2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Begitu penurutnya Devi ini, sehingga tanpa membantah lagi ia berlutut di depanku. Lalu dipegangnya kontolku dan dimasukkannya ke dalam mulutnya.

Tapi pada dasarnya aku hanya senang mengoral, tapi kurang suka dioral. Karena bagiku, tempat yang paling perfect untuk memuntahkan air mani adalah lubang memek.

Karena oitu hanya beberapa menit kubiarkan Devi menyelomoti kontolku. Kemudian kutarik pergelangan tangannya dan kunaikkan ke atas tempat tidur yang belum pernah ditiduri ini. Lalu kutanggalkan semua benda yang masih melekat di tubuhku. Dan dalam keadaan telanjang bulat, kuhimpit dia sambil mengarahkan kontolku ke mulut memeknya yang bersih dari jembut, seperti memek Bunda.

Untung liang memeknya sudah basah. Sehingga tak sulit bagiku untuk memasukkan kontolku ke dalam liang senggamanya.

Devi menatapku dengan sorot bingung tapi pasrah. Perasaan kasihan pun timbul di dalam hatiku, karena aku ini seorang seniman. Dan pada umumnya seniman itu berperasaan halus.

Maka lalu aku berkata, “Sebenarnya sejak tadi pun aku sudah memaafkan Mbak. Tapi aku tetap ingin membalas perbuatan Ayah yang telah menyakiti hatiku dan hati ibuku. Ya dengan cara begini. Tapi kalau Mbak Devi mau… aku bisa mengatur semuanya nanti.”

“Iya…” sahut Devi sambil tersenyum, “Aku sudah siap diapakan juga. Tapi perlu Odi tau, aku ini kabur dari rumah ayahmu, karena tidak tahan lagi menahan kekasarannya. Cuma main tempeleng aja bisanya. Karena itu aku akan minta cerai darinya. Tapi sebelum bercerai, aku ingin minta maaf dulu kepada Bu Ratna.

“Ya udah… sekarang kita saling nikmati aja ya…” ucapku sambil menggeser-geserkan kontolku. Maju mundur dan maju mundur… sehingga akhirnya aku benar-benar mengentotnya… mengentot liang memeknya yang ternyata… legit sekali…!

“Iya… rasanya punya Odi jauh lebih enak daripada ayah Odi… iyaaaaaaa… iyaaaaa… “Devi mulai ternganga-nganga. Lengannya pun mu;lai melingkari leherku. Lalu ia mencium bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat. Sementara entotanku mulai kupercepat sampai pada kecepatan normal.

Memek Devi pun bergerak-gerak mengikuti goyangan pinggulnya. Membuat gerakan seperti gulungan ombak yang sedang berkejaran menuju pantai. Dengan sendirinya bagian atas kemaluan Devi bergesekan terus dengan kontolku. Dan itu berarti itilnya terus-terusan bergesekan dengan batang kontolku.

Mungkin hal itulah yang membuatku berdengus-dengus dalam nikmat yang tak terperikan.

Diam-diam aku pun mulai melakukan sesuatu yang biasa kulakukan pada Bunda. Kujilati leher Devi disertai gigitan-gigitan kecil, yang membuatnya terpejam-pejam sambil berucap setengah berbisik, “Ooooh… ini indah sekali… hmmmm… indah sekali… ooooh… terimakasih Odiii… ternyata Odi ini sangat pandai membuatku keenakan…

Lalu mulutku pindah ke puting payudaranya yang kelihatan mancung ke atas, mulai mengemutnya dengan cara yang sudah terlatih.

Pada saat yang sama, datanglah khayalan itu. Khayalan tentang Bunda yang sedang dientot oleh Mr. Gustav…

Wooow…! Khayalan itu membuatku semakin garang mengentot istri Ayah yang masih sangat muda ini. Dengan garangnya kupompakan kontolku di dalam liang memek yang sempit legit ini. Sehingga perempuan cantik bernama Devi ini semakin melenguh-lenguh.

Kedua tanganku pun tiada hentinya meremas ke sana-sini. terkadang meremas-remas sepasang toketnya… keras sekali, sehingga Devi tampak memejamkan matanya sambil meringis. Terkadang juga kedua tanganku dipakai untuk meremas-remas dan mengacak-acak rambutnya. Sementara mulutku juga tak cuma menyedot-nyedot pentil teteknya, namun juga menjilati ketiaknya disertai gigitan-gigitan agak keras.

Namun Devi tidak complain. Dia tetap menggoyang-goyang memeknya seiring dengan gerakan pinggulnya, terkadang naik ke atas, lalumenghempas ke bawah. Kontolku pun ikut terombang-ambing dibuatnya.

Namun aku tetap gencar mengentotnya, dalam keadaan sudah lupa segalanya.

Namun ketika ia berbisik terngah, “Odi… aku sudah mau lepas…”

Aku pun menanggapimnya dengan entotan kontolku secepat mungkin. Lalju ketikas ia mengejang tegang, aku pun menancapkan kontolklu sedalam mungkin, lalu mendiamkannya… karena moncong kontolku tengah memuntahkan sperma, sementara aku berpegangan pada sepasang toketnya… meremasnya dengan keras sekali…

Crot… crottt… crooottttt… crotttt… crotttttt… crooooottttttttt… crooootttttt!!!

Lalu kami mengelojot dan terkulai lemas.

Secara jujur kuakui, memek Devi ini enak sekali. Hal itu kusampaikan padanya, “Gak nyangka… memek Mbak luar biasa legit dan sempitnya… seolah-olah liang memek yang belum pernah melahirkan.”

“Aku memang belum pernah melahirkan kok.”

“Ohya?!”

“Iya… memang aku belum punya anak. Kalau Odi senang padaku, jadikan aja aku simpanan Odi setelah aku resmi bercerai dengan ayah Odi.”

“Tapi Mbak harus disimpan di tempat yang tersembunyi kan?”

“Terserah Odi. Aku sih yang penting asal jangan diterlantarkan aja.”

“Ayo kalau begitu kita pergi sekarfang. Kalau mau mandi dulu, mandilah. Biar seger lagi badannya,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar mandi yang bersatu dengan kamar depan itu.

Beberapa saat kemudian, aku sudah membawa istri Ayah menuju kompleks perumahan yang tak jauh dari batas kota. Di situ ada rumah yang ditawarkan padaku, untuk dijual. Aku memang sudah melihat rumah itu. Rumahnya tidak besar, tapi ruangan di belakangnya sangat luas. Menurut orang yang menawarkan rumah itu, tadinya ruang di belakang itu dijadikan tempat menjahit.

Tukang jahitnya lebih dari 20 orang, karena pemilik rumah itu berusaha di bidang konveksi. Setelah pemilik rumah itu meninggal, anak-anaknya tidak ada yang mau melanjutkan usaha konveksi, karena sudah punya usaha masing-masing. Maka rumah itu pun akan dijual, dengan harga yang cukup murah (menurut taksiranku).

“Di sini Mbak akan kutempatkan, “katgaku kepada Devi, “Gimana kira-kira? Senang nggak kalau kusimpan di rumah ini?”

“Ya senanglah. Suasananya tenang begini.”

“Tapi nanti Mbak harus menjadi model lukisanku. Mbak bisa berjam-jam kulukis dalam keadaan telanjang bulat. Bagaimana?”

“Apa pun yang ditugaskan padaku, akan kuterima. Yang penting aku dikasih uang belanja secarqa teratur.”

“Soal itu sih jangan takut. Aku tidak seperti ayahku. Mungkin aku jauh lebih bertanggung jawab. Bukan cuma bisa main hardik seperti Ayah.”

Aku memang punya “rencana cadangan”. Untuk menyulap ruangan bekas penjahit konveksi itu untuik dijadikan “studio rahasia”. Soalnya aku sudah kuatir tentang Bunda. Bagaimana kalau Bunda digaet oleh Gustav nanti? Aku harus punya “ban serep” kan? Tapi aku akan merahasiakannya kepada Bunda. Karena siapa tahu Bunda tidak menjalin hubungan apa pun dengan Gustav.

Ya… dengan mudah aku bisa menyembunyikan istri Ayah itu, karena aku sudah banyak uang yang berasal dari Gustav.

Ya… Gustav memang sumber duitku. Dan aku harus berprinsip sebnagai pengusaha. Bahwa “The buyer is king”

(pembeli adalah raja). Maka apa pun yang Gustav inginkan, harus kuikuti saja. Karena aku tahu diri siapa dia dan siapa aku. Dalam 100 tahun belum tentu aku bisa mendapatkan 2 orang yang seperti Gustav itu. Bahkan aku tahu masih banyak seniman yang masih miskin, karena tidak menemukan peluang sukses seperti yang telah kudapatkan ini.

Berkat Gustav juga aku bisa seenaknya menyembunyikan Devi yang ternyata usianya sebaya denganku itu.

Pada siang itu juga rumah itu menjadi milikku. Surat-suratnya sudah diserahkan padaku, tinggal AJB-nya saja yang belum kudapatkan dari notaris. Yang penting, Devi sudah memegang kunci-kunci rumah itu. Dan sudah menerima uang dariku untuk bekal sementara baginya, sampai proses perceraiannya dengan Ayah selesai.

Sorenya aku sudah pulang ke rumah lagi. Tanpa dicengkram kegelisahan seperti tadi pagi lagi. Sementara Bunda belum pulang juga. Entah apa yang sudah terjadi dengan Gustav dan Bunda yang katanya “hanya” ingin berwisata di daerah yang dekat-dekat saja dengan kotaku.

Biarlah, apa pun yang telah terjadi di antara mereka, aku akan merelakannya. Asalkan Gustav tetap menjadi sumber duitku.

Setelah hari mulai malam, Bunda baru pulang. Gustav pun menyampaikan terima kasihnya kepada Bunda dan juga kepadaku. Yang kujawab dengan basa-basi, “With my pleasure…”

Setelah Gustav berlalu, barulah aku “menginterogasi” Bunda.

“Apa aja yang terjadi dengannya tadi Bun?” tanyaku.

“Nggak terjadi apa-apa,” sahut Bunda.

“Nggak dientot sama dia?”

“Iiiih… kamu ngomong seenaknya aja. Bunda juga takkan mau dientot sama kontol yang gak disunat kali. Membayangkannya aja geli. Apalagi melakukannya.”

“Lalu tadi cuma ciuman aja dengannya?”

“Nggak juga. Demi Tuhan… dicium pun olehnya tidak, Sayang.”

“Tapi… rasanya gak masuk di akal sehatku kalau ciuman pun tidak terjadi.”

“Lho… kamu kan tau, bunda tidak suka berciuman. Karena bunda takut ada penyakit yang ditularkan dari mulut. Sama kamu juga gak mau dicium bibir pada mulanya kan?”

“Oke… oke… lalu apa saja yang ia lakukan kepada Bunda? Jawab secara jujur aja Bun. Aku juga takkan marah kok.”

“Dia hanya megang tangan bunda. Itu saja. Tapi memang dia sudah nembak bunda.”

“Apa katanya?”

“Ya begitulah… dia menyatakan sudah jatuh hati kepada bunda. Tapi bunda belum menjawabnya. Dia juga bersikeras ingin mengajak bunda main ke negaranya. Tapi bunda bilang, kalau bunda diajak ke negaranya, nanti kamu tidak punya model lagi. Untungnya dia mengerti, bahwa bunda ini aset bisnisnya juga.

Aku masih kurang percaya. Karena itu kuselusupkan tanganku ke balik celana dalam Bunda. Untuk “memeriksa” lubangnya. Apakah ada tanda-tanda sudah “dipakai” atau tidak.

Bunda malah ketawa kecil, “Hihihiiii… kamu nggak percaya ya? Silakan aja cek sendiri… memek bunda ini terasa bekas dientot atau nggak.”

Memang tidak terasa gejala-gejala itu. Gejala sudah dipakainya memek Bunda oleh lelaki bule itu.

“Tapi lelaki itu berbeda dengan perempuan, Bun.”

“Maksudmu?”

“Cinta lelaki itu diucapkan dulu, lalu masjuk ke dalam hatinya. Kalau perempuan biasanya disimpan dulu di dalam hatinya. Kalau sudah diucapkan, berarti cinta perempuan itu sudah ada di puncaknya.”

“Biar aja. Bunda masih sakit hati pada ayahmu. Sehingga bunda susah menerima cinta lelaki lagi.”

“Tapi aku akan berusaha untuk berpikir secara luas,” kataku, “kalau dia sudah nembak Bunda, pasti makin lama cintanya makin mendalam.”

“Biarin aja. Bunda akan tetap seperti sekarang ini.”

“Bunda tetap merahasiakan hubungan kita berdua kan?”

“Tentu aja bunda harus merahasiakannya. Itu kan aib kita, Odi.”

Aku terdiam sesaat. Lalu kataku, “Biar bagaimana Gustav itu sumber duit bagi kita. Setelah gagal mendapatkan cinta Bunda, mungkin saja dia ingin melakukan hubungan seks dengan Bunda. Maklum dia kan orang bule, yang budayanya tidak sama dengan kita. Nah… seandainya pun dia ingin melakukan hubungan seks dengan Bunda, ladeni aja Bun.

“Memangnya kamu rela kalau bunda digituin sama dia?”

“Ya, demi masa depan kita, aku akan merelakannya. Yang penting harus di rumah ini terjadinya. Walau pun aku sedang ada di sini, silakan aja lakukan. Tapi jangan mau diajak begituan kalau sedang ada di luar.”

“Aaaah… bunda belum punyha pikiran seperti itu. Bunda kan sudah punya kamu, yang selalu memuaskan bunda, sekaligus bisa mengobati sakit hati bunda.”

“Tapi bisa aja nanti dia sengaja apel ke sini. Lalu makin lama makin jauh keinginannya. Dan lama-lama ingin ngentot Bunda juga. Nah, kalau sudah seperti itu, ladeni aja. Yang penting Bunda ladeni dia tanpa melibatkan cinta Bunda.”

“Aaaah… sudahlah Odi… jangan berpikir terlalu jauh deh. Bunda juga kan punya perasaan. Bunda sudah menjadi milikmu… masa bunda tega mengkhianati anak bunda sendiri?” kata Bunda sambil menanggalkan gaunnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu