2 November 2020
Penulis —  memekibustw

Budhe Anah janda desa bertubuh ibukota

Minggu pagi keesokan harinya, aku terbangun mendapati ibu dan Bu Hesti masih memelukku. Kami semua masih bugil, meski tertutup selimut tebal, AC di kamar ini memang sangat dingin, seingatku tengah malam tadi aku terbangun dan menarik kain tebal itu untuk menutupi tubuh kami berempat. Tapi kemana Budhe sepagi ini?

Rasa penasaran membuatku segera menuju washtafel dan mencuci muka, toh aku tak bisa tidur lagi, ngantukku sudah hilang karena semalam kami terlelap lebih awal dari biasanya. Ini masih jam 05.00 pagi, aku berjalan ke belakang menuju kamar para pekerja rumah tangga ibu yang berjejer model kos-kosan. Bangunan panjang itu terpisah sebuah tembok tinggi dengan satu pintu penghubung ke halaman belakang.

“Budheee… Budhe…” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Budhe yang terletak paling kiri diantara kamar-kamar pekerja yang lain. Kamar itu paling besar dan dilengakapi ruang tamu, kamar mandi pribadi serta perabotan rumah tangga khusus untuk Budhe. Ia memang kepala asisten rumah tangga ibu, jadi wajar kalau kamarnya paling luas dan paling lengkap.

Karena tak ada sahutan dari dalam, aku membuka pintu depan kamar Budhe yang kebetulan tak terkunci. Kutengok kedalam, tak tampak siapapun disitu, aku masuk berjalan ke kamar Budhe. Oh ternyata ia sedang shalat…

“Hmm… biar kata perempuan binal saat kuentot, rupanya Budhe rajin ibadah…” benakku membatin… Kutunggu ia selesai, aku masih berdiri menatap perempuan yang kini sedang bersimpuh dengan tubuh berbungkus mukena putih panjang.

“Eeh aden, maaf Budhe gak jawab aden manggil tadi, lagi sholat den…” katanya bergegas melepas kerudung putih itu.

Tampaklah kini tubuh Budhe yang cuma berlapis BH tanpa celana dalam. Dadaku sudah mulai berdesir saat ia melepas bawahan pakaian shalat tadi, seketika Budhe sadar dirinya telanjang kutatapi dengan mata melotot. Ia berusaha menutupi kemaluannya dengan telapak tangan kiri dan susunya dengan lengan kanan.

“Oh Tuhaaaan, Budhe cantik sekali…” Ungkapku kagum, masih menatapi badan bugilnya, padahal sebelum ini juga aku sudah sering melihat bahkan menggeluti tubuh bahenol itu.

“Ah, aden… Budhe sudah tua den… eh aden mau dibikinin sarapan? Tuh sudah siap di meja makan den, Budhe sudah selesai masak dari jam 5 tadi…” katanya mencoba mengalihkan perhatian, tangan Budhe meraih daster yang tergantung di kapstok dinding dekat tempat tidurnya.

Kamar Budhe sangat rapi dan ditata apik meski tak semewah kamarku, menunjukkan betapa perempuan desa paruhbaya ini sangat menjaga kebersihan dan kerapihan. Kata-kata Budhe tak membuatku bergeming, aku malah maju beberapa langkah mendekatinya, kupeluk tubuhnya yang belum lagi sempat mengenakan pakaian.

“Budhe bikin Budi kangen… kenapa tadi gak bangunin Budi?” kataku sambil mencium bibirnya, ia menyambut dan balas memeluk, ciuman itu ditimpalinya dengan balik memagut. Kami terlibat permainan lidah. Nafasnya mulai mendengus keras, pertanda Budhe pun sudah dilanda nafsu.

“Ooouuhhh adeeennn, Budhe juga mau deeeen, tapi malu minta… malu sama ndoro nyonya…” ujarnya disela-sela kesibukan tanganku meremas buah dadanya dan mulutku yang kini menyerbu lehernya.

“Ibu sudah mengijinkan kita main kapan aja Budhe, dan semalam juga Budhe sudah boleh tidur sama-sama kita semua, jadi Budhe gak perlu malu-malu lagi…”

“Iii iya den, Budhe masih canggung, gak enak sama ndoro nyonya, beliau kelewat baik sama Budhe…” Tangannya ternyata sudah menyusup ke celah celana kolor yang kukenakan, memegang dan meremas penisku yang sudah sejak tadi keras berdiri!

“Aku pengen main di kamar Budhe, kita mesra-mesra ya Budhe…” aku berkata sambil menarik tubuhnya ke tempat tidur springbed berukuran medium itu. Keharuman sprei putih ini semakin membuatku semangat menggeluti tubuhnya yang kini berbaring pasrah, menghadap keatas dengan kaki yang ditekuk, mengangkang kiri kanan seolah mengundangku untuk segera mengeksploitasi barang nikmat yang menganga di pangkal pahanya.

“Oooooooohhhh deeennnnn ennaaaakkkk!!!” jerit Budhe merasakan pendaratan perdana lidahku pagi ini di bibir memeknya.

Keharuman khas vagina Budhe yang beraroma pandan itu sempat membuatku bertanya…

“Budhe pasti rajin rawat memek ya? Ini kok bisa harum Budhe? Pake apa bersihinnya?”

“Oouuhhhfff deeennnn… Budhe rajin minum jamu tiap hari…”

“Jamu apa Budhe?”

“Jamu bersih wanita den, Budhe sudah lama minum itu, dari remaja dulu…” katanya, lalu serta-merta tangan Budhe meraih kepalaku dan menjejalkan kuat ke selangkangannya. Otomatis bibirku jadi menempel ketat di memek nikmat berbentuk tembem itu.

Aku kembali menenggelamkan lidah kedalam vaginanya, kusedot sedot dengan antusias, sampai pemiliknya menjerit-jerit kecil.

“Aaaooohhh deeen, Budhe boleh minta emut kontol adeeeen?”

Ah, rupanya Budhe ingin mencoba gaya 69, dimana aku menyedot memeknya dan dia mengulum kontolku. Segera kuturuti permintaan Budhe, kubalik posisi dengan menempatkan penis tepat diatas wajahnya. Budhe langsung melahap batang yang sudah keras dari tadi itu, aku lanjut mengenyot-enyot bibir memeknya!

Lumayan lama juga kami saling menjilat dan menyedot kelamin, sampai Budhe berteriak histeris pertanda orgasme pertamanya di pagi ini sudah tercapai.

“Aaaaahhhhh Deeeennnnn!!! Budhe keluaaaarrrrrrrr ennaaaakk!!”

Segera kulepaskan memek Budhe setelah menyedot dan meminum cairan kental hasil semburan pucak birahi itu, dengan tak sabar kemudian aku berbaring dan memintanya mengambil posisi diatasku, berjongkok dan berhadapan. Ini dia posisi yang kuinginkan, Woman On Top, dimana aku dengan leluasa menikmati goyangan tubuh Budhe sambil memainkan susu besarnya.

“Aaaahhhh makasih Budhe…” Ujarku pelan lalu meraih dua buah susu itu dan meremas pelan, mulutku dengan mudah menyambar putingnya untuk disedot. Budhe terus bergoyang diatas pinggangku, menjerit-jerit menikmati keluar masuknya kontolku dalam memeknya yang sudah terlalu lama ‘puasa’!

“Hooohhhh deeennn ennaak deeennn hooohhh kontol aden marem banget deennnn… Budhe keenakan deeeennn oooh den Budiiihhh… Budhe bentar lagi mau muncaaakk deeennn aaaaahhh aaahhh aaahhh aaahhh,” jeritan Budhe tak putus-putus saat tanpa jeda sedetikpun ia menghempas-hempas pinggul dan pantat besarnya kearah badanku, mengeluar masukkan kontol besar itu ke celah vaginanya.

“Ayyoooh Budhe, nikmati kontolku sepuasnya… memek Budhe juga ennak banget aaaahhhh aaahhh aaahhhh yeeesss Budhe yeess yeesss yeesss entotin kontolku ke memek nikmmatmu Budhe ooohhhh yesss ooohh yess Budhe ooohhhh ini susu gede banget Budheeee ooohhhh aku suka susu Budhee oooouuhhhhh yesssss mmmmmhhh mmmhhhh mhhhh,” desahku tak kalah seru menimpali jeritan-jeritan nikmatnya.

“Deeeeennnn aaaahhhhh addeeen taauuh gaaakkk??? Budheee sudah muncak 6 kali deeennnnnnn aaaaahhhh ini mau lagiiihhh aaahhhhhh,”

Terkejut juga aku mendengar pengakuannya, yang kurasakan malah cuma 2 kali ia muncrat di dalam sana, tapi karena cenut-cenut memek Budhe memang kuat dan terus-terusan, mungkin saja aku jadi tak sadar, mana orgasme, mana empot-empotan biasa memek Budhe, rasanya sama saja, sama-sama ennak! Sama-sama gurih!!

Puas menggoyang tubuh bahenolnya diatas tempat tidur, aku mengajak Budhe mandi, itu setelah kali ke sembilan ia orgasme menurut pengakuannya. Sudah 40 menit sejak awal kugenjot memeknya…

Kubuka kran air panas shower di kamar mandi Budhe, mengatur agar pas hangatnya, lalu kami berdiri dibawah guyuran hujan buatan itu sambil terus saling menggoyang, kutarik sebuah ember dan membalikkan posisinya, ini kugunakan untuk memberi pijakan pada sebelah kaki Budhe agar posisi memeknya tetap terbuka, memudahkan kontolku keluar masuk.

Dua kali lagi Budhe orgasme disana, kali ini sangat terasa di kontolku. Itu karena posisi ngentot sambil berdiri ini membuat memek Budhe terasa makin menjepit, kedutannya jadi terasa lebih kuat seperti meremas. Kuminta ia menungging karena ia bilang lelah berdiri di posisi berhadapan. Kami sama-sama berjongkok memakai lutut sebagai tumpuan, aku menusuk dari arah pantatnya, masih dibawah guyuran shower, 2 kali lagi Budhe ‘muncak’ dengan gaya anjing ini.

Setelahnya kami membilas badan, lalu mengeringkan dengan handuk. Kembali ke kamar tidur dan kuminta Budhe duduk di pinggiran springbed, kakinya masih menjuntai kebawah, pahanya mengangkang, badannya condong ke belakang, aku berdiri setengah menunduk, memasukkan penisku yang sudah terasa hampir klimaks ini.

Tanganku meraih buah dada besar itu dan memakainya sebagai pegangan. Langsung mengocok memeknya dengan cepat dan kuat. Dan ketika saatnya aku sudah tak tahan, kuhempaskan pangkal pahaku dengan keras ke selangkangan Budhe, ia menjerit keenakan, akupun melolong panjang, melepaskan 14 semprotan sperma perdanaku di pagi ini dalam rahim Budhe!

“Aaaaaaahhhhhhh yeeeeessss Budheeeeeee!!!! Aku kelluaaarr kelluaaarrr kelluaaarrrrrr aaaaaaaahhhhh yeeessssssss!!!!!” teriakku

“Iiyaaaa deeeeeeennnnnn Budheeee juggaaahh muncaaaakkkk laggiiihhhh aaaaaahhhhhhhhh adeeeeennnnn ennaakkkk!!!!” Jerit Budhe hampir bersamaan.

Kubaringkan tubuh disampingnya setelah beberapa saat melepas puncak birahi pagi itu. Wajah Budhe penuh kepuasan, menyunggingkan senyum bahagia yang manis sekali. Kukecup bibirnya pelan dan lembut. Kelopak matanya masih tertutup, nafasnya masih tersenggal-senggal…

“Den…” panggilnya.

“Ya Budhe sayang…”

“Budhe gak nyangka bisa dapat enak begini dari aden…”

“Ah Budhe, jangan merendah terus, Budhe cantik kok…” kubelai buah dadanya.

“Sumpah den, mana pernah Budhe bayangin kalau di umur segini Budhe masih bisa dapat beginian… boro-boro berharap, mimpi aja Budhe gak pernah…”

“Aku juga beruntung dapat Budhe yang cantik, manis, montok, susunya besar begini…” kuremas lagi buah dada Budhe…

“Ah aden…” ia tersipu malu

“Dan bermemek tembem…”

“Hihihiiii” Budhe mencubit perutku…

“Dan jepit cenut-cenut di dalem sana…”

“Iiih adeeen, emang punya ndoro nyonya dan ndoro Hesti gak gitu ya?”

“Yaaa gitu jugak sih, tapi gak sekuat cenutan memek Budhe…”

“Masa sih Den?”

“Iya Budhe… aku gak bohong,”

“Aden pintar bikin Budhe GR sendiri…”

“Gak lah Budhe, emang bener kok, memek Budhe itu paling nikmat kedutannya…”

Senyum mengembang dari bibir Budhe, disandarkannya wajah manis itu di dadaku dengan manja, ia tampak bahagia sekali.

“Budhe rasanya seperti terbang Den…,” ia berkata sambil menengadahkan wajah kearahku, aku memeluknya erat dan mesra, lalu kutundukkan kepala dan memberinya kecupan di bibir. Hening sejenak, batin kami bicara, mata kami sesekali saling tatap. Aura kecantikan wajahnya terungkap jelas setiap kali ia habis ditiduri seperti saat ini.

“Ah Budhe… Aku sayang Budhe…” kataku memecah kesunyian, dan membelai halus rambutnya.

“Budhe juga sayang aden…” jawabnya sembari menunduk malu, persis seperti anak perawan yang masih baru mengenal cinta monyet.

Dibalasnya belaian tanganku dengan membelai barang panjang yang mulai berdiri lagi itu. Tapi baru saja aku berniat akan mengentotinya kembali, Budhe tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya di penisku…

“Maaf Den, Budhe sampai lupa belum bikin jajanan buat ndoro Nyonya…” ujarnya lalu beranjak bangun.

Saat hendak mengenakan daster panjang yang ia raih dari gantungan baju di dekat tempat tidur itu, aku mencegah dengan menarik tangannya…

“Sudah Den, Budhe harus kerja… nanti sore aja kita lanjutin lagi mesra-mesranya…”

“Iya Budhe, tapi aku cuma mau bantuin Budhe berpakaian…” aku berkata begitu dan mengambil daster dari tangannya, Budhe kaget… tak menyangka aku akan memperlakukannya semesra itu.

“Ah Adeeennn… suka bikin Budhe besar kepala…”

“Budhe kan sudah jadi pacarku sekarang…” aku memasangkan Bhnya, lalu celana dalamnya, dan terakhir daster panjang warna biru itu. Penampilan Budhe tampak semakin mempesona… aku berdecak kagum.

“Hihihi… iya, Aden banyak pacar… Budhe ini yang ke berapa ya?” candanya sambil menyisir rambut yang cukup panjang dan lebat hingga dibawah bahu. Budhe menggulung dan melipat rambutnya kearah belakang, mirip gaya sanggul pramugari Garuda yang elegan. Aku makin kagum saja…

“ah, budhe cantik sekali…” ujarku setengah bergumam, memberinya pelukan dan ciuman mesra sebelum kami keluar kamar dan berjalan beriringan menuju dapur.

“nanti kalau ibu dan Bu Hesti keluar rumah, kita mesra-mesra lagi ya Budhe sayang…”

“Iya, aden sayaaang…” Budhe mencubit pinggangku dan berjalan kearah dapur, aku masuk ke rumah dan menuju kamar ibu dengan hati yang berbunga-bunga.

Sampai di kamar kutemukan ibu dan Bu Hesti masih tertidur, terlalu lelah rupanya mereka kusantap habis sampai terkapar semalam. Aku melepas pakaian, setelah telanjang bulat seperti kedua perempuan cantik itu, lalu aku berbaring diantara mereka. Kuraih buku bacaan yang banyak terdapat di lemari kecil persis diatas tempat tidur ibu.

Dengkuran halus terdengar dari hidung ibuku, selimut masih menutupi tubuh montok yang selama ini rutin memberi kepuasan seks padaku. Aku meciumnya dengan mesra, ibu masih tak bergerak, artinya ia tertidur sangat lelap.

Pikiran nakalku muncul saat melirik kearah Bu Hesti. Karena posisi tidurnya agak meringkuk dengan lutut yang menekuk, otomatis saat kusingkap selimut yang menutupinya, memek Bu Hesti tampak mengintip diantara lipatan kedua pangkal pahanya. Hmmm… aku menggeser posisi kebawah bokong besar wanita itu, lalu dengan pelan aku memonyongkan mulut dan meludahi celah vaginanya, kujilat-jilat dengan pelan untuk meratakan lumuran air liurku disana.

Sekali dorong, kutembus memek Bu Hesti yang sudah kubasahi dengan liur tadi, masuk sempurna dan langsung menggoyang pelan maju mundur sambil berpegang pada pantat dan payudaranya.

“Ooouuhhhh sayaaaaaang… enaaknyaaahhhh…” desah Bu Hesti saat menyadari aku tengah menyetubuhinya.

“Ayo sayaaang, goyang yang mesra, tante mau disetubuhi semesra yang kamu lakukan dengan ibumu semalam…” lanjutnya lagi, tangannya menjulur kearah wajahku, seolah memintaku menunduk.

Aku mengerti maksudnya, maka kuberi ciuman di bibir Bu Hesti, kami saling bertukar ludah, pinggulku masih menggenjot kontol keluar masuk di memeknya, tanganku meremas buah dadanya, sementara tangannya merangkul leherku seolah tak ingin aku menghentikan ‘adu mulut’ dan lidah itu.

Cepat sekali Bu Hesti orgasme, masih dengan gaya ini, pada sodokan kontolku yang ke 125, dia menjerit dan melepas…

“Aaaaaaahhhhh sayaaaaaang… tante kelluaaaarrrrrrr!!!”

Sejenak kutahan goyangan itu dan menancapkan kontolku hingga mentok didasar liang vaginanya, untuk memberi efek kenikmatan yang maksimal orgasme yang tengah ia raih.

Tak sampai semenit kemudian, aku mencabut penis dari memeknya, Bu Hesti berjalan ke arah sofa di sudut kamar, ia langsung duduk dengan paha yang mengangkang, menumpang pada sandaran tangan sofa itu kiri dan kanan, tubuhnya miring ke belakang. Posisi yang sangat menantang nafsu birahiku…

“Ayo kemari sayang…”

Aku segera mendekatinya dan berlutut, dengan sedikit menunduk, kuserbu vaginanya dengan sedotan-sedotan cukup keras, membuat Bu Hesti berteriak kegelian.

“Hoooohhhhhh stop sayaaang! Jangan jilatin sekarang! Tante bisa cepat ngecrot lagiiiihhhh,”

Maka kuhentikan permainan mulutku di memeknya, kutegakkan badan dan mendekatkan penisku ke selangkangannya. Masuk lagi, masih sambil berlutut, langsung mengocok maju mundur, tanganku meraih dua buah dadanya yang panjang dan besar itu, meremas-remas lembut sambil berpegangan, mataku menatapi kontol yang kini mencolok-colok memeknya keluar masuk, maju mundur.

Bermain dengan mesra alias bercinta seperti ini membuat daya tahan ibu beranak lima itu jadi lebih lama mencapai orgasme, dari yang biasanya tiap 5-7 menit, jadi 10 hingga 15 menit. Aku juga senang, karena dengan bercinta begini, aura kecantikan wajah Bu Hesti jadi lebih memancar. Sambil terus menyogok kemaluannya aku membayangkan ia tengah memberi kuliah akuntansi mengenakan jas dan rok feminim sesuai seleraku.

Kuberi ia jeda sejenak untuk mengembalikan stamina, kulepaskan tautan kelamin kami lalu ikut duduk di sandaran sofa. Kami berciuman mesra lagi, tangannya mengocok penisku yang masih tegang dan belepotan cairan kental dari dalam memeknya.

Kami beranjak bangkit dari sofa itu dan berjalan mendekati ibu yang masih tidur, aku berdiri sempurna di belakang Bu Hesti. Ia menaikkan kaki kanan ke tepian springbed dekat kaki ibuku. Ia sedikit menunduk dengan tangan kiri yang menarik belahan pangkal paha bagian belakang, persis dibawah gelembung pantat besarnya, menyingkap belahan memek sekaligus sebagai ajakan agar aku segera memasukkan penis dari arah belakang.

“Tante…” panggilku ditengah keasikan menggenjot

“Hhhhhh iiyyaah say sayaaang???” sahutnya terangah-engah menahan nikmatnya sodokan kontolku di memeknya.

“Tante bisa jilatin memek ibu…”

“Hhhhhh ooouuhhh iyyaah sayang… sebentaaarr aaahhhh…”

Bu Hesti menghentikan goyanganku, ia menunduk lalu menyingkap selimut yang menutupi tubuh ibu, ditariknya kaki ibuku agar lebih mendekat kearahnya. Ibu masih tak bergerak. Lelap benar ia tertidur. Begitupun saat Bu Hesti sudah berhasil menjangkau memeknya dengan mulut dan lidah, ibu masih tak sadar sedang dijilati.

Posisi ibu sekarang mengangkang dengan memek yang dijilati dan disedot oleh Bu Hesti. Aku menggenjot sambil memegangi pinggul dan menggenjot memek dosen akuntansi itu dari belakang, semakin keras kugenjot memek bu Hesti, semakin kuat pula ia menyedot memek ibuku. Terus begitu hingga kira-kira lima menit kemudian ibu terbangun dan mendapati dirinya tengah ‘digarap’ oleh Bu Hesti yang juga lagi kuentot.

“Haaahhhh Hooohhh!!! Oooohhh oohhh yesss yesss yeesss aaahhh Budii sayaang oouuhhhh sodok terus memekku sayaaang ooohhhhhhh,”

“Yaaak ampuun Hestiiiiiiiii… kenapa lu gak bangunin gue dari tadii??? Hihihi emang lu kuat ngadepin anak gue sendirian?” kata ibu sambil mengusap-usap matanya yang baru saja terbuka.

Aku terus asik menggenjot, mengabaikan mereka yang kini asik berciuman bibir. Ibu rupanya tak tahan menyaksikan wajah sahabatnya yang meringis menahan nikmat yang sangat dari sodokan kontolku di memeknya. Ia berinisiatif memberi layanan lebih pada Bu Hesti dengan cara mengadu bibir dan lidah, tangan ibu juga meraih dan meremas-remas kuat kedua buah dada sahabatnya itu.

“Aaaaaaaaahhhhh tante kelluaaaarrrr sayaaaaaaaaang!!!!!” teriaknya, kutancapkan kontolku dalam-dalam saat ia melepas.

Ambruk sudah pertahanan Bu Hesti, tubuhnya rebah di lantai karpet, ia terduduk disana dan bersandar di pinggir tempat tidur springbed. Tiba-tiba ibu menggeser tubuhnya juga ke tempat dimana Bu Hesti tengah duduk lemas persis dibawahnya, paha ibu mengangkang diatas kepala Bu Hesti, dan ibu memintaku untuk segera menyetubuhinya.

Kuangkat kedua kaki ibu dan semakin menyingkap belahan memeknya yang merah, sudah basah disana akibat Bu Hesti tadi menjilat sampai becek. Dengan begitu, kontolku langsung masuk, lancar karena licin, aku menggoyang lambat, menikmati memek ibu yang pagi ini tampak masih segar.

“Ayyoohh sayaaang, keluarin spermamu… tumpahkan lagi dalam rahim ibu… biar anakmu tambah sehat… ooouuuhhhhh,” desahnya mulai bergairah.

Akupun memompa dengan kecepatan sedang, lebih cepat, semakin cepat dan cepat sekali, hingga pemilik kewanitaan itu makin ribut berteriak keras. 15 menit saja kubutuhkan untuk membuat ibu orgasme empat kali, aku sudah dekat, semakin dekat dan…

“Ooooohhhhhh Buuuu!!! Budiii kelluaaarrrr aaahhhhh!!” jeritku panjang, kontolku menyemburkan sperma kedalam rahim ibu, entah berapa belas kali, membanjiri liang nikmat perempuan paruhbaya yang akan jadi ibu dari anakku, sekaligus mertuaku itu.

“Oooooohhhhh ibu puas sayang… terimakasih…” Ujarnya sesaat setelah puncak ketegangan itu mulai mereda.

Kontolku masih menancap di kemaluan ibu, terasa ada sesuatu yang membelai biji telorku dibawah sana. Aku hampir lupa ternyata Bu Hesti masih disitu, ia kini menjilati kemaluan kami yang masih bertaut. Saat kucabut kontol dari memek ibu, mulut Bu Hesti langsung menyambar dan menerkam penis yang masih belepotan cairan kelamin itu.

“Aaaauuuuwwwwww geli Tanteeee!!!” Aku menjerit merasakan sedotan mulutnya.

Aku bergerak kearah tempat tidur dengan maksud ingin berbaring melepas lelah pasca ejakulasi, tapi karena Bu Hesti tak mau melepaskan kontolku dari mulutnya, terpaksa kubergerak pelan-pelan. Berhasil juga aku sampai di tempat tidur dan berbaring, sementara dosen binal itu masih saja menyedot-nyedot penisku yang mulai melemas.

Omaigossss!!! Pagi ini, dalam 3 jam saja sejak pukul 5 tadi aku sudah dua kali berejakulasi!!! Yang pertama di memek Budhe, berikutnya di dalam rahim ibu. Hasilnya aku cukup lapar!

Setelah membersihkan badan, belum mandi (karena kami biasanya olahraga setelah sarapan), aku, Bu Hesti dan ibuku keluar menuju ruang tengah untuk melihat makanan apa yang tersedia. Kami semua sangat lapar rupanya, tentu karena tenaga kami terkuras habis sejak tadi malam hingga pagi ini untuk meraih kepuasan birahi dari permainan demi permainan seks yang kami lakukan tak jemu-jemu!

Hidangan lengkap dan bergizi tinggi sudah tersaji di meja makan, kami menyantapnya dengan lahap. Tak saling ‘ganggu’ seperti sarapan hari-hari biasanya, karena semua terlalu lapar! Setelahnya, bertiga kami mengganti pakaian dengan kaos olahraga. Ibu dan aku melakukan jogging mengelilingi bangunan rumah, mengikuti jogging track yang ada disitu.

Bu Hesti melakukan senam pemanasan, ia bermaksud untuk renang rupanya. Secara body, tubuh Bu Hesti memang paling ideal, karena ia rutin melakukan olahraga air yang katanya paling cepat membentuk badan jadi proporsional. Tapi secara selera seksual, aku justru paling suka pada tubuh ibu yang menurutku paling merangsang, tinggi badan yang proporsional dengan beratnya, payudara yang sesuai dengan lebar dadanya, dan wajah elegan yang selalu menimbulkan gelora birahi dalam hatiku.

Budhe beda lagi, aku tak hanya terobsesi bentuk tubuhnya yang proporsional seperti ibu, tapi juga karena buah dadanya yang super besar, bisa untuk jepit kontol. Penampilan Budhe yang bersahaja juga menjadi daya tarik tersendiri bagiku, ditambah memeknya yang selalu berkedut keras saat disetubuhi. Entah karena pesona alami tubuhnya atau karena Budhe anggota terbaru group seks kami, belakangan aku jadi paling suka ngentotin memek perempuan paruhbaya dari desa yang lebih sering mengenakan kebaya dalam kesehariannya itu!

Saat hal ini kuungkapkan pada ibu, ia dengan penuh pengertian memberikan restu padaku. Aku boleh kapan saja meniduri Budhe, tapi tetap harus kulakukan dengan menghormatinya sebagai orang paling tua di rumah. Bahagia sekali rasanya mendapat ijin mengentoti Budhe dari ibuku itu. Tak terkira kebaikan ibu padaku.

Siang hingga sore harinya ternyata Bu Hesti dan ibu tak kunjung keluar rumah. Ibu memilih untuk bermesra-mesra denganku, sementara Bu Hesti dan Budhe Anah malah asik menggarap kebun bunga baru di sebidang tanah kosong yang terletak agak jauh dari bangunan rumah ini. Mereka dibantu mbak Siti dan mbak Nur, dua asisten rumah tangga yang merupakan ‘bawahan’ Budhe, tampak bergotong-royong menanam ragam jenis bunga, tentu setelah beres bersih-bersih rumah besar ini.

Dan selama 5 jam lebih mereka menggarap kebun itu, aku dan ibu juga saling ‘menggarap’ di dalam rumah, dari dapur, kamar mandi, kamar tidur, ruang tengah, perpustakaan pribadi ibu sampai di teras samping, tak ada sejengkalpun tersisa untuk kami bercinta setengah hari itu. Diawali dengan saling pagut di ruang baca (perpustakaan), dan berakhir di kamar tidur!

Bertelanjang kami tertidur sambil berpelukan. Samar-samar terdengar suara Budhe membangunkan kami.

“Deeennn… deeennn… den Budiii… bangun deeen… sudah malam… aden dan ndoro nyonya belum makan, nanti sakit maag nyonya kambuh…” kata Budhe, tangannya menggoyang-goyang bahuku yang lagi dipeluk ibu.

“Huuuuaaaahaaammm… jam berapa ini Budhe???” aku menguap panjang, kelopak mataku baru terbuka, tampak Budhe memakai daster dengan wajah tersenyum diatasku. Aku langsung menciumnya, Budhe membalas.

“Sudah jam 7 malam den… ayo bangunin ndoro nyonya…” kata Budhe setlah ciuman kami terlepas.

“Iya Budhe…” jawabku tapi dengan tangan malah meraih buah dada Budhe…

“Iiih adeen, jangaaan ah, itu ndoro nyonya harus makan malam den, nanti bisa sakit kalau telat…” tangannya menghentikan aktifitasku meremas susunya.

“Sebentar aja Budhe, ini punyaku sudah tegang…” ajakku sedikit memaksa.

Tanganku malah berpindah ke selangkangan Budhe, maigottt!! Ia tak mengenakan celana dalam dibalik daster nya!

“Eeehhh adeennnn… jangan deeennnn, gak enak sama ndoro nyonya…” tolaknya, budhe coba menjauh, tapi kuraih pinggangnya dengan tangan kanan. Jemari kiriku kini sibuk mengorek celah vagina tembem Budhe.

“Aaaaauuuhhhh deeeennnnn…” ia mendesah, penolakannya melemah, dan celah itu mulai basah… Budhe terangsang juga rupanya, karena diam-diam ia terus melirik kearah kontolku yang sudah berdiri tegak sejak awal tadi.

Dengan tergesa aku bangun memeluk tubuh montoknya, kubaringkan di samping ibu yang masih tertidur, lalu dengan segera kuangkat kedua kaki Budhe, mengangkangkan pahanya lebar. Sejenak kujilati memeknya untuk memudahkan kontol besarku masuk nanti.

“Aaaaaiiiiiihhhhh adeeeennnnnnn geeelliiiiiii deeennnnnn!!” Jeritnya, tak lagi kawatir ibu akan bangun.

3 menit saja aku menjilatnya sampai budhe menggelepar-gelepar. Ah kasihan betul Budheku yang montok ini, cepat sekali ia orgasme. Rupanya titik lemah Budhe memang ada di daerah vagina, terbukti setiap aku jilatin clitorisnya ia langsung kejang-kejang memuncak.

Tanpa menunggu nafas Budhe tenang, aku langsung berdiri dan mengarahkan batang kemaluanku ke memeknya, mencoblos masuk, langsung menggoyang lancar maju mundur.

“Aaaaahhh hooohhh ooohhh oohh adeenn oohhh enaakkgghh deenn ooh oohhh enaak banget genjotan nya deeennn yaaahhh deennn adduuuuhhh enaknya punya adeeennn ooohhh panjaaang bangeet deeen baangnyaaa deeennnnn ooohhh Budhe mau muncaaak lagi deeennn ooouuhhhhhhh,” suara Budhe nyerocos tak karuan, ia berteriak kencang, lupa kalau ibu jadi terbangun dibuatnya.

“Wwoooowwww… asik banget mainnya mbakyu sayang…” ujar ibu mengagetkan aku yang masih memompa memek Budhe.

“Haaahhhh maaf ndoro nyonyaaahhhh…” Budhe reflek menghentikan goyanganku diatas tubuhnya.

“Eh, gakpapa mbakyu… lanjut aja… ayo Bud, goyang lagi Budhemu…” sahut ibu, diciumnya Budhe untuk meyakinkan keseriusannya menyuruhku tetap menggeol dan memuasi birahi perempuan paruhbaya kepala asisten rumah tangganya itu.

Mendengar itu dan melihat ibu yang kini justru mengadu bibir dengan Budhe, aku kembali menggenjotkan kontolku makin kencang. Badan bongsor Budhe sampai bergoyang keras akibat hentakan-hentakan pinggulku di pangkal pahanya. Bunyi plak plak plak pun kian keras terdengar.

Tiba-tiba kurasakan sesuah tangan merangkul pundakku dari belakang, ternyata setelah kutoleh itu Bu Hesti. Seperti tak ingin kehilangan momentum, ia menyambut wajahku dengan menyodorkan buah dada. Aku langsung menyambar puting susu itu dengan mulut, mengenyot keras sampai pemilikknya berteriak kegelian.

“Aaaaahhhh Budiiiihhhhh ennaaaaaakkkkkkk!!!” Jerit Bu Hesti.

Sementara tangan kiri dosenku itu menyodorkan payudara ke mulutku, tangan kanannya meraih susu ibuku yang lagi seru-serunya beradu bibir dengan Budhe. Ia meremas dengan keras buah dada besar ibu hingga calon mertuaku itu berteriak menghentikan adu bibirnya.

“Buangsaaattttt Hestiiiiiiiiihhhh geliiii tauuukkkk aaaahhhh!!!” ibu menjerit.

“Kuappok loehhhhh Sisssss, wakakakakakak!” Tawa Bu Hesti meledek ibuku.

Sementara aku terus menggoyang, Budhe kini sudah menjelang orgasme yang ketiga kali, saat ibu menjerit dan melepaskan tautan mulut mereka, Budhe juga berteriak melepas. Tangannya merengut kain sprei tempat tidur itu, kakinya menendang nendang tak karuan. Tubuhnya berguncang hebat, budhe mencapai puncak kenikmatannya dengan dahsyat!

Segera kulepaskan kontolku dari memek Budhe, lalu kuminta Bu Hesti berbaring dimana tadi Budhe menggelepar. Ibu diam di posisinya, aku masukkan kontol ke memek Bu Hesti yang kini mengangkang hadap keatas.

“Mbakyu… sini kujilatin memek lu say…” kata Bu Hesti pada Budhe, ditariknya tangan perempuan itu untuk segera menempatkan selangkangannya diatas wajahnya, Budhe menurut.

Jadilah kami bertarung lagi dengan buas dan liar. Suasana kamar ibu jadi yang tadinya sepi jadi riuh ribut layaknya pasar, penuh dengan kata-kata kotor dari mulut kami. Lucunya, Budhe yang tadinya masih canggung mengucap kata-kata jorok kini dengan lancar bisa berteriak “entot Budheee!!! ”, “Kontol aden ennaak!!!

Dan seperti biasa, setelah Bu Hesti ‘tuntas’ dengan 5 kali orgasme, giliran ibu yang terakhir menampung sperma dariku. Itu karena kami sepakat ibu harus hamil dan mengandung anakku! Kalau bisa kembar 2 bahkan 3 atau 4! Hehehe…

3 kali sudah aku ejakulasi hari ini, pertama di memek Budhe saat subuh, kedua dan ketiga di memek ibu siang tadi dan baru saja…

Makan malam telah siap di meja ruang tengah. Dengan sigap budhe melayani kami. Saat bekerja seperti itu Budhe mengenakan kebaya Jawa, selalu membuatku berfantasi, teringat kegemaran ‘memperkosa’ ibu dengan pakaian tradisional yang masih melekat di tubuhnya.

Tak tahan hanya melihat pantat besar budhe berbungkus kain jarik motif bunga dengan warna dasar hijau itu membuat tanganku menjailinya. Ditengah keasikan menyantap makanan kucolek pantat Budhe…

“Idih adennnn nakal banget sih tangannya, belum puas ya? Hihihi,” Budhe berucap sambil balas mencubit pipiku yang masih mengunyah.

Ia duduk mengambil tempat di sampingku, menyela bangku diantara aku dan ibu, jadi ia berada di tengah sekarang. Makan dengan suasana hati riang gembira, membuat waktu berlalu terasa begitu cepat. Kami bercanda tawa, saling menyuapi kadang saling menggoda. Tak bosan-bosannya aku meraba dada Budhe dengan payudara yang tampak ingin meloncat dari balik kebaya dan BHnya.

Budhe pun sekali waktu memijat bahu dan betis ibu, karena ibu bilang ia masih pegal pegal gara gara kebanyakan ngewek sejak kemarin. Punggung, pinggang dan betisnya berasa pegal seakan mau patah. Aku dan Budhe menawari mereka untuk dipijat saja. Ibu dan Bu Hesti setuju, setelah sarapan selesai, kami kembali ke kamar.

Aku memijat Bu hesti, ibu dipijat oleh Budhe, kami semua dalam keadaan telanjang. Susu besar Budhe gondal gandul ketika ia menunduk memijat kaki ibu. Aku selalu tergiur pada barang besar yang menggantung di dada Budhe, namun karena sedang menunaikan ‘tugas’ memijat Bu hesti aku terpaksa menahan keinginan memainkan toked brutal itu.

Bagian belakang dari punggung, leher, kepala hingga jari kaki Bu Hesti sudah tuntas kuberi pijatan, ia tampak puas dengan pelayananku itu. Demikian pula ibu, ia bilang pijatan budhe sangat enak, gak pernah ada tukang pijat sepiawai Budhe, sentuhannya halus tapi bertenaga, mampu memperlancar peredaran darah pasca kerja keras, pegal-pegal pun segera hilang setelah dipijat Budhe.

“Sekarang yang depan…” ujar ibu, ia membalikkan badan jadi telentang menghadap atas, Bu hesti mengikuti gerakan ibu, mereka nyaris serentak membalikkan tubuh. Meski sudah sering menikmati kedua tubuh wanita paruhbaya ini, aku masih juga terkesima dengan guncangan sesaat dari susu-susu besar ibu dan Bu Hesti waktu berbalik badan tadi.

Budhe langsung memijat paha ibu, dari pangkal diatas, turun ke lutut, lalu ke depan betis dan berakhir di jari jari kaki. Aku meniru cara Budhe memijat. Kata Bu Hesti pijatanku enak juga. Selesai bagian bawah, Budhe lanjut ke pijatan di kepala ibu, turun ke bahu, lalu lengan dan berakhir di jari jari tangan, aku pun menirukannya pada tubuh Bu Hesti.

Apa lagi setelah itu? Susu! Pastinya! Maka kupegang payudara Bu Hesti dengan kedua tanganku, aku meremas pelan, Bu Hesti terpejam. Aku meremas agak keras sambil menggoyang-goyangkan susunya, Bu Hesti mendesah. Aku menunduk dan menerkam puting buah dada itu, menyedot bergiliran kiri kanan, Bu Hesti berteriak kelonjotan!

Untuk ‘jenis pijatan’ yang satu ini, aku jelas lebih pintar dari Budhe, justru ia yang menirukan apa yang kulakukan itu dan menerapkannya pada tubuh ibuku. Plus, jari tangan Budhe terus menerus memelintir kedua puting payudara ibu, otomatis ibu terenggah enggah keenakan.

Seolah tak mau kalah dengan perlakuanku pada tubuh Bu Hesti, Budhe kini menunduk di hadapan memek ibu dan langsung menjilat bibir kemaluannya! Ibu menjerit, Budhe tak peduli, ia tetap saja membenamkan wajah di selangkangan ibu, tak peduli sang nyonya besar meronta ronta menahan geli dan nikmat dari lidah serta mulut Budhe yang menari di permukaan memeknya.

“Aaaaaaaahhhhh gelliiihhhh ennaakkk mbaaakkk!!!” Jerit ibuku.

“Suddaaaahhhh mbaaak ooohh ampuuunnn, aku gak kuat lagiii ampuuun ampuuunnnn!!!” lanjut ibu seperti memohon pada Budhe untuk tak melanjutkan serangan oral di vaginanya.

“Hihihiii iya ndoro nyonya… maaf, saya kok napsu banget kalo ngeliatin den Budi mainin kemaluan ndoro nyonya… hihihiiii,” jawab Budhe menyeringai, wajahnya tersenyum lebar meski masih belepotan cairan kelamin ibu yang menyembur.

“Hadduh mbak, aku sampai 2 kali keluar barusan itu… ini kaki rasanya mau patah! Lemes aku mbak… dah, kamu lanjutin sama si Budi aja…”

Mendengar itu aku yang masih asik mengoral memek Bu Hesti menghentikan aktivitasku.

“Tuh Bud, kamu disuruh muasin Budhemu tuh…” kata Bu Hesti yang rupanya juga sama dengan ibuku, lemas tak sanggup digenjot lagi.

“Tapi aku pengen jepit kontol disini tante…” kataku sambil meremas dadanya.

“Iyya iya iya sayaaaang, nanti kalau meki mbak Anah masih belum cukup buat kamu, tante jepit dech…” pasrahnya.

“Ayo Budhe, kita ngewek disini…” ajakku pada Budhe yang masih tampak bingung mau ngapain setelah diminta stop mengoral memek ibu.

Aku berbaring diantara Bu Hesti dan ibuku yang ‘terkapar’ lemas, kuminta Budhe berlutut mengambil posisi WOT diatasku. Perempuan bertubuh bahenol itu menurut saja, ia berjongkok, telapak tangannya memegang batang kemaluanku yang sudah keras, mengarahkan ujung penis itu ke bibir vaginanya, lalu dengan perlahan ia menurunkan badan…

Sreeepppp… blesss… amblaslah seluruh batang kontol panjang itu masuk dan membelah memek Budhe…

“Oooooohhhh Deeeennnn enaknyaaaaaaaahhhhhh kontol adeeennnnn..” desah Bude bersamaan dengan masuknya penisku.

“Uuuuhhhh yessss Budheeeee… memek Budhe juga ennaaakkk aarggghh yeeeaaahhhhhh… goyang Budheeee…” aku tak kalah seru menikmati momen itu.

Tanganku menjulur keatas, meraih kedua buah dada jumbo Budhe. Pantatnya mulai bergoyang turun naik diatas pinggangku. Kulirik kebawah, terlihat jelas bibir memek Budhe yang tembem itu ikut masuk mengikuti kontolku ketika pantatnya bergerak turun, demikian juga saat ia mengangkat pantat, kulit luar vaginanya yang tebal tapi lembut itu seperti ikut tertarik keluar mengikuti gerak kontolku.

“Hooooohhhhhh deeeennnnnn kontolnyaah menthoookkk dalem memek Budheeee ooouuhhhh ennaknyaaaahhhhhh kontholll adeeennn,”

“Iyyaaah Budheeee… memek Budhe juga ennak bangeeetttt ooohh,” ujarku sambil terus meremas-remas susu Budhe yang terasa tak cukup digenggam telapak tanganku.

“Ayyoohhh seddott susu Budhe Deeennnn ooouuhhhh…” Budhe menunduk, menyodorkan puting payudaranya ke mulutku, akupun menerkam dan langsung menghisap, bergiliran, kiri kanan kiri kanan.

Gerakan naik turun Budhe yang tadinya slow motion sudah berubah agak cepat, semakin cepat dan sesekali menghempas. Sampai kemudian kurasa kedutan beruntun pertanda wanita paruhbaya berwajah manis itu mendesah panjang, tak berteriak seperti biasa.

“Hoooooohhhhhh deeennnn budhe muncaaaaakkkk deeennn adduuuhhh ennaknyaaahhh deeennnn… Budhe keluaaarrrrr sayaaang ooouuuhhhhh… adeeennnn ennaknyaaahhh kontol adeeennnnnn ooohhhhhh Budhe keluar banyaaaakkkk bangeeet deeennnn oooouuhhhhhh…”

“Iyyaaahhh Budheee ayyooo keluariinn yang banyaak Budheee, memek Budhe juga tambah ennaaakkkkk, kontolku berasa diremess Budheeee ooouuhhhhhhh…” Aku ikut mendesah panjang merasakan cenut-cenut dalam memeknya.

Kuberi ia sodokan keras saat ia orgasme, pinggang kuangkat agar makin mengetatkan tautan kelamin kami, Budhe melepas, aku menikmati, susunya kuremas keras, mulutku menghisap kuat salah satu putingya. Semenit kemudian Budhe sudah tuntas melepas puncak orgasmenya.

“Boleh gantian Budhe yang dibawah den? Kaki Budhe pegel…” ucapnya setelah bernafas agak tenang.

Aku tersenyum dan mengangguk, ploopp… Budhe mengangkat pantatnya yang otomatis mencabut penisku dari gigitan memeknya yang tembem itu.

Sepanjang permainan WOT barusan, ibuku dan Bu Hesti hanya menonton kami. Keduanya tidur menyamping dengan tangan yang menyangga kepala, wajah mereka tak pernah lepas dari menatap garakan gerakan kami yang saling memuaskan. Kadang ibu atau Bu Hesti menjulurkan tangan ke dadaku, membelai-belai dan memelintir puting susuku, itu adalah cara ibu untuk membuat penisku bertambah keras.

Bu Hesti pun juga begitu, sesekali ia mencium bibirku dengan buas, disela-sela ‘kesibukanku’ memainkan susu Budhe.

“Ndoro nyonya, ndoro Hesti gak pengin naik lagi?” Tanya Budhe pada kedua perempuan paruhbaya yang tergolek lemas disamping kami.

“Nggak mbak,” ibu menggeleng, hampir bersamaan dengan Bu Hesti.

“Aku sudah gak kuat lagi… mbak Anah hebat, masih bisa layanin si perkasa ini,” ujar Bu Hesti sambil membelai penisku yang masih tegak.

Budhe sudah berbaring sempurna dengan paha yang terbuka, pantatnya sengaja diganjal bantal agar lubang memeknya lebih keatas sesuai arah penisku. Tangan Bu Hesti membantu mengarahkan kepala kontol itu menempel tepat di pintu vagina Budhe, sementara ibu malah meneteki susu berukuran jumbo yang sudah turun karena usia itu.

“Hooohhhhh ndoro nyonyaaahhhh…” desah Budhe merasakan sedotan mulut ibu di puting payudaranya.

Aku masuk dan mulai menggenjot turun naik, memompakan kontol di kedalaman memek nikmat Budhe.

“Kalau sudah mau keluar, ingat spermamu buat ibu ya sayang???” kata ibu mengingatkan.

“Hiiihhh iya buuhhh pastiiiiihhh aaahhhhh aku rasanya masiih lammaa…” jawabku, terus menggoyang tubuh Budhe dari atas, dengan gaya missionaris.

Kadang tanganku menjulur ke kanan atas untuk meraih susu Bu Hesti, atau tangan kiriku menjamah selangkangan ibu, memasukkan jari dan mencolok-colok memeknya yang masih basah.

Diserbu dari tiga arah seperti itu membuat pertahanan Budhe berkali-kali jebol, kalau dengan gaya WOT tadi ia sampai tiga kali orgasme, sekarang malah lebih sering lagi. Baru 10 menit menggenjotnya dari atas, Budhe sudah 2 kali menjerit panjang. Tapi memang stamina Budhe jauh lebih baik dari ibuku ataupun Bu Hesti, meskipun umurnya lebih tua.

Itu terbukti dari permainan-permainan seks yang kulakukan baik berdua dengannya ataupun bersama-sama seperti sekarang ini. Budhe selalu jadi yang terlama bertahan serta selalu siap dientot ketika dua wanita paruhbaya lainnya itu sudah tak sanggup lagi melanjutkan. Kata ibu, Budhe memang istimewa, kehadirannya membuat aktifitas seksual kami jadi semakin meriah dan membara.

Untung di kami berempat, ibu dan Bu Hesti merasa terbantu dalam menghadapi kekuatanku, Budhe bahagia karena dapat memuaskan dahaga birahi di hari tuanya, akupun senang karena tubuh, memek, susu dan wajah Budhe memang teramat mempesona!

Pada kocokanku yang ke 1000 (*ini hitungan ibu, dasar kurang kerjaan! Dientot gak kuat lagi, eh malah jadi tukang itung! Wakakak), masih dengan gaya yang sama, Budhe melepas untuk yang ketujuh kalinya! Teriakannya lebih panjang dari yang biasa tadi, dan semburan dalam vaginanya terasa lebih banyak. Hal ini menjadikan memek Budhe terlalu becek dan kurang nikmat.

“Dilap dulu deeenn…” ujarnya melihat mimik wajahku yang kurang senang dengan kondisi memeknya yang banjir.

“Jangan Budhe, aku sedot aja, pengen banget minum cairan memek Budhe…” cegahku lalu mencabut.

Aku menunduk dan langsung menyedot bibir kemaluannya, benar saja, cairan yang membanjir itu cukup banyak tersedot mulutku, kutelan semua, kuminum bak kucing kehausan.

“aaaahhhhh seddaaapppp Budhe… air memek Budhe memang lezzaat,”

“Iiihhh adeeennn, gak jijik??”

“Itu memang hoby berat si Budi mbakyu…” Bu Hesti menyahut.

“Makanya mulai sekarang kalau habis muncak, air maninya jangan dibuang mbak, kasih aja dia minum sampai habis… hihihi…” ungkap ibu melanjutkan.

“Yuuup, yang penting seddaaap tanteeee! Mau cairan memek siapa aja, pasti kutelan habis!” ujarku sambil menjilat jilat sisa cairan memek Budhe yang masih menempel di sekitar bibirku.

“Dasar maniak!” kata ibu mengejekku.

“Lah kan ibu juga yang ngajarin…”

“Hahahaha, jangan buka kartu ibumu Bud, malu dia…” sahut Bu Hesti.

“Udah ah, sekarang tolong Budhe nungging ya?” kuminta Budhe merubah gaya.

“Baik den gagah perkasa…”

“Perkosaaaa!!!” teriak ibuku

“Hahahahaha, dua duanya bener! Si Budi emang tukang perkosa yang perkasa!” Kata Bu Hesti

Budhe sudah sempurna menungging, kusibak belahan vaginanya dan menempelkan ujung penisku disana, masuk lagi, goyang lagi, maju mundur. Budhe mendesah lagi, pelan pelan berubah jadi menjerit menahan nikmat sodokan kontolku, lama-lama jadi berteriak histeris. Buah dada besar yang gondal gandul itu diremas masing-masing oleh ibu dari kiri, dan oleh tangan Bu Hesti dari arah kanan.

“Bu… Tante, sini dong susunya, kasih Budi yang netek’i… masa dibiarin gitu, susu enak kok dianggurin… hehehe…” ujarku sambil terus bergoyang.

Keduanya bangkit dan berjongkok di dekatku, menyodorkan buah dada mereka kearah mulutku. Aku mencaploknya satu per satu, bergilir kusedot, kukenyot, kuhisap, dengan pinggang yang masih menghantam pantat semok Budhe.

“Tanteeee… ooouuhhhhh…” ujarku pada Bu Hesti di sela kesibukan menyedot puting susunya.

“Ya say?”

“Tante gak pengen dientot? Aku rasanya sebentar lagi… Budhe juga sudah muncak berkali-kali…” ungkapku menawarkan padanya, maksudku agar Bu Hesti kuentot sebelum aku menyemburkan sperma nanti kedalam memek ibu.

“Huk uh say, mau mau mau…” ujarnya dengan girang.

Kulepas tautan kelamin Budhe, ia langsung berbaring, cukup puas rupanya dengan orgasme yang sudah diraihnya lebih dari 10 kali. Aku pindah ke Bu Hesti yang kini berbaring menyamping dengan kaki kiri terangkat lurus keatas, dengan penis yang menempel di bibir vaginanya, bertumpu pada kedua lututku, aku mencoblos dengan keras memek dosen akuntansi yang binal itu.

“Aaaaahhhhhh yeeesssssss!!!! Anjiiing Budiiiiiiiii ennaaakkkk aarrrggggggghhhhhhhhh yesss yesss yesss yesss genjot memek gueh Budddd ooohhhhhhh!!!” Teriakannya langsung histeris ketika secara spontan aku langsung menggenjot memeknya keras, dengan kecepatan tinggi pula, hingga bunyi plaak plaaakkk plaakkk plaakkk dari selangkangan kami semakin terdengar keras!

“Ayyooohhhh lontekuuhhhh goyang pinggulmu dosen binaaalllll aahhh nikmatnyaah jepitan memekmu Hesti lonteeeeee!!!” aku membalas teriakannya, Budhe sampe geleng-geleng mendengar kata-kata kotor itu.

“Hoooohhhhh yeeaaahhhh gigolo gede kontoolll bangsaat!!! Enak banget kontol loe bangsaaatttttt anjiiing budiiiiihhhh!!! Beluuum cukuuupp memek mbak Anah buat loe puas anjiiingggggg???? Aaaaahhhhhhh!!!”

“Aaaahhhh yessss tambah tiga lagiii memek kayak kalian aku masih sanggup ooohh Hesti dosenkuuu lonte binaaalllll!!!”

“Aaaahhhhh dassaarrrr kontool gilaaaaaakkkkk!!! Hooohhhhh gue keluuaarrrrr keluuaaarrr keluaaarrrr aaaaaahhhh!!!” akhirnya Bu Hesti melepas, tubuhnya mengeras seperti keram, aku meremas keras buah dadanya.

Kutekan penisku dalam-dalam di liang memeknya, kudiamkan semenit disitu, sampai kontraksi tubuhnya melemah, selesai sudah orgasme Bu Hesti. Aku mencabut kemaluan yang kini belepotan cairan memeknya itu, kusodorkan pada Budhe, ia menyambut dengan senang, dikulumnya meski dengan susah payah, karena ukuran penisku yang sebenarnya terlalu besar untuk mulut Budhe.

Sekarang giliran ibu, aku sudah hafal gejala ejakulasi ini, sebentar lagi… maka kutindih tubuh bongsornya yang telah ‘menunggu’ penuntasanku sejak tadi…

“Ayo cintaku… setubuhi ibumu yang haus ini…” ujarnya setengah mendesis, tak sabar rupanya ibu ingin rahimnya segera disembur sperma dari kontolku.

“Iya Siska cintaku… iniiihhh!!!” ungkapku agak keras sambil memasukkan penis ke vaginanya yang menganga.

“Ooooohhhh Budi sayaangkuuuuuhhhhhh ayooohh genjot yang keerrraassss cintaaaahhhhhh!!! Hoooohhhhhh setubuhi aku sayaang… oouuhhh buntingi ibumuuuhhh budiiihhhhh oooohhhhh,”

“Hooohhhh Siska cintakuuuhhh iyyaaah sayaang yeeeaah yeeahh yeaahh aku hampiiirrrr kelluaaarrrrrr aaaaaahhhh aaahhh aaahhhh!!!” akhirnya aku berteriak panjang mengakhiri permainan panjang ini, menyemprotkan banyak sekali sperma kedalam rahim calon mertuaku itu.

“Hoooohhhh iyyaaahhhh sayaaangkuuuuhhh ibu jugaaahhh keluaaarrrr hooooooooohhhh aaaahhhh aaaaaahhhh aaaaaaaahhhhh banjiiirrrr sayaaaaangggg rahimku penuuuhhh spermamuuuhhhhh cintakuuhhhhh hooohhhh!!!!”

Bersamaan kami melepas, berkedut, menyembur, kejang-kejang dan akhirnya terkapar lemas. Budhe yang berbaring persis disampingku memeluk, begitu juga ibuku, lalu Bu Hesti yang berada di samping Budhe.

Nafas kami masih ngos-ngosan, Budhe bangkit dan mempersilakan Bu Hesti bergeser ke dekatku.

“Mau kemana Budhe?” Tanyaku.

“Mau pijit aden… pasti cape kan, garap Budhe, ibumu dan ndoro Hesti?”

“Hehehe… iya Budhe… kirain Budhe mau balik ke kamar, tidur disini aja ya Budhe…?” pintaku.

“Iya aden, dua malam ini juga kan Budhe tidur disini sama ndoro nyonya…,” ujarnya, tangan Budhe sudah diolesi minyak urut yang beraroma wangi bunga mawar, aku suka sekali. Telapaknya yang halus mulai memijat punggung dan bahuku, aku tengkurap. Kunikmati pijatan-pijatan lembut Budhe pada tubuhku, benar kata ibu, pijatan Budhe bikin penat-penat dan pegal-pegal mereda, setidaknya itu yang kurasakan beberapa menit saja setelah ia mulai memberikan sentuhan dan tekanan di bahuku.

“Aku mau peluk tante malam ini, boleh kan Bu?” kataku pada ibu disela-sela pijatan tangan Budhe.

“Iya cintanya ibu… kamu boleh apa saja…” jawabnya mesra lalu memberiku ciuman.

“Nanti ndoro nyonya pelukan sama Budhe aja ya den? hihihiiii…” canda Budhe yang disambut ibu dengan ciuman pula.

Kucoba menoleh kearah belakang, tampaknya ibu dan Budhe sedang beradu bibir, ah… dua wanita pemuas birahiku itu kini mempertontonkan sensualitas yang begitu menggoda. Bu Hesti yang tadinya hanya diam jadi ikutan menyorongkan bibir padaku, kamipun ikut beradu lidah…

“Ah kan aku bisa pindah-pindah, dari pelukan tante, ke ibu atau ke Budhe… kalau mau tidur sambil kenyot tetek, aku pasti pindah ke Budhe… soalnya susu Budhe paling buessaarrrrr!”

“Hihihiii aden bisa ajaaa…” sahutnya senang.

Tak terasa, malam sudah mulai larut Eddyaann!!! Dari jam 5 pagi sampai pukul 24.00 kerjaanku Cuma ngentot, makan dan ngentot lagi!!! Dengan empat kali ejakulasi!!! Kantung sperma dalam testisku benar-benar terasa kering kerontang!!! Tapi dengan kepuasan yang teramat sangat!!!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu