2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

“Jadi Bu? Apakah ibu akan memisahkan kami?” sergahku.

“dengar dulu sayang, ibu tak bermaksud sejauh itu, hanya saja, ibu ingin kamu juga membagi kasih sayang itu sama ibu,” ia mempererat pelukannya. Aku masih terdiam tak bereaksi.

“ibu juga tak ingin merusak hubungan kalian atau melukai perasaan anak ibu sendiri,”

“lalu apa yang harus saya lakukan Bu?”

“untuk sementara, sebelum ibu menemukan cara terbaik, kamu mau kan merahasiakan hubungan kita ini dari istrimu?”

“iya Bu, itu pasti, mana mungkin saya bisa mengatakan hal ini pada Rani, bisa bubaran saya…”

“itulah sebabnya kenapa ibu mau kamu tinggal di Jakarta menemani ibu, terus terang ibu sangat memerlukan kamu, Bud,”

sesaat kemudian kami terdiam, aku memikirkan hal ini. Aku memang sayang pada Rani, ia cinta pertamaku, orang yang membawaku kedalam dunia kedewasaan dan kami sudah bertekat akan menjalani kehidupan rumah tangga setamat Rani kuliah nanti. Tapi aku juga tak mengelak kenyataan bahwa pesona dan kecantikan calon ibu mertuaku ini begitu hebatnya, saat ini aku bahkan tak mau memikirkan hubunganku dengan Rani.

Yang ada dalam benakku hanyalah mereguk kenikmatan dari Bu Siska seperti ang baru saja kami lakukan, aku bahkan tak ingin ritual nikmat ini berakhir cepat. Betah sekali rasanya berada dalam pelukan wanita paruhbaya ini. Dan yang terpenting adalah, bagaimana lagi aku harus membalas kebaikan Bu Siska yang telah membawaku kedalam kehidupan seperti saat ini.

Saat aku tersadar dari lamunan, tangan bu Siska telah menggenggam batang penisku yang kembali tegang. Barangku yang satu itu memang cepat sekali bangun, apalagi yang menyentuhnya adalah wanita idamanku ini.

“ibu mau lagi?” aku menatapnya.

“hek eh…” ia mengangguk senang.

“ngga disisain buat Rani?”

“hmmm, ibu tahu kamu mampu sampai enam kali sehari, jadi ibu yakin, sesampai di rumah nanti, pasti kamu main lagi sama istrimu, iya kan?”

“koq ibu tahu sih?”

“kan sering ngintip kamu ama Rani…”

“haah? Jadi? Ibu lihat apa aja?”

“banyak, dari gaya kalian, samapai berapa lama dan berapa kali sehari…”

Gemas juga aku dibuatnya, dengan sekali gerak aku berbalik menghadap ibu dan langsung menyerbu buah dadanya, ibu menjerit, aku tak peduli

“aaaampuuun geliii sayaaang, aaauuuhhh…”

“rasain! Ini untuk ulah orang yang suka ngintip,”

Kukenyot keras buah dadanya bergiliran, kiri, kanan, kiri, kanan terus begitu, sampai menimbulkan bercak merah cupang mulutku. Bu Siska hanya bisa kelonjotan sambl teriak-teriak.

Kupaksa ibu berdiri membungkuk, lau dengan segera setelah kudapati liang vagina merah itu terkuak, langsung kucoblos dan bleeessss… aku segera mengocok keras. Bu Siska semakin kelonjotan. Sengaja kubuka kran shower, kami main sambil berdiri ditengah guyuran air. Ahhhh nikmatnya ibu angkatku.

Dan seperti sebelumnya, aku keluar setelah membuatnya orgasme dua kali. Kemudian kami kembali ke ruang kerjanya, setelah mengeringkan badan, dengan mesra aku membantu Bu Siska mengenakan pakaian kerja jas biru tua dan rok bawahan berwarna putih itu. Entah kenapa, ketika hendak membantunya memasang CD, ibu menolak dan langsung membantu memasangkan pakaianku yang tercecer di meja kerjanya.

“dasar maniak, lutut ibu rasanya mau patah,” gerutunya dengan wajah lucu.

“siapa yang mulai ayo?” jawabku sekenanya sambil meremas buah dadanya.

“iiihhhh ngeriiii…” Ibu menjerit kecil saat tangannya balas menggenggam punyaku.

“tahu rasa!!!” aku mengecupnya.

Bu Siska melangkah kedepan cermin lebar dan merias kecil wajahnya disana, kupandangi wanita itu dari belakang. Luar biasa! Tubuh yang kini terbungkus rapi pakaian kerja itu tampak begitu “menghebohkan! ”, masih kuat bayangan bagaimana sesaat yang lalu aku menggumulinya, menindihnya, menggoyangnya, menusuk-nusukkan penisku dalam vaginanya yang oh my God, luar biasa nikmat!

Tak sadar bayangan vulgar dibalik gaun itu kembali mengundang gelak birahiku. Niat nakalku muncul, bagaimana sensasinya kalau sekarang kusetubuhi Bu Siska dengan tanpa melepas penutup tubuhnya itu? Ah rasanya pasti lebih nikmat, dan tanpa penetrasipun vaginanya masih becek oleh dua kali tumpahan spermaku yang menyembur sepuluh menit yang lalu…

“Buu…” panggilku

“hmmm?” ia menoleh, ah cantik sekali.

Aku mendekat dan memeluknya dari belakang, kutuntun ia berjalan kearah meja kerjanya. Sampai disana ibu masih belum sadar apa yang akan aku perbuat.

“apa an sih sayang?”

aku tak menjawab, sebelah tanganku sudah berhasil melorotkan celana dalamku sampai atas lutut. Dan dengan sekali dorongan lembut, posisi ibu yang membelakangiku menjadi membungkuk dengan tangannya bertumpu pada meja. Dan sebelum ia sempat tersadar dari ulah usil itu, aku sudah dengan secepat kilat menyingkap rok putihnya, dan yessss!!!

“aaaooooooowww… Budiiiiiii… aaaaahhhh,” jeritnya histeris saat tanpa memberinya kesempatan aku langsung menggenjot maju mundur.

“oooouuuufff… aaahhhh… ahhhhh… ahhhh… aahhhh, kkaaamuuu nakaall… oohh yessss… mmmmmmm… aaahhhhh… ampuuunnnn tuhaaannn… Buuuudiiiii aahhh ibuu nggaaakkk aaaaahhhh ngggaaak kuuuuaaaattt… laaagiiiiiihhhhh…” Bu Siska terus menjerit, tapi tak mampu menolak goyangan pinggulku yang menghempas di permukaan pantatnya yang semok itu.

“Ibu cantik sekali dengan baju dan rok kerja ini, saya jadi terangsang lagi, nikmati saja bu,” aku memberikannya sejenak jeda untuk mengatur nafas.

“oohh uuuufff… awas kalau nanti Rani sudah tak lagi di rumah, kamu harus melakukannya dengan ibu enam kali sehari juga,”

telapak tanganku menyusup lewat celah Bhnya, meremas disitu dan bergoyang maju mundur lagi. Kali ini dengan tenaga yang lebih kuat lagi sehingga bunyi keciplak pertemuan pangkal pahaku dan daerah sekitar vagina itu semakin terdengar nyaring.

“oooohhh… ssshhhh… yeeessshhh… mmmmhhh… enakhhh sayaaangg teruuussss oooh hhhh… ssshhhh… genjot yang keras sayang oooohhh ibu mau sampai saaaayyaaangggg… uuu uuuuuhhh… mmmmmm aaahhhh… setubuhi ibu dengan kerasshhh sayaanggg ooohhh nikmaat nyaaaahhh… oooohhh yessss yessss yessss yesss… genjot sayang ayo teruuussss awas jangan lepaskan punyamu sayaaaangggg aaaaaahhhhh…

“oooooooohhhhhhhh… yeeeeessss ibuuuu keluuuaaarrrrrrrrr aaaahhhhhhhhh, aaahhhh aahhh keluuuaaarrrr… ooohhhh…”

aku tak ingin berlama-lama lagi dan dengan penuh semangat aku berkonsentrasi agar secepatnya juga orgasme.

“sayaaaa juga buuu oooohhh saya jugaaa aaahhhh aaaahhhh… aaaahhhhh,” akhirnya beberapa kali semprotan yang keras dalam liang rahim Bu Siska mengahiri pertahananku. Kupeluk Bu Siska dan menuntunnya ke sofa. Crooopp… lepas sudah penisku dari liang nikmat ibu angkatku itu, aku terduduk, Bu Siska mengambil CD yang tadi ia kantongi.

“kan ada tissue Bu?”

“nggak sayang, ibu mau simpan bekas spermamu di CD ibu ini, supaya kamu nggak bisa lupa sama ibu, hihihi…”

“ibu bisa aja,” aku menciumnya. Ibu membalas dan kami berdekapan lama sekali.

Jam telah menunjukkan pukul 4 sore. Tak terasa sudah 3 jam lebih kami bermain. Aku lelah sekali. Kami santai sejenak minum energy drinks dari minibar Bu Siska. Tiba-tiba Hpku berdering, kulihat nomor Rani di monitor.

“iya say?”

“nggak ini aku baru nyampe di kantor ibu, aku numpang ibu aja, kebetulan ibu minta bantuan buat beli tinta printer tadi, Jadi aku mampir ke Com center dulu,” seperti dugaanku, Rani pasti penasaran dan menelpon karena tak biasanya aku belum pulang sore hari.

“Iya, ntar aku pesan sama ibu, kamu sehat kan say?”

“Iya, I love you too, daaaahh,” kututup HP.

“Yeee… mesranya, Ibu jadi cemburu,” goda Bu Siska.

“Eh, bu. Rani pesan sate senayan tuh, ngidam katanya,” candaku.

“Wuiiihh… kamu pintar banget bo’ongnya? Kemarin kan Rani datang bulan, masa sekarang ngidam, weeekkk,” Ibu mengejek.

“Iya iya tapi sate senayannya beneran lho,”

“Ok, deh. Ntar kita mampir ke resto, yuuk dah sore nih, ntar istrimu cemberut lagi,” Ibu menarik tanganku ke arah pintu.

Ternyata benar juga kata Bu Siska kalau aku ini memang hiper! Buktinya waktu di mobil, padahal aku Cuma ngelirik betisnya aja sudah langsung on! Jadi sepanjang jalan ke rumah, aku dipelototin terus oleh Bu Siska yang takut kalau mang sopir yang duduk di depan itu curiga pada ulah tanganku yang suka menyusup ke selangkangan ibu.

Sampai dirumah, aku masih “on” gara-gara terangsang betis Bu Siska. Ketika Rani membuka pintu kamar, aku langsung menerkam dan menggumulinya. Dan jadilah aku bertempur untuk keempat kali dalam sehari ini. Luarbiasa, spermaku masih sanggup membanjiri vagina Rani sehingga ia tak curiga samasekali kalau sebagian besar spermaku sudah tumpah dalam rahim ibunya dari siang sampai sore ini.

Dua minggu kemudian, aku dan Rani membuat kesepakatan tentang study kami. Tepat seperti yang diinginkan Bu Siska, aku tetap di Jakarta dan Rani menyusul Mbak Rina ke London. Otomatis hari-hari sebelum keberangkatannya tiba, aktivitas seksual kami meningkat tajam, setiap pulang sekolah, aku dan Rani langsung mengurung diri di kamar.

Kami menumpahkan semua hasrat yang ada. Ibu malah sengaja menjadwalkan diri keluar daerah, sehingga di rumah hanya ada aku dan Rani. Lainnya para pembantu yang tinggal di kamar belakang kebun rumah kami. Jadi selama dua minggu itu pula aktifitas seks ku dengan ibu jadi tidak ada. Sebelum pergi ke luar kota, ibu malah berpesan agar aku puas-puasin dulu dengan Rani karena kami tak bisa mengantarnya ke London.

Hari terakhir menjelang keberangkatannya, aku dan Rani melakukan persetubuhan yang begitu romantis. Kami berdua berjanji akan memelihara benih kasih sayang. Rani malah bilang hanya kematian yang dapat memisahkan kami. Aku terharu sekali, sekaligus merasa berdosa padanya. Bagaimana tidak, sejak pertamakali bersetubuh dengan ibunya aku hampir setiap minggu pagi, saat Rani olahraga, Bu Siska selalu minta “jatahnya”.

Aku bingung, satu sisi aku menyayangi Rani sebagai istriku, tapi disisi lain harus juga kuakui bahwa pesona dan kasih sayang Bu Siska padaku juga tak dapat kutolak. Sentuhan hati dan tubuh wanita paruhbaya itu begitu membutakan mata hatiku. Namun sebagai manusia yang pragmatis, aku jalani saja keduanya.

Hari minggu sore, Aku dan Bu Siska mengantar Rani ke Bandara. Dalam perjalanan, Rani seperti tak mau melepaskan pelukannya padaku. Dan saat memasuki ruang tunggu keberangkatan, ia menciumku sambil menangis. Setelah juga mencium ibunya, Rani berlalu sambil menunduk, aku melambaikan tangan hingga Rani menghilang dibalik pintu garbarata.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu