututnya. Kupasangkan kembali daster Budhe dan merapikan tali BH yang tadi sempat kupelorotkan dari bahunya.

“Jangan Budhe… aku gak mau main disini, Budhe terlalu manis untuk dientot di lantai begini… aku ingin bercinta dengan Budhe di tempat yang layak untuk perempuan terhormat…” ujarku padanya.

Budhe menatapku heran seperti tak percaya. Ia terpana dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Ayo masuk Budhe…” Lanjutku sembari meraih tangan dan memeluk pinggul besarnya, menuntun perempuan ke tiga berusia paruhbaya dan berwajah teramat manis yang akan segera menjadi pasangan seks rutinku ini. Budhe manut saja, meski kulirik wajahnya yang masih menggambarkan mimik tak percaya.

“Deeennn… Budhe gak pantas aden setubuhi di dalam rumah nyonya… kenapa gak di dapur aja Den… Bibi maluuu…” rengeknya sambil menggamit tanganku, aku tak peduli, tetap saja kutuntun langkah ke kamar ibu dengan pertimbangan tempat tidurnya yang lebih luas dari punyaku. Aku ingin menikmati tubuh Budhe sambil guling-guling tanpa takut terjatuh karena ukuran kasur yang terbatas.

“Haaahhhh?? Kenapa di kamar ndoro nyonya den??? Jangaaan deennn..” kali ini Budhe menghentikan langkahnya persis depan pintu masuk kamar ibu.

“Budheeee sayangkuuuu… ibu gak bakal marah… ayolah, Budi yang tanggungjawab…” sahutku sambil menarik tubuhnya masuk ke kamar itu. Dan meski dengan sedikit memaksa, Budhe akhirnya menurut juga.

“Bukan gitu den… Budhe ngerasa gak pantas aden perlakukan setinggi ini den, Budhe kan cuma pembantu… ini kamar ndoro nyonya…” ujarnya masih sungkan.

Meski tak menolak juga saat aku baringkan badan bongsornya langsung dibagian tengah tempat tidur ibu yang luasnya cukup untuk 5 orang dewasa. Aku dan Ibu memang memesan tempat tidur yang terbuat dari kayu jati kelas wahid ini khusus sejak kami mulai sering bersetubuh di kamarnya. Alasan ibu karena kalau pakai tempat tidur berukuran standard, meskipun kingsize, kami masih saja merasakan area ngentot itu kurang luas.

“Sudahlah Budhe, sekarang yang jelas Budi sudah gak tahan mau bercinta dengan Budhe… Budi suka Budhe, Budi sayang Budhe, budi tergila-gila pada tubuh dan wajah Budhe…” ujarku pelan menegaskan.

Kembali kutarik kaitan daster dan Bhnya, tidak sampai melepas tapi menurunkan hingga sebatas dibawah dadanya, payudara Budhe yang besar sempurna sudah tersaji siap santap di hadapanku.

Aku langsung menyerbu puting susu besar itu dan menggilirnya, kusedot kiri kanan kiri kanan lagi.

“Den… aaahhhhh” desah Budhe Anah mulai terdengar.

“Gimana Budhe? Enak?” tanyaku di sela kegarangan menyerbu pentil susunya.

Budhe hanya menggangguk sambil tersenyum, menunjukkan bahwa ia juga menikmati permainan pada buah dadanya.

“Tapi den… Budhe kan jelek… aden gak malu?” ia mengulang lagi kata-kata merendah itu.

“Budhe…” ujarku menghentikan sejenak keasikan menyelomoti puting susunya.

“Tubuh montok dan wajah manis Budhe, kecantikan Budhe luar dalam, ini sudah jadi impianku sejak lama, Budhe gak kalah mempesona dari ibuku atau Bu Hesti, kalian semua perempuan paruhbaya seleraku…” aku melanjutkan.

“Iya den, Budhe sebenarnya minder karena Budhe cuma orang kampung yang kerja jadi pembantu disini, gak pantas untuk dapat rejeki beginian sama den Budi yang gagah… gak pantas juga Budhe di… diii… diewek eeehhh dientot… disini…” serunya masih tergagap, rupanya Budhe masih canggung dengan kata-kata jorok itu.

“Ditiduri Budhe… atau digagahi, atau digauli…” sahutku menyela.

“Iya den, Budhe merasa gak pantas digauli aden, apalagi di kamar ndoro nyonya besar ini, rasanya Budhe bener-bener gak sopan… Budhe sudah kurangajar pada ndoro nyonya…”

“Tapi Budhe senang kan kutiduri?”

“Jujur Den, seperti mimpi rasanya Budhe mau disetubuhi aden yang muda dan gagah begini…” lanjutnya sambil menjulurkan tangan kebawah, kulirik ia akan melepas celana dalamnya.

“Ohhh… jangan Budhe, biar Budi aja yang melepas itu, Budi mau Budhe nikmati aja…” aku mencegah tangan Budhe.

Ini memang hal kecil, tapi untuk kali pertama menyetubuhi Budhe yang sudah menjadi obsesi seksku sejak lama, rasanya sangat pantas kalau sekarang aku yang harus menjadi budak seksnya. Untuk membentuk rasa percaya diri, sekaligus menghapus sikap canggungnya.

Maka pasrahlah Budhe membiarkan aku kembali meraih kedua buah dada berukuran besar itu untuk kukenyot-kenyot dan menikmati kekenyalannya. Bentuknya memang lebih besar dari punya ibuku, memang susu Budhe sudah ‘turun’ banyak, bisa jadi karena ukurannya yang besar atau umur nya yang sudah tak lagi muda.

Puas mengeksploitasi payudara besarnya, barulah aku mulai turun, langsung ke paha, mengangkat sebelah kakinya dengan tangan kananku, otomatis ujung bawah daster pendek yang ia kenakan jadi tersingkap keatas perut, menyisakan pemandangan memek tembem yang masih tertutup celana dalam cream berenda.

Wajahku sudah berada tepat diantara pangkal pahanya yang mengangkang, kuciumi sambil menjilat permukaan paha itu dari arah bawah, keatas, mendekati memeknya yang masih tertutup cd. Kugigit pinggiran penutup berbentuk segitiga itu sedikit diatas posisisi memeknya dan menariknya ke arah bawah. Ia mengerti maksudku dan serta merta mengangkat bokongnya untuk meloloskan celana dalam yang tampak sudah becek dibagian tengah, tepat di posisi dimana lubang memeknya menempel tadi.

“Oh… indah banget memek Budhe…” aku bergumam dan melirik keatas, kelopak mata Budhe masih terpejam pasrah, rupanya ia tengah menunggu apa yang akan kulakukan… mimik wajah itu menampakkan tanda bahwa ia lagi berharap-harap cemas menanti tindakanku pada selangkangannya!

“Adeeennnnnnn ooooohhhhhhhhh kenapaaah jilatin anu Budheee, kotor deennn…” jeritnya sambil berusaha menutup paha dan menjepit kepalaku.

“Karena memek Budhe terlalu menantang untuk dijilat” jawabku dan kembali menambrakkan bibirku dengan memek tanpa bulu itu.

Oiya, aku yakin sebenarnya memek Budhe ini berbulu lebat, pasti ia baru saja mencukurnya. Aku tipe pria yang doyan jilat memek, tak peduli memek berjembut lebat atau gundul seperti memek Budhe, bagiku sama saja, memek berjembut punya sensasi tersendiri ketika basah oleh lendir yang membecek, apalagi pasca orgasme ada sisa sperma menempel di rerimbunan itu.

“Gak jijik sama anu Budhe deeennnn? Aaaaahhhhhh adeeenn ennaaakkkk!” jeritnya seketika lidahku mulai menari diatas clitorisnya yang segede biji kacang tanah. Ini itil terbesar yang pernah aku lihat, sebelumnya punya Rani paling kecil, kemudian itil Ibuku yang lebih besar dari itil Rani, itil Bu Hesti lebih besar dari punya ibu dan itil Budhe ini jauh lebih besar dari punya Bu Hesti!

“Gak Budhe, aku paling suka jilat memek, dan memek Budhe adalah memek terindah bentuknya…” Ujarku.

Kulihat Budhe tersenyum bangga dipuji seperti itu.

“Kenapa pakaian Budhe gak dilepas aja Den?”

“Jangan Budhe, birain dulu, Budi senang lihat Budhe dengan pakaian awut-awutan begini… Budhe seksi sekali…”

“Ah aden… ada-ada aja…” ungkapnya pelan sambil melenguh…

“Ooooooohhhh ya allaah deeennnnn enak bangeeettttt Budhe bisa muncak sebentar lagi kalo aden jilatin itil Budhe seperti iniiiiiiii ooouuh!!!” reaksi Budhe berteriak saat mulutku menyedot dan menarik itilnya dengan perasaan gemas.

Ia terus moronta-ronta dengan tangan yang kini memegang kepalaku, seolah tak ingin menjauhkan mulutku dari mulut memeknya. Padahal kurang dari lima menit yang lalu, Budhe seakan menolak dijilatin.

“aauuuhhhhh deeennnn ooohhh den Budiii… Budhe muncaaak deennn Budhe sampeee deeennnn Budhe keluaaarrrr deeennnnnn!!!! Budhe gak Taaaahhaan deeennnn oooohhhh!!!” ia berteriak panjang, dari dalam memek wanita paruhbaya itu menyembur lendir kental yang bening ke mulutku yang masih menempel disana.

Aku langsung menelan, menyedot, meminum cairan kelaminnya yang meluber becek! Sampai habis dan kesat! Hmmmm lendir memek Budhe pun terasa gurih di mulutku! Sungguh vagina yang lezaaaat!!!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu