2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

Pesta Pernikahan anak kawanku itu cukup besar, dan karena ia berasal dari keuarga keraton Solo maka segala hal termasuk pakaian para undangan yang hadir bernuansa tradisional. Budi tak sempat memakai pakaian adat Jawa yang sehari sebelumnya ketika kami check in sudah dibagikan oleh panitia, ia terlambat bangun pagi itu karena dini harinya ia terbangun dan minta dilayani.

Kutinggalkan ia di kamar sementara aku dirias di sebuah butik yang ada di hotel itu, dan ketika kembali, kutemukan Budi juga telah mengenakan setelan jas lengkap dengan style ala renaisance. Aku tak terkejut melihatnya, meski aku yakin kalau ada gadis yang memperhatikan Budi dengan pakaian itu pasti langsung naksir deh!

Kulihat matanya melotot kearahku, sebuah cara melihat yang sudah kuhafal dalam beberapa bulan ini, ia yang terpesona oleh dandanan tradisional dengan kebaya jawa ini. Wah, celaka, kupikir ia pasti horny melihat dadaku yang tampak lebih membusung seperti mau meledak dengan tonjolan-tonjolan sensual yang tercetak jelas dibalik kebaya encim ini.

“Husshhh… apaan sih? Ibu kok diliatin kayak begitu, say?” aku menepiskan tangan di depan wajahnya yang masih saja memandang lekat tubuh yang terbungkus kebaya ini.

“Bu, boleh minta nggak? Uuufff.. ibu benar-benar seksi!” serunya seperti yang kuduga, tangannya bahkan lansung menjulur kearah dadaku.

“Ah enggak ah, ibu sudah cape-cape dirias gini, ntar telat lagi! Lihat jamnya tuh, sudah jam sembilan, acaranya kan sembilan tigapuluh,” ujarku sambil menepis tangan kanan yang baru saja sempat bertengger sedetik di permukaan buah dadaku itu.

“Suer Bu! Kalo dandan begini, ibu bikin gatal saya,” ia tak peduli, malah menarikku kearah tempat tidur.

“Budi… iiihhh geniitt deh! Ibu serius nih!” aku pura-pura marah, habis kesal juga.

“Auk ah gelap!”

“Jangan maksa gitu dong, say. Nggak enak sama undangan yang lain, ibu kan jadi saksi pernikahan juga. Masak mau terlambat lagi?” kini aku memohon, tapi kedua tangannya sudah memeluk dari belakang. Kami masih berdiri, dan ia tahu benar kelemahanku, leherku dijilatinya hingga aku menggelinjang kegelian, terangsang juga aku.

“OK.. OK sayaaangg… hhhh… ibu kasih… ibu kasih, tapi ada saratnya,”

“sarat apaan?”

“Ngga boleh sampai merusak dandanan ini, ibu ngga mau sampai ke butik lagi gara-gara dandanan ibu kamu obok-obok,”

“Loo, trus gimana?”

“sini, punyamu, kamu cuma boleh pegang-pegang susu ibu dari luar kebaya, ngga boleh netek,” aku mengalah juga, kini kubuka celananya dan melorotkan sebatas lutut. Ia terduduk di tempat tidur, aku yang tetap berdiri, takut kalau kain batik yang kukenakan sebagai bawahan ini jadi awut-awutan. Perlahan-lahan kusingkap kain batik itu dan dengan hati-hati melepaskan celana dalamku.

“Iya deeeh, yang penting Budi dikasih ya bu…” katanya menyanggupi sambil menarikku mendekat, tangannya tak berani meremas buah dadaku, hanya sesekali ia mencium pinggiran atas buah dadaku yang terbuka karena potongan kebaya berdada rendah itu. Rupanya ia cukup puas dengan permainan tanganku yang mengocok penisnya.

“Yang cepat, say… ingat waktu…” aku mengingatkan.

“tangannya menyusup kearah pangkal pahaku, meraba dan memainkan jari-jari nakal itu di permukaan vaginaku yang mulai basah. Aku juga terangsang rupanya, terangsang oleh pandanganku kearah cermin lebar di dinding kamar yang menunjukkan betapa sensasionalnya diriku yang berpakaian kebaya rapi ini terpejam-pejam menahan geli di pangkal paha sementara tangan kananku mengocok penis Budi yang mengacung bak tugu monas gemuk.

Setelah kurasa sudah cukup pemanasan kami, kusuruh budi melepas jasnya supaya tak kusut, lalu ia berbaring, aku mengambil posisi berjongkok tepat diatas pinggangnya. Kain batik kuangkat dengan hati-hati hingga atas pinggang dan dengan sekali tekan amblaslah penis budi masuk ke vaginaku. Aku yang aktif mengocok turun naik.

Rasanya begitu nikmat meskipun gerakanku jadi terbatas karena takut kebaya itu kusut. Asik juga, karena Budi rupanya juga mengalami hal yang sama, saat kemaluanku berdenyut diambang orgasme, ia ikut mendesah panjang. Aku menjerit, melepas nikmat. Budi juga rupanya, penisnya terasa menyemprot banyak sekali.

Dengan pelan dan hati-hati kulepaskan penis budi dari vaginaku, crop.. beberapa tetes cairan sperma Budi menetes keluar, luput dari usapan saputanganku.

“Bersihin dong, ibu sayang…” katanya merajuk.

Aku tak tega melihatnya merengek begitu, ah kupikir toh aku bawa lipstick, tak ada salahnya kalau kujilat cairan itu dengan mulutku. Budi berteriak kegelian saat penis itu kekenyot-kenyot sambil menjilat habis semua cairan mani yang tercecer di sekitar pahanya, sampai kesat. Baru kukeringkan dengan sapu tangan.

“Ntar kalau pulang dari pesta, kebayanya jangan dilepas dulu ya, Bu?” katanya ketika kami keluar dari kamar.

“Emang kenapa, say?” tanyaku pura-pura bodoh

“Budi horny banget ngeliat ibu pakai pakaian jawa begini, lebih menonjol !” serunya, dan kurang ajarnya lagi, sempat-sempatnya ia menyenggol susuku.

“dasar kamunya aja yang otak ngeres,” bisikku ketika kami sudah di mobil menuju lokasi pesta.

“Leher ibu juga kelihatan seksi banget kalau disanggul begini,” lagi-lagi ia menggoda.

“Iya, iya… ntar ibu kasih lagi, tapi awas jangan macam-macam di pesta nanti!”

Pada saat pesta berlangsung, beberapa pasang mata menatap kearahku, tua, muda, remaja, bapak-bapak sesekali melirik dan melemparkan senyum. Aku GR juga, mungkin benar kata si Budi, kecantikanku jadi lebih ter-ekspose dengan kebaya jawa ini. Dan mungkin yang mencengangkan mereka adalah buah dada besar milikku yang terlihat lebih montok daripada kalau aku pakai baju kerja.

Budi duduk disampingku, entah karena tak berani atau memang tipe lelaki pasif, ia hanya senyum kecil-kecil saja membalas godaan beberapa perempuan sebaya umurnya. Aku jadi teringat kata-kata pengakuannya terhadapku bahwa ia lebih tertarik pada perempuan paruhbaya seperti aku. Ah Budi.. budi, Budiku yang luarbiasa!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu